Part 7

940 37 4
                                    

Apakah aku siap meneruskan pernikahan ini?
Apakah aku siap jika diriku jatuh cinta dengan Arga?
Apakah jika aku jatuh cinta dengannya, aku siap menerima Arga dan masa lalunya?
Apakah aku siap jika Arga selamanya hanya akan menganggapku teman yang menyenangkan? Sementara aku mencintainya?
Apakah jika keadaannya nanti seperti itu, aku akan siap berusaha membuat Arga jatuh cinta padaku?
Apakah itu mungkin?

Perjalanan ini akan terasa amat panjang.

"Jangan pergi, please...." ia masih menatapku dengan tatapan memohon.

Aku diam beberapa saat disana. Mencoba dengan cepat mempertimbangkan permintaan Arga untuk tetap disini. Jangan disangka aku tidak tersentuh melihatnya seperti itu. Aku juga tak tahu, mengapa ia memintaku untuk jangan pergi. Mungkin ia memang sudah nyaman denganku? Maksudku, nyaman 'berteman' denganku. Ya, tak dapat kupungkiri, kami memang nyaman satu sama lain.
Apakah aku bersikap egois jika meninggalkannya? Tapi, aku kan berhak mencemaskan hidupku sendiri?

Menguatkan hati, aku meneruskan langkahku menuju ke kamar untuk membereskan barang-barang. Meskipun rasanya kedua tanganku amat berat melakukan ini, memasukkan helai demi helai pakaianku ke dalam koper. Tapi aku perlu berpikir jernih. Aku butuh menenangkan diriku. Ini terlalu rumit.

Berkali-kali aku menghela napas dengan berat. Sebelum menarik koperku keluar dari kamar.

Arga masih disana. Duduk diam dan menatap lantai dengan pandangan kosong. Terlihat pasrah. Entah apa yang ia pikirkan saat ini. Bencikah ia padaku?

"Arga..." Pandangan kami bersirobok. "Aku pergi sekarang. Jangan lupa kunci pintu tiap malam. Kau selalu ketiduran di sofa tanpa mengecek pintu dan jendela."

"Jangan khawatir, aku bisa menjaga diri," sahutnya datar. Entah kenapa, ada sebetik rasa nyeri di hati ini. Apakah aku benar-benar akan meninggalkannya? Apakah jika nanti aku memutuskan untuk kembali, masihkah ia mau menerimaku?

"Aku pergi sekarang." Aku melangkah dengan cepat sebelum berubah pikiran. Menekan kunci mobil hingga terdengar suara 'bip bip', lalu membuka bagasi, menaruh koperku disana. Arga masih di dalam. Ia tak mengantarku keluar. Ah... Ia benar-benar marah padaku rupanya.

Aku masuk ke dalam mobil, duduk di balik kemudi. Dan sekali lagi, menguatkan hati untuk memutar kunci starter.

Suara kendaraan berhenti mengalihkan perhatianku. Sebuah mobil sedan berwarna krom berhenti tepat di depan rumah. Ada tamu? Siapa?

Pertanyaanku terjawab beberapa saat kemudian. Pria itu keluar dari dalam mobil, berjalan melewati gerbang yang memang telah kubuka penuh. Ia menilik sebentar rumahku, lalu dengan sedikit ragu melangkah ke dalam.

Tak usah pikir panjang, aku mematikan mesin mobil dan keluar.

"Hey, berhenti!"

Kellen nampak sangat terkejut ketika aku tiba-tiba menghadangnya.

"Ada perlu apa kamu datang ke rumahku?"

Pandangan Kellen beralih-alih antara aku dan pintu rumah. Ia seperti mengharapkan kemunculan seseorang. Ya, jelas ia mengharapkan Arga keluar. Yang memang beberapa detik kemudian keinginannya terwujud, sebelum sempat menjawab pertanyaanku.

"Kellen?" Arga berdiri di ambang pintu. Aku memandangnya tak percaya. Apakah Arga yang mengundangnya kesini, kerumah kami? Atau Kellen datang atas keinginannya sendiri? Tau dari mana ia letak rumah ini?

"Hai. Arga. Boleh aku masuk?"

Apa? Lancang sekali ia! Sakit sekali orang ini.

Aku menoleh pada Arga dan meminta penjelasannya lewat mataku. Mengisyaratkan padanya untuk segera mengusir laki-laki laknat itu dari rumah kami. Tapi Arga tidak bicara apa-apa. Sebaliknya, malah membiarkan Kellen masuk ke dalam rumah.

She or He? (Telah dinovelkan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang