3. Problem

369 98 15
                                    

Lima menit yang lalu bel tanda berakhirnya pelajaran berbunyi. Membuat sebagian murid sudah pulang dan suasana sekolah sudah mulai sepi.

Nara masih berdiri didepan gerbang sekolah dengan wajah yang terlihat sedang mencari sesuatu.
Satu persatu wajah orang yang lewat diperhatikan begitu intens oleh Nara.

"Ehh, tunggu," teriak Nara sambil menghadang jalan orang tersebut. Setelah orang itu berhenti Nara malah menghela napasnya yang terdengar putus asa.

"Hmm, sorry gue salah orang."

Nara menunduk lesu, sudah beberapa orang yang gadis itu panggil dan berhentikan tapi hasilnya nihil. Orang yang Nara cari tidak dapat Nara temukan. Padahal sudah dari jam pulang sekolah Nara berdiri di gerbang sekolah.

"Apa dia lagi ada kegiatan ekstrakurikuler kali ya," ujar Nara pada dirinya sendiri.

Cukup lama menunggu gadis itu memutuskan pulang saat jam menunjukkan pukul 15.30.

Masih ada hari esok, Nara, batinnya dalam hati.

Nara sudah lelah dengan kegiatan hari ini. Tapi sekarang gadis itu harus melihat kebersamaan Papa-nya dengan wanita yang begitu Nara benci, melewati kedua orang itu dan berjalan menuju kamar dengan perasaan yang campur aduk.

"Nara tidak sopan sekali kamu, bukannya salam," ujar lelaki yang bernama Andre yang tak lain adalah Papa Nara. Nara tidak menanggapi ucapan pria itu dan tetap berjalan menaiki tangga menuju kamarnya.

"Nara!" pria itu bangkit berdiri dari duduknya dan menghampiri Nara.

"Ada Tante Sinta, seharusnya kamu sopan dan menghargai dia!" tegas Andre.

"Buat apa Nara sopan sama wanita yang udah hancurin kebahagiaan keluarga kita," teriak Nara tanpa takut sedikitpun.

"Nara cape mau istirahat," lanjut Nara meninggalkan Papa-nya.

Ceklek!

Membuka pintu kamar dan menutupnya dengan kasar. Gadis itu meletakkan tasnya begitu saja di atas kasur.

"Bun, Pasti bunda ga suka dengan sikap Nara yang kaya gitu ke-Papa," monolog Nara dengan menatap langit yang terlihat mendung.

"Nara cuma kangen sama sikap Papa yang dulu. Semenjak wanita itu hadir. Nara udah enggak bisa lagi merasakan kasih sayang dari papa bahkan untuk makan malam barengpun papa ga bisa

Nara kangen bunda. Pasti, kalo Nara lagi kaya gini bunda selalu dateng buat nenangin Nara," tangis Nara pecah saat mengingat masa-masa kebersamaan dengan bundanya.

Kembali lagi ke ruang tamu, Andre memijat keningnya. Pria itu sudah tidak tau harus seperti apa menghadapi anaknya. Andre melupakan kenyataan bahwa sikap Nara berubah karena dirinya juga. Ia terlalu sibuk dengan wanita yang kini duduk disampingnya, wanita yang Nara anggap sebagai penghancur kebahagiaan keluarganya.

"Maafin sikap anakku," kata Andre pada Sinta.

"Gapapa mas, mungkin Nara belum bisa terima kehadiran aku," ujar Sinta.

"Nanti pelan-pelan aku akan coba bicarain soal pernikahan kita pada Nara," Tutur Andre dan diangguki oleh Sinta.

☕☕☕

Jam menunjukkan pukul 21:05. Nara terbangun dari tidurnya. Tadi setelah Selesai melaksanakan sholat Maghrib dan di lanjut sholat isya Nara tertidur masih dengan menggunakan mukenanya . Kini Nara Menuju kamar mandi untuk membersihkan dirinya.

Gadis itu duduk di kursi meja belajarnya dengan pandangan terarah ke bingkai foto. Foto keluarganya yang masih utuh. Di mana bundanya belum pergi meninggalkan Nara untuk selama-lamanya dan ayahnya yang masih sangat sayang dan peduli dengannya. Tapi kini semuanya sudah berbeda. Malaikat tak bersayapnya pergi dan cinta pertamanya berubah.

Perut Nara terasa sangat lapar. Tapi Nara belum siap jika harus bertemu dengan Papa-nya di bawah. Mengabaikan rasa laparnya Nara bangkit berdiri untuk melanjutkan tidurnya.

10 menit sudah Nara mencoba untuk mengabaikan rasa laparnya tapi cacing diperutnya terus mendemo. Kembali bangun dan membuka pintu kamar. Rumahnya terlihat sepi Nara berharap papanya sudah tidur. Tapi harapan Nara pupus nyatanya papanya sedang makan malam bersama wanita itu.

Enggak ada attitude-nya banget, malem-malem masih aja di rumah orang, batin Nara dalam hati.

"Nara, kamu belum makankan?" pertanyaan basa-basi dari Sinta tidak dihiraukan oleh gadis dengan piyama toscanya.

"Sini kita makan bersama," ajak wanita itu sambil mengambilkan nasi dan lauk untuk papanya.

Mengabaikan ajakan tersebut. Nara membuka kulkas dan mengambil beberapa makanan yang menurutnya bisa membuat kenyang. Nara kembali ke kamar dengan makanan yang ia bawa.

"Nara, Papa bilang hargai keberadaan Tante Sinta!" tegas Andre yang mulai habis kesabarannya.

"Mana bisa Nara hargai wanita bermuka dua, Papa jangan terlalu percaya sama dia, Nara enggak mau berantem sama Papa malam ini." setelahnya gadis itu kembali ke kamarnya.

Nara mengalihkan pandangannya saat tau yang masuk ke kamarnya adalah Andre, gadis itu berpikir mungkin saja wanita licik itu sudah pulang, Nara menunggu apa yang akan keluar dari mulut papa-nya.

"Nara, soal pernikahan Papa dengan Tante Sinta, Papa mohon kamu terima yah untuk Tante Sinta menjadi Mama tiri kamu," ujar Andre tanpa memikirkan perasaan Nara.

"Dari awal Papa udah lihatkan kalo Nara enggak suka sama Wanita itu, jadi sampai kapanpun Nara enggak bisa terima dia sebagai Mama tiri Nara dan dia enggak bisa gantiin posisi bunda," ungkap Nara.

"Dia memang tidak akan menggantikan posisi almarhumah bunda, tapi bagaimanapun kamu membutuhkan sosok ibu." Andre menatap Nara yang hanya setia mengarahkan pandangannya pada boneka pemberian bunda-nya.

"Enggak, Nara engga butuh. Asal Papa tau lebih baik Nara enggak punya Mama dari pada Nara harus nerima Tante Sinta sebagai Mama tiri Nara!" tegasnya.

"Kamu tidak memikirkan perasaan Papa-" kalimat Andre terpotong oleh perkataan Nara yang mulai meledak-ledak.

"Papa yang enggak bisa ngertiin perasaan Nara! Papa jauh lebih mentingin wanita itu dari pada anak Papa sendiri, Nara kehilangan bunda dan Nara juga harus kehilangan sikap Papa yang dulu!"

"Dia bukan siapa-siapa Papa tapi dia bisa menguasai Papa," ujar Nara dengan mata yang kembali meneteskan air mata.

"Kalo kamu tidak bisa terima keputusan Papa, lebih baik kamu tinggal sendiri dan keluar dari rumah ini," ucapan Andre membuat Nara menegang seketika, demi wanita licik itu Papa-nya tega mengusir anaknya sendiri.

"Papa.egois."

"Nara kecewa sama Papa, tapi Nara akan terima keputusan Papa, malem ini juga Nara pergi dan Nara juga udah terlalu cape sama sikap Papa yang sekarang." gadis dengan sungai kecil di pipinya bangkit berdiri dari kasur, membereskan pakaian dan bukunya memasukkannya kedalam koper.

"Nara pamit, pah." Andre hanya diam di atas kasur dengan kepala menunduk.

"Gadis itu menuruni tangga dengan tangisan yang begitu menyedihkan bagi siapapun yang mendengarnya. Sinta ternyata masih setia berada di rumah Andre dan Nara yakin Wanita itu merasa menang karena kejadian ini.

"Semua kebusukan Tante akan tercium dan Tante akan nyesel sama permainan yang Tante buat sendiri! Dan saya tidak akan pernah membiarkan wanita tidak tau diri kaya Tante dapetin kebahagiaan yang seharusnya kebahagiaan itu milik saya!" ucap Nara tepat didepan wajah Sinta.

"Terserah kamu mau bicara apapun, tapi malam ini saya lebih unggul satu langkah dari kamu," katanya dengan kedua tangan dilipat didada.

"Ya Tante boleh seneng karena udah unggul satu langkah dari saya, tapi nanti saya yakin, saya yang akan menendang Tante beribu-ribu langkah dari kehidupan saya dan Papa," kata Nara dan meninggalkan Sinta yang diam.

☕☕☕

Impian Dari Kopi [ Proses Revisi ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang