Malam itu keadaan berangsur-angsur tenang. Kehadiran Yeonjun sangat lah membantu. Kini Soobin terlihat begitu tenang. Ia memejam di ranjangnya, ditemani Yeonjun yang duduk di sampingnya. Tangan Yeonjun masih bergerak mengusap kepala Soobin yang mampu memberikan ketenangan. Memastikan Soobin sudah tertidur, barulah ia menghentikan usapannya.
Yeonjun menarik selimut untuk menyelimuti tubuh kurus Soobin. Ia menghembuskan napas, maniknya yang cantik memandangi Tuan Muda yang terlelap. Ia duduk terdiam, dengan seribu pikiran yang berkecambuk.
Apa keputusannya tepat? Memilih kembali di ruang lingkup Soobin. Menyerahkan diri dan memberikan kehidupannya. Yeonjun tidak menahu. Tepat atau tidak, baik atau buruk, benar atau salah. Di dunia ini tidak ada yang pasti.
Apa ia akan menyesal kembali? Yeonjun tidak tahu. Masa depan begitu abu-abu. Layaknya pegunungan yang tertutup kabut tebal, tidak nampak.
Dalam hidupnya, hanya ada satu hal yang ia sesali. Satu hal itu adalah ketika ia tidak sempat memberikan kado ulang tahun mendiang ibunya sebelum ibunya menutup mata.
Diantara seribu pikiran yang menghujami kepalanya, tiba-tiba saja Yeonjun teringat seseorang. Ia segera bangkit dan berjalan keluar. Sembari melangkahkan kaki, ia menghubungi seseorang melalui ponselnya.
Kakinya berhenti di sebuah taman di rumah sakit. Di hadapannya, seseorang tengah duduk memunggunginya. Sejenak, Yeonjun tertegun. Ia melupakan fakta jika ia datang kemari bersama orang lain.
"Doyoon-ah!" Yeonjun menyapa dan menghampirinya. Ia duduk di samping Doyoon yang kini menampakkan senyum secerah matahari seperti biasanya.
"Aku kira kau sudah pulang. Maafkan aku!" Yeonjun menyesali perbuatannya. Ia datang kemari bersama Doyoon, namun justru ia mengabaikannya.
"Tidak apa-apa. Ingin pulang sekarang?" Mendengar pertanyaan itu membuat Yeonjun menautkan alis. Pulang?
"Aku sudah pulang." Doyoon menoleh. Mengerutkan kening, mencoba mencerna ucapan Yeonjun. Tiba-tiba saja ada perasaan yang entah mengapa begitu mengganggunya.
Melihat Doyoon yang terlihat bingung, Yeonjun menarik napas dan menjelaskan. "Benar, aku sudah pulang. Dia rumahku!"
Doyoon menerka-nerka 'dia' yang dimaksud Yeonjun. Tentu saja jawabannya hanya menjurus kepada satu orang. Doyoon memalingkan wajah, menatap tanaman di depannya. Hati dan pikirannya bergulat. Ia menelan seteguk ludah dan bertanya, "Kau sudah memikirkannya dengan matang?"
Yeonjun mengikuti tatapan Doyoon. Ia menatap setengkai bungai layu di depannya. "Ya. Aku sudah memikirkannya tempo hari."
Doyoon terdiam. Wajahnya nampak tenang, namun hatinya tengah bergejolak. "Kau memilih bersamanya karena iba dan rasa bersalah?"
Pertanyaan itu membuat Yeonjun dengan spontan menoleh, menatap Doyoon yang kini menunduk. Terlihat layu seperti bunga yang baru saja ia pandangi. "Tentu saja tidak! Dia membutuhkanku!"
"Lalu bagaimana denganmu?" Doyoon mengangkat kepalanya. Ia menoleh membalas tatapan Yeonjun. Senyuman secerah matahari itu kian luntur tak menyisakan jejak sedikit pun.
"Aku lebih membutuhkannya." Jawaban itu terucap dengan begitu saja tanpa pikir panjang.
"Apa yang kau butuhkan darinya?" Doyoon bertanya setengah menuntut. Di dalam kepalanya berjajar pertanyaan-pertanyaan yang tidak terhitung. Yang paling membingungkan, kenapa Yeonjun memilih kembali padanya? Apa yang ia cari? Apa kesakitan di masa lalu tidak ia jadikan sebagai pelajaran? Kenapa harus dia yang Yeonjun inginkan?
"Hidupnya." Lagi-lagi jawaban itu membuat Doyoon tertegun. Dalam sekejap dadanya terasa sesak. Sesuatu seolah tengah menikamnya. Menjalarkan rasa sakit yang tak tertahankan. Ia terus bertanya-tanya dalam hatinya. Dari milyaran manusia, kenapa hidup orang itu yang Yeonjun inginkan? Apa yang dapat Yeonjun peroleh dari mengharapkan kehidupan orang lain?
KAMU SEDANG MEMBACA
OBSESSION; Soobin [END]
Romanceob·se·si /obsési/ n Psi gangguan jiwa berupa pikiran yang selalu menggoda seseorang dan sangat sukar dihilangkan. Choi Soobin mengidap tharnophobia. Lalu seorang psikiater berhasil menyembuhkannya. Ia pun jatuh cinta dengannya. Namun siapa sangka, k...