Parr 11

1.9K 133 6
                                    

Minggu pagi, biasanya, aku dan Maya jalan-jalan santai di taman dekat kompleks perumahan. Namun, hari ini, kami akan menghadiri acara pengajian yang diadakan oleh panitia di Masjid dekat rumah. Ayah juga termasuk menjadi panitianya. Itu sebabnya, Ayah berangkat lebih awal daripada kami.

Ketika sedang memakai lipstik, nada notifikasiku di ponselku berbunyi. Dua pesan dari Mas Anton, terpampang di layar atas ponsel.

[Tahu nggak, Dhe, seluruh penghuni langit sekarang lagi kebingungan mencari satu bidadari yang hilang?]

[Eh, nggak tahunya bidadari itu lagi baca pesan dari Mas Anton yang ganteng ini. Hehe.]

"Kenapa sih, Mbak, senyum-senyum begitu?" Maya mendekatiku di depan meja rias.

"Ini, May, Mas Anton WA. Lucu banget." Aku memberikan ponsel pada Maya. Seketika, dia juga ikut tertawa.

Sejak Anton menyanyikan sholawat minggu lalu, dia jadi sering mengirimiku pesan. Walaupun, sering kali tak kuhiraukan pesan darinya.

Alasan Anton meminta nomer ponselku saat itu, katanya untuk mengirim beberapa sholawat. Memang benar, dia sering mengirim sholawat, tapi juga sering mengirim pesan macam tadi.

Anton, laki-laki yang tidak halal untukku itu, setiap pagi selalu mengirim pesan dengan emot senyum untuk memberikan semangat. Menyambut pagiku lebih tepatnya.

Sedangkan, Mas Danish justru dengan sengaja memblokir nomerku. Mungkin, dia takut aku mengirim pesan untuknya.

"Sudah siap, May?" tanyaku, saat jam di ponsel menunjukkan pukul 08:15.

"Sudah, Mbak." Maya mengangguk. Dia menenteng tas kecil di pundaknya.

Kami bersiap menuju lantai bawah. Ketika membuka pintu kamar, kudengar Mas Danish berseru.

"Bocah edan. Ngapain ke sini? Aku udah bilang langsung ketemu ajah di rumah sakit."

"Mas Anton kayanya jadi semakin rajin datang ke sini. Kenapa nggak pindah ke sini saja sekalian, Mas?" Itu suara Mbak Rumi.

Sepertinya, di bawah ada Mas Anton. Semalam, aku memang mendengar Mas Danish hendak mengunjungi rumah sakit. Entah apa yang akan dilakukannya. Mungkin berhubungan dengan jurusan yang dia ambil.

Ketika mulai menuruni anak tangga, terdengar Mas Anton terkekeh.

"Maunya sih, begitu. Boleh nggak, Tante Cantik, kalau aku pindah ke sini? Kalau boleh, aku langsung pindah hari ini juga," ucapnya. Kupikir, dia meminta izin pada Ibu.

"Tanya Danish, tuh, mau nggak berbagi kamar sama kamu?" Ibu menanggapi.

"Nggak!" Mas Danish menjawab, tepat ketika aku dan Maya sampai di lantai bawah.

"Jahat banget kamu lhoh, Dan! Kalau aku tinggal di sini kan, kita bisa ngerjain tugas bareng-bareng terus. Jadi, bisa cepet selesai."

Aku dan Maya mendekati mereka. Ibu menoleh, lalu berdiri. Dengan balutan jilbab warna hijau sage serta gamis warna senada, Ibu benar-benar terlihat sangat cantik. Semalam, kami berencana hendak bersama-sama mendatangi kajian.

"Masyaallah, sungguh indah ciptaan Tuhan." Mas Anton berdiri, menatapku lekat. "Dek Atifa, mau nggak nungguin Mas Anton dua tahun lagi? Ah, enggak. Setahun, deh."

"Nungguin buat apa, Mas?" Mbak Rumi menimpali. Dia juga sudah terlihat cantik dengan balutan gamis warna cokelat susu.

"Ke KUA. Tapi, kalau Dek Atifa maunya sekarang, Mas Anton juga siap, kok."

Aku dan Maya seketika terkekeh. Baru beberapa menit lalu, kami membicarakannya. Entah kenapa setiap melihat tingkah Mas Anton, kami selalu merasa lucu.

Ibu Mertuaku CantikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang