Part 2

1.1K 47 0
                                    

"Whooaaaaaaaaa!" Aku menjerit sekencang-kencangnya. Betapa tidak? Tepat di hadapanku terpampang nyata sebuah pemandangan vulgar yang hanya pernah kulihat di film-film biru.

"Aaaaagh! Aku pikir kamu sudah tertidur pulas!" Ia menarik selimut dari atas kasur dan menutupi bagian bawah tubuhnya yang hanya memakai segitiga bermuda.

"Yang benar saja! Kamu bisa-bisanya....ahh...." Aku speechless. Memang aku telah tertidur, tapi bukan berarti ia bisa seenaknya hampir telanjang sementara satu ruangan denganku, kan?

"Kenapa kau bangun di saat genting seperti ini? Aku mau berganti baju! Jangan dipikir aku berniat tidur dengan gaya seperti ini. Kamu pikir aku apa?"

Aku menutupi wajah. Kepalaku pening. Sebetulnya... Bentuk tubuh pria di depanku ini tidak buruk. Sangat macho malah... Namun mengingat jika tubuh itu telah bersentuhan dengan kekasihnya yang sialnya adalah seorang pria, kemachoan itu seolah tertutup berlapis-lapis tirai tebal. Sayang seribu sayang.

"Arga, tidakkah lebih baik kita pisah kamar? Bukankah kamar di rumah ini ada dua?" Aku memberikan ide. Risih sekali rasanya satu kamar dengan laki-laki asing... Pecinta sesama pula. Oh, ini benar-benar mimpi buruk.

"Oh, boleh saja. Silakan kamu tidur di kamar sebelah." Ia yang kini telah memakai kaus oblong dan celana pendek, menjatuhkan dirinya di sebelahku, merebahkan diri.

"Enak saja! Kamu yang di kamar sebelah!"

"Kamu yang mencetuskan ide, silakan."

"Ah sudahlah! Kembali ke sofamu! Besok kita ke toko furniture untuk mengisi kamar sebelah, untuk kau tempati. Paham?"
Aku menendang kakinya, ia bergeming. Tendangan kedua, ia terpaksa bangun dan mendelik ke arahku.

"Kau ini wanita atau pria sih?" Gerutunya sambil beranjak kembali ke sofa.

"Hey! Jangan bawa selimutku!"

"Aku kedinginan, kamu pikir bagaimana rasanya tidur tepat di bawah AC? Kamu tidak usah pakai selimut, atau baju sekalipun! Toh aku tak bernafsu padamu."

Aku menggeram kesal. Menyebalkan sekali orang ini. Baru malam pertama, sudah kelihatan sifat aslinya. Menyesal aku menikah dengannya. Agh!

Ia bilang apa tadi? Tidak bernafsu padaku? Dasar laki-laki sakit! Harga diriku benar-benar runtuh di depannya.

*********

"Selamat pagi, kau sudah bangun?" Arga menyapaku ceria dari arah dapur. Tercium aroma sedap nasi goreng, membuat perutku lantas keroncongan. Aku baru sadar, entah kapan aku terakhir menyempatkan makan. Sepertinya kemarin siang.

Dua piring nasi goreng lengkap dengan telur dan sayuran, mendarat di atas meja. Arga menarik kursi, dan duduk disana dengan wajah sumringah.
Lagi-lagi pikiran itu menggelayuti otakku. Seandainya ia laki-laki normal... Betapa beruntungnya aku.

"Ada apa? Kenapa memandangiku?"

Aku tersentak. "Ah, tidak. Aku sedang berpikir... Kamu bisa masak?"

"Tentu. Kalau hanya nasi goreng sih kecil. Nanti akan kubuat yang jauh lebih sulit dari ini." Ia menyuap sesendok penuh nasi goreng ke dalam mulutnya. Makannya cepat sekali. Hanya dalam enam kali suapan, isi piringnya telah tandas. Wow, buatku itu 'laki' sekali.

Aku kembali memperhatikannya. Kali ini dengan terang-terangan. Ia tengah menuang air putih ke dalam gelasnya.

"Kamu itu menarik. Tampan, pandai memasak... Sayang sekali, pria dengan nilai di atas rata-rata sepertimu harus mubazir di tangan sesama pria. Jika saja kamu normal..."

"Stop!" Suara keras gelas beradu dengan meja mengagetkanku. Kini matanya menatapku dengan marah. Ah, rupanya aku telah menyinggungnya.

"Kamu bilang kita tidak akan mencampuri urusan satu sama lain?"

She or He? (Telah dinovelkan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang