1. prologue

73 10 39
                                    

|Joan|

Joan Elbarkan

Nama itu terpampang jelas di papan pengumuman sekolah gue. Sialnya kenapa dari sekian banyak angka, nama itu nangkring manis di urutan 245. Dan lebih sialnya lagi nama itu adalah... nama gue.

Sial.

Double Sial.

Triple Sial.

Oke, gue kasih tau ke kalian kenapa ini disebut kesialan yang sejati. Pertama, Minggu lalu sekolah gue ngadain latihan ujian dan hasilnya ditempelkan di papan pengumuman. Padahal, ujian masih lama tapi latihannya udah dari sekarang. Kedua, murid angkatan gue jumlahnya 245. Ketiga, sistem di sekolah gue yang bikin gue pengin cepet lulus aja.

Gue nggak akan marah kalau seandainya kalian bilang gue bodoh, payah, atau apapun itu tentang gue. Walaupun sedikit menohok di hati. Sedikit.

Gue mainnya halus. Jadi jangan heran kalau besok pagi kalian muntah paku, mimisan tanah, atau perutnya keluar kawat. Itu hasil kerja gue. Ga deng.

Sebenarnya sumber dari kegagalan gue di latihan ujian kali ini adalah persoalan hati gue. Plis jangan ketawa. Kalian yang punya jiwa-jiwa bucin pasti ngerti rasanya. Minggu kemarin, sehari sebelum ujian, gebetan gue baru aja jadian sama pacarnya. Gue yang merencanakan belajar H-1 jadi terganggu akibat gangguan ke-patah-an hati gue. Itulah akibat suka merencanakan belajar dari H-1, karena kita nggak akan pernah tahu apa yang akan terjadi kedepannya.

Sebagai cowok sejati, gue nggak mau dong kalau Shim, sahabat gue tahu gue nggak belajar cuma karena gebetan gue jadian. Jadi waktu Shim tanya gue ya jawabnya gini.

"Jo, lo udah pelajari kan soal yang kemaren gue kasih?" tanya Shim waktu itu.

"Gue?? I..iya. Udah.." jawab gue bingung nyari alasan. "Sedikit," lanjut gue. Sedikit yang gue maksud disini adalah gue hanya membaca judulnya saja. Selebihnya pikiran gue masih tertuju pada Sabna, gebetan gue yang baru aja jadian sama orang-orangan sawah sialan itu.

Sekarang sepanjang gue jalan di koridor sekolah, suara bisik-bisik menjadi backsound setiap langkah gue. Ini adalah sistem di sekolah gue. Dimana yang bodoh seperti menjadi bahan bullying.

"Dia peringkat terakhir latihan ujian kali ini,"

"Ha? Joan? Modal ganteng doang mah apa artinya kalau peringkat terakhir,"

"Sabna baru aja jadian sama Deven. Patah hati mungkin tuh bocah."

"Nggak kaget gue kalo Joan mah. Kemaren-kemaren juga di peringkat itu kali,"

"Menyedihkan. Orang kaya tapi otak kosong,"

"Shim peringkat 3 loh. Mau-maunya ya sahabatan sama Joan,"

Gue udah kebal soal ini. Tapi bukankah kekebalan seseorang ada batasnya? Kadang gue juga mikir kenapa gue sebodoh ini soal akademis. Selidik punya selidik gue jadi nemu jawabannya, yaitu gue orangnya malesan. Gue lebih suka stalk Instagramnya Sabna daripada harus berhadapan sama rumus-rumus menyedihkan itu.

Saat sampai di kelas gue langsung duduk di bangku yang sebelahan sama bangku Shim di urutan ke tiga dari depan. Di SMA gue emang beda sama sekolah lain. Bangkunya satu per siswa. Jadi nggak ada teman sebangku, karena emang semua duduk sendiri.

Joan!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang