1. Mikrokosmos

4.9K 217 16
                                    

Langit malam tampak cerah, tatkala melalui celah mataku, kulihat banyak bintang dengan kelap kelip yang indah. Terang? Tentu saja. Bulan ada di sini.

Menghitung bintang dan duduk di dekat Danau pada kursi kayu berwarna coklat tua nyatanya tak membuatku bosan, karena sudah terlalu sering datang ke tempat ini. Entah dengan suasana hati yang baik ataupun sekedar menangis sendirian. Ku rasa beberapa orang juga melakukannya.

Dan tanpa berharap aku baru saja melihat bintang jatuh dari sisi langit sebelah kananku.

Permohonan yang banyak baru saja kusebutkan seperti mendapat pekerjaan baru yang lebih layak dan tidak dramatis seperti beberapa waktu yang lalu.

Ku rasa permohonan dari putri tercantik Tuan Yoon akan segera dikabulkan. Tatkala kedua rungu ku berfungsi dengan baik ketika mendengar suara bintang jatuh dari dalam Danau yang tak jauh dariku. Tunggu... Kenapa suaranya kecil sekali?

Aku berpikir dengan sedikit curiga, apa seseorang sedang memancing?

Kulihat ke samping kiri tidak ada siapa pun, dan kulihat ke samping kanan tampaklah sosok lelaki yang tak begitu tinggi tengah mengatur deru nafasnya.

Percayalah aku tidak memohon untuk didatangkan seorang pria untuk saat ini.

Di tempat minim cahaya seperti ini, aku bisa melihat kobaran api dari puncak ubun-ubunnya. Dada pria itu tampak naik turun tatkala air mata yang berkilau kian luruh bersamaan dengan isak tangis kecilnya. Tangan lelaki itu terkepal, kurasa emosinya menumpuk membuat ia tercekat dan sesak pada rongga pernafasannya.

Apa yang terjadi padanya? Aku menatapnya skeptis, namun atensiku atas presensi lelaki itu tak bertahan lama. Tatkala sebuah kalimat terlintas di pikiranku tentang semua orang hidup dengan masalahnya masing-masing.

Aku menghela nafasku samar, lalu kembali melihat langit juga bulan yang semakin menjauh dari tempat sebelumnya. "Hei bulan, kau tidak bosan ya menerangi dunia?"

Bukan jawaban dari bulan yang kudapat, malah suara asing yang menyeruak masuk ke dalam kedua rungu kecilku.

"Hei!"

Kedua manik ku terkunci ke arah suara itu berasal. Suara serak itu ternyata adalah suara lelaki yang kulihat tadi. Sedikit memiringkan kepala aku tak menjawab dan terus menatapnya.

Lelaki itu kian mendekat mengikis jarak di antara kami seraya berkata, "Apa tadi kau melihatku?" Ya, pertanyaan itu tentu saja keluar dari mulutnya. Karena hanya ada kami berdua di dekat Danau ini.

Aku menelan saliva ku samar seraya bergumam dalam hati. Apa aku baru saja melakukan kesalahan?

"Iya maaf."

Lelaki yang semula memasukkan kedua tangannya ke dalam saku depan celana kini tersenyum pahit dan duduk di sampingku.

Kedua netranya menatap danau lekat seperti hendak melepaskan seluruh perasaannya di sana. Lalu ia menghela nafas lega.

Entahlah ku rasa perasaannya cukup rumit atau memang sesuatu yang tajam baru saja menancap relung hatinya?

Atas perasaannya yang tampak rumit aku tak ingin menginterupsi, aku hanya diam mengatupkan bibirku rapat. Tak ada alfabet yang keluar dari bilah bibirku.

Setelah hening cukup lama lelaki bersurai hitam pekat itu berkata, memulai konversasi pertama sejak sekat di antara kami terkikis, "Aku sangat lega melepaskan seseorang yang tak ingin lagi ku lindungi, tapi aku sudah cukup lama bersamanya. Saat ku tahu dia mengkhianatiku, hatiku sakit sekali."

Aku pun mengalihkan atensi ku padanya sejak alfabet pertama itu melewati garis awal. Kedua netra ku menangkap manik mata sosok yang berada di sebelahku yang mulai berkaca-kaca.

Atensi ku tak sedikit pun berpaling darinya. Seperti ada dorongan lain yang membuatku ingin terus mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulutnya.

Tubuh lelaki itu bergetar hebat lalu menggigit bibir bawahnya kelewat kuat. Ku rasa cairan merah dengan rasa seperti besi itu mulai terasa pada indra pengecapnya.

Hatiku mulai peka, tatkala perasaan sakit itu kian jelas terlihat, melalui air matanya yang kian luruh. Membuat genangan yang menganak sungai pada dagu lancipnya.

Entah dorongan macam apa yang membuatku mengulum bibir seraya mengerjap menarik tubuh yang bergetar itu ke dalam dekapanku. "Menangislah agar hatimu lega. Aku di sini bersamamu."

Saat usapan juga tepukan lembut kuberikan pada punggungnya, lelaki tersebut malah semakin menangis. Ayolah apa yang terjadi padamu? Kau sungguh dikhianati hingga hancur seperti ini?

Aku pikir lelaki tak bisa menangis. Jika sudah seperti ini ku rasa hatinya sangat terluka.

Aku tak ingin bertanya. Karena ku rasa ia tak butuh hal itu dan juga masalahnya bukanlah urusanku.

Isakkan tadi yang menguasai kedua indra pendengaran ku mulai samar terdengar. Punggung lelaki itu berdiri tegak tatkala ia mengulur pelukan kami lalu mengusap wajahnya yang basah akibat cairan asin yang jatuh dari kedua matanya.

"Ah... Memalukan, maaf aku tidak bisa menahannya. Terima kasih." Ucapnya sembari tersenyum tegar.

"Tidak apa-apa. Tuhan tidak marah karena kau menangis. Hanya saja, lihat.. Kau membasahi bajuku." Aku menanggapi ucapannya dengan candaan agar ia lebih tenang.

"Ya ampun. Aku benar-benar minta maaf soal itu." Lelaki tersebut tampak panik sembari menggigit samar bibir bawahnya.

Aku terkekeh kecil tatkala kepala serta wajahnya yang bengkak itu terlihat seperti kentang. "Tidak, tidak apa-apa. Kau memang harus menangis."

"Kenapa?" Lelaki itu tampak heran setengah penasaran.

"Ya... Menahan perasaan sakit itu tidak baik untuk kesehatan mental dan jantungmu. Terlalu sering menahan dan hidup dalam rasa sakit akan membuatmu mati perlahan. Itu jelas tidak baik."

Lelaki itu pun tersenyum manis. Terlihat dari sorot matanya bahwa rasa sakit itu sudah melebur dan berceceran di permukaan rumput yang hijau.

Kalau sudah begini tidak masalah ‘kan, jika aku meninggalkannya dan bergegas pulang.

Lalu aku berdiri di hadapan lelaki tersebut, dan kembali melanjutkan alfabetku adalah hal selanjutnya yang kulakukan. "Jangan di sini hingga larut malam, udara malam tidak baik untuk kesehatan. Dan jangan menangis lagi untuk orang yang sama."

***

Mengacak surai dengan sebelah tangan adalah hal yang sedari tadi kulakukan, sejak meninggalkan Danau. Kendati demikian aku tetap fokus menyetir demi sampai dengan selamat dan tak lagi membuat ibuku khawatir.

Seperti dugaanku, ibu pasti menunggu. Sebab ibu langsung memelukku ketika baru satu langkah aku memasuki pintu rumah utama.

"Jimin-ah... Ibu sudah dengar semuanya. Ibu tak menyangka dia akan melakukan hal ini padamu."

Pelukan yang ibu berikan sangat erat, tubuhnya bergetar seperti yang terjadi padaku beberapa saat yang lalu.

"Sudahlah. Aku tidak apa-apa Bu. Aku lega saat tahu dia bertemu pria yang lebih baik dari ku. Ibu tidak perlu seperti ini."

Aku melakukan hal yang sama pada ibuku, seperti yang tadi gadis asing itu lakukan. Mengusap punggung ibuku lembut, sembari menenangkan kesedihannya akibat masalahku.

"Tapi Ibu mengerti bagaimana perasaanmu, kau pasti sangat terluka Nak."

Sungguh aku tidak ingin melihat ibuku seperti ini. Hatiku semakin terluka melihatnya. Rasanya ingin berteriak memaki diri sendiri sebab betapa bodohnya aku karena begitu mencintai wanita yang buruk.

"Iya aku tahu, tapi jika melihat Ibu seperti ini aku jadi semakin terluka. Sudah ya.. Jangan menangis lagi." Aku mengulur pelukan kami sembari menangkup kedua pipi ibuku. Dan mengusap air matanya. Aku bersyukur punya ibu yang baik juga pengertian.

"Baiklah Ibu percaya padamu. Jangan memaafkan wanita seperti itu. Dia bodoh karena meninggalkan putra Ibu."

Aku pun mengangguk sembari tak lupa memberi senyum hangat untuk wanita paling cantik di dunia ini. Lalu aku bergegas masuk ke dalam kamar.

Pertemuan yang tak diduga tadi membuatku kembali melihat kepingan memori tentang kejadian memalukan beberapa saat yang lalu.

Tapi saat gadis itu memelukku, ku rasa ada detakan baru dari dalam jantungku. Apa mungkin itu hanya perasaan maluku saja?

Kini aku berjanji pada diriku sendiri takkan lagi menangisi kepergian Seulgi wanita sialan itu! []

***

Han Jimin, 32 Tahun


Yoon Bitna, 27 Tahun

My Precious Light [Re-write]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang