Aku menghubungi Wikan berkali-kali. Tidak ada respon. HP-nya mungkin mati. Aku tidak tahu lagi harus menghubungi siapa untuk memberitahunya apa yang terjadi. Ibu tiba-tiba tak sadarkan diri. Untung, ada Pak Kadir yang membantu membawanya ke rumah sakit, karena setelah siuman di rumah, ibu mengeluh sakit di dada kirinya.
Setelah mendapat pertolongan pertama di ruang UGD, aku mengurus administrasi. Ibu harus rawat inap. Pak Kadir menemani ibu di ruang UGD. Menunggu disiapkan ruang inapnya.
Aku kelelahan usai naik turun tangga. Ibu dirawat di lantai empat. Lift rumah sakit sedang kurang sehat. Aku kuatir malah terjebak di dalamnya. Terpaksa lewat tangga untuk mengurus administrasi dan mengambil obat yang sebagian harus kuambil sendiri di apotek yang berada di lantai dasar, di gedung yang terpisah.
Ibu tertidur saat aku masuk ke ruangannya. Wajah senja yang biasanya ceria itu tampak lemah tak bertenaga. Pucat. Kesakitan. Melihatnya begini, rasa bersalah memenuhi dadaku.
Aku menarik sebuah kursi. Duduk di sisi kirinya. Menyentuh pelan jemari keriputnya. Di pergelangan kirinya, sebuah jarum menancap, dihubungkan selang infus, mentrasfer cairan kimia ke dalam tubuhnya.
Aku merebahkan kepalaku ke sisi ranjang. Rasanya lelah sekali.
"Cita-cita Ibu tuh punya menantu yang pinter masak, biar bisa nerusin dan ngembangin usaha catering di rumah," ujar ibu di suatu sore padaku.
"Ale bisa nerusin usaha ibu tanpa harus pinter masak." Aku tersenyum yakin.
"Trus usaha ibu mati." Ibu cemberut.
"Enggak dong, kan Ale rekrut tukang masak yang handal." Aku tertawa lirih. Ibu mengoleskan tepung untuk menggoreng tempe, ke pipiku dengan jarinya. Tawanya renyah.
Kupandangi lekat jemari itu, kuusap penuh sayang.
Wikan ke Bandung ketika itu. Mbak Winda memberitahu, kaki ibu keseleo, terpeleset di kamar mandi. Aku datang ke rumah ibu, tanpa memberitahunya terlebih dulu. Begitu sampai, aku dibuatnya terkejut karena ibu sedang menyapu halaman, baru saja selesai.
"Ibu, bukannya kaki Ibu masih sakit? Lagi pula ini kan tugas Bude Sri," aku menghampirinya. Meraih pegangan sapu lidi darinya. Bude Sri yang kumaksud adalah, tetangga yang dibayar untuk membantu bersih-bersih rumah, termasuk menyapu halaman.
"Kasian, cucunya si Sri lagi sakit. Rewel. Ibunya kan di Taiwan, siapa yang gendong kalo Sri nyapu halaman sini," jawab ibu santai.
"Kalo gitu gak usah disapu aja, besok-besok kalo cucunya bude Sri udah sembuh. Kalo gak, kan bisa minta tolong yang lain. Yang kerja di rumah ini kan banyak, Bu."
"Sssttt ... yang penting, kamu gak cerita sama Wikan."
"Ibuuuu .... "
"Yuk, janji kamu gak akan ngadu ke Wikan kalo ibu nyapu tadi." Ibu mengangkat jari kelingkingnya. Aku manyun tidak berkutik.
"Ayo .... " Ibu menarik tangan kananku. Dipaksanya menggenggam. Hanya menyisakan jari kelingking. Lalu, dikaitkan. Senyumnya melebar.
Kuciumi pelan jari-jari itu. Mendung menggelayut di hatiku. Hampir hujan. Di mataku.
"Ini buat kamu," Ibu menunjukkan sebuah cincin. Melingkarkannya ke dalam jari tengahku. Sudah ada cincin pemberian Wikan di jari manisku.
Aku menatapnya keheranan saat itu.
"Sudah lama Ibu ingin melingkarkan cincin ini ke jari perempuan yang kelak akan menemani Wikan." Sepasang matanya berbinar. Ada bahagia yang meletup-letup di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perempuan Penyuka Es Teh
RomanceBagaimana aku bisa memenuhi rengekan ibu mertua tentang cucu sementara pernikahanku dan Wikan hanya sebatas status di Kartu Keluarga? Aku masih menggenggam erat cinta masa lalu. Wikan masih terhujam kisah yang lalu. Kami sama-sama tak lagi percaya p...