BAB 9

120 5 0
                                    

Yumna mengeratkan jaketnya. Semilir angin masih berembus kencang. Ia memandangi jam tangannya. Ini sudah lewat 15 menit. Sebenarnya di mana kakaknya? Apakah dia tidak tahu kalau ia tengah kedinginan. Bekas hujan-hujanan siang tadi masih menyisakan rasa dingin dalam tubuhnya.

Pluk!

Satu benda mendarat lembut pada bahunya. Ia menoleh. Memandang sebuah jaket berwarna hijau senada Dengan yang ia pakai. Lalu sapuan tangan pada kepalanya terasa. Yumna berganti mendongkak.

Rai .... dia masih sama. Berdiri angkuh di belakang Yumna. Seragamnya sudah tertanggal terganti dengan kaos biru. Terlihat tampan, seperti biasa. Tunggu .... apa yang baru ia pikirkan tadi? Tampan? Tidak ada yang ketampanan sekali dalam wajahnya, kecuali mata hijau itu. Pembangkit kenangannya.

Yumna mendengus. Satu tangannya menarik jaket itu, kemudian membuangnya. Kilat  matanya menajam menatap Rai.

Rai tak merespon apapun. Ia hanya memandang datar pada salah satu pengawal yang mengambil jaketnya. Pandangannya beralih pada gadis di samping bawahnya. Tak berniat sama sekali membalas tatapan itu.

"Mau apa kamu kemari?!" Yumna bertanya rendah.

Rai mengendikkan bahu kemudian duduk di samping Yumna. Gadis itu bersiap berdiri. Menjauhi orang yang bernama Rai Reifansyah. Rai mencekalnya, mengenggam erat jemari Yumna.

"Aku hanya ingin menemani kekasihku."

Yumna mendengus geli. "Kekasih? Aku masih waras untuk berpacaran dengan orang gila sepertimu." Yumna menghempaskan tangan itu. Berhasil.

Rai menyeringai. Lengannya terulur pada bahu Yumna. Mencengkeram, lalu menempelkan bahu mereka. Terlihat intim. Menjadi pusat perhatian siswa siswi. Yumna berusaha mengelak, namun kekuatan Rai jauh lebih besar. Sial! Jelas, Rai bukanlah tandingannya!

"Tapi aku orang gila yang menginginkan orang waras sepertimu. Terus bagaimana?" Bisiknya tepat di telinga Yumna.

"Yumna!" Suara itu teramat ia kenali. Yumna menoleh. Tersenyum bahagia melihat kakaknya yang sudah sampai. Rai melepaskan bahunya. Membiarkan Yumna berdiri menyusul Lisa. Dia ikut berdiri.

"Ayo pulang." Lisa menggamit lengan adiknya. Tatapan tajam dia layangkan pada lelaki itu.

Yumna mengangguk. Ia berbalik. Menjulurkan lidah mengejek.

"Yumna, nanti malam jam delapan aku akan menjemputmu."

Lisa menghentikan langkah. Serempak merema menoleh. Memandang lelaki itu penuh tanya dan intimidasi. "Kalian mau kemana?"

"Pasangan muda biasanya keluar malam minggu, bukan?" Bukan sebuah jawaban yang sempurna. Lisa memandang adiknya. Yumna menggeleng keras. Menyangkal ucapan yang diutarakan Rai barusan.

Lisa mengembalikan atensinya pada cowok seumurannya itu. Satu ide melintas. Ia tersenyum misterius. "Iya. Datanglah. Nanti malam Yumna akan terlihat cantik." Tukasnya sebelum berlalu pergi.

"Tadi apaan sih, Kak?!" Yumna bertanya frustrasi. Ini sudah kesekian kalinya ia merecoki kakaknya dengan pertanyaan yang sama. Namun, kakaknya yang cantik itu sama sekali tak menjawab. Dia hanya memberi tatapan misterius.

"Nggak apa-apa," jawab Lisa tanpa dosa. Yumna benar-benar ingin mencekiknya. Ia sudah hampir kehabisan kesabaran.

"Kak Lisa!" Teriak Yumna.

Lisa menekan pedal rem mendadak. Kaget dengan nada tinggi adiknya. Dia menoleh. "Apaan sih, Yum?!"

"Kakak yang apaan? Kenapa nyuruh playboy kadaluwarsa itu datang ke rumah?! Terlebih ini malam minggu, waktu untuk keluarga kita!" Yumna tak habis pikir. Di mana letak kewarasan Lisa? Berani membawa lelaki ke rumah, sama dengan menyetor nyawa pada malaikat maut.

Yumna's Secret Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang