Bab 22: Soup A L'oignon

3.7K 434 13
                                    

Cinta boleh, tapi harus tetap logis dan realistis.

(Niken - The Last Recipe)

Brahma terkesiap. Dia tersadar dari ramuan cinta yang disuguhkan Niken oleh suara benda jatuh dari depan pintu apartemennya. Disusul sayup-sayup langkah-langkah kecil yang terdengar menjauh, cowok itu segera bangkit. Setengah terhuyung, dia keluar dari apartemen dan terhenyak saat mendapati bingkisan cake tergeletak di depan pintu. Brahma memungut bingkisan itu. Bisa dia lihat Coco Lova di dalamnya sudah remuk tak berbentuk.

"Siapa, Brahma?" Niken muncul di belakangnya dengan wajah kesal. Momen romantis yang susah payah dibangunnya hancur begitu saja. Oh, gara-gara cake sialan ini!

Tanpa mempedulikan pertanyaan Niken, Brahma segera berlari ke lift dan tergesa menekan tombol menuju lantai dasar. Pintu lift terbuka beberapa saat setelahnya, membawa chef bintang dua itu ke lantai satu seperti yang diinginkan. Dia tersaruk-saruk lagi, berlari di sepanjang lobi sampai ke tempat parkir. Baru saat kakinya menjejak pelataran apartemen, dia melihat Honda Jazz kuning dengan nomor pelat yang sudah dihapalnya, keluar gerbang dan berbelok menjauh. Brahma tertegun. Shalu. Dia ke sini?

"Den kasep, kok tamunya cepat pisan pulangnya?" Pak Satpam bertanya sembari menyejajari Brahma.

"Ta-tamu ... cewek, Pak? Rambutnya sebahu lebih dikit? Naik Honda Jazz kuning? Tingginya kira-kira segini?" Brahma menyentuh pundaknya, Shalu yang mungil memang hanya setinggi pundak cowok jangkung itu.

Pak Satpam mengernyit sambil mengangguk-angguk bingung. "Lha, memangnya Den kasep ini nggak ketemu sama si Neng tadi?"

Brahma menggeleng. Tenggorokannya serasa tercekat. Itu benar-benar Shalu.

"Kunaon, Den? Padahal si Neng tadi manis pisan. Hampura ya, Den, saya cuma mau pesan sesuatu. Den kasep ini memang kasep, pintar, chef hebat, tapi jangan suka main-main sama perempuan atuh, Den. Pamali." Nada Pak Satpam terdengar takut-takut, tapi dia juga sudah mengenal Brahma dengan baik sehingga berani memberi nasihat sebagai orang yang lebih tua dan berpengalaman.

"Maksudnya, Pak? Aku nggak pernah main-main sama cewek, Pak." Brahma mengelak.

Pak Satpam dengan perut buncit itu mengusap-usap tengkuk, dahinya semakin berlipat seperti orang sedang berpikir keras. "Kalau begitu kenapa si Neng geulis tadi keluar sambil nangis, Den?"

Pertanyaan Pak Satpam bagai sembilu yang mengiris hati Brahma. Ya Tuhan, Shalu pasti melihat semuanya! Dia kembali ke atas dengan perasaan bingung dan sesal yang bertumpuk-tumpuk. Kenapa Shalu nangis? Karena ngelihat gue sama Niken ... tapi kenapa harus nangis? Brahma tak henti menjambak rambutnya, frustasi. Dia benar-benar tidak mengerti atas reaksi Shalu yang membingungkan ini.

"Sorry, Ken. Gue nggak bisa. Gue nggak bisa nerusin ini sama lo. Gu-gue cuma nggak bisa Ken, lo ngerti nggak, sih? Gue nggak pernah cinta sama lo!" Suara Brahma terdengar parau.

Dia dan Niken sudah duduk di balkon dengan panorama kerlip lampu kota. Niken duduk memeluk lututnya, seperti menahan agar hatinya tak lagi luluh berserakan.

"Jadi gara-gara Shalu dan Choco Lova sialannya ini yang bikin lo berubah pikiran, Brahma?" Tatapan Niken tajam, nadanya sengit. "Otak lo di mana, sih? Lo pikir hanya karena Shalu ke sini bawa cake, terus pergi sambil nangis gara-gara lihat gue sama lo ciuman, itu artinya dia cinta sama lo? Kalau iya pun, lantas lo mau apa? Minta dia ke Bu Mira buat nyerahin Shalu ke lo dan ngorbanin anaknya, atau lo mau ngajak Shalu kawin lari?

Lo pikir hanya dengan Shalu cinta sama lo, hubungan kalian bakal bisa jalan mulus kaya kisah Cinderella dan Pangeran, gitu? Nggak, Brahma! Ada banyak hati yang bakal lebih terluka kalau lo nekat jalan sama dia. Pernikahan Shalu sama Evans udah di depan mata, lo sadar nggak sih? Lo boleh cinta, tapi lo juga harus logis dan realistis. Shalu bukan buat lo, lo harus ngerti itu! Semakin lama lo nurutin perasaan lo, lo bakal makin sakit! Lo harus lepasin!" Niken mencecar Brahma panjang lebar. Sepasang matanya yang cantik mulai memanas, sehingga dia mengerjap-ngerjap agar buliran air tidak tumpah. Berbanding dengan Shalu, Niken adalah cewek yang pantang menangis.

"Gue di sini buat bantu lo, Brahma! Apa lo nggak bisa ngelihat gue sekaliii aja? Lo pikir cewek mana yang mau dijadiin pelarian? Cuma gue, Brahma ... cuma gue! Itu karena gue, dengan gobloknya, terlalu cinta sama lo!"

Niken berdiri dari duduknya dengan air mata yang mulai merembes. Sekuat apa pun menahan, dia tetaplah seorang cewek. "Oke. Gue pergi," ujar asisten chef blasteran itu sembari melangkah keluar dari apartemen Brahma.

*

Brahma is typing ...

[Shal]

Shalu. Online.

[Choco Lova lo enak bgt. Yg terenak yg pernah gw makan. Makasih, ya. Gw lgsung sembuh setelah makan Choco Lova lo]

[Sabtu ini siap ketemu di dapur? Kita bkal bikin soup a l'oignon. Lo psti bakal suka]

[Gw janji bakal nemenin lo blajar smp akhir. Sorry buat minggu kmarin, gw beneran gak enak badan ]

[See yaa ☺]

Shalu. Last seen at 01.33.

Dia baru ciuman sama Niken dan sekarang baik-baikin gue? Dasar buaya!

Shalu membanting ponselnya sampai mengenai perut gembul Luna. Kucing itu menggeliat sebentar, menguap, lalu kembali melingkarkan tubuhnya dan tertidur.

===&===

HAPPY 4K READERS!!!
❤❤❤

Makin lieur dakuuuh nulisnya, kasihan sama Niken 😢 Mana masih di daerah susah sinyal pula 😧

Makasih buat yang masih stay tune dan setia ninggalin voment-nya sampai sekarang, ya! 😍

Kalau berkenan boleh direkomendasikan kisah Shalu sama Brahma ini ke teman-teman, tetangga, pacar, selingkuhan, haters, istri, suami, orang lewat, atau siapa aja daah! 😂

Salam Spatula,

Ayu 😘

The Last Recipe (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang