Naga Beracun1

10.4K 45 3
                                    

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
(Lanjutan Naga Sakti Sungai Kuning)
Karya : Kho Ping Hoo
Scan djvu oleh Syaugy_ar
Ebook by Dewi KZ & Sukanta
http://kangzusi.com/
Jilid 1
Thian ho-tang (Kuil Pardamaian Langit) di lorong Coa-san (Bukit Ular) merupakan
sebuah kuil yang dihuni belasan orang nikouw (pendeta Buddhis wanita) dan kuil ini
dikunjungi banyak tamu yang berdatangan dari dusun-dusun di sekitar daerah
pegunungan itu. Mereka datang untuk bersembahyang, mohon bermacam-macam berkah.
Ada yang minta kesembuhan bagi orang sakit, minta ringan jodoh, minta bertambahnya
rejeki , naik pangkat dan segala macam keinginan lagi. Bahkan diam-diam banyak pula
yang minta kutukan bagi orang lain yang dibencinya.
Kuil Thian ho tang berada di luar dusun Mo-kim cung, sebuah dusun yang makmur
karena tanah di pegununagn itu subur. Penduduknya semua petani dan mungkin kuil
Thian ho-tang merupakan satu di antara sebab yang mendatangkan ketenteraman pada
penduduk dusun itu.
Selain tiga belas orang nikouw yang bekerja di kuil itu, melayani para pengunjung,
terdapat pula seorang nikouw tua yang pekerjaannya hanya membaca kitab, berdoa dan
bersamadhi saja. Para nikouw di kuil itu menyebutnya Lo Nikouw (Nikouw Tua) dan tidak
pernah mengusiknya. Lo Nikouw berada di situ sejak dua tahun yang lalu dan ia tinggal di
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kuil itu sebagai tempat peristirahatan atau pertapaan, dan kehadirannya ini dibiayai oleh
puterinya yang tinggal di dusun Mo kim-cung.
Puterinya bernama Sim Lan Ci, berusia tigapuluh dua tahun yang tinggal di dusun itu
bersama suaminya bernama Coa Siang Lee, dan anak tunggal mereka bernama Coa Thian
Ki yang berusia lima tahun. Mantu dan puterinya itulah yang membawanya ke kuil, dan
minta kepada para nikouw di situ untuk menerima nenek itu menjadi seorang nikouw dan
bertapa di kuil itu. Mereka membiayai keperluan hidup nenek itu dengan sumbangan yang
memadai sehingga biarpun Lo Nikouw tidak bekerja, namun para nikouw yang lain
menghormatinya.
Hal ini bukan saja karena Coa Siang Lee dan isterinya membiayai kebutuhan hidup Lo
Nikouw, akan tetapi juga karena suami isteri itu terkenal di dusunnya dan di daerah
sekitarnya sebagai suami isteri yang budiman. Mereka juga hidup sebagai petani
sederhana, namun suami isteri itu terkenal pandai ilmu pengobatan dan selalu meno long
penduduk dusun itu yang menderita sakit, bahkan ada yang mengabarkan bahwa suami
isteri itu selain budiman dan pandai mengobati, juga memiliki ilmu untuk menolak segala
ancaman bahaya.
Pernah dusun itu diganggu beberapa ekor harimau yang suka menerkam kambing milik
para penghuni dusun. Setelah pada suatu malam suami isteri itu pergi menyelidik
sedangkan para penghuni lain bersembunyi di dalam rumah karena takut, binatangbinatang
buas itupun menghilang dan tidak pernah datang lagi. Tidak ada seorangpun
penghuni yang tahu bahwa suami isteri itu sebetulnya memiliki ilmu kepandaian silat tinggi
yang amat kuat!
Andaikata para nikouw mengetahui, siapa sebetulnya Lo Nikouw yang tampak alim itu,
tentu mereka akan merasa ngeri. Ibu dari Nyonya Coa Siang Lee yang mereka kenal
sebagai Lo Nlkouw yang nampaknya lemah ini, pada dua tahun yang lalu masih
merupakan seorang datuk sesat yang ditakuti orang dan berjuluk Ban tok Mo li (Iblis
wanita Selaksa Racun). Dari nama julukannya sudah dapat diketahui bahwa ia adalah Iblis
Betina yang amat kejam. Para pembaca kisah Naga Sakti Sungai Kuning tentu mengenal
siapa Ban-tok Mo-li, siapa pula puterinya dan mantunya itu. Ban-tok Mo li bernama Phang
Bi Cu, seorang wanita yang berwajah cantik jelita namun berhati kejam. Bahkan setelah
menjadi nlkouw di Thian ho-tong masih nampak bekas kecantikannya walaupun usianya
sudah hampir enam puluh tahun. Dua tahun yang lalu, ia masih meraja lela, bersekongkol
dengan orang-orang lihai lainnya di dunia sesat.
Putrinya, Sim Lan Ci, walaupun putri seorang datuk sesat, namun tidak menjadi
penjahat. Apalagi setelah Sim Lan Ci bertemu dan jatuh cinta dengan Coa Siang Lee. Ban
tok Mo li menentang perjodohan putrinya dengan Coa Siang lee. Mereka nekat dan
minggat meninggalkan Ban tok Mo li, kemudian hidup sebagai suami istri petani di dusun
Mo kim cung, tidak lagi mencampuri urusan dunia persilatan. Kini mereka telah
mempunyai seorang anak laki-laki yang diberi nama Coa Thian Ki, sudah berusia lima
tahun.
Karena suami isteri ini pernah menderita sengsara akibat kekerasan yang selalu terjadi
dalam kehidupan para ahli silat, maka setelah mereka mempunyai seorang anak, mereka
berdua bersepakat untuk tidak mengajarkan ilmu silat kepada Thian Ki, putera mereka.
Mereka menganggap bahwa kehidupan seorang ahli silat penuh dengan pertentangan,
permusuhan dan perkelahian, balas membalas dan dendam mendendam.
Mereka hendak menjauhkan anak mereka dari semua kekerasan itu, maka sejak kecil
Thian Ki hanya belajar membaca menulis dan kebudayaan lain, akan tetapi sama sekali
tidak pernah diperkenalkan dengan ilmu silat.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dalam ilmu silat, Coa Siang lee cukup lihai karena dia telah mewarisi ilmu-ilmu dari
Hek-houw-pang (Perkumpulan Harimau Hitam) dari kakeknya sendiri, Cou Song yang
menjadi ketua Hok-houw-pang yang berada di dusun Ta-bun-cung dekat kota Po-yang
sebelah utara sungai Huang ho di Propinsi Ho-nan. Adapun isterinya, Sim Lan Ci, bahkan
lebih lihai lagi karena wanita ini adalah puteri dan murid Ban tok Mo li Phang Bi Cu,
memiliki ilmu silat dari golongan sesat yang penuh tipu daya, bahkan juga menguasai
pukulan-pukulan yang mengandung hawa beracun.
Demikianlah keadaan suami isteri ahli silat yang hidup tenteram sebagai petani di
dusun Mo-kim-cung itu. Tak seorangpun penduduk dusun tahu bahwa suami isteri ini
sesungguhnya merupakan orang-orang yang amat lihai sehingga tidak mengherankan
kalau mereka dengan mudahnya dapat mengusir harimau-harimau yang mengusik dusun
itu.
Akan tetapi dua tahun yang lalu, ketika itu Thian Ki berusia tiga tahun muncullah pada
suatu malam tanpa diketahui orang lain, Ban-tok Mo-li di dalam rumah keluarga itu. Dapat
dibayangkan betapa kaget dan herannya suami isteri itu melihat munculnya orang yang
tidak pernah mereka sangka akan datang berkunjung itu.
Bagaimanapun juga, Ban tok Mo-li Phang Bi Cu adalah ibu kandung Sim Lan Ci, maka
nyonya ini segera menghampiri ibunya dan mereka berangkulan.
"Ibu......!" dan Sim Lan Ci menangis dalam rangkulan ibunya yang pernah mengusirnya
karena ia hendak berjodoh dengan Coa Siang Lee.
Sejak itu ia tidak pernah bertemu dengan Ibunya. Dan ia merasa heran akan tetapi juga
terharu ketika melihat bahwa ibunya juga menangis! Hampir ia tidak percaya ibunya
menangis!
Bahkan sejak ia kecilpun belum pernah ia melihat ibunya menangis. Akan tetapi kini
ibunya menangis seperti anak kecil.
Melihat ini Siang Lee yang berhati lembut juga menjadi terharu, Ibu mertuanya itu
adalah seorang datuk sesat yang amat kejam seperti iblis. Kini menangis seperti anak kecil
dan hal ini membuktikan bahwa ibu mertuanya itu ternyata juga seorang wanita biasa
yang berhati lemah dan cengeng.
"Ibu, selamat datang di rumah kami." Diapun memberi hormat, tidak mau mengingat
lagi betapa dahulu Ban-tok Mo-li ingin membunuhnya karena dia meminang Lan Ci. Hanya
karena Lan Ci melindunginya maka dia tidak sampai terbunuh oleh wanita iblis itu.
Mendengar suara Siang Lee, nenek itu menghentikan tangisnya, melepaskan
rangkulannya dan memandang kepada mantunya. "Coa Siang Lee, kau maafkanlah
sikapku dahulu kepadamu."
Kembali Siang Lee dan isterinya merasa terkejut dan heran. Sungguh terjadi perubahan
sikap yang luar biasa pada wanita itu! Dahulu, jangan harap Ban-tok Mo-li akan sudi minta
maaf, apalagi kepada seorang muda yang menjadi mantunya!
Siang Lee memberi hormat. "Ibu, harap jangan ingat lagi urusan yang lalu. Mari silakan
duduk, ibu."
"Duduklah, ibu, dan ceritakan apa yang ibu kehendaki maka datang mengunjungi
kami," kata pula Lan Ci yang masih merasa heran, bahkan diam-diam ia rasa curiga. Ia
sudah mengenal benar bagaimana watak ibunya ini yang penuh kelicikan dan kekejaman!
Ban-tok Mo-li duduk dan menghela napas panjang.
Terbayanglah semua pengalaman yang pahit. Semenjak ditinggal puterinya, ia berulang
kali mengalami kegagalan. Bahkan yang terakhir sekali ia nyaris tewas di tangan para
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pendekar ketika perkumpulan di mana ia menjadi ketuanya, yaitu Thian-te-pang, dibasmi
oleh para pendekar. Ia menjadi putus asa, lalu melarikan diri ke rumah puterinya yang
selama ini tidak di akuinya lagi. Semua cita-citanya kandas dan ia hampir putus asa.
"Lan Ci, aku datang minta tolong kepada engkau dan suamimu."
Suami isteri itu saling pandang. Hampir mereka tak dapat mempercayai pendengaran
mereka. Ban-tok Mo-li minta tolong kepada mereka?
"Tentu saja, ibu. Kalau kami dapat membantumu, tentu akan kami lakukan, ada
apakah, ibu?" "Aku sudah bosan dengan kehidupan lama. Hanya kegagalan, kehancuran
dan kekecewaan saja yang kurasakan. Aku sudah muak, Lan Ci. Aku ingin beristirahat, aku
ingin hidup tenteram. Aku ingin........menebus dosa-dosaku dan menjadi nlkouw. Aku
minta tolong agar kalian dapat mencarikan tempat yang baik untukku. Aku ingin bertapa,
aku ingin menjadi nikouw untuk menebus dosa."
Nenek yang masih cantik itu menutupi mukanya dengan kedua tangan. Ia tidak
berpura-pura dan jelas sekali bahwa ia memang sedang berduka dan tertekan
perasaannya. Suami isteri itu kembali saling pandang.
"Di luar dusun ini, tak jauh dari sini terdapat sebuah kuil yang dihuni beberapa orang
nikouw, ibu. Kalau ibu suka............"
"Bagus!" Ban-tok Mo-li berseru. "Usahakan agar aku dapat diterima menjadi nikouw di
sana dan dapat bertapa mengasingkan diri di sana."
Demikianlah, Siang Lee dan Lan Ci akhirnya berhasil membujuk para nikouw di Kuil
Thian ho-tang untuk menerima Ban-tok Mo-li Phang Bi Cu sebagai seorang nikouw dan
bertapa di sebuah kamar belakang kuil itu. Mereka menerima dengan senang hati ketika
mendengar bahwa yang akan menjadi nikouw adalah ibu dari Sim Lan Ci yang mereka
kenal sangat dermawan dan baik hati, apa lagi karena suami isteri itu memberi biaya
secukupnya untuk keperluan nikouw tua yang kini disebut Lo Nikouw (Pendeta Wanita
Tua) itu. Lo Nikouw digunduli kepalanya dan mengenakan jubah pendeta. Kerjanya setiap
hari hanyalah mempelajari agama, berdoa dan bersamadhi.
Dan menurut pengamatan Siang Lee dan Lan Ci, agaknya ibu mereka itu benar-benar
sudah bertobat, sehingga diam-diam mereka bersyukur kepada Tuhan dan mengharapkan
agar nenek itu akan terus menjadi orang beribadat sampai akhir hayatnya. Mereka
seringkali datang berkunjung ke kuil bersama Coa Thian Ki sehingga Lo Nikouw merasa
terhibur.
Setelah lewat dua tahun, Thian Ki begitu akrab dengan neneknya dan seringkali Lo
Nikouw minta agar cucuny itu diperbolehkan bermalam di kuil bersamanya. Karena merasa
kasihan kepada ibunya yang hidup terasing, Lan Ci dan suaminya menyetujuinya, namun
diam-diam mereka minta ibu mereka berjanji agar tidak mengajarkan ilmu silat kepada
Thian Ki.
"Ibu sendiri sudah mengalami, juga kami berdua, betapa ilmu silat hanya
mendatangkan malapetaka bagi kita. Setelah kami berdua meninggalkan dunia kangouw,
tidak lagi berkecimpung dalam dunia persilatan, kami merasa tenteram dan damai. Karena
itu, ibu, kami sudah mengambil keputusan untuk tidak memperkenalkan ilmu silat kepada
Thian Ki, agar dia kelak hidup dalam suasana yang tenteram dan damai."
"Omitohud.....!" Lo Nikouw merangkap kedua tangan di depan dada. "Sungguh pikiran
kalian, itu baik sekali. Pin-ni (aku) setuju sekail dengan pendapat kalian." Setelah Lo
Nikouw berkata seperti itu, legalah hati Siang Lee dan Lan Ci dan mereka dapat
meninggalkan putera mereka di kuil itu dengan lega. Ada kebaikan dapat diperoleh kedua
pihak. Bagi Lo Nikouw, kehadiran Thian Ki merupakan penghibur yang akan membuatnya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tidak kesepian dan gembira. Sebaliknya, sering bermain di kuil juga amat baik bagi Thian
Ki, karena anak ini mulai didekatkan kepada aran-ajaran yang baik.
Dan agaknya, setelah dua tahun tinggal di kuil, Lo Nikouw mulai nampak sehat dan
segar, wajahnya nampak lembut dan alim dan tidak lagi kelihatan ia berduka atau
tenggelam dalam kekecewaan. Juga Thian Ki amat akrab dengan neneknya sehingga
sedikitnya seminggu sekali anak ini tidur di kamar neneknya, di bagian belakang kuil.
oo0000oo
Suatu malam yang sunyi dan menyeramkan. Hujan turun sejak sore. Udara teramat
dinginnya dan menjelang tengah malam, tidak ada suara liam-keng (membaca doa) lagi di
dalam Kuil Thian-ho-tang, tanda bahwa semua nikouw sudah tidur. Semua daun pintu
sudah tertutup sejak tadi karena udara yong dingin menyerang ke dalam. Pula, di malam
sedingin itu, tidak akan ada tamu datang berkunjung yang perlu mereka layani.
Akan tetapi, di malam dingin dan sunyi itu, ketika semua nikouw sudah tidur pulas, di
dalam kamar bagian belakang kuil itu, kamar yang menyendiri terjadi kesibukan luar biasa
tanpa mengeluarkan suara. Kesibukan yang terjadi di kamar Lo Nikouw itu kalau terlihat
orang lain akan menimbulkan perasaan ngeri dan seram.
Kamar itu memang besar. Di sudut terdapat sebuah dipan kayu yang cukup besar untuk
ditiduri berdua. Di sudut yang lain terdapat sebuah almari pakaian dari kayu pula. Sebuah
meja dan dua buah kursi terdapat di dekat pembaringan. Selain itu, tidak terdapat perabot
lain lagi sehingga kamar itu nampak kosong dan luas.
Akan tetapi di atas perapian yang biasanya dinyalakan untuk mendatangkan hawa
hangat di kamar itu, kini terdapat sebuah panci besar yang terisi air setengahnya dan
sedang digodok. Belum mendidih. Agaknya udara yang dingin dan menembus ke dalam
kamar itu membuat air yang dimasak lebih lama mendidih dari pada biasanya.
Lo Nikouw duduk bersila, di atas pembaringan. Wajahnya yang kini nampak lembut itu
tersenyum. Matanya tak pernah berkedip memandang kepada anak yang rebah terlentang
di atas pembaringan, di depannya. Anak itu telanjang bulat, pulas dan tidak akan bangun
sebelum dikehendaki nenek itu, karena Thian Ki, anak itu, memang pulas secara tidak
wajar. Bahkan lebih tepat dikatakan pingsan dari pada tidur. Tangan kanan nenek itu
memegang sebuah mangkok yang terisi cairan merah seperti darah. Kemudian, ia
menggunakan tangan kiri untuk membaluri seluruh tubuh anak itu dengan cairan merah.
Seluruh tubuh dibaluri, sampai ke mukanya, kepalanya, ujung kakinya dan telapak
kakinya. Dibalikkan tubuh Thian Ki dan bagian belakang juga dilumuri cairan merah itu
sampai habis dan seluruh permukaan tubuh anak itu menjadi merah seperti dicat!
Ia membiarkan sampai cairan merah itu mengering di tubuh Thian Ki, kemudian ia
memeriksa air di panci yang di godok. Air itu mulai mendidih dan ia menuangkan cairan
hitam ke dalam air itu. Nampak uap hitam mengepul tebal dari dalam panci dan tercium
bau yang harum tapi aneh. Lo Nikouw lalu menghampiri pembaringan, memondong tubuh
Thian Ki yang telanjang bulat dan berwarna merah itu, kemudian ia.........memasukkan
tubuh anak itu ke dalam panci air mendidih!
Mula-mula tubuh bagian atas, dari kepala ke pinggang yang dimasukkan panci, tidak
lama, lalu dibalikkan dari pinggang ke kaki. Juga hanya sebentar, kemudian tubuh itu
direndam sampai ke leher dan Lo Nikouw menggunakan tangan untuk memercikkan air
yang kehitaman dan panas itu ke muka dan kepala Thian Ki!
Warna merah itu terhapus dan setelah seluruh tubuh bersih dari warna merah, Lo
Nikouw menurunkan panci dan membawa tubuh yang kini mengepulkan uap panas itu ke
pembaringan kembali.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tubuh anak itu telentang. Anehnya, kulitnya tidak melepuh dan anak itu masih pingsan
dan pulas, dadanya turun naik dengan halus, dan kulit tubuhnya yang terkena air
mendidih itu hanya nampak kemerahan dan segar. Hanya di bagian bawah pusar dan
sekitarnya, nampak ada warna hitam kemerahan yang membayang di bawah kulit!
Kini Lo Nikouw dengan penuh perhatian, dan dengan mata tak pernah berkedip duduk
bersila di dekat anak itu, tangan kanannya memegang sebatang jarum yang berwarna
kehijauan. Jarum yang mengandung racun berbahaya sekali.
Sekali tusuk saja dengan jarum itu, orang biasa akan tewas seketika! Akan tetapi kini ia
menggunakan jarum beracun itu untuk menusuki bagian-bagian tertentu dari tubuh
cucunya!
Apa yang sedang dilakukan Lo Ni-kouw? Apakah nenek ini hendak mencelakai cucunya
sendiri? Sama sekali tidak! Peristiwa seperti terjadi pada malam ini sudah dilakukannya
sejak ia pertama kali mengajak Thian Ki tidur di situ. Diam-diam nenek ini merasa
penasaran sekali mendengar bahwa puterinya, Lan Ci dan mantunya Siang Lee,
mengambil keputusan untuk tidak mengajarkan silat kepada Thian Ki Ia merasa
penasaran. Padahal ia sudah siap untuk mewariskan seluruh ilmu kepandaiannya kepada
cucunya. Untuk berterus membantah keputusan anak dan mantunya, la tidak berani. Ia
sedang bersembunyi dan mencari ketenangan di situ, tidak boleh ia memulai dengan
memusuhi anak dan mantunya.
Maka, diam-diam timbul gagasannya yang ia anggap amat baik dan menguntungkan
bagi cucunya yang amat disayanginya itu. Ia ingin membuat cucunya menjadi seorang
Tok-tong (Anak Beracun)! Biarpun oleh ayah ibunya tidak diberi pelajaran ilmu silat, kalau
cucunya itu memiliki tubuh yang kebal kuat dan beracun,maka dia akan menjad seorang
yang mampu menjaga diri dari serangan orang lain!
Demikianlah, semenjak dua tahun yang lalu, diajaknya cucunya kadang-kadang tidur
bersamanya di kuil dan kesempatan ini ia pergunakan untuk menggembleng cucunya itu
agar menjadi Tok-tong! Mula-mula, ia membuat cucunya pingsan dengan totokan
sehingga apapun yang ia lakukan kepada cucunya, anak itu tidak mengetahui atau
menyadarinya. Ia mulai memasukkan racun, hawa beracun ke dalam tubuh cucunya
melalui obat, melalui penggodokan dan juga penyaluran hawa sakti dari tubuhnya.
Dan pada malam hari ini merupakan proses terakhir bagi cucunya. Perut di bawah
pusar sudah memperlihatkan tanda merah kehitaman, hal itu berarti bahwa kekuatan atau
tenaga dalam di pusar sudah bangkit, dan warna hitam itu menunjukkan bahwa tenaga itu
sudah mengandung hawa beracun!
Setelah selesai menusuki jalan darah tertentu di tubuh cucunya dengan jarum beracun
sehingga racun itu mulai beredar di seluruh tubuhnya, Lo Nikouw memandang dengan
puas, lalu mengenakan kembali pakaian pada tubuh cucunya, membebaskan totokan
sehingga kini Thian Ki tidur pulas dengan wajar. Akan tetapi, anak ini mulai mengigau dan
mengeluh karena dia merasa tubuhnya panas.
Pada keesokan harinya, ketika pagi-pagi anak itu terbangun, kemudian disuruh mandi
oleh Lo Nikouw, dan rambutnya disisiri oleh neneknya, banyak rambut kepalanya yang
rontok terlepas. Lo Nikouw tidak merasa heran, bahkan gembira karena maklum bahwa
hal itu menandakan bahwa hawa beracun sudah mengalir sampai ke kepala. Iapun
menyembunyikan rontokan rambut itu sehingga Thian Ki tidak mengetahuinya. Anak ini
tidak menderita lagi, tubuhnya biasa saja tidak lagi terasa panas. Wajahnya nampak
kemerahan dan segar, matanya bersinar tajam. Sepintas lalu anak ini nampak sehat dan
takkan ada orang menyangka bahwa sejak malam tadi, dia sudah menjadi Tok-tong yang
memiliki kelainan pada tubuhnya!
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Cucuku, engkau akan menjadi orang yang kokoh kuat, seorang yang gagah perkasa
kelak," katanya setelah selesai menyisiri rambut Thian Ki.
Anak itu memandang neneknya dengan sinar mata yang jernih akan tetapi juga
mengandung keheranan. "Untuk apa Nek? Bukankah dalam kitab, agama disebutkan
bahwa jalan utama adalah tanpa kekerasan dan tidak melakukan perlawanan?"
"Omitohud......engkau benar sekali, cucuku. Akan tetapi lihatlah contoh di luar kamar.
Mari, mari kita melihat keluar." Nenek itu membimbing cucunya dan mereka keluar dari
kamar, melihat ke kebun di mana terdapat sisa akibat hujan semalam. Air hujan membuat
selokan kecil di situ penuh air yang menghanyutkan daun-daun kering dan lumpur.
"Lihat itu, cucuku. Batu-batu itu, sepertl juga daun-daun itu, tidak melakukan
kekerasan, tidak melawan. Akan tetapi, alangkah gagahnya batu-batu itu, diterjang air
masih tetap teguh dan kokoh kuat, sebaliknya lumpur dan daun-daun itu hanyut dan
dipermainkan air. Nah, bukankah jauh lebih baik menjadi seperti batu itu daripada seperti
tanah lumpur dan segala kotoran yang dihanyutkan air? Engkau tidak perlu melakukan
perlawanan, tidak perlu menggunakan kekerasan, namun apabila dirimu kokoh kuat,
engkau tidak akan mudah dipermainkan orang lain."
Thian Ki mendengarkan dengan alis berkerut, tidak mengerti mengapa neneknya bicara
seperti itu. Sejak kecil, ayah ibunya selalu menekankan bahwa hidup haruslah lemah
lembut dan menjauhi kekerasan dan baginya, orang gagah perkasa yang mempergunakan
kekerasan adalah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dan karenanya jahat.
Kenapa kini neneknya mengatakan bahwa dia akan menjadi seorang yang kokoh kuat dan
gagah perkasa?
"Lihat pula pohon-pohon itu, cucuku." Lo Nikouw menuding ke arah pohon-pohon yang
tumbuh di kebun. Angin pagi itu masih bertiup kuat membuat pohon-pohon itu bergoyanggoyang
dnn banyak daun rontok.
"Nah, biarpun sama-sama tidak melakukan perlawanan, namun daun-daun yang kokoh
kuat tidak gugur, sebaliknya daun yang ringkih akan rontok tertiup angin. Apakah engkau
tidak lebih suka menjadi batu karang yang kokoh daripada menjadi lumpur, tidak lebih
senang menjadi daun yang kokoh daripada daun yang lemah? Hujan dan angin badai itu
tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan angin dan badai kehidupan yang akan
menerjangmu, cucuku."
Tentu saja anak berusia lima tahun itu belum dapat membayangkan makna dari ucapan
nenek itu. "Aku akan mentaati nasehat ayah dan ibu, nek, yaitu aku akan menentang
setiap terjangan angin dan badai, namun bukan dengan kekerasan."
