Matahari mulai menduduki singgasananya mengakibatkan udara semakin terasa panas. Keringat mulai mengucur dan menciptakan rasa lengket di tubuh. Ditambah lagi rasa dahaga yang mulai mendesak ingin meneguk minuman dingin.
Juan keluar dari kelas dan melipir ke koperasi untuk membeli minuman. Di sana ia melihat seorang perempuan yang dikenalnya.. hmm atau mungkin tidak. Juan hanya tahu namanya dan berinteraksi sesekali itu pun dulu sekali. Kira-kira dia apa kabar, ya? Nyaman nggak, ya, kuliah di sini?
"Ju, ngapain lo berdiri di sini, sendirian, dan kayak orang ilang? Lupa jalan?" tegur Alessandro Yudhistira, teman sekelas Juan, dengan nada meledek.
Juan tak menggubrisnya dan memilih melanjutkan berjalan untuk menjemput minuman pelepas dahaga. Tepat saat tiba, perempuan yang tadi hinggap di pikiran Juan berbalik sehingga mereka saling berhadapan dan mata mereka sempat bertumbukan sebelum si perempuan cepat-cepat menunduk.
Padahal Juan ingin melempar senyum manis untuk menyapanya. Atau mungkin memanggil namanya saja?
Mulut Juan terbuka hendak melafalkan nama perempuan itu, namun urung saat sosoknya justru berjalan melewati Juan tanpa sepatah kata pun.
Aneh. Sangat aneh.
Jelas-jelas tadi mata mereka saling bersirobok, tapi kenapa seolah-olah dia tak melihat kehadiran Juan?
💫💫
"Jadi, lo naksir doi?"
Sebuah bisikan membuyarkan fokus beserta pemikiran Juan. Di sampingnya Ale berdiri sambil tersenyum jahil dan sorot matanya menuju ke belakang punggung Juan di mana sosok perempuan terlihat sedang duduk sendirian.
"Sekarang nyari yang lebih muda, Ju?"
Juan menggeleng. Tanpa kata, ia berlalu meninggalkan Ale dan masuk ke dalam kelas. Sedangkan Ale tetap di tempatnya sembari memerhatikan perempuan yang kini tengah berdiri sambil menengadahkan kepala menatap langit kelabu.
Dari samping, wajah adik tingkatnya itu terlihat biasa saja. Hidungnya tak terlalu mancung, tidak juga pesek. Bibirnya berwarna merah muda yang tidak tebal, tapi juga tidak terlalu tipis. Dagunya cukup bagus. Rambutnya ikal menjuntai sampai punggung. Matanya..
Kepala perempuan itu memutar sebelum Ale bisa mendiskripsikan matanya dari samping, namun dapat dengan jelas melihatnya dari depan.
Sendu. Sedih. Letih. Kesepian.
Netra gadis itu sangat layu. Namun bibirnya masih bisa menyunggingkan senyuman anggun dan kepalanya menunduk sopan sebagai tanda hormat sekaligus menyapa.
Detik itu juga, entah kenapa Ale tak bisa mengubah atensi. Ia terjerat dengan segala tanya mengenai perempuan itu.
Ale ingin tahu.
KAMU SEDANG MEMBACA
still friends, not lovers
Ficção Adolescentejudul sebelumnya within shouting distance (idiom) sangat dekat 2019© Chelsea