PLTU

14 1 0
                                    

Prabu, panggil saja begitu, aku sudah beberapa tahun hidup sebagai buruh tidak tetap sebuah industri batu bara, ya batu bara yang akan digunakan sebagai bahan bakar listrik seluruh negeri, kalian sering melihat orang yang kulitnya gelap dan dekil karena bergelut dengan batu bara?, mungkin kalian melihatku disana. Aku   memiliki seorang anak dan istri, dan dari pekerjaan itulah aku membiayai hidup mereka berdua. Ya, walau pendapatan kerja jadi buruh tidak seberapa, setidaknya mereka berdua berkecukupan.

Tapi Kehidupan tidak akan semudah itu kan teman, pabrik pembangkit tersebut merencanakan sebuah phk massal, yang akan mengganti pekerja dengan artificial intelegence supaya input batu bara ke tungku pembakar yang membuat air mendidih dan memutar generator teratur dan tidak terlambat. kemungkinan terburuk, ketika input terlambat maka turbin akan berputar lebih lambat, dari putaran awal.

sebelum berangkat seperti biasa, aku sarapan bersama  di rumah, kemudian pamit sekaligus mengantarkan sancaka untuk berangkat sekolah, Di perjalanan sancaka bertanya padaku.

“Pak nanti pulang sore lagi?” tanya sancaka padaku

“Sepertinya nggak San, Siang paling bapak dah pulang.” kataku sambil melihatnya

“Yaudah, nanti sore kita ke lapangan, mau main layangan sama bapak.” katanya sambil lari menuju ke gerbang sekolah.

“Ya, tunggu aja nanti sore San.”

Kemudian Aku melanjutkan perjalanan ku ke kantor yang kurang lebih satu kilo dari sekolah Sancaka. Truk berlalu lalang dan menghembuskan asap hitam, dan dilanjutkan dengan debu yang berasal dari tanah berpasir.

“UHUK UHUK UHUK…” suara seseorang terbatuk di belakangku

“lho Djo, kok nggak pake masker?”, tanyaku kepada orang yang berada di belakangku yang ternyata Paidjo, kolegaku di kantor.

“Rumangsamu koyo koe sing anak siji, isih kober tuku masker sak set, hahahaha…” labrak paidi yang kemudian di sambung dengan tawanya yang khas.

“Ya, ora ngono juga di, kan iki termasuk Kesehatan dan keselamatan kerja.” imbuhku.

Kemudian aku melanjutkan perjalananku bersama Paidi ke kantor.

Sesampainya di kantor, aku kaget karena ada keramaian di depan meja ku untuk beristirahat, mereka kemudian menghampiri dan memberitahuku tentang informasi PHK massal. Nggak ada hujan nggak ada petir tiba tiba ada informasi seperti ini, aku menuju ke mejaku dengan malas dan menaruh tas yang ku bawa dengan lunglai.

Kemudian tiga orang masuk ke ruangan,satu orang pendek yang diikuti dengan dua orang gagah, seperti bodyguard yang melindungi atasannya. 

“Prab, nanti sore kamu pimpin teman temanmu di ruangan ini ke pintu utara, kantor pusat untuk demo , dan memberikan orasi.” kata orang tersebut sambil mengeluarkan asap rokoknya yang disimpannya dari tadi ke sebelah muka ku.

“jadi nanti setelah kalian berkumpul, tinggal nunggu gw dateng dari belakang kalian, oh iya jangan lupa bawa kayu atau apapun untuk senjata pertahanan.” imbuhnya

Dengan pikiran masih kalut, karena informasi PHK massal aku mengiyakan ajakan, dan persyaratan tersebut.

Ternyata pilihanku tersebut membawaku ke jalan yang tidak pernah terpikirkan olehku. 

“yaudah, gw balik dulu ke tempat gw Prab, oh iya ngomong ngomong tadi belum kenalan, perkenalkan Murtadi.” kata orang tersebut sambil menyodorkan tangannya padaku.

Murtadi akhirnya meninggalkan ruanganku, Paidjo mendekatiku.

“udah gausa di gubris ajakan si Murtadi, daripada tambah sengsoro.” kata Paidjo sembari menaruh tasnya di meja.

“ Ya…., nggak ngono Djo!, ini ada kesempatan buat kita biar bisa menyampaikan aspirasi kepada atasan!” , karena emosiku kurang terkontrol, secara tidak sadar aku menggebrak meja.

“Ya wis Prab, nanti tak temenin, tapi aku nggak mau bawa kayu buat pertahanan.” Paidjo berkata sambil pergi keluar dari ruangan.


Sore harinya aku pun menuju ke tempat yang telah disepakati namun aku merasakan suatu yang janggal, orang orang yang tadi datang ke mejaku tidak terlihat batang hidungnya, hanya aku dan teman kolegaku yang berada disana, sekelompok orang yang tadi pagi menemuiku tidak terlihat batang hidungnya, perasaanku semakin tidak enak, ketika direktur perusahaan memaksa  membubarkan kumpulan kami, dan kulihat sekelompok orang yang menghampiriku tadi pagi berada di belakang pak direktur, aku mencoba berlari ke arah kumpulan orang tadi, namun dihentikan oleh petugas keamanan di tempat itu.

“BANGSAT KALIAN!” ku teriakkan kata kata tersebut kepada para sekumpulan orang orang yang berada di belakang direktur perusahaan.

kulihat sekilas mereka terlihat sangat puas dengan tingkahku yang sesuai dengan skenario mereka.

“DORRR!!”

“Bapak, Awas!!” suara sancaka, yang berlari ke arahku, dan diikuti oleh istriku dari belakang.

“JRASS” timah panas bersarang di dada sancaka, karena dia melindungiku. 

Aku pun terpikir janjiku dengan sancaka tadi pagi.

Kemudian langit menjadi semakin gelap, segelap setelah maghrib, padahal ini baru jam empat sore. kilat mulai muncul di dalam awan, seolah mereka sedang menyimpan kekuatan besar yang siap untuk di tembakkan ke bumi.

“AAAAAARRRGGGHHHHHHHHH” 

“GLEGARRRRR”

“GAAARRRR”

“BAZZZTZTZTZTTZ”

suara teriakanku di imbangi dengan berbagai petir yang mulai menyerng sekelilingku tanpa ampun, mereka ada yang terpental, ada yang tersetrum, ata juga yang lari sebelum terkena petir yang mengamuk. 

Kulihat orang berjas yang berada di dalam gedung berlalu saja hanya melihat ini seperti kejadian biasa, tak berapa lama sambaran petir mereda, aku bergerak ke arah sancaka, dan ku ambil jasadnya, kubawa menuju rumah. istriku mengikutiku dari belakang sambil menunduk, kami berjalan beriringan. Sesampai di rumah kutidurkan jasad sancaka di kamar, dan pecahlah tangis kami berdua malam itu.

“Maas, kenapa ini bisa terjadi…kenapa kamu nggak ngelindungin sancaka?” tanya Mira padaku sambil sesenggukan.

“aaa...aku. aku gak tau aku harus ngomong apa dik…” jawabku seadanya..

“mungkin ini terjadi karena tadi pagi aku melakoni sebuah saran dari seseorang yang nggak ku kenal…” lanjutku.

“terus mas langsung ngikutin saran orang tersebut?” tanya istriku dengan nada mulai meninggi dan dengan muka sembab.

“ii..iya, karena aku dapat info dari mereka bahwa bakal ada phk massal oleh pabrik.” akhirnya kau buka cerita tentang ini.

Mira berdiri, kemudian keluar dari kamar sancaka, di ikuti sebuh suara

“BRRAAAKKK” pintu kamar utama ditutup dengan keras, 

Aku masih berdua dengan sancaka, ku peluk jasadnya tak terduga menetes airmata di kedua pipiku. aku menyesal mengikuti perkataan orang yang tak dikenal, dan aku berharap ini adalah penyesalan  terbesar pertama dan terakhir bagiku.

kau memutuskan untuk mengebumikannya besok, kututup jasad sancaka dengan selimut, dan aku menuju ke ruang tamu untuk tidur.

Keesokan harinya, aku masuk ke kamar Sancaka, namun tidak ada jasadnya di sana, tergeletak sepucuk surat yang bertuliskan 

‘’maaf mas, jasad sancaka ku sembunyikan, dan aku pamit untuk kembali ke desa, untuk mempelajari ilmu yang dapat membangkitkan manusia yang sudah mati dari leluhurku, tertanda -Tami’’ aku membacanya dengan cepat, setelah membaca surat tersebut, aku menutup mukaku , dan mengambil nafas panjang aku memutuskan untuk ke metropolis. Aku mulai bersiap, memasukkan beberapa barang penting ke ranselku.

“ternyata kamu punya keinginan seperti itu.” sambil melihat sebuah bingkai foto yang ada di ruang tamu, dan rumah pun ku tinggalkan. 

semakin jauh ku meninggalkan rumah, semakin berat rasanya aku untuk meneremi kenyataan bahwa aku ditinggal kedua orang yang ku sayangi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 26, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

GundalartenateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang