secangkir kopi dan seporsi hatiku yang kau genggam

115 16 8
                                    

+658 words

sang tuan awan menghitam murka, kilat menyilaukan mata, guntur dengan tegasnya menulikan telinga, dan sang nyonya hujan yang masih senantiasa menusuk-nusuk bumi yang terlampau kering.

bau petrichor menyeruak ke seluruh tempat yang dihujani, tak terkecuali kedai-kedai pinggir jalan yang terbuka begitu saja.

baik orang yang mengaku menyukai aroma khas tanah ataupun yang senang kala rinai hujan membasahi kulit, berteduh merupakan opsi satu-satunya saat hujan dengan derasnya menuruni bumi.

"sial pakaianku basah semua,"gerutu lelaki bersurai serupa gula kapas yang sibuk melepaskan jaket jeansnya yang telah basah dikuyup hujan.

sepertinya bukan hanya langit yang mempunyai awan hitam di sekitarnya, lelaki berparas rupawan ini juga mempunyai awan kelam yang mengorbit di atas kepalanya yang berasap.

hari ini benar-benar adalah hari sialnya.

bangun di saat matahari telah memancar ganas, kulkas kosong melompong yang sama sekali tidak mampu memenuhi isi perutnya, lembar kerja hasil begadang yang hilang bagai ditelan bumi, padahal hari ini deadlinenya untuk dikumpulkan kepada sang editor killer yang ditakuti oleh seluruh orang tanpa terkecuali.

setelah ditegur oleh sang editor hingga telinganya seakan-akan telah meneteskan darah segar, ia diminta untuk membeli kopi kepada seluruh staf yang maksudnya bertujuan untuk menebus kesalahannya ( parahnya dengan menggunakan uang sendiri ) sehingga mau tidak mau ia harus menghabiskan sisa uangnya bulan ini walaupun jumlah yang harus dibelinya hanya sekitar 6 gelas kopi.

kedai kopi langganan editornya malah tutup dan hanya menyisakan papan yang bertuliskan bahwa pemilik kedai sedang berlibur entah kemana dan akan pulang beberapa hari lagi.

daripada harus menghabiskan uangnya untuk biaya transportasi, ia lebih memilih berjalan kaki menuju kedai kopi yang lain.

tampaknya hari ini dewi fortuna sedang gemar bercanda dengannya.

dalam perjalanannya pulang ( tentunya dengan berjalan kaki ), hujan malah turun tanpa sedikitpun rasa belas kasihan padanya.

sehingga saat ini, ia tengah berteduh di kedai kopi lain, pasrah jika nantinya akan ditegur lagi karena ia yang terlalu lama hanya untuk 'sekedar' membeli kopi.

apapun alasan yang nanti diberikannya, ia tidak akan didengar.

beban pikiran sebagai seorang penulis terus bertambah dalam tiap tetes hujan yang menghujam tanah.

melupakan rasa gengsi dan malu, akhirnya dengan berat hati lelaki bernama felix tersebut pun meluapkan seluruh beban dan keluh kesahnya dengan terisak ditemani aroma kopi dan petrichor yang membaur.

tanpa sepatah katapun, pria besurai hitam pekat di sebelahnya menyodorkan sehelai tisu yang terkatup di jemarinya ke arah lelaki yang masih bersedu sedan, mati-matian berusaha untuk berhenti namun gagal.

"t-terima kasih."

"mau minum di sini atau di dalam ?"tanya pria tersebut setelah bahkan sebelum felix sempat menyeka air matanya.

"maaf ?"

pergelangan tangan felix langsung ditarik ke dalam kedai kopi. terkesan sangat tidak sopan, namun anehnya felix tidak memberontak dan malah mengikuti pria tersebut hingga sampai di salah satu meja dekat jendela kedai kopi bernuansa heritage dengan pencahayaan yang lumayan redup.

"espresso?"

felix mengedipkan matanya berulang kali sebelum mengangguk dan tersenyum gugup.

lelaki itu kembali dengan membawa secangkir espresso dan secangkir latte.

jika saja tadi felix dapat merequest apa yang ingin diminumnya, ia akan lebih memilih latte daripada espresso yang pahitnya sebelas dua belas seperti hidupnya.

dan sekarang felix merasa depresso.

felix menggigit bibir bawahnya setelah mencecap sedikit espresso tersebut, tidak main-main, kepahitannya kopinya langsung menyerbu begitu saja ke setiap penjuru lidahnya.

"mau bertukar ?"

felix menggelengkan kepalanya. "tidak perlu, terima kasih."

"tampaknya kau tidak menikmati minuman itu."

sekali lagi, tanpa persetujuan felix, pria dengan sikap kurang sopannya itu menarik cangkir espresso dan menggeser latte ke arah felix yang sedikit tercengang akan perlakuannya yang tiba-tiba.

yang cangkirnya direbut tambah terkejut saat pria di depannya meminum espressonya tepat di area cangkir yang ia cecap sebelumnya.

"minumlah, apa yang kau lihat ?"

walaupun tatapan pria itu sangatlah tajam, namun entah bagaimana felix dapat merasakan kehangatan kobaran api dibalik lapisan es pada netranya.

felix tersenyum begitu lebar saat rasa manis latte sangat pas di lidahnya.

"apakah kopinya dapat mengatasi sedikit hari burukmu ?"

felix memalingkan wajahnya dan menatap ke arah luar jendela dengan pohon-pohon yang masih berkeringat oleh hujan.

"kau mengatasinya lebih baik."

///

cerita mereka belum berakhir.

tidak ada yang tahu apakah mereka akan berakhir sebagai sepasang kekasih dan membagi secangkir kopi berdua ataukah ini adalah pertemuan terakhir mereka sebagai sepasang orang asing yang saling bertukar pandang.

tidak ada yang tahu.

[]

a/n

hay ! akhirnya aku update ff lain setelah beberapa bulan menghilang.

seperti yang telah kalian baca sebelumnya, cerita ini belum berakhir, kelanjutan ceritanya bisa kalian ciptakan sendiri dalam bayang-bayang imaji kalian !

dengan ini, tidak ada chapter lanjutan dari book ini.

sekian, terima kasih.

<3 !

confetti from the skyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang