Sore itu aku duduk termangu menikmati senja di tepian sungai. Rumpun bambu berderit mainkan simponi alam berpadu dengan germercik air yang mengalir. Seuatu yang indah namun tak memuaskan. Aku merasa ada sesuatu yang kurang.
Dari arah belakang aku mendengar suara langkah kaki yang sedang mendekat. Suara itu membuatku waspada. Secara reflect aku mencari sesuatu untuk perlindungan. Kuraih sebatang kayu yang ada didekatku. Semoga kayu ini cukup kuat untuk membela diri. Suara langkah itu semakin mendekat. Aku menyembunyikan senjataku di balik punggungkudan berusaha tampil serileks mungkin meski hatiku berdebar kencang. Saat dia datang aku ingin membei kesan yang wajar, jika ternyata dia memang bernahaya aku sudah siap memberinya kejutan.
Dari balik rumpun bambu aku mulai bisa melihat bayangan seseorang. Aku mundur beberapa langkah. Orang itu semakin mendekat. Meski berusaha tegar, kakiku tetap saja gemetar.
Aku mengubah posisiku. Kakiku membuat kuda-kuda. Senjataku tak lagi kusembunyikan. Aku mengarakahnya ke bawah dan kungenggam erat. Jika diperlukan aku bisa dengan mudah mengayunkannya ke atas dan memberinya pukulan telak.
Seseorang muncul dari balik bambu. Seorang laki-laki bertubuh tegap dengan rambut cepak. Berkaos putih dipadu dengan chinos warna hitam. Wajahnya tak terlihat begitu jelas. Ketika dia mulai mendekat baru aku bisa mengenalinya. "Harry?" sapaku keheranan. Melihatnya aku langsung merasa lega. Detak jantungku kembali normal. Aku melepaskan kayu yang ku genggam.
Harry tak membalas sapaanku. Dia hanya sedikit tersenyum lalu berlalu meninggalkanku. Saat di bibir sungai ,Harry menceburkan diri lalu berenang melawan arus. Segera aku menyusulnya. Susah payah aku mengikutinya berenang, apalagi harus melawan arus. Sesekali dia berhenti untuk menungguku.
Harry berhenti di depan sebuah terowongan. Terowongan itu cukup panjang dan gelap. Aku pikir dia akan masuk, tapi ternyata tidak. Dia berhenti tepat di depannya. Aku membaringkan diriku agar mengambang dengan gaya punggung. Dengan begitu aku bisa memulihkan tenagaku. Harry mendekatiku dan berdiri menatapku begtu dalam. Lama kami beradu pandang hingga akhirnya dia meraihku. Kami berdiri berhadapan satu sama lain. Arus air sudah tidak begitu deras dan dalam. tingginya hanya seleherku. Perlahan aku mendekatkan bibirku padanya. Harry menyambutnya dengan mesra. Sementara tanganku mulai bergereliya di dalam air.
"REAN!!!" Ibuku berteriak memanggilku. Pekikannya membuyarkan mimpi indahku dan membawaku kembali ke realita. Aku melirik weker kecil yang kuletakkan di atas meja. Belum ada jam 8 sekarang. Hari ini aku libur. Jadi sebenanrnya aku tidak punya alasan untuk bangun pagi. Aku memilih untuk mengabaikan teriakan ibu.
Sudah dua bulan sejak aku memutuskan tidak akan menemui Harry. Tiba-tiba aku memimpikannya. Rasanya begitu menyesal aku buru-buru bangun. Di bagian bawah tubuhku aku merasakan sesuatu yang menegang. Secara reflect, tanganku bergerak ke arahnya. Sesuatu yang tegang butuh sedikit sentuhan agar menjadi relaks. Wajah Harry masih terbayang jelas dalam benakku. Bukan hanya wajahnya tetapi seluruh tubuhnya. Bahkan caranya memandangku, menyentuhku dan tentu saja caranya menciumku. Aah , aku benar-benar merindukannya.
"REAN!!!" Lagi-lagi ibu memanggilku.
"Iya," jawabku sambil melepaskan genggamanku diliputi perasaan keceawa.
"Pliss!!!" kataku pada dedek kecilku yang masih saja nakal. AKu tak mungkin keluar dengan kondisi seperti ini, karena bentuknya terlalu menarik perhatian. Nampaknya si kecil tak mau berkompromi. Mau tak mau aku mengatur ulang posisinya agar tak terlalu menonjol. Resikonya, posisi seperti itu membuatku tak nyaman. Rasanya seperti terjepit sesuatu dan tentu saja sangat menyakitkan.
"Napa?" kataku jengkel.
"Liburkan? Kamu ga pergi-pergi kan hari ini?"
Ibuku tipical orang yang sangat perhatian. Dia bisa sangat hapal jadwal anak-anaknya hingga detail yang terkecil.
"Aku ada janji jam 3;" kataku berbohong. Sebenarnya aku belum membuat rencana apapun hari ini. Namun setelah mimpi tadi, tiba-tiba saja aku ingin menemui seseorang. Aku ragu apa dia masih mau menemuinya, tapi apa salahnya untuk dicoba.
"Anaknya Pak Toro sakit DB sekarang opname. Nanti sore ibu-ibu gereja..."
"Kan sore aku mau pergi!!!" Sebelum ibu menyelesaikan kalimat aku langsung memotongnya untuk melayangkan protes.
"Makanya kita besuk pagi aja, sore terserah mau kemana. Jam besuknya, jam 11, berangkat setengah sepuluh ya biar ga kesiangan," kata ibuku.
"Kalau masih jam 11 kenapa banguninnya sekarang?" kataku jengkel.
"Biar kamu bangun pagi tho," jawabnya begitu enteng.
AKu tak lagi menjawabnya dan segera kembali ke kamar. Tak ada gunanya mendebat ibu. Seberapa keras pun aku berusaha, ibu selalu bisa membantahnya. Bukankah aku sudah bangun pagi jika masuk kerja. Apa salahnya aku bangun siang saaat libur, lagipula semalam aku pulang kerja jam 12, sampai rumah jam 1 karena ada late night sale.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Sunyi Dunia Pelangi
RomanceKisah Sunyi Dunia Pelangi merupakan kumpulan cerita yang author tulis dari perjumpaan teman-teman LGBTQ. Semua cerita disini diadaptasi dari kisah nyata. Hanya saja beberapa hal senganja author ubah demi menjaga privasi teman-teman LGBTQ. Walau beg...