Kulihat Arga menggeser salah satu ikon di layar ponselnya, lalu ia menempelkan ponsel tersebut ke telinga.
"Halo? Ya?"
Tubuhku lemas, aku menyandarkan diri pada sofa, sedikit mengaduh ketika punggungku yang masih cedera bertubrukan dengan sandaran. Arga mencuri pandang ke arahku sekilas, sebelum keluar dari kamar dengan ponsel yang masih lekat di telinga.
Rasa kecewa menohok hati ini. Kenapa ia masih aja mengangkat telepon dari pria itu? Kenapa sulit sekali sepertinya lepas dari Kellen? Kenapa? Kenapa?
Kenapa aku memberanikan diri untuk jatuh cinta padanya?
Beberapa menit aku termenung, tubuhku serasa tak bertulang. Patah hati rupanya bisa membuat fisik menjadi lemah.
Bertahun-tahun aku menghindari yang namanya berpacaran. Aku pikir, tak ada waktu untuk termehek-mehek, apalagi dengan orang yang memang tidak berhak, alias belum halal. Tapi sekarang apa? Sama saja. Aku jatuh cinta, dan cintaku bertepuk sebelah tangan. Aku termehek-mehek, untuk orang yang tidak mencintaiku. Rasanya dunia gelap seketika.
Dan entah apa yang mereka obrolkan sampai sebegitu lama. Sudah hampir sepuluh menit. Aku pikir, sikap Arga semalam sudah jelas, akhirnya ia memilihku. Tapi nyatanya, aku hanya semacam kelinci percobaan untuknya. Ia masih tetap tak bisa melepaskan Kellen. Aku tak percaya ini. Bukankah Arga tahu jika Kellen yang menyabotase mobil yang kunaiki? Kenapa ia masih saja memberi hati pada lelaki iblis itu?
Mungkin ada baiknya aku berjalan-jalan menghirup udara segar. Aku butuh keluar sejenak dari semua ini.
Kubuka pintu, setengah mengendap keluar. Tidak ada siapa-siapa yang kulihat ketika aku menutup pintu kamar di belakangku. Aku melangkah pelan, melewati ruang tengah. Masih tidak ada siapa-siapa. Samar kudengar sayup-sayup suara...
"...mempersiapkan segalanya. Sofia masih sakit. Kau sendiri yang menyebabkan hal itu!"
Arga? Suaranya datang dari arah teras belakang.
Benar saja. Ia sedang duduk di kursi rotan bulat, menghadap taman belakang yang hijau. Pot-pot bunga kecil berbaris rapi, menjadi pembatas antara lantai dan rerumputan. Di atasnya, tanaman Fuschia berbagai warna menggantung indah dalam pot-pot bermotif mawar putih yang berjejer. Namun fokusku tidak kesana. Aku berusaha menguping pembicaraan Arga dan Kellen, berdiri di balik pintu yang tembus ke taman belakang tersebut. Arga sama sekali tak menyadari keberadaanku yang tengah mencuri dengar.
"Tidak. Aku akan ikut denganmu, tapi tidak sekarang." Sebelah tangannya menyisiri rambut dengan jemari, terlihat frustasi.
Apa? Apa maksud Arga? Apakah ia akan ikut Kellen ke Amerika? Jadi benar yang dikatakan Kellen padaku?
Kuseret diriku keluar, tak ingin mendengar lebih banyak. Persendianku lemas sekali. Selain karena aku memang belum pulih benar, rasa kecewa dan patah hati ini sungguh menghujam batin. Kedua mataku rasanya panas sekali. Setetes...dua tetes air mata bergulir di pipi. Lekas aku menghapusnya.
Kapan terakhir kali aku menangis? Ya, tujuh tahun lalu, sewaktu aku dan mantan pacarku putus. Taufan, cinta pertamaku. Hubungan kami kandas karena ia memutuskan berhenti kuliah dan pergi ke luar kota, untuk mengejar mimpinya menjadi pelukis terkenal. Sebelum dan sesudahnya, aku tak pernah menjalin hubungan dengan siapapun. Hingga aku menikah dengan Arga.
Mengapa aku harus selalu kecewa? Apa yang kurang dalam diriku? Apa memang aku yang bodoh? Dari awal aku memang sudah salah. Menganggap suatu pernikahan adalah hubungan main-main. Akibatnya seperti ini. Jatuh cinta salah, tidak jatuh cinta? Perasaan ini tak bisa kusetir semauku, ia datang menyergap hati ini begitu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
She or He? (Telah dinovelkan)
RomanceBagaimana jadinya bila seorang wanita menikah dengan seorang gay? Sofia, seorang pemilik WO terkenal, menikahi Arga yang juga bekerja di bidang pernikahan. Namun sedari awal, Arga sudah berterus terang pada Sofia jika ia adalah gay. Sofia tetap maju...