004 : Malam Temaram

57 7 2
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Malam tak pernah jadi satu bagian waktu yang Hoseok sukai. Gelap dan sunyi selalu berhasil membawa ingatan buruk yang selama ini ia coba lupakan kembali datang. Setidaknya dalam kondisi memejam. Musim-musim yang terlewati tak pernah mampu menghapus luka dan rasa bersalah pergi.

Keringat dingin dan tarikan napas yang semakin cepat, gerakan kepala tak tentu. Gelisah. Bahkan tak jarang netranya mengeluarkan air mata.

Ada Ibu di sana.

Berdiri di hadapan Hoseok dengan wajah kacau. Kedua pipi wanita itu sudah basah. Tak ada lagi polesan bedak dan blush on. Ibu yang selalu cantik tak lagi terlihat sama. Ia berteriak memanggil Hyun berkali-kali. Berjalan tergesa; sesekali berlari, tidak peduli dengan orang-orang yang ditabrak bahunya. Yang Ibu pedulikan saat ini hanya si bungsu. Sedangkan Hoseok ikut berlari mengejar Ibu.

Ada banyak ketakutan yang menggelayuti dada anak itu. Sampai terasa sesak. Oksigen saja sungkan masuk saat ia menghirup napas dengan mulut. Sudah seperti ikan yang kekurangan air. Namun, wanita yang ia kejar terus bergerak cepat. Tanpa menoleh ke arahnya sama sekali.

"Kak!"

Deru napas yang bergemuruh memenuhi udara di kamar Hoseok. Beberapa kali ia coba kendalikan tarikan napasnya yang tak beraturan. Mimpi itu selalu saja menghantuinya. Entah kapan akan segera berakhir. Seharusnya Ibu menghukum Hoseok sejak dulu. Ketika wanita itu masih hidup dan sanggup melukai fisiknya. Hoseok lebih rela, dibandingkan ditinggal pergi dengan segunung rasa bersalah. Bahkan ia merasa ingin mengakhiri hidup saja tiap saat.

Apakah ibunya tidak paham akan hal itu?

Shizu terus mengusap bahu Hoseok. Ia sudah duduk di samping tempat tidur. Gadis itu lega karena akhirnya sang Kakak bisa membuka mata. Kali ini lelaki itu bangun dengan cepat. Hanya butuh beberapa kali tepukan di lengan dan tiga kali panggilan. Biasanya bisa lebih dari ini. Jika hal itu terjadi, yang bisa Shizu lakukan hanya meninggikan volume suara sambil menangis. Melihat kakaknya gelisah dan meneteskan air mata dalam tidurnya, merupakan hal paling menyakitkan dalam hidup Shizu.

Sejak kejadian buruk yang menimpa Hyun beberapa tahun yang lalu, Hoseok memang seringkali mimpi buruk. Semakin bertambah parah ketika Ibu dipanggil ke surga. Entah apa yang ada dalam mimpi sulung keluarga Jung tersebut, karena lelaki itu tidak pernah mengatakan apa pun. Bahkan ketika didesak sekalipun. Hoseok hanya melempar senyum dan mengusak puncak kepala Shizu. Sambil mengucapkan kalimat jika ia baik-baik saja.

Hoseok masih memejam sembari bersandar pada punggung ranjang. Ketika segalanya dirasa membaik ia beranikan diri untuk membuka mata. Seperti biasa, Shizu akan selalu jadi orang pertama yang ia tangkap kehadirannya. Raut khawatir gadis itu merupakan satu hal yang paling ia benci, hingga berakhir menyalahkan diri sendiri. Rasa-rasanya Hoseok sudah gagal menjadi kakak. Ia tidak berhasil memberi rasa aman pada kedua adiknya.

"Ini, diminum dulu airnya."

Hoseok menerima gelas pemberian Shizu, ia meneguk dengan rakus isi di dalamnya. Setelah tandas ia serahkan kembali gelas tersebut. "Terima kasih, dan maaf."

"Maaf?" Ada kernyitan yang cukup dalam pada dahi Shizu. Ia tidak mengerti kenapa kakaknya ini gemar sekali meminta maaf.

Bibir pemuda itu mengulas senyum, ia membasahi bibirnya yang kering. Namun, sorot kedua matanya tidak bisa menyembunyikan pancaran sendu. Bahkan Shizu dapat menangkap dinding tipis air mata di kedua netra kakaknya.

Jung Hoseok terkekeh, yang demi apa pun terdengar begitu mengiris hati. Kekehan putus asa, juga ada sedikit nada mengejek di sana. Lelaki itu sedang menghina dirinya sendiri, menurutnya ia memang pantas ditertawakan.

"Maaf karena tidak bisa jadi kakak yang diandalkan."

"Siapa bilang? Kakak tidak boleh bicara seenaknya begitu." Shizu berucap penuh kesungguhan, meski hanya dianggap angin lalu.

"Maaf karena selalu mengganggu tidurmu. Maaf karena selalu membuatmu khawatir. Maaf, maafkan aku."

Perempuan satu-satunya dalam keluarga Jung tersebut dapat menangkap getaran di bahu si Sulung. Bahkan ia bisa mendengar beberapa kali isakan yang keluar. Kendati telah mati-matian Hoseok tahan. Shizu menggapai telapak tangan kakaknya, ia genggam erat. Gadis itu ingin memberi isyarat jika Hoseok tidak pernah sendiri. Kakaknya tidak boleh terpuruk, ia akan pincang jika harus menjaga Hyun seorang diri.

"Kenapa kakak selalu meminta maaf?" tanya Shizu dengan getar pada suara yang begitu kentara. "Selama ini apa kakak tahu karena siapa aku bisa bertahan? Karena kakak, Kak Hoseoklah yang membuatku bertahan sejauh ini. Jadi kumohon jangan begini."

Hoseok semakin tidak bisa menahan laju air matanya. Shizu menarik Hoseok dalam pelukan, keduanya terisak bersama. Hening malam itu dipecahkan oleh tangisan mereka berdua. Tangisan penuh luka, juga rasa kecewa, ada rasa takut di sana. Hidup tanpa kedua orang tua benar-benar membuat segala sesuatunya semakin sulit. Pegangan pun tempat bersandar keluarga itu telah pergi cukup lama. Kini pondasi keluarga ada di tangan mereka berdua. Guna lindungi Hyun dari segala bahaya yang ada.

Tanpa mereka sadari, ada sosok si bungsu yang melihat semuanya di luar. Lewat celah pintu yang sedikit terbuka. Ia melihat kedua kakaknya menangis. Dia remat kaos di dadanya, sempat menutup mata beberapa saat. Kadang ia juga memukul dadanya dengan brutal.

Hyun mencari rasa sakit.

Seharusnya ia merasakan hal yang sama dengan kedua kakaknya. Tapi hingga ia kembali membuka mata, rasa itu tidak pernah ada. Hyun tidak tahu lagi seperti apa rasa sedih. Semuanya terasa hampa. Pemuda itu membawa langkah menjauh dari kamar sang kakak.

Langkah yang ia bawa dengan pelan. Seakan tak ada lagi tenaga. Pekerjaan di luar telah menguras habis seluruh daya yang ia punya. Sesuatu yang membuatnya semakin haus. Hyun tidak pernah mengerti kenapa ia bisa melakukan hal seperti ini. Yang ia tahu, dahaganya tak pernah teratasi.

Kamar yang ia huni dibiarkan segelap langit malam. Namun, tidak ada niatan sedikit pun untuk beri cahaya meski sebentar. Lebih baik begini. Pelan-pelan ia kembali menutup pintu, bersandar di baliknya. Kemudian membiarkan tubuhnya merosot begitu saja.

Kenapa ia harus tetap hidup?

Pertanyaan itu selalu berputar dalam benak. Jika saja ia langsung mati. Seandainya ia tidak pernah sembuh dari depresi. Kalau saja ia tidak pernah membuka mata lagi, mungkin semuanya tidak akan sekacau ini. Bisa jadi ia tetap menjadi anak manis bagi kedua kakaknya.

Sekelabat ingatan di masa lalu membuat anak itu menarik lutut. Membenamkan wajah di sana. Tidak, ia harus tetap hidup. Biar saja ia jadi begini. Ini semua ulah kakaknya, dia akan baik-baik saja jika Hoseok dan Shizu bisa menjaganya dengan benar. Pelan-pelan ia menarik kesimpulan. Mulai paham kenapa hatinya tidak merasakan apapun ketika melihat kakaknya terluka.

Karena bagi Hyun, mereka berdua adalah lukanya.[]


















a/n:

Aku kembali dan berusaha menyelesaikan cerita ini huhuhu 😭😭😭

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 10, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

CRESTFALLENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang