Salah seorang di antara yang tak senang ini, terdapat seorang panglima muda bernama Mohinta, yaitu putera dari panglima pertama Kerajaan Bhutan, panglima tua Sangita. Panglima muda Mohinta ini sudah lama menaruh harapan akan dapat diambil mantu oleh raja. Dia adalah teman bermain Syanti Dewi di waktu kecil dan diam-diam dia jatuh cinta kepada puteri itu, apa lagi ketika puteri itu kembali ke Bhutan dan dia melihat betapa puteri itu kini demikian cantik jelitanya. Diam-diam dia merasa cemburu dan iri hati, akan tetapi tentu saja dia tidak dapat berbuat apa-apa, hanya menanti saat-saat yang baik untuk mempertahankan dan memperjuangkan kepentingan dirinya, menanti kesempatan untuk 'menjatuhkan' saingannya yang dia tahu amat sakti itu.
Dan pada hari itu, datanglah kesempatan yang dinanti-nantinya itu, yang dianggapnya sebagai anugerah dewata. Pada saat mata-matanya memberi tahu tentang kemunculan seorang wanita kasar yang mengaku 'ibunda' dari Panglima Ang Tek Hoat, Panglima Mohinta segera mendengar tentang perselisihan antara Tek Hoat dan ibunya, dan dia segera mencegat ketika mendengar bahwa ibu Tek Hoat pergi dengan marah.
Ang Siok Bi masih marah-marah saat dia dihadang oleh seorang Panglima Bhutan yang muda dan tampan, yang memberi hormat dengan sikap amat menghormat kepadanya. Panglima muda itu kemudian berkata, "Harap Toanio suka bersabar dulu. Saya adalah Mohinta, sahabat baik dari putera Toanio dan saya selalu siap sedia untuk menolong, terutama kepada Toanio sebagai Ibu sahabat saya."
"Huh, aku tidak mempunyai urusan dengan sahabat-sahabat anakku yang durhaka itu!" Ang Siok Bi hendak melangkah terus, akan tetapi Mohinta kembali menjura dan berkata dalam bahasa Han yang fasih.
"Toanio, bukankah Toanio menghendaki agar putera Toanio itu dapat kembali ke timur bersama Toanio? Kalau hanya hal begitu, mengapa repot-repot? Saya dapat menolong Toanio."
Ang Siok Bi yang sudah hampir putus asa itu memandang tajam penuh selidik, lalu bertanya ragu, "Benarkah? Aku sebagai Ibunya sudah tidak dapat membujuknya, apa lagi engkau yang hanya sahabatnya."
"Toanio, ada peribahasa di negeri kami yang menyatakan bahwa apa bila kekuatan tak berhasil menolong kita, kita harus menggunakan akal, dan bahwa kita dapat mengatasi kekerasan dengan kelunakan. Saya tahu sekali mengapa Saudara Tek Hoat tidak dapat meninggalkan Bhutan, tidak lain dikarenakan adanya Puteri Syanti Dewi. Dan ketahuilah bahwa sebenarnya, Sri Baginda tidak begitu berkenan hatinya mengambil mantu putera Toanio. Maka, apa bila Sri Baginda mendengar sesuatu tentang diri Saudara Tek Hoat yang tidak berkenan di hatinya, besar harapannya pertunangan itu akan dibatalkan dan tentu Saudara Tek Hoat akan suka pergi bersama Toanio kalau sudah tidak ada lagi pengikatannya dengan puteri raja."
"Hemmm, kalau memang Raja Bhutan tidak suka kepada anakku, kenapa akan diambil mantu?" Ang Siok Bi bertanya marah.
"Sri Baginda hanya memandang pada keluarga Suma, Majikan Pulau Es yang kabarnya masih keluarga Kaisar. Karena putera Toanio kabarnya masih keluarga Majikan Pulau Es, dengan sendirinya putera Toanio masih berdarah keluarga Kaisar, maka dari itu Sri Baginda mau menerimanya. Kalau halnya tidak demikian, tentu pertunangan itu akan dibatalkan."
Wajah wanita itu berseri dan dia cepat berkata, "Kalau begitu, biar aku bertemu dengan raja!"
Memang cerdik sekali Panglima Mohinta. Tadi ia mendengar dari mata-matanya tentang perselisihan Tek Hoat dengan ibunya, melalui pelayan dalam istana Tek Hoat, dan dia tahu pula tentang percakapan antara ibu dan anak mengenai keluarga Pulau Es. Oleh karena itu, dia sengaja mengemukakan hal keluarga itu kepada Ang Siok Bi. Dan wanita ini memang sama sekali tidak peduli tentang kedudukan puteranya, atau tentang raja dan puterinya. Yang penting baginya adalah dapat mengajak puteranya untuk kembali ke timur dan membantunya membalas dendam kepada Wan Keng In, atau lebih tepat, kepada ibu Wan Keng In, yaitu Nyonya Suma di Pulau Es!
Berkat bantuan dan usaha Mohinta, akhirnya Ang Siok Bi berhasil pula dihadapkan kepada Raja Bhutan. Raja ini sudah mengerutkan alisnya dan hatinya merasa tidak senang ketika melihat wanita setengah tua yang biar pun cantik dan gagah, akan tetapi kasar dan tidak menghormat itu, yang gerak-geriknya jelas membayangkan kekerasan dan kekasaran, sama sekali tidak patut menjadi besannya! Wanita dusun ini adalah ibu calon mantunya!
Akan tetapai sebagai basa-basi, dia mempersilakan nyonya itu untuk duduk, kemudian berkata, "Kami mendengar bahwa Nyonya adalah Ibu kandung dari Panglima Ang Tek Hoat, dan mohon menghadap kami. Benarkah itu dan siapakah nama Nyonya?"
"Nama saya Ang Siok Bi, tinggal di Bukit Angsa, di lembah Sungai Huangho," jawab Ang Siok Bi.
"Hemmm, kalau Nyonya she Ang, kenapa putera Nyonya she Ang juga. Siapakah Ayah Panglima Ang Tek Hoat? Bukankah Ayahnya masih keluarga dengan Majikan Pulau Es yang terkenal itu?"
Tiba-tiba Ang Siok Bi berkata dengan suara keras, "Persetan dengan keluarga Pulau Es! Anakku tidak mempunyai ayah!"
Raja makin terkejut dan makin tidak senang. "Apa maksud Nyonya?"
"Dengarlah, Sri Baginda! Ada seorang anggota luar keluarga Pulau Es yang bernama Wan Keng In, dan manusia jahanam itu sudah memperkosa saya ketika saya masih gadis, dan saya mengandung lalu melahirkan Tek Hoat itulah. Maka dia adalah anak saya sendiri, tidak mempunyai ayah yang sah. Saya mempunyai dendam sakit hati sebesar gunung, sedalam lautan, seluas langit terhadap keluarga Wan Keng In itu, dan saya tidak rela kalau putera saya dikurung di sini, karena saya harus mengajaknya untuk membalas dendam. Maka, saya mohon kepada Sri Baginda untuk membebaskan putera saya itu!"
"Cukup...! Pengawal, cepat suruh dia pergi...!" Sri Baginda menjadi marah sekali dan dia memerintahkan pengawal untuk mengusir Ang Siok Bi.
Wanita ini tidak melawan dan dia hanya memandang dengan mata mendelik kepada Panglima Mohinta, kemudian dia keluar dari istana, bahkan terus digiring oleh pasukan pengawal, keluar dari daerah Kerajaan Bhutan, kembali ke timur.
Pada hari itu juga, Tek Hoat menerima panggilan dari raja. Ketika pemuda ini keluar dari istananya, dia terheran-heran melihat banyaknya pengawal di sekitar istananya, dan di istana raja pun terdapat banyak pasukan, seolah-olah kerajaan menghadapi perang! Tergesa-gesa dia memasuki istana dan tiba di ruang persidangan, di mana dia melihat raja sudah duduk dihadap oleh para panglima dan pejabat tinggi dan juga di tempat ini terjaga oleh pasukan-pasukan pengawal dengan ketat. Cepat dia memberi hormat dengan berlutut dan dengan suara kaku Sri Baginda lalu menyuruh dia duduk.
"Hamba terkejut sekali mendengar panggilan tiba-tiba ini dan melihat adanya per-siapan-persiapan. Ada terjadi hal penting apakah, hendaknya Paduka memberi tahu kepada hamba dan hamba yang akan menghalau semua bahaya!" Tek Hoat berkata, namun hatinya merasa tegang karena dia melihat betapa pandang mata semua panglima dan pejabat ditujukan kepadanya dengan tak senang.
"Ang Tek Hoat, kami memanggilmu untuk mendapatkan keterangan sejelasnya dan sejujurnya darimu," Sri Baginda berkata. "Maukah engkau menjawab semua pertanyaan kami dengan jujur?"
"Hamba siap untuk menjawab semua pertanyaan dengan sejujurnya," jawab Tek Hoat dengan hati tidak enak.
"Pertama, benarkah engkau masih ada sangkutan keluarga dengan keluarga Pulau Es seperti yang dikabarkan orang dan bagaimanakah sangkutan keluarga itu?"
Tek Hoat mengerutkan alisnya. Hemmm, apakah artinya pertanyaan aneh ini? Apa hubungannya dengan keadaan dirinya? Akan tetapi dengan tenang dia lalu men-jawab, "Memang benar demikian, Sri Baginda. Isteri kedua dari Pendekar Super Sakti adalah Nenek hamba, dan Majikan Pulau Es itu sendiri adalah Kakek tiri hamba."
"Siapakah nama Ayah kandungmu?"
Tek Hoat terkejut. Tidak disangkanya dia akan ditanya sampai begini melilit tentang keluarganya. "Ayah hamba bernama Wan Keng In, putera dari Nenek hamba itu."
"Kalau Ayahmu she Wan, kenapa engkau she Ang?"
Kembali Tek Hoat terkejut dan merasa tidak enak sekali. Akan tetapi dia sudah berjanji akan menjawab sejujurnya! Dan andai kata yang bertanya ini bukan raja, calon ayah mertuanya, tentu dia sudah marah sekali.
"Itu adalah kehendak Ibu hamba yang bernama Ang Siok Bi."
Kini Raja Bhutan memandang tajam, tubuhnya agak mendekat dan suaranya terdengar lantang, "Ang Tek Hoat, pernahkah Ibumu menikah dengan Ayahmu ltu? Siapakah Ayahmu yang sah?"
Kalau saja ada petir menyambar, kiranya Tek Hoat tidak akan terkejut seperti pada saat mendengar dua pertanyaan itu. Tiba-tiba dia marah sekali, mukanya menjadi merah dan matanya mengeluarkan sinar berapi. Semua petugas dan pengawal yang menjaga di situ menjadi gentar dan siap siaga kalau-kalau panglima muda yang ditakuti itu akan mengamuk.
Akan tetapi Tek Hoat lalu berkata, suaranya menahan kemarahannya, "Hamba tidak mau menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Itu adalah urusan hamba pribadi dan siapa pun tidak dapat memaksa hamba untuk menjawabnya."
"Brakkk!" Raja Bhutan menggebrak meja di depannya.
"Ang Tek Hoat! Kami tahu bahwa engkau sudah berjasa bagi negara ini, dan kami tahu pula bahwa antara engkau dan puteri kami terdapat perasaan cinta kasih. Akan tetapi, apakah itu cukup untuk mengangkatmu sebagai calon mantu kerajaan ini? Riwayatmu tidak terang dan agaknya tidak bersih, maka engkau pun harus mengerti betapa sulitnya bagi kami untuk mempunyai seorang mantu dan panglima yang tidak jelas riwayat hidup dan keturunannya. Bagaimana pula kami akan menghadapi pertanyaan-pertanyaan dari negara-negara tetangga? Hal itu akan menyeret kami dan keharuman nama keluarga kerajaan kami ke dalam lumpur!"
Makin merah wajah Ang Tek Hoat. Kalau dia tidak ingat kepada Syanti Dewi, tentu dia sudah mengamuk dan membunuh raja serta semua yang melindunginya. Akan tetapi dia masih ingat dan dapat membayangkan betapa akan berduka dan hancur rasa hati kekasihnya itu kalau dia melakukan hal itu. Pula, semua penderitaan hidupnya selama ini membuat dia makin kuat dan tahan menerima pukulan-pukulan batin yang hebat ini, dan dia dapat merasakan pula kebenaran bagi fihak keluarga raja. Maka perlahan-lahan dia bangkit berdiri dan berkata tenang.
"Sri Baginda, sebagai seorang laki-laki hamba sudah biasa menerima segala sesuatu secara terang-terangan. Harap saja Paduka juga berlaku terang-terangan menyatakan niat hati Paduka pada hamba. Kalau sudah menjadi kenyataan bahwa hamba bukanlah keturunan ningrat, bukan pula keturunan orang terpelajar atau pun kaya, lalu bagaimana kehendak Paduka?"
"Ikatan jodoh dengan puteriku harus batal! Kami tidak mungkin mengambil mantu seorang seperti engkau, Ang Tek Hoat. Dan jasamu terhadap negara Bhutan pun tidak dapat dibalas dengan pengangkatan sebagai panglima. Engkau bukan bangsa kami dan jasa-jasamu itu akan kami balas dengan anugerah berupa harta benda yang boleh kau bawa pulang ke negerimu!"
Rasanya seperti hampir meledak dada Ang Tek Hoat. "Sri Baginda! Ini sudah sangat keterlaluan! Siapa yang menghendaki balas jasa? Siapa yang menghendaki pangkat? Siapa pula yang menghendaki kedudukan sebagai mantu raja yang terhormat? Hamba mencinta Puteri Syanti Dewi, hal itu sudah jelas, akan tetapi yang hamba cinta adalah pribadinya sebagai manusia, bukan kedudukannya sebagai puteri kerajaan! Hamba pun tidak membutuhkan pangkat ini!"
Dengan gemas Tek Hoat merenggut hiasan kepala dan melemparkannya ke atas lantai, lalu mencopot-copoti semua tanda pangkat dan melemparkannya ke atas lantai. "Mulai saat ini hamba bukan lagi Panglima Bhutan, bukan lagi hamba Bhutan dan hamba pun tidak mengharapkan balas jasa sejemput batu sekali pun!"
Setelah berkata demikian, dengan muka merah dan dada panas Tek Hoat melangkah keluar persidangan, mengangkat dadanya dan siap untuk mengamuk apa bila ada yang turun tangan. Akan tetapi untung, di antara para panglima dan pengawal, tidak ada yang mau turun tangan sehingga dengan leluasa, Ang Tek Hoat keluar dari istana itu.
Ketika dia hendak mengunjungi Syanti Dewi, dia melihat betapa Istana di mana puteri itu tinggal terkurung rapat oleh pasukan yang jumlahnya ada seribu orang! Tahulah dia bahwa raja tak menghendaki dia berjumpa dengan kekasihnya itu, dia tahu pula bahwa mengamuk seorang diri menghadapi bala tentara senegara merupakan hal yang bodoh dan tidak mungkin. Lagi pula, kalau keluarganya tidak menghendaki, apa perlunya dia memaksa-maksa? Ia hanya akan membuat Syanti Dewi menjadi sengsara dan berduka saja.
"Syanti Dewi, selamat tinggal...!" Dia berbisik, lalu pergilah Ang Tek Hoat dari istana itu, bahkan terus keluar dari negara Bhutan pada hari itu juga.
Diam-diam dia merasa berduka sekali karena terpaksa harus meninggalkan kekasihnya, meninggalkan Syanti Dewi yang dicintanya sepenuh jiwa raganya. Dan dia tahu bahwa hal ini terjadi karena gara-gara ibunya. Siapa lagi kalau bukan ibunya yang menjadi biang keladi semua peristiwa yang menimpanya ini? Sungguh terlalu! Ibunya sendiri pun agaknya tidak ingin melihat dia hidup bahagia di samping Syanti Dewi! Dengan hati penasaran Ang Tek Hoat mulai dengan perjalanannya kembali ke timur.
Perjalanan yang amat menyedihkan. Makin jauh dia menuju ke timur, makin merana rasa hatinya yang direnggutkan dari kekasihnya yang tercinta. Sering kali, di waktu beristirahat, dia termenung seperti arca, dengan muka pucat dan wajah muram, dengan rambut awut-awutan dan pakaian kusut mengenangkan wajah Syanti Dewi dan dia merasa betapa hatinya amat perih. Kadang-kadang, jika rasa rindunya terhadap Syanti Dewi sudah tak tertahankan lagi, dia bersenandung, maksudnya untuk melupakannya, akan tetapi yang terdengar hanyalah senandung sedih penuh duka, sebagai pengganti tangis yang diharamkannya.
Akhirnya setelah melakukan perjalanan yang jauh dan lama, juga merupakan perjalanan paling pahit dan paling menyedihkan bagi Tek Hoat, sampailah pemuda itu di puncak Bukit Angsa, di lembah Sungai Huang-ho. Dari jauh dia sudah melihat pondok ibunya di puncak itu, pondok yang menjadi kampung halamannya, tempat dia bermain-main di waktu kecil. Ada rasa hati menyentuh perasaannya, akan tetapi kembali dia teringat akan kedukaan hatinya akibat terpisah dari Syanti Dewi yang agaknya disebabkan oleh ibunya, maka lenyaplah perasaan haru itu, terganti rasa penasaran. Dia mempercepat langkahnya. Dia harus bertemu ibunya, harus menegur ibunya. Ibunya tidak berhak merusak hidupnya, merusak kebahagiaannya!
"Ma (Ibu)...!" Dia memanggil ketika dia tiba di depan pintu pondok yang tertutup.
Tidak ada jawaban.
"Ibu...!" Dia memanggil lagi, kini dia mendorong pintu pondok.
Bau yang tidak enak menyambutnya, membuatnya terhuyung mundur dan membuatnya waspada. Bau yang seperti racun, atau bau seperti bangkai busuk! Ditendangnya daun pintu terbuka. Gelap di dalam karena memang matahari sudah condong ke barat, dan di dalam pondok itu tidak memperoleh sinar lagi. Dia tidak berani sembarangan masuk dan dengan memutar dia menghampirl jendela kamar di sebelah barat rumah kecil itu.
Daun jendela juga tertutup. Ditolaknya dari luar. Daun jendela terbuka dan Tek Hoat cepat mengelak karena begitu daun jendela terbuka, dari dalam menyambar jarum-jarum beracun bewarna hitam. Dia cepat memandang ke dalam. Kini ada sinar matahari senja menyorot masuk melalui lubang jendela. Jantungnya berdebar tak karuan karena dari luar tadi dia melihat sesuatu yang membuat jantungnya seperti berhenti berdenyut, kemudian berdebar-debar.
Setelah dia tiba di depan pembaringan kayu itu, jelas tampak olehnya benda yang telah membuat jantungnya berhenti berdenyut tadi. Rangka manusia! Rangka manusia yang terbungkus pakaian, pakaian ibunya seperti ketika datang mengunjunginya di Bhutan! Rambut ibunya yang berada di dekat tengkorak itu, dengan sanggul yang masih amat dikenalnya dan ada hiasan rambut berupa kembang teratai emas milik ibunya! Segera dia bergidik.
"Ibuuu...! Mula-mula ia berbisik, lalu disambung dengan teriakan panjang. "lbuuuuuu...!"
Dia tidak syak lagi. Rangka itu adalah rangka ibunya yang telah tewas. Mati sakit? Ataukah mati terbunuh? Timbul kecurigaan di hati Tek Hoat. Tidak mungkin sakit. Baru saja ibunya bisa melakukan perjalanan ke Bhutan, perjalanan yang demikian sukar dan jauh. Ibunya sehat ketika itu, sehat dan masih amat kuat. Teringat dia akan jarum-jarum ibunya. Dia memeriksa jendela dan melihat alat rahasia yang melontarkan jarum-jarum itu.
Agaknya sebelum mati, ibunya memasang alat itu pada daun jendela, untuk menyerang dan menjebak lawan yang membuka jendela. Jelas bahwa ibunya telah bersiap-siap menanti kedatangan musuh gelap. Pedang ibunya juga terhunus dan terletak di atas meja dalam kamar. Akan tetapi ibunya telah tewas, menjadi rangka yang tidak rebah lurus di atas pembaringan, melainkan miring dan agak melingkar. Bukan tubuh yang tertidur.
Tek Hoat memeriksa sekali lagi dan pandang matanya tertarik oleh coret-coret di kayu pembaringan, huruf-huruf kecil. Tulisan ibunya! Dia kenal betul tulisan ibunya, sungguh pun tulisan ltu dilakukan dengan menggunakan benda runcing, mungkin itu jarum yang digores-goreskan. Dia cepat-cepat memasang lilin yang masih ada di sudut meja, dan mendekatkan lilin bernyala itu pada pinggir pembaringan, di mana terdapat tulisan itu.
'Tiga malam aku tidak tidur, menanti serangan si pengecut laknat. Kalau ada puteraku di sini, engkau akan mampus...'
Agaknya tulisan itu akan menuliskan lanjutannya, mungkin akan menyebutkan nama musuh yang ditunggu-tunggu ibunya, akan tetapi coretan itu hanya merupakan coretan dari atas ke bawah, agaknya pada saat itu musuh datang menyerang ibunya. Dan melihat jendela masih dipasangi alat rahasia, tentu musuh itu bukan datang dari jendela, melainkan dari pintu depan, atau boleh jadi juga dari atas genteng! Akan tetapi siapa?
Tek Hoat berlutut, tak dapat ditahan lagi beberapa tetes air mata membasahi pipinya. Baru sekarang ia dapat menangis, biar pun hanya beberapa tetes air mata. Dia teringat akan ibunya, akan penderitaan ibunya sejak masih gadis, sejak diperkosa orang! Sejak saat yang laknat itu ibunya hidup menderita tekanan batin. Pantas saja kalau ibunya menanggung dendam yang tidak pernah terbalas itu, dan tidak pernah dapat melupa-kan dendamnya.
Mula-mula kepada Gak Bun Beng karena menyangka orang itu adalah pemerkosanya, kemudian kepada Wan Keng In dan karena Wan Keng In sudah mati, maka dendamnya beralih kepada keluarga Wan Keng In, kepada keluarga Pulau Es dan terutama kepada ibu kandung Wan Keng In. Salahkah sikap ibunya itu? Tidak, tidak! Kehidupan ibunya telah rusak oleh peristiwa pemerkosaan itu dan ibunya hanya mampu bertahan hidup untuk membalas dendam! Dan setelah tahu bahwa dendamnya sukar dibalas karena dia berhadapan dengan keluarga Pulau Es yang amat sakti, ibunya jauh-jauh datang ke Bhutan, mencarinya untuk minta bantuannya. Dan dia telah menolaknya!
"Ibu... ahhh, Ibu, ampunkan anakmu... ini!" Dia meratap dan merasa menyesal sekali. Mengapa justeru kepada keluarga Pulau Es ibunya menaruh dendam?
Betapa mungkin dia memusuhi keluarga yang bijaksana itu? Teringat dia akan semua pengalamannya. Mereka semua itu, Gak Bun Beng, Milana, Suma Kian Lee, Suma Kian Bu, Pendekar Super Sakti, mereka semua adalah orang-orang yang bijaksana, budiman dan sakti. Yang berdosa terhadap ibunya hanyalah Wan Keng In, putera tiri Pendekar Super Sakti, sedangkan keluarga itu sama sekali tidak tahu apa-apa!
Dan ibunya yang belum berkesempatan membalas dendam itu kini telah terbunuh oleh orang lain! Entah siapa yang membunuh ibunya. Inilah musuhnya! Inilah orang yang harus dicarinya, bukan keluarga Pulau Es! Tetapi ke mana dia harus mencari? Kepada siapa dia harus bertanya? Ibunya telah tewas, telah menjadi rangka yang mengerikan.
Dengan hati penuh duka Tek Hoat lalu menggali lubang di puncak itu dan mengubur sisa-sisa jenazah ibunya, berikut semua milik ibunya, kecuali pedang dan hiasan rambut teratai emas itu. Setelah dia mengubur sisa-sisa jenazah ibunya dan berkabung tiga hari lamanya, mulailah dia mencari-cari dan berkeliaran di sepanjang lembah Sungai Huang-ho, di sekitar daerah itu untuk mencari jejak ibunya, mencari jejak pembunuh ibunya.
Demikianlah riwayat Ang Tek Hoat semenjak dia berpisah dari Syanti Dewi empat tahun yang lalu! Kini dia hidup seorang diri di lembah Sungai Huangho sampai pada hari itu dia bertemu dengan dua putera Jenderal Kao Liang, yaitu Kao Kok Tiong dan Kao Kok Han dan dapat menolong dua orang pemuda itu dari bencana.....
KAMU SEDANG MEMBACA
JODOH RAJAWALI (seri ke 9 Bu Kek Siansu)
Action(seri ke 7 Bu Kek Siansu) Jilid 1-62 Tamat