Grey Area (4)

241 11 0
                                    

"Eaan....!!!" sahabatku Hana berteriak memanggilku. Kami begitu dekat, sampai-sampai keluargaku mengira dia pacarku. Sesuatu yang menguntungkan. Dia selalu menghilangkan huruf "R" dari namaku, karena menurutnya lebih mudah diucapkan. "Ssssst, kita masih di gereja," kataku memintanya memelankan suara. Lama aku tak berjumpa dengannya. Biasanya setiap malam minggu aku pergi ke gereja bersamanya. Selesai misa kami akan mencari makan bersama, ngobrol ngalor ngidul, menikmati malam lalu pulang. Hanya saja, selama 3 minggu terakhir aku sengaja tidak ke gereja.

"Napa?" kataku dingin.

"Pie kabarmu, di ajak ke gereja ga pernah mau," ucapnya. "Kerja shift sore trus," aku beralasan. Faktanya aku sedang malas ke gereja. Jadi aku sengaja membuat jadwalku sibuk di akhir pekan agar aku punya alasan yang rasional untuk tidak ke gereja. Setelah 3 minggu, aku merasa butuh teman bicara, jadi terpaksa aku mengiyakan ajakan Hana untuk ke gereja.

"Aku pengen cerita," katanya lagi.

"Yuk kemana?" Soal tempat nongkrong aku biasa menyerahkannya pada Hana. Dia lebih pintar memilih tempat yang asik untuk mngobrol dengan budget minimal. Bagiku dimanapun tak masalah selama menu yang ditawarkan ramah dikantong. Menurutku yang membuat sebuah momen itu special bukan tempatnya tetapi dengan siapa kita melewatkan waktu dan apa yang kita bicarakan.

"Di Kedai Maharani aja," katanya menyebut sebuah caffe di dekat kos Harry, "Kata temenku bagus tempate." Biasanya aku langsung menurut, namun kali ini aku diam cukup lama. Aku tak tahu apa ide bagus untuk makan di sana. Itu tempat favorit Harry. Pernah aku sekali makan di sana bersamanya, Harry juga sering bercerita banyak gay nongkrong di kedai itu. Berkali-kali Harry mengajakku ke sana lagi, berkali-kali aku menolaknya. "Hoi!!!" bentaknya membuyarkan lamunanku.

"Kedai Maharani belakang Galle?"

"Iya, kok kamu malah tahu. Tumben. Pernah kesana ya. Bagus ga tempatnya. Murah katanya? Eh kamu kesana Sama siapa? Katanya kamu dekat sama cewe. Kenalin ya."

Aku bergeming menghadapi cercaran pertanyaannya. "Yuk," ucapnya lagi.

"Tempat lain aja ya, gimana kalau kita ke KopiQ", kataku mencoba memberi alternative.

"Aih, udah pernah. Coba yang baru lah. Maharani aja." Hana bersikukuh pada pilihannya. "Ada sesuatu ya disana. Apa yang kamu sembunyiin," ujarnya mulai curiga. Sepertinya aku tak bisa menghindar lagi. Mau tak mau aku menuruti keinginannya, sambil berharap aku tak bertemu Harry.

Kedai Maharani terletak di tempat yang begitu strategis karena dikelilingi beberapa kampus. Kedai itu buka 24 jam, dan tak pernah sepi pengunjung. Terutama saat akhir pekan. Sebenarnya tempatnya tak terlalu bagus, hanya berbentuk kedai bamboo biasa, tempat ini selalu diserbu pengunjung karena harganya yang sangat murah.

Begitu sampai di parkiran hatiku langsung berdebar lebih kencang. Baru jam 8 malam, namun tempat itu sudah padat. Sejauh ini taka da tanda-tanda dari Harry. Mungkin masih terlalu sore baginya untuk nongkrong.

"Cuma kayak gitu kok, rame banget pula, pindah aja yuk," aku masih berusaha menghindari tempat ini. "Apik yo," protesnya, "Yuk cari tempat." Aku tak mengerti apa yang menarik dari tempat ini, standar estetika Hana jelas sudah turun drastis. Sesuatu yang menyedihkan, bagi seorang mahasiswa desain interior sepertinya. Kami melangkah masuk mencari tempat. Kedai ini sebenernya lebih cocok untuk nongkrong rame-rame daripada pergi berdua saja.

Entah kebetulan atau tidak, hanya tinggal tersisa satu meja couple di sana. Dan meja itu merupakan meja yang aku pakai bersama Harry. Meja untuk dua orang sengaja di setting di bagian belakang sedikit jauh dari kerumunan orang-orang. Harus kuakui pemilik kedai ini cukup cerdas mengakomodir berbagai macam kepentingan anak muda.

"Apa bagusnya coba? Napa sih ngotot banget ke sini," begitu duduk aku langsung mengajukan protes. "Tempat ini esthetic ya," Hana memberikan pembelaan. "Ya ampun standartmu rendah banget, padahal kamu mahasiswa desain interior lho." Sebagai sahabat dekat aku merasa bisa mengkritiknya secara bebas. "Apa bagusnya coba lihat ban truck dicat," katatu lagi. Kedai Maharani mengunakan ban truck dan barang-barang bekas lain sebagai funiturenya.

"Kamu aja yang ga ngerti, itu tuch namanya kreatif, dan ramah linkungan, jadikan mengurangi sampah bisa mencegah global warming," Hana mencoba bertahan.

"Halah global warming apa, yang punya kedai ga sanggup beli meja kursi makanya pake ban bekas," aku masih berusaha menyudutkan Hana.

"Kamu ngotot banget ada apa e?" Hana mulai merasakan sesuatu yang janggal.

"Nothing," aku tak ingin pembicaraan ini berlanjut. "Let's choose our meal," kataku menyodorkan menu. Hana tertawa membaca menu-menu di Kedai Maharani. Mereka membuat akronim berbau porno yang terkesan memaksa untuk menamakan menu masakan mereka. Strategi marketing yang unik untuk menarik orang muda yang hormonnya sedang memuncak. "Basicly, itu cuma mie instan sama nasi goreng, namanya aja yang dibikin aneh," kataku masih skeptic.

"Kamu mau apa Ean?" tanyanya setelah menulis pesanannya. . "Mieyabi sama Milk Sex coklat," kataku tanpa melihat menu. Hana sedikit melirikku lalu menulis pesanan. Ketika aku meminta menunya untuk kuantar ke kasir, dia menolaknya. Katanya, dia ingin sekalian ke toilet. "Aku traktir," aku menyodorkan beberpa lembar uang, "Di sini pesan langsung bayar." Hana beranjak meninggalkan ku sendiri. Mataku menjelajah sekitar untuk mencari Harry. Makin malam, tempat ini semakin ramai. Harry benar soal gay yang sering nongkrong di sini. Sejauh pengamatanku aku menemukan beberpa kelompok laki-laki yang bertingkah dan berpakaian secara ganjil. Keberadaan mereka membuatku semakin tak nyaman.

"Banyak 'mahkluk ajaib'," katanya begitu kembali. Aku pura-pura tak mendengar apa yang dikatakannya. Aku tahu persis apa yang dia maksud, jadi respon terbaik yang bisa kuberikan agar pembicaraan tentang mereka tidak berlanjut adalah pura-pura tuli. Aku tak bisa menghujat mereka ataupun menertawakannya, bagaimanapun juga aku bagian dari mereka. Jika pembicaraan ini berlanjut aku khawatir tak bisa mengontrol emosiku. Aku takut Hana tahu. Seandainya itu terjadi selesai sudah persahabatan kami.

"Kamu pernah ke sini beneran tho?," tanyanya. "Huum,"jawabku.

"Sama siapa?" Hana memulai interogasi lebih dalam.

"Temen."

"Temen kerja?"

"Bukan, temen aja."

"Bener ya kamu dah punya pacar."

"Pacar apa? Ga ada."

"Jadi sama siapa?"

"Temen."

"Cewe?"

"Cowo."

"Jadi pacarmu cowo?"

"Aku ga punya pacar," jawabku dingin. Aku menatapnya tajam tanda aku tak menyukainya. Hana tertawa melihatku. "Bercanda Ean, tapi kenapa ya, aku tuch sering mikir kamu tuch homo," katanya lagi.

"How dare you!?" aku melayangkan protes keras.Hana tertawa semakin keras. Dia seperti begitu bahagia membuatku marah. Guyonannya sama sekali tidak lucu. Pesanan kami datang, Hana tampak kecewa dengan makanan yang disajikan. Aku sedikit tersenyum puas, karena punya bahan untuk menyalahkannya sudah memilih tempat ini.

Kisah Sunyi Dunia PelangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang