Kidung Kedua

36 2 0
                                    

Uhibbuka Fillah, Gus!

Sewaktu embun bergelayut, hatiku ikut menciut. Memeriksa kembali aksara yang tertata rapi dalam hati. Benar saja, hanya kumpulan beberapa abjad yang jika kurangkai, membentuk sebuah nama. Habiburrahman Ibnu Musthafa. Kucoba tepis kembali, Kisaran beberapa detik saja, debar kembali bertamu untuk kesekian kalinya.


Sesekali kucoba lagi porak-porandakan isi di hati. Tak ada yang lain, selain Rabbku nama itu yang selalu mentereng indah dipangkuan kalbu. Aku juga belum ngerti, ini cinta atau hanya perasaan tabu yang kuanggap lebih dari adanya. Semenjak pertemuan tak sengaja di dapur umum pesantren waktu itu, detak di sebelah kiri dadaku belum seutuhnya kembali normal. Aku jatuh cinta? Bagaimana mungkin aku jatuh cinta?


Seseorang tolong jelaskan padaku, apakah cinta sedemikian hebat memengaruhi seseorang? Sebelumnya aku belum pernah berada di titik; makan jadi kurang bergairah, hanya karena terbayang wajahnya. Kurang tidur sebab di sepertiga malam entah kenapa aku terbangun dan ingin memintanya pada Rabbku. Menjadi Imam, pria terbaik di antara yang paling baik.
Ini salah, pikirku. Seharusnya tak sebegini hebatnya aku merasakan sesuatu yang tidak pada tempatnya. Tuhanku pasti sudah cemburu karena telah ada nama lain di hatiku selain Nama-Nya. Jika sudah begini, aku bingung. Antara terus mencintai, atau berhenti untuk menyakiti diri sendiri.


Segala sesuatu di muka bumi ini pasti punya alasan. Apa pun itu. Termasuk cinta. Entah ini cinta atau hanya perasaan tabu yang ku anggap cinta. Mana mungkin seorang Gus Habib mau menerima cintaku? Mustahil!


Untuk saat ini, aku hanya ingin Engkau enyahkan semua tentangnya, Tuhan. Sedemikian besarkah dampak dari semua ini? Aku hanya ingin fokus untuk belajar di pesantren, membahagiakan Uma dan Abi. Perihal degup dan getaran yang sering melanda, aku tutup untuk sementara.


"Zi, aku paham yang kamu rasakan. Aku mengerti yang kamu harapkan. Tapi, tolong. Urusan perasaan, tak usah kau bawa pada kegiatan. Kasihan anak-anak, Zi." Dinda menegurku, sahabat sekaligus kakak seniorku di kamar. Dia juga mengemban amanah dari Ibu Nyai dan Kyai untuk mengontrol dan mengawasi seluruh kegiatan yang berjalan di pesantren.


Dia belum tahu, bagaimana rasanya menjadi aku. Bagaimana ceritanya menghindar dari rindu. Dia belum tahu karena Dinda tidak pernah mau tahu.

Uhibbuka Fillah, Gus!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang