Siang itu, sang mentari tampak menyinari alam. Lambaian angin yang lewat serasa menyejukkan suasana. Langit tampak cerah tanpa ada mendung yang terlihat. Hanya lembaran-lembaran awan putih terlihat menghiasi angkasa. Sinar matahari tampak melalui jendela-jendela asrama pesantren.
Sementara itu, di sebuah asrama yang megah dan indah, terlihat para santri yang sibuk bersiap-siap pergi mengaji. Diantara mereka terdapat seorang santri yang meyiapkan kitab dengan terburu-buru. Jam dinding menunjukkan pukul 13.55 menandakan 5 menit lagi ngaji sore akan dimulai. Seorang santri berjas biru, bersongkok nasional, dan bersarung barjalan setengah berlari terburu-buru sambil membawa kitab serta pena yang diselipkan di saku jasnya.
Sesampainya ia di kelas, ia terkejut bahwa ternyata kyainya telah hadir di kelas dan mulai mengajar. Ia pun mengucap salam dan masuk kelas.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam kang . Mengapa terlambat Kang Miftakh?”
“Maaf gus . Saya terlambat, tadi ketiduran di asrama.” Jawab Said.
“Ya sudah. Hari ini pelajarannya apa?” tanya Gus Rohman.
“Nahwu gus.”
“Sekarang saya tanya. Apa itu i'rob?” tanya Gus Rohman.
“(sambil menggaruk-garuk kepala) Anu gus... Perubahan.” Jawab Said yang kebingungan.
“Perubahan... Perubahan... Perubahan apa? Ultraman?” canda Gus Rohman.
Seketika itu suasana kelas menjadi ramai dan semua santri dalam kelas itu tertawa mendengar jawaban Said.
“Maaf gus. Saya lupa.”
“Ya sudah nggak papa. Kamu saya hukum berdiri karena terlambat, besok jangan diulangi lagi!” kata Gus Rohman.
Said menjalani hukuman itu dengan patuh. Ia meyakini,”Mungkin ini adalah jalan dari Alloh untuk memberikan barokah untuknya”.Ia berdiri di depan kelas sedangkan sang kyai mendiktekan materi. Seperti layaknya di pesantren salaf, metode pengajarannya adalah kyai/ustadz membacakan makna sedangkan santri menuliskan makna dalak kitab atau yang biasa disebut maknani/ngesahi . Ia berdiri disana sampai pengajian selesai.
Pangajian selesai pukul 16.00. Para santri kembali ke asrama. Biasanya mereka antri untuk makan sore terlebih dahulu. Said pun berjalan menuju kursi paling belakang. Ia membuka kembali kitabnya dan membaca serta mempelajari ulang materi yang diajarkan kyainya. Ia kurang begitu faham. Ia sedih dan menggaruk kepalanya sambil matanya menitikkan air mata.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Santri Milenial
Short StoryKisah ini menyadarkan kita bahwa santri tak hanya bisa bersarung dan berpeci tetapi juga bisa berdasi dan berpakaian rapi