POV: Ahkam
Aku menghentikan motor ninja yg sedang kukendarai sedikit jauh dari ponpes Daarunnajah, pondok pesantren milik abah cewek cabe rawit itu. Tadi, sebelum kesini, aku kerumah temanku terlebih dahulu, untuk minjam motor yg Sekarang kukendarai.
Dari sini, aku bisa melihat cukup jelas aktivitas yang dilakukan di halaman ponpes itu, terlihat para santri berbaris di lapangan, sambil menghafalkan mufrodat bahasa Arab, dgn dikomandoi seorang ustadz. Lalu aku mengamati rumah cewe itu, bisa terbilang sangat sederhana, untuk seukuran petani sukses macam abahnya yg memiliki kebun puluhan hektar. Ya, satu yg sangat aku tau tentang abahnya, beliau sangat tidak menyukai gaya hidup yg mewah. Meskipun kalau mau dia bisa saja membangun rumah mewah, lalu menjejerkan mobil-mobil mahal di halaman nya.
Tak lama ku amati dari sini, tampak 4 anak muda yg tak kukenal keluar dari rumah sederhana itu. Sambil masing-masing membawa kitab dan kertas-kertas yg ntah apa isinya. Penampilan mereka... Beda jauh dgn penampilan ku, dgn jubah putih dan imamah yg di balut di kepala, dari sini aku bisa nyimpulkan, klw itu kayaknya para pengajar, soalnya klw santri sudah tentu mereka memakai seragam.
Nyali ku sedikit menciut saat ini, kembali aku tersadar, aku jauh dari kata pantas untuk perempuan itu. Tapi lagi-lagi, aku tak bisa membantah kemauan hatiku.
Akhirnya, aku tetap nekat masuk ke area santri, memarkirkan motorku di tempat parkir yg sudah disediakan. Baru saja aku turun dari motor, dan melepas helm full face yg kukenakan, sebuah mobil Fortuner berhenti tepat didepanku, tak berapa lama keluar pemiliknya menghampiriku.
"Assalamualaikum akhi!" Sapanya ramah, itu Furqon, salah satu anak ustadz kondang yg cukup terkenal. Melihat dari penampilan nya sekarang, dia benar-benar seperti pengusaha sukses muda. Bagaimana tidak, dia memang anak orang kaya, apalagi diusianya yg masih 23-an tahun, dia sudah memiliki usaha travel umroh.
"Waalaikumsalam," balasku sambil menyambar uluran tangannya. Oke, kali ini percaya diriku sudah turun drastis. Berdiri di hadapan Furqon, membuatku mati-matian menahan rasa minder. Dia sdh terbilang cukup kaya, diusianya yg masih muda, sementara aku hanya anak orang kaya. Dia sudah menjadi ustadz sejak kepulangannya dari timur tengah untuk kuliah. Sementara aku cuma anak dari seorang ustadz.
Tapi untung dia gak lama-lama ngobrol dengan ku, karena ada jadwal ngajar di pesantren ini. Hanya bertukar kabar sebentar, lalu dia pamit masuk ke salah satu kelas di ponpes ini.
Dengan langkah kaki yg bergetar hebat, aku nekat berjalan kearah pintu rumah cewe itu, entah... Apa yg akan terjadi selanjutnya, ku serahkan kepada Allah semua. Dgn tangan yg bergetar pula, aku memijit bell disisi pintu rumah itu.
Setelah beberapa menit, keluar orang dari rumah itu.
"Ahkam ya?" tanya orang itu, yg membuat ku langsung menarik nafas lega, setidaknya aku tak berhadapan langsung dgn ustadz Ahmad, Abah perempuan itu yg super duper buat jantung ku mau copot setiap kali melihat wajahnya.
"Iya kak," ucapku, aku memang mengenalnya, bahkan cukup akrab dengan ku.
"Ada apa?" tanya nya. Aku hanya mengaruk tengkukku dgn rasa serba salah. Ntah apa yg mau kubilang. Bingung.
"Ustadz Ahmad ada kak?" tanyaku akhirnya, detik berikutnya aku langsung merutuki ucapan ku sendiri, bagaimana mungkin bisa itu yg terucap, padahal aku jelas-jelas gak siap ketemu orang itu.
"Pergi Ahkam, abah ada urusan.ln," jawabnya, aku kembali menghembuskan nafas lega. Ternyata aku masih bisa menghindari ustadz itu.
"Hilya, udah jadi pergi mondok kak?" tanyaku akhirnya.
" Sudah, Ahkam kok pulang? Emang udah liburan?" Aku menelan ludah,.kecewa, itu yg kurasakan sekarang. Jauh-jauh aku datang, tapi ternyata gak bisa nemuin dia langsung.
"Ahkam cuma kesini mau tanya kabar hilya, abisnya dia gak bisa dihubungi," jawabku sekenanya, lalu pamit pulang.
***
Siang hari setelah perjalanan penuh perjuangan hanya untuk mencari tahu kabar dia, aku langsung terbang ke Jawa, karena kebetulan ada jadwal penerbangan ke sana.Setelah kembali mendarat di Jawa, aku langsung menuju taxi yg telah kupesan lewat online, lalu berhenti sebentar di ATM. Niatnya mau narik uang, karena perjalanan pulang-pergi jawa-medan cukup menguras uang sakuku.
Sesampainya di ATM, aku melongo melihat angka nominal di situ, tinggal 500 ribu. Aku mengusap wajah ku gusar, ternyata 1 bulan ini aku terlalu boros pengeluaran. Mau minta kirimin, tapi ke siapa? Orang tuaku walaupun bisa terbilang cukup kaya, tetap saja marah kalau pengeluaran bulananku sampai kurang dari yg mereka kirim. Bukan karena gak ada, biar aku gak keenakan ngabisin uang katanya. Hufftt!!
Aku langsung tersenyum saat satu ide melintas di kepalaku, nenek! Satu-satunya harapanku kalau lagi bokek.
Dan benar saja, beberapa menit setelah lapor, langsung dikirimi uang dgn jumlah yg lumayan, bisa lah untuk melancong atau sekedar ngeliat hilya ke Sumatra. Hehe...
***
"Njirr!! Apa nama ponpes nya si hilya?" Siddik bertanya pada kami yg sedang main basket di lapangan santri dgn sedikit berteriak. Mendengar nama hilya di sebut, membuatku menoleh kearahnya sejenak, tapi kemudian kembali asyik dgn basket yg ada ditanganku."Daarunnajah." Itu suara Azzam yg menjawab.
"Itu mah ponpes abahnya, kan Hilya mondok di ponpes Laen, nama ponpes nya itu apa?" Siddik mengulang pertanyaan nya dengan raut wajah kesal.
"Miftahul Jannah," jawab Azzam.
"Pondok pesantren Miftahul Jannah akan menjadi pusat kegiatan dauroh ilmiyyah untuk wilayah Sumatra Utara dan sekitarnya."
Aku yg sedang asik mendribble bola langsung menghentikan aktivitasku, lalu berjalan kearah Siddik dan merampas hp yg di pegang nya. Benar, itu bacaan yang tertera di salah satu website berita. Aku lalu menggulir layar ke bawah..
"Ayo hadiri! Dauroh ilmiyyah bersama Syaikh dari negeri Arab. Untuk info lebih lengkap, hub. Khusus Ikhwan, Al-akh. Saifullah: 085**** Khusus akhwat, Al-ukh. Hilya Ahmad:081****." Aku membaca pelan tulisan yg tertera di laman berita itu. Sementara ke-3 sahabatku terperangah menatapku.
"Ambil no hpnya si Hilya bege!" Seru Siddik sambil merampas hp itu dari tangan ku.
"Eh, enak aja lu!" Azzam merebut hp itu dari tangan Siddik.
"Apaan sih Lo?!" Siddik menatap Azzam sewot.
"Sepupu tersayang gua nih," balas Azzam.
"Eeelah, sepupu doang, siniin tuh hp! Pacar kesayangan gua tuh!" Ucapku sambil berusaha merebut hp.
"Walaupun cuma sepupu, gua berhak ngelindungi dia dari target macan sialan kayak Lo pada, terutama play boy kelas kakap macam Lo!" Azzam menatap ku sengit. Oke, sekarang benar kesimpulan ku selama ini, kalau si Azzam sialan ini memang punya perasaan beda sama sepupu cantiknya itu. Susahnya naksir cewe cantik berkelas yah gini, yg nyukai buaanyak banget.
Tapi aku gak mau kalah, aku tetap nekat mendial no hp hilya yg disertakan disitu.
"Assalamualaikum, dgn hilya dari ponpes Miftahul Jannah, ini dgn siapa ya?"
Aku hanya diam sambil tersenyum mendengar suara nya.
"Halo.. maaf no ini hanya boleh dihubungi untuk yg mau bertanya seputar kegiatan dauroh yg akan kami selenggarakan di sini."
Aku masih diam
"Baik, kalau gak ada keperluan saya akan menutup sambungan telepon ini."
"Ya ya, maaf ukhti, ana mau tanya2 seputar dauroh itu." Selaku cepat
"Afwan, ini no dipakai khusus akhwat, insyaallah nanti ana kirim no yg bisa dihubungi untuk Ikhwan, ana tutup, assalamualaikum."
Tut..Tut..
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE YOU, PUTRI KIYAI
Teen Fiction"Tinggal menghitung Minggu, kita akan segera menemui hari itu, hari yg akan membuat kita terpisah sejauh jauhnya, dan mungkin tak dapat bertemu lagi selamanya, kuharap itu benar-benar terjadi, setelah kepergian mu nanti, kumohon, jangan sampai ada l...