PONPES MIFTAHUL JANNAH

131 3 0
                                    

POV: Hilya Ahmad

Aku mengambil beberapa kitab bahasa Arab dari meja belajar, lalu keluar kamar, pergi menuju ruang khusus belajar ku. Disana Abah sudah duduk rapi, bersiap mengajariku. Ya, aku memang home schooling sejak kecil, karna orang tua ku mengasuh pondok pesantren khusus laki-laki, jadi gak ada teman-teman perempuan yg sebaya dengan ku. Kecuali hari Kamis dan Minggu, pondok kami mengadakan ta'lim umum. Banyak peserta nya yg seusia dgn ku. Aku hanya bertemu teman-teman pada 2 hari itu saja.

Aku duduk dihadapan Abah, lalu membuka kitab nahwu dan meletakkan nya diatas meja, pena sudah kupegang, aku tersenyum menatap Abah. Menunggu pria paruh baya itu memulai pelajaran. Tapi, ada yg beda dgn Abah pagi ini, tidak tersenyum hangat seperti biasa.

Abah berdeham, lalu mengeluarkan sesuatu dari laci mejanya, yg membuat ku langsung membolakan mata ku, dgn mulut yg setengah terbuka. Itu ... Bingkisan itu...
Aku mengerjabkan mata berkali-kali.

Tadi malam...

"Apaan nih om?" Tanyaku heran saat seorang kurir pos menyerahkan sebuah bingkisan padaku.

"Ini kiriman untuk mbak," jawabnya.

"Saya gak ada ngepos-in barang lah kayak nya om."

"Yah mungkin dari teman nya mbak, liat nih alamat nya udah pas, lagi pula saya kan sudah biasa ngantar barang kesini toh mbak," ujarnya sambil memperlihatkan alamat yg dituju.

Dengan ragu, aku menerima nya, lalu masuk kedalam rumah. Sampai di kamar, aku membuka bingkisan itu, sebuah novel dan sepucuk surat.

'Tadinya bingung mau ngasih apa buat si cabe rawit yg satu ini. Mau dikasih coklat, dia lagi heboh diet, mau di kasih mawar atau apa gitu, tapi inget, nih cewe beda, gak suka barang2 begituan, gak ada manfaatnya katanya. Jadi ngasih buku aja, selain galak dia kan cerdas luar biasa. Biasanya, orang cerdas itu hobi membaca. Hehe... Moga kamu suka.'

Aku membaca tulisan dipotongan kertas kecil yg ada dibingkisan itu sambil tersenyum, tanpa di kasih tau pun, aku sudah tau siapa pengirimnya. 'Cewek cabe rawit' itu panggilan khusus dari dia sejak kami kecil dulu.

"Kapan dia ngasih ini ke adek?" pertanyaan abah langsung menyadarkan ku dari ingatan tadi malam. Suaranya terdengar dingin, jauh berbeda dari biasanya.

"Tadi malam bah," jawabku sambil menunduk.

"Bukannya dia sekolah di Jawa?" Tanya Abah lagi

"Benar, dia ngasih itu melalui pos," Jawabku.

"Harus berapa kali abah ingatkan?" abah meletakkan bingkisan itu kemeja dgn keras, hingga menimbulkan bunyi yg cukup keras. "Jauhi anak itu, hilya!"

"Hilya udah berusaha abah, tapi anak itu yang..."

"Dia yg masih mendekatimu? Iya?" Sela abah sebelum aku menyelesaikan ucapan ku. "Biar abah telfon dia, biar abah yg urus langsung ini semua," lanjut abah sambil mengambil ponselnya.

Tidak! Ini tak boleh terjadi!

"Abah!" Seruku sambil menahan tangan abah. "Jangan bah, biarkan ini jadi masalah kami. Abah tak perlu ikut campur."

"Tidak perlu? Sekarang yg abah urus itu anak perempuan, abah bertanggung jawab penuh atas semua urusan mu sebelum hilya menikah," aekan abah.

"Bah, mohon... Hilya janji akan benar-benar menjauhi dia. Hilya janji abah, jgn abah bicara apapun ke dia. Ya bah?" Aku memelas didepan abah, abah hanya menarik nafas panjang, lalu membuka kitab nahwu yg dipegangnya.

"Ayo mulai."

Aku menunduk, lalu kembali ke kursi belajar ku.

***
"Hilya!" Abah mengetuk pelan pintu kamar ku. Aku yg mendengarnya langsung gelagapan. Berusaha sekuat tenaga menghentikan air mata yg sedari tadi tak mampu ku bendung, lalu mengusap kasar pipiku, menghilangkan jejak air mata di sana.

"Ada apa bah?" Aku membuka pintu kamar ku.

"Siap-siap ya, ba'da Maghrib abah ngisi ta'lim dikota, hilya mau ikut kan?" tanya Abah lembut, aku menjawab dgn menggelengkan kepalaku.

"Ayo lah, habis ta'lim nanti kita jalan-jalan, kemana yg Hilya mau. Ya?" Abah masih berusaha membujuk, kali ini suaranya terdengar lebih lembut. "Mau beli baju, sepatu, kosmetik, Gramedia, atau cari-cari makanan. Yuk!" Abah memang begitu memanjakan ku, karena aku anak bungsu dikeluarga ini, dan ke-2 kakakku sudah menikah. Tinggallah aku satu-satunya yg diurus.

"Ikut lah dek, malam ini cukup meriah nih keliatannya. Teman-teman abahmu banyak yg hadir dari mana-mana, mereka buat semacam reunian gitu lah." Ummi ikut menimpali sambil menyetrika baju-baju. "Nah, ni baju Hilya sudah ummi gosok, ikut ya? Ummi kan juga pengen ngenalin anak cantik ummi sama teman-teman di sana."

Akhirnya aku menganggukkan kepala ku.

***
Abah memarkirkan mobilnya perlahan, diikuti 5 mobil di belakang yg memuat anak santri dari pondok abah. Setelah mobil terparkir rapi, abah membuka pintu untukku, lalu menggandeng tangan ku berjalan beriringan dgn ummi. Kadang aku suka bingung, abah lebih sering menggandeng tanganku saat berjalan daripada ummi. Entah kenapa.

Aku menunduk, entah berapa pasang mata yg menatap ku sekarang, kehadiran kami memang lumayan mencolok, pasalnya, kami hadir terlambat. Jadi sudah banyak orang disekitar masjid.

Abah melepas tanganku saat beberapa temannya menyapa. Lalu berpelukan melepas rindu.

"Ini si bungsu." Abah mengenalkan ku pada beberapa temannya yg menghampiri nya itu, membuat langkah ku dan ummi terhenti. "Sudah jadi pemudi dia." Abah terkekeh diakhiri kalimat nya, diikuti teman-teman nya yg juga tertawa.

"Siapa namanya?" tanya salah satu dari mereka.

"Hilya Ahmad om," tawabku sekenanya, mereka menganggukkan kepalanya, lalu aku dan ummi lanjut berjalan.

"Sudah besar anak mu, bisalah bentar lagi kita besanan, anakku sedang menyelesaikan S1 di Madinah."

Aku sempat mendengar ucapan oom yg menanyakan namaku tadi, aku menggertakkan gigiku, kesal, itu yg kurasakan. Sialnya, Abah malah tertawa akrab menanggapi nya.

***
Aku masuk ke dalam mobil, Alhamdulillah, setelah berjumpa dgn banyak orang, mood ku sedikit membaik sejak kejadian pagi tadi.

"Mau kemana dek?" Tanya Abah sambil memasang sabuk pengamannya.

"Makan burger!" Ucapku semangat.

"Abah mau keliling bentar, antum sama anak santri pulang deluan, awasi anak-anak sampai Abah pulang ya." Abah berbicara dengan salah satu murid senior kepercayaan Abah.

"Naam Abah," ucap anak itu, faqih namanya, dia sempat mencuri pandang kearah kaca mobil tempat aku duduk, yg langsung ku balas dgn pelototan horror.

Anak itu memang bisa di banggakan, cerdas, peduli sekitar, amanah, ramah, pokoknya cukuplah sebagai alasan Abah menjadikan dia murid kepercayaan. Tapi satu yg gak kusuka, dia terlalu menampakkan ketertarikan nya padaku, norak. Menurut ku. Walaupun Ahkam jauh lebih norak, tapi dia tetap nampak natural dan gak dibuat-buat.

***
"Abah, Hilya boleh minta sesuatu?" Tanyaku pelan sambil mengadu-aduk minuman yg kupesan. Kami sedang menikmati pemandangan kota dimalam hari sambil makan burger.

"Boleh, selama itu baik dan abah mampu," ucap Abah.

"Hilya pengin mondok bah," ucapku, sambil terus menunduk.

"Dimana?" tanya ummi.

"Pesantren Miftahul Jannah. Ntah knp Hilya tertarik sama pondok itu,"jawabku.

Abah dan ummi saling bersitatap, dalam hati aku terus merapalkan berbagai doa. Semoga mereka menyetujui.

_Alhdulillah, akhirnya kelar satu part, mohon kritik dan saran nya ya...😊😊
Insyaallah kelanjutannya di-up secepatnya.
Jazaakumullahu Khoiron...

LOVE YOU, PUTRI KIYAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang