Bab 6

2.6K 290 13
                                    

Ini tidak baik. Sasuke jelas merasakannya. Naruto terlalu menempel padanya, seperti permen karet yang terinjak, tidak bisa disingkirkan. Temannya itu bisa duduk berjam - jam di kafe tempatnya bekerja hanya untuk memandanginya. Memang tidak mengganggu, tapi Sasuke risih di buatnya.

Setiap saat Sasuke selalu melihat Naruto di sekitarnya. Seolah menjadi bayangan yang mengikutinya kemanapun. Tidak mudah untuk Sasuke menghindari Naruto karena nyatanya mereka satu asrama dan satu kamar. Kegiatannya selepas sekolahpun tidak banyak, hanya pergi kerja, atau ke rumah sakit. Sasuke terlalu malas untuk ikut kegiatan sekolah, selebihnya akan dihabiskan di kamar mengerjakan tugas. Otomatis dia akan selalu melihat Naruto di sekitarnya. Sasuke hanya bisa merasa lega saat dia ada di kelas atau mengunjungi ibunya di rumah sakit. Di tempat - tempat itu, Sasuke tidak merasakan kehadiran Naruto di sekitarnya.

"Aku ingin pindah''

Mikoto mengerutkan dahi mendengar perkataan putranya.

"Aku ingin menyewa kamar sendiri'' Sasuke mencoba menjelaskan.

"Kau tidak suka tinggal di asrama hum?'' Mikoto meraih tangan Sasuke, menggenggamnya erat.

Sasuke menggigit bibir, dia tidak mungkin mengatakan apa yang terjadi sebenarnya. Dia tidak ingin ibunya merasa khawatir.

"Aku hanya ingin tinggal sendiri saja''.

Mikoto menghela napas. Sasuke masih terlalu muda untuk tinggal sendiri tanpa pengawasan orang dewasa. Dia takut jika ada apa - apa tidak akan ada yang bisa menolongnya. Kekhawatiran yang wajar untuk orang tua.

"Kalau kau tidak ingin tinggal di asrama, tinggalah dengan ayahmu. Berbahaya jika kau tinggal sendiri''

Reflek, Sasuke menarik tangannya yang di genggam Mikoto. Melepaskan diri dari ibunya. Bukan itu yang ingin dia dengar. Sasuke sama sekali tidak pernah berpikir untuk tinggal dengan ayah kandungnya.

"Sebelum pindah kesini, aku juga tinggal sendiri''

Sasuke segera menyesali ucapannya, karena wajah ibunya langsung berubah sedih. Wanita itu pasti merasa bersalah dengan keadaannya. Karena dia sakit dan harus di rawat di rumah sakit, membuatnya harus meninggalkan Sasuke di flat kecil yang mereka sewa sebelum mereka pindah kesini.

"Ibu minta maaf...''

"Tidak. Bukan itu maksudku'' Sasuke buru - buru menyela ''Aku hanya ingin Ibu tahu, kalau aku bisa jaga diri. Ibu tidak perlu khawatir. Aku hanya ingin belajar bertanggung jawab untuk hidupku sendiri''

Sasuke berdiri, menggenggam tangan kurus ibunya. Mendadak wanita itu terbatuk keras, hingga wajahnya memerah. Sasuke panik. Di tekannya tombol di dinding, memanggil bantuan.

Beberapa menit seorang dokter dan perawat menerobos masuk. Sasuke tidak berbuat apa - apa selain mundur dan membiarkan yang lebih ahli menangani ibunya. Perawat yang ikut masuk meminta Sasuke untuk keluar.

Sasuke hanya bisa bersandar di dinding. Tubuhnya gemetar, dengan kedua tangan mengepal. Rasa dingin menjalar di tulang punggungnya, tapi tidak ada yang bisa dia lakukan. Perlahan tubuhnya merosot ke lantai. Duduk memeluk lutut dan membenamkan wajahnya.

Hinata berkali - kali mengecek ponselnya tapi orang yang dikirimi pesan tidak juga menjawab, bahkan pesannyapun belum dibaca. Berdiri gelisah di depan kafe yang seharusnya tempat kerja Sasuke. Dan sekarang sudah lebih dari jam delapan, tapi orang yang ditunggunya belum muncul. Dia tahu hari ini Sasuke tidak kerja karena sedang menjenguk ibunya. Sasuke sudah mengatakannya saat Hinata mengajaknya pergi. Sasuke memintanya untuk menunggu disana, tapi sudah lebih dari tiga puluh menit orang yang ditunggunya belum muncul. Jika lewat lima menit Sasuke belum juga datang, Hinata tidak akan lagi menunggunya.

EPHITYMIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang