JEJAK RINDU

548 78 13
                                    


Setelah kami lulus SMA aku tak mampu mengendus jejaknya. Sama sekali. Pintar nian dia melipat bayangan. Bahkan hingga 17 tahun kemudian dimana smartphone bak raja diraja yang bisa memata-matai tiap orang. Sosok semampai dengan rambut ekor kuda dan jepitan kiri kanan itu pergi begitu saja hanya berjarak 1 x 24 jam pasca malam perpisahan.
Sialnya malam itu aku gagal menyampaikan misi hati.

Penyesalan itu ternyata menyedihkan karena membuat hidupku kaku dan mati rasa hingga lima tahun lamanya sampai Mama mengeluarkan ultimatum.

"Nikahi Ayudia atau kamu tega membuat arwah Mama penasaran di alam baka," katanya setengah mengancam.

Ia tahu anaknya ini tak bakalan berkutik jika "diteror" oleh nya. Sosok yang bagiku segalanya setelah semuanya terjadi.

Sebagai anak yang dikenal berbakti oleh adik-adiku, aku akhirnya memilih menerima tawaran Mama. Paling tidak meski di awal tidak menyenangkan bagiku tapi aku sudah mampu menyenangkannya. That's point. Aku memang seperti tak memiliki diriku sendiri sejak semua terjadi dan sejak Rindang pergi.

Kunikahi Ayudia, gadis cekatan dengan tutur lembut, seorang terapis syaraf yang setia merawatnya seminggu tiga kali hingga ajal terpaksa menjemput justru saat Mama nampak gembira melihatku duduk di pelaminan bak seorang pangeran.

***

Seharusnya gadis itu peka. Tiga tahun selalu sekelas dengan aktivitas yang nyaris senantiasa bareng dia hapal gelagatku. Seharusnya. Apalagi setengah tahun terakhir itu aku kerap menjadikannya "penampungan". Tentang cerita keluargaku yang kelam dan tengah dirundung masalah.
Mama shocked karena memergoki Papa bersama perempuan lain berkali-kali. Buntutnya beliau sakit-sakitan apalagi setelah mereka berpisah. Papa lebih memilih perempuan itu.

Aku sangat murka, hingga tak sudi menatap wajah yang teramat dekat denganku di masa kecil itu. Sosok yang menyemangati ku selalu untuk berprestasi dan menjadi juara seketika menjadi yang paling kubenci. Sampai kabar kematian itu datang setelah anak keduaku lahir.

Kalau saja adik-adikku tak membujuk dengan segala jampi-jampi rayuan aku akan membiarkan berita itu seperti angin lalu. Seakan rasa sakit Mama masih tertampung utuh di tubuhku.

Hanya dia, gadis bernama Rindang itu satu-satunya orang yang tahu masalahku saat itu, kala masih berseragam abu-abu.

Aku bukan laki-laki comel yang gampang membuka buku. Buku catatan hidupku amat rapat kusimpan. Dia beruntung kuperbolehkan mengintip isinya.

Beruntung? Seharusnya. Sebab sosoknya berhasil menerobos begitu saja antrean gadis penyuka Adam Mahendra di sana di ruang-ruang kelas sekolah.

Rindang sosok biasa saja namun bagiku, tingkah cerdiknya lebih menarik dari rangkaian bilangan fibonacci penyusun piramida yang sering menjadi inspirasiku dalam permainan matematik.

Aku pernah sebenarnya memberikan sinyal-sinyal rasa tapi dia malah mentertawakanku. Kelebihannya yang tak sanggup kusentuh.

"Kamu tahu Dam, kita itu ditakdirkan bagai dua garis dengan gradien sama dari sebuah persamaan linier," ujarnya suatu siang.

Aku berpapasan saat dia di ruang tata usaha. Aku ingin mengajaknya bicara serius gegara kabar kalau Rindang mau kuliah di luar negeri. Tak pernah sebelumnya aku merasa ditelikung sekejam itu. Bagaimana mungkin dia tak melibatkanku. Aku sudah mulai mencuri start duluan akan datangnya rasa cemburu karena merasa disisihkan padahal di antara kami tak ada kesepakatan apa-apa.

Seantero sekolah tahu siapa kami karena nama kami terpampang di spanduk-spanduk sebagai dua jawara matematika. Kami berdua kerap dikirim dalam Olimpiade Sains  dari tingkat kecamatan sampai Asia Tenggara.

AWARD (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang