Malam yang begitu dingin, semakin menghujam rindu yang bertubi-tubi. Hujan menyempurnakan kesunyian dalam duka yang terlaksana seakan paripurna menjatuhkan duka sedalam-dalamnya pada Aditia sebagai balasan sikapnya pada Sintia.
Terluka tak tahu harus bagaimana, entah mengapa jiwa lelakinya seperti hilang. Hanya tangis yang Aditia bisa, sambil menyuapkan nasi hangat dan daging rendang pada mulutnya dengan airmata berurai di pipinya.
Entah mengapa sulit mengunyah makanan kesukaannya yang dibuat oleh Sintia yang tersimpan dikulkas.
Andai mampu waktu terulang ingin rasanya Aditia makan malam terakhir dengan Sintia, namun semua hanya angan semu.Usai makam malam penuh airmata Aditia merebahkan diri di kamarnya, bernostalgia pada masa indah bersama Sintia. Dimana dulu mereka selalu berdoa dikarunia putera dan puteri yang soleh dan soleha.
Kesepian yang kian melanda, menciptakan spektrum yang membawa Aditia semakin dalam
menikmati wajah Sintia dalam galeri handphone milik istrinya.Tangis dan hasrat bersatu dalam dirinya menyaksikan kenangan dalam galeri ingatan.
Rasa benci menyeruak dalam dada pada Fika setelah jarinya sampai pada video yang dikirim pada Sintia tentang dirinya yang tengah memadu kasih.
Entah perasaan apa yang tiba- tiba muncul sehingga Aditia menutup galeri di handphonenya. Ada hasrat yang tak mampu ia tahan, seakan ada dendam yang harus dilampiaskan pada Fika. Seakan Fika yang paling bersalah atas kejadian yang menimpanya. Lalu bergegas mengambil kontak mobil dan melaju ke arah rumahnya bersama Fika.
Sampai pintu rumah terlihat wajah Fika yang terkejut dan raut bahagia melihat kedatangan Aditia.
Perasaan ragu untuk melampiaskan amarah namun lebih kuat pada kecewa yang tak mampu untuk Aditia tahan.
Tanpa aba-aba Aditia menyeret Fika menuju kamar, disana dengan penuh emosi aditia melampiaskan hasratnya. Tak peduli dengan Fika yang berurai airmata diperlakukan seperti p*l*c*r.
Malam itu Aditia kembali mampu terlelap seperti sebelum kepergian Sintia, namun disampingnya Fika justru terjaga sepanjang malam dengan isak yang tertahan.
Setelah pagi tiba Aditia kembali keaktivitas biasa untuk bekerja di perusahaan keluarganya. Aditia tidak banyak bicara dan bersikap dingin.
Pulang dari kantor aditia langsung menuju rumahnya dengan Sintia. Disana ia kembali dalam renungannya, apakah benar yang ia lakukan. Apakah benar melampiaskan pada Fika itu obat rasa duka dihatinya, di lain pikiran Aditia juga merasa itu setimpal untuk Fika bukankah itu yang diagungkan Fika. Nafsu untuk memiliki Aditia seutuhnya, memiliki raganya entah dengan hatinya.
***
Hari berganti hari lalu minggu berganti minggu hingga berbulan- bulan Aditia masih sama menempati rumahnya bersama Sintia namun pulang kadang hanya untuk makan dan sekedar hasratnya pada Fika. Tak ada lagi kemesraan tak ada lagi keromantisan semuanya menjadi kaku. Aditia semakin tersesat dalam pikirannya sendiri. Namun satu hal yang Aditia bimbangkan dia kembali terlelap dengan tenang apabila melampiaskan emosinya pada Fika sungguhkan ini menjadi candu, seakan puas menyakiti. Apakah Aditia masih dalam kewajaran atau sudah menyimpang terlalu jauh.
Takdir seakan mentertawakan hidup Aditia, dalam sikap yang menyakiti yang ia lakukan pada Fika justru tambah menyakiti dirinya.
Entah sudah berapa lama, Aditia kembali pada makam Sintia sambil terisak. Seakan tak habisnya duka yang dirasa.
Maaf selalu terucap, keluh kesah selalu tercurah serta doa yang dirafalkan.
Sesungguhnya Aditia berada pada masa fase terburuknya, merasa kehilangan harapan karena anak yang diimpikan justru ikut berpulang bersama sang istri tercinta. Sementara Fika, mengidap penyakit monopouse dini yang otomatis tidak subur untuk proses reprduksi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta,Wanita Tak Sempurna
Roman d'amourKeinginan Aditia Lubis untuk memiliki generasi penerus melibatkan dia pada pernikahan poligami. Meski dia sudah yakin dari awal tak akan mampu bersifat adil. Namun, Sintia istri pertamanya menolak untuk diceraikan dan memilih poligami dengan alasan...