"Hanif?" Perempuan dengan gamis berwarna cream itu tersenyum kearah seorang pria yang tengah memfokuskan matanya akan seseorang yang memanggil namanya.
Setelah tahu siapa yang memanggil namanya, sebuah helaan napas keluar dari dalam dirinya.
"Maaf tadi aku lupa ngucapin salam, Assalamualaikum."
"Walaikumsalam."
"Emm, Kamu apa kabar?" Wanita itu bertanya, sebuah pertanyaan yang pada akhirnya mengubah semuanya.
***
"Assalamualaikum." Aku memutuskan untuk memejamkan mata ketika mendengar ucapan salam Pak Hanif dan suara pintu kamar yang terbuka.
Jam memang sudah menunjukkan pukul 11 malam, aku berusaha terjaga demi menyambut kehadiran Pak Hanif. Namun, entah mendapatkan dorong di mana sehingga aku memutuskan untuk pura-pura tidur di atas sofa.
"Lain kali tidur yang bener Ra." Gumam Pak Hanif, aku sangat ingin tertawa dengan hal itu, tapi aku berusaha menutupi semuanya agar Pak Hanif tidak mengetahui kebohonganku.
Tiba-tiba tubuhku terasa melayang, yang benar saja. Pak Hanif mengangkat tubuhku, langkahnya masih sama seperti ketika ia melangkah, ia tidak terlihat ke susahan, ia menidurkanku di ranjang, detik berikutnya ia mengecup keningku.
Sebelumnya aku sudah mengatakan jika Pak Hanif, layaknya jungkat jungkit. Hal, yang selalu membuatku bingung, antara bertahan atau pergi.
Jujur, aku memang tidak mau kehilangannya.
Jujur, aku memang egois.
***
"Waktu kecil, waktu Abi ngajak aku jalan-jalan ke pantai, aku selalu nanya Abi dengan pertanyaan yang sama." Aku menjeda ucapanku, menahan lengan Pak Hanif yang hendak terus melangkah, memberikan ia kode untuk duduk di atas pasir, tanpa bicara ia menuruti perintahku.
"Zafira selalu nanya ada apa di bawah sana? Zafira selalu nanya di mana ujung lautan ini?"
"Abi selalu menjawab. Ra, di bawah sana ada ciptaan Allah yang luar biasa hebatnya, ujung dari lautan yang kita lihat ini adalah tempat ini sendiri."
"Abis itu, Abi pasti ngebahas tentang bersyukur dengan semua yang Allah berikan. Mata untuk melihat, mulut untuk bicara, telinga untuk mendengar dan masih banyak hal yang seharusnya kita syukuri, namun kita selalu lalai."
"Pak Hanif kalau Zafira bersyukur karena memiliki Pak Hanif gapapa?"
"Maksud kamu?" Ia mengenyit tidak mengerti.
"Kalau Zafira egois dengan bahagia karena Pak Hanif menjadi suami Zafira nggak salah?"
"Saya nggak ngerti sama apa yang kamu omongin."
"Pak Hanif maaf ya Zafira selalu egois dengan selalu menginginkan Pak Hanif di sisi Zafira, padahal Zafira tahu bahwa Pak Hanif sangat sempurna, ibaratnya terlalu tinggi jika harus aku gapai. Zafira tahu setelah kejadian itu, Zafira harus siap dengan kebencian yang di pancarkan orang lain terhadap Zafira." Aku menyerka kasar air mataku yang jatuh, bagaimanapun juga aku tidak boleh menangis.
"Saya pernah bilang bahwa saya benci sama kamu?" Ia bertanya, aku menjawabnya dengan sebuah gelengan kecil. "Itu artinya saya nggak benci sama kamu."
"Tapi sikap Pak Hanif sama aku itu beda tahu."
"Enggak, itu cuman perasaan kamu aja."
"Pak Hanif nggak bahagia ya nikah sama aku? Kalau nggak bahagia kenapa di pertahanin."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Imamku (IS 1) ✔
SpiritualImam Series 1. Dear Imamku 2. Tentang Pencarian 3. Gagal Pisah Pernikahan dalam kamus hidup Zafira adalah salah satu hal yang menakutkan. Trauma di masa lalu serta merta membuatnya diambang kegelisahan, ketika seorang pria bernama Hanif mengunjungi...