Juna mengantarkan Ara ke stasiun. Wanita itu sudah masuk kereta. Ia mulai menghidupkan mobil dan keluar parkiran. Namun, belum lama. Handphonenya berbunyi. Terpaksa ia menepikan mobilnya dan mengangkat telepon.
"Halo."
"..."
"Tidak apa-apa. Pak Samsulnya, bisa kapan? Dia sudah mengatur ulang pertemuan?"
"..."
"Ok, kabari saja saya nanti. Dan tolong sampaikan pada sekertarisnya, meetingnya nanti jangan di luar kota. Aku cukup sibuk disini."
"..."
Saat mendengarkan ucapan sekertarisnya. Mata Juna tak sengaja menangkap bayangan tubuh Ara keluar dari stasiun. Kedua alisnya lamgsung menukik. Bukankah keretanya sebentar lagi akan berangkat? Mau kemana dia?
Dan terjawablah pertanyaannya, Ara menyebrang jalan. Ia menaiki bus. Juna sontak menghidupkan mesin. Tidak ingin kehilangan jejak.
"Ya? Apa? Nanti hubungi saya lagi. Saya ada urusan." Ia menutup panggilan. Dan bergegas mengikuti bus itu.
Pengintaiannya berhenti di area pemakaman. Juna mengernyitkan alisnya heran. Untuk apa Ara kesini? Apakah ada kerabat Ara yang meninggal? Atau sanak saudaranya di kubur disini?
Ia baru paham sesuatu. Selama ini, sedikit yang ia tahu tentang Ara. Wanita itu jarang membuka hal pribadi dirinya. Dan Juna pun tak pernah menanyakannya. Ia sibuk membicarakan tentang dirinya sendiri untuk diketahui Ara. Namun, sekalipun ia jarang menanyakan hal pribadi Ara. Keluarganya? Orang tuanya? Pekerjaannya? Betapa salahnya dirinya.
Mungkin inilah salah satu alasan kenapa Calista tidak betah padanya. Ia ingin diperhatikan tapi ia jarang memperhatikan orang balik.
Juna keluar, mengamati Ara dari jarak jauh. Wanita itu nampak khusyuk berdoa di sebuah kuburan dengan batu nisan.
Dari kejauahan Juna melihat Ara mengusap nisan itu dan mengeluarkan sekantung bunga dari tas dan air mawar. Wanita itu berdoa lalu pergi. Juna mendekat. Melihat nama disana. Dan betapa terkejutnya, nama itu mirip seperti Ara. Ari Baskara. Dan Ara Baskara.
Nama itu terus membuatnya bertanya-tanya. Apakah dia kakak Ara?
***
Saat akan pergi, rantai sepedanya putus di tengah jalan. Yuna turun dan menuntun sepedanya. Matahari baru saja keluar dari peraduan, sinar terik menyentuh kulit. Peluh langsung melumuri kulitnya, terutama di punggung, leher dan dahi. Perjalanan terasa panjang di depan sana. Belum lagi ia harus bertarung dengan waktu. Setengah jam lagi akan masuk.
Yuna mendorong sepedanya sekuat tenaga. Berusaha menghiraukan nada olokan dan candaan pria-pria di pinggir jalan. Dan mengabaikan rasa malu. Tapi, sepertinya itu tidak perlu. Rasa malu sudah tidak pernah ia rasakan lagi sejak lama. Gengsi dan harga diri. Rasanya itu tidak lagi dimilikinya. Yuna menarik napas dan memusatkan pikirannya pada hal lain.
Ternyata ia tidak sendiri, di seberang jalan seseorang bernasib sama seperti dirinya. Laki-laki tengah menuntun motornya yang mogok dan wanita dibelakangnya membawakan dua helm. Mereka tampak tidak ambil pusing dengan pandangan orang. Mereka tenggelam dalam percakapan seru antar keduanya. Dan si wanita tetap setia menemani di belakang. Tidak malu dan juga biasa saja.
Sampai Yuna menemukan bengkel kecil di tikungan jalan. Ia mendekati seseorang yang sedang memperbaiki motor.
"Mas, kalau memperbaiki rantai putus berapa?"
Pria dengan pakaian penuh coretan hitam dan bau oli mendongak menatapnya. Menghentikan kegiatan. Ia melirik sepedanya.
"Sepuluh ribu, tapi harus antri. Saya sedang sibuk sekarang."
"Kira-kira berapa lama?"
"Lima belas menit selesai."
Lalu sebuah mobil sedan berhenti didepan bengkel. Seorang pria berpakaian bagus keluar. Ia mendatangi pria barusan yang ditanyainya.
"Ban mobil saya bocor, bisa diganti atau ditambal, terserah. Tapi harus sekarang?"
Pria tua itu. Mengamati roda depan mobil.
"Bisa, bisa, tapi uangnya cukup besar."
"Berapa?"
"Seratus ribu."
Pria itu langsung mengeluarkan dompet dan memberikan selembar uang merah yang sigap diambil Bapak itu dan mengantunginya.
Bapak itu langsung memperbaiki mobil pria tadi dan mengabaikan motor yang tengah ia perbaiki dan juga Yuna. Yang menyaksikan ketidakadilan itu adalah makanan sehari-hari.
***
19 November 2019
Vote dan komen 😉
Ps : maaf kalau memperbaiki rantainya agak kacau😁 soalnya diriku nggak tau 😆
KAMU SEDANG MEMBACA
Tiga tahun [End]
BeletrieWaktu memang adalah hal menakutkan di dunia ini. Tak memandang pangkat, derajat, kekayaan, dan status. Ia akan terus berjalan. Tanpa diminta atau bisa dihentikan. Dan manusia pun bisa berubah karenanya. Sebelum tiga tahun dan setelah tiga tahun. Buk...