Percakapan terhenti karena terdengar suara Lan Ci memanggil-manggil putranya.
"Thian Ki......! Sudah bangunkah engkau......?"
"Ibuuuu......!" Thian Ki berseru dan berlari keluar. Kiranya ayah dan ibunya sudah
datang menjemputnya seperti biasa kalau dia bermalam di kuil.
Lo Nikouw juga menanggalkan sikap yang tadi bersungguh-sungguh dan ia melangkah
keluar perlahan-lahan dengan wajah tersenyum lembut. Siang Lee dan Lan Ci memberi
hormat kepada Lo Nikouw yang mempersilakan mereka duduk di dalam.
"Ibu." kata Lan Ci. "kami ingin pamit dari ibu karena kami akan berkunjung ke Ta-buncung."
Lo Nikouw memandang kepada puterinya, lalu kepada mantunya, dengan sinar mata
tak mengerti.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sudah bertahun-tahun saya tidak berkunjung ke Hek-houw-pang di Ta-bun cung, ibu.
Saya ingin menengok keadaan kakek saya dan para paman."
Lo Nikouw mengangguk-angguk. Teringatlah ia bahwa mantunya adalah cucu ketua
Hek-houw-pang. "Hemmm, bukankah kalian pernah bercerita bahwa ketua Hek-houwpang
yang menjadi kakek Siang Lee tidak merestui perjodohan kalian?"
"Benar, ibu itu dahulu. Sekarang setelah kami mempunyai seorang putera saya yakin
bahwa kong-kong (kakek) akan menerima kami dengan baik. Saya telah rindu sekali
kepada kampung halaman, dan saya juga ingin bersembahyang di makam ayah." kata
Siang Lee.
Kembali nikouw itu termenung. Ia tahu benar siapa mendiang ayah mantunya ini. Nama
ayah Coa Siang Lee adalah Coa Kun Tian, putera ketua Hek-hou-pang, seorang pria yang
tampan dan ganteng dan berwatak mata keranjang. Adik kandungnya yang bernama
Phang Hui Cu telah menikah dengan Sin-tiauw (Rajawali Sakti) Liu Bhok Ki, akan tetapi
adiknya itu tergoda oleh Coa Kun Tian sehingga terjadi hubungan gelap di antara mereka.
Ketika penyelewengan Phang Hui Cu itu diketahui oleh Sin-tiauw Liu Bhok Ki, maka
pendekar itu menjadi marah dan membunuh isterinya sendiri dan Coa Kun Tian, kekasih
isterinya.
Ia boleh merasa tidak suka kepada Coa Kun Tian. Akan tetapi orang itu sudah
meninggal dunia, dan bagaimanapun juga, mantunya adalah putera kandung Coa Kun
Tian. Sudah sewajarnya kalau sekarang mantunya ingin bersembahyang di makam
ayahnya.
"Apakah kalian hendak mengajak Thian Ki? Lebih baik tinggalkan saja dia di sini
bersamaku, perjalanan itu jauh dan tentu akan melelahkan dia."
"Akan tetapi, ibu. Justru kami pergi ke sana untuk memperkenalkan Thian Ki kepada
keluarga nenek-moyangnya, keluarga Coa dan juga kepada Hek-houw-pang," kata Siang
Lee. lsterinya mengangguk membenarkan.
Melihat sikap puteri dan mantunya itu, Lo Nikouw hanya menghela napas panjang.
"Omitohud..........kalau begitu terserah kepada kalian. Akan tetapi berhat-hatilah
menjaga Thian Ki. Cucuku itu kelak akan menjadi orang yang hebat I"
Suami isteri itu tidak dapat menangkap makna yang tersembunyi di balik kata-kata itu,
akan tetapi mereka girang mendengar pujian Lo Nikouw. Mereka berpamit lalu mengajak
Thian Ki pulang ke dusun.
Dan pada keesokan harinya, mereka bertiga meninggalkan dusun Mo-kim-cung
melakukan perjalanan jauh menuju ke Ta bun-cung, yang menjadi kampung halaman
Siang Lee.
oo00oo
Tiga tahun yang lalu terjadi peristiwa hebat dalam Kerajaan Sui. Kaisar dinasti Sui, yaitu
Kaisar Yang Ti, terlalu suka berperang dan mendirikan istana yang indah-indah. Semua ini
makan biaya yang amat besar dan tentu saja sumber biaya itu didapat dari penghisapan
terhadap rakyat jelata. Ditambah lagi dengan pembangunan Terusan Besar yang
menghubungkan Sungai Huang-ho dan Yang-ce, maka kehidupan rakyat jelata semakin
tertindas. Hal ini menimbulkan ketidaksenangan, dan terjadilah pemberontakanpemberontakan
di mana-mana.
Pemberontakan yang paling hebat dan yang akhirnya menghancurkan dinasti Kerajaan
Sui adalah pemberontakan yang dilakukan oleh Li Si Bin, putera Li Goan, kepala daerah
Shan-si. Sebagal seorang perwira tinggi, Li Si Bin pernah berjasa besar terhadap Kaisar
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Yang Ti. Yaitu ketika dalam petualangannya memimpin pasukan untuk memerangi semua
negara tetangga dan menundukkan suku-suku bangsa, pernah Kaisar Yang Ti terjebak
dalam perangkap musuh di daerah Shan-si utara. Dalam keadaan terancam bahaya inilah
muncul Li Si Bin bersama pasukannya yang menyelamatkan Kaisar Yang Ti.
Akan tetapi, di samping kegagahannya. L i Si Bin juga terkenal sebagai seorang yang
keras dan dia berani menentang kebijaksanaan kaisar dengan menegur peraturan yang
mencekik leher rakyat. Sikap ini membuat Kaisar Yang Ti tidak suka kepadanya, bahkan
mencurigainya. Apa lagi kalau diingat bahwa biarpun ayahnya seorang Han, namun ibu
dari Li Si Bin adalah keturunan Bangsa Turki di utara.
Pada tahun 617, Li Si Bin mengadakan persekutuan dengan Bangsa Turki dan dia
melakukan penyerbuan ke Tiang-an (Tiongkok). Pemberontakan ini berhasil. Kaisar Yang
Ti melarikan diri ke selatan, ke Yang-couw akan tetapi di tempat ini, Kaisar Yang Ti
disambut oleh para pemberontak sehingga dia terbunuh dalam pertempuran. Adapun
kotaraja diduduki oleh Si Bin. Untuk menarik dukungan para pembesar yang masih setia
kepada dinasti Sui, Li Si Bin mengangkat seorang cucu dari Yang Ti untuk dijadikan kaisar.
Akan tetapi sesungguhnya, dialah yang berkuasa dan kaisar itupun hanya menjadi kaisar
boneka.
Dan kedudukan inipun hanya beberapa bulan saja. Setelah suasana mereda dan semua
kekuasaan mutlak berada di tangannya, semua pejabat tinggi diganti dengan orang yang
mendukungnya, Li Si Bin membujuk ayahnya sendiri untuk menjadi kaisar dan
menurunkan kaisar boneka cucu Yang Ti itu.
Ayah Li Si Bin itu menjadi kaisar dan berjuluk Tang Kao Cu sebagai kaisar pertama dari
dinasti Tang (Kaisar Tang Kao Cu 618-627). Akan tetapi karena dia menjadi kaisar karena
pengaruh puteranya, maka biarpun dia menjadi kaisar selama sembilan tahun, tetap saja
yang berdiri di belakang layar sebagai pengaturnya dan pemegang kekuasaan adalah
puteranya sendiri yang menjadi putera mahkota!
Cerita ini dimulai dalam tahun 620 dan sudah dua tahun Kaisar Tang Kao Cu menduduki
tahta Kerajaan Tang. Adapun Li Si Bin sendiri selain menjadi pangeran atau putera
mahkota, juga masih melanjutkan kedudukannya yang semula, yaitu mengepalai seluruh
angkatan perang dinasti Tang.
Di bagian manapun di dunia ini, peperangan menimbulkan kekacauan. Bukan saja
kekacauan karena pertempuran antara kedua pihak, dan dilandanya kota-kota dan dusundusun
oleh pertempuran, akan tetapi terutama sekali munculnya para penjahat dari dunia
sesat yang melihat kesempatan baik sekali untuk merajalela. Dalam perang, pemerintah
tidak dapat lagi mengendalikan keamanan. Apalagi tempat-tempat yang jauh dari pasukan
pemerintah, menjadi medan pesta pora bagi para penjahat, seolah-olah semua tikus
keluar karena tidak ada kucing. Celakanya, dalam waktu perang, agaknya setan dan iblis
merajalela menguasai benak kebanyakan manusia sehingga pasukan kedua pihak yang
berperangpun tiba-tiba saja berubah ganas dan kejam, membunuhi penduduk tanpa
alasan yang kuat. Sedikit saja sebuah pasukan mencurigai sebuah desa yang dianggap
berpihak kepada lawan, tentu disikat habis. Banyak pula yang mempergunakan
kesempatan selagi keadaan kacau seperti itu untuk bertindak sendiri-sendiri membalas
dendam.
Hanya mereka yang teguh imannya kepada Tuhan sajalah yang masih selalu sadar
untuk tetap berdiri di jalan yang benar. Bahkan para pendekar bermunculan seolah
menjadi imbangan dari munculnya para tokoh sesat. Para pendekar ini yang menentang
kejahatan yang terjadi di mana-mana. Ada pula para pendekar yang membentuk
perkumpulan di tempat masing-masing untuk menjaga keamanan penduduk,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menggantikan tugas pasukan keamanan pemerintah yang tidak ada pada waktu perang
itu.
Perkumpulan orang gagah Hek-houw-pang (Perkumpulan Harimau Hitam) merupakan
satu di antara perkumpulan-perkumpulan orang gagah yang mengerahkan anggotanya
untuk menjaga keamanan penduduk di dusun mereka, bahkan siap pula membantu
penduduk dusun-dusun di sekitarnya.
Kakek Coa Song yang selama puluhan tahun menjadi ketua Hek-houw-pang, kini
berusia tujuhpuluh sembilan tahun, sudah terlalu tua untuk aktif dalam perkumpulan.
Karena kakek ini hanya mempunyai seorang putera yang sudah lama tewas, yaitu Coa Kun
Tian, dan tidak mempunyai anak laki-laki lainnya kecuali tiga orang anak perempuan,
maka dia lalu menunjuk Kam Seng Hin untuk menggantikannya, semenjak kerajaan Sui
jatuh dan diganti Kerajaan Tang tiga tahun yang lalu.
Kam Seng Hin berusia empatpuluh tahun, tinggi besar dan gagah. Dia juga murid Hekhouw
pang yang menikah dengan seorang cucu perempuan dari Coa Song, maka biarpun
dia bukan keturunan Coa, diapun bukan orang luar. Pertama masih murid Hek-houw-pang.
Kedua masih cucu mantu dari kakek Coa Song. Karena hanya pendekar inilah yang
dianggap mampu, diapun diangkat oleh Coa Song untuk memimpin Hek-houw-pang.
Dan memang pilihan kakek Coa Song ini tidak keliru. Kam Seng Hin yang dibantu
isterinya, Poa Liu Hwa, cucu-luar kakek Coa Song, ternyata mampu mengangkat nama
Hek-houw pang sebagai sebuah perkumpulan orang gagah. Ketika terjadi kekacauan
akibat perang, Kam Seng Hin dan Poa Liu Hwa memimpin semua anggota Hek houw pang
yang jumlahnya kurang lebih limapuluh orung itu untuk menjadi pasukan keamanan yang
mempertahankan keamanan penduduk dusun Ta-bun-cung dan dusun-dusun di
sekitarnya. Mereka menentang dan mengusir setiap penjahat atau gerombolan perampok
yang hendak mengacau di daerah itu.
Karena sepak terjang orang-orang Hek-houw-pang ini, maka nama perkumpulan itu
menjadi harum, dipuji semua penghuni dusun-dusun di sekitarnya, dan mengalirlah
sumbangan-sumbangan dari para penduduk yang berterima kasih.
Kam Seng Hin dan Poa Liu Hwa hanya mempunyai seorang anak yang pada waktu itu
usianya sudah lima tahun. Seorang anak yang mungil, berwajah tampan dan berotak
cerdas sekali. Dan sejak kecil oleh orang tuanya, juga oleh kakek Coa Song sendiri, anak
yang diberi nama Kam Cin ini digembleng ilmu silat keluarga Coa yang menjadi ilmu dari
Hek houw-pang. Baik kakek Coa Song maupun ketua Hek-houw-pang dan isterinya,
menanamkan jiwa kependekaran ke dalam hati dan pikiran Kam Cin, sehingga sejak kecil
anak ini memiliki watak yang gagah, pemberani, dan lincah. Semua anak buah atau murid
Hek-houw-pang menyayangi Kam Cin yang amat tampan dan gagah ini. Ketampanan dan
kemungilannya membuat dia disebut dengan nama kesayangan Cin Cin. Biarpun dia
disayang dan dimanja oleh semua orang, namun Cin Cin atau Kam Cin tidak menjadi
manja, tidak pernah merengek dan kemanjaannya hanya nampak pada wataknya yang
lincah gembira saja.
Segala kekacauan yang terjadi dunia ini sesungguhnya hanya merupakan akibat belaka
dari ulah manusia sendiri. Yang merasakan kekacauan adalah manusia sendiri pula. Perang
terjadi karena ulah manusia. Setiap perbuatan manusia hampir selalu didorong oleh nafsu
daya rendah sehingga dengan sendirinya mendatangkan akibat yang menyengsarakan
manusia sendiri.
Perang merupakan konflik antara manusia karena didorong nafsu daya rendah masingmasing,
hingga timbul bentrokan kepentingan diri sendiri dan tentu saja terjadi perang
untuk mempertahankan kebenaran masing-masing. Kebenaran masing-masing adalah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kebenaran yang dilandasi kepentingan diri sendiri. Kesadaran akan kelemahan dan
kesalahan diri sendiri hanya terdapat kalau kita mau mawas diri tanpa penilaian, melihat
keadaan diri sendiri, mengamati pikiran sendiri, karena pikiran yang menimbulkan
perbuatan dan ucapan. Kalau kita mau melakukan pengamatan diri sendiri setiap saat,
akan nampaklah betapa suara setan menguasai pikiran dan hati kita, membujuk merayu
dan menipu, menyeret kita ke dalam kesesatan melalui kesenangan-kesenangan pancaindra
kita yang lemah karena bergelimang nafsu. Demikian lemah dan kotornya hati dan
akal pikiran kita sehingga biarpun kita sudah sadar akan kesalahan dan kesesatan diri
sendiri, namun kita tetap tidak kuasa, tidak mampu untuk menghentikan penyelewengan
kita yang sudah kita sadari itu!
Satu-satunya jalan hanyalah menyerah kepada Tuhan Yang Maha Kasih, menyerah
dengnn penuh keikhlasan dan ketawakalan, memohon kemuruhan Tuhan karena hanya
kekuasaan Tuhan sajalah yang akan mampu membersihkan kita dan mampu
membebaskan jiwa kita dari cengkeraman nafsu daya rendah.
Setelah dinasti Sui jatuh dua tahun yang lalu, dan atas desakan Li Si Bin yang usianya
baru tujuhbelas tahun itu, ayahnya mengangkat diri menjadi kaisar baru, yaitu Kaisar Tang
Kao Cu sebagai kaisar pertama dari dinasti Tang, perang tidak juga berhenti. Kerajaan Sui
memang sudah roboh, diganti Kerajaan Tang. Akan tetapi banyak gubernur dan raja muda
yang bangkit dan tidak mau mengakui dinasti Tang yang baru itu. Maka selama beberapa
tahun, Si Bin memimpin pasukan mengadakan pembersihan di mana-mana, terutama
memadamkan pemberontakan para pembesar daerah Lok-yang.
Demikianlah, Hek-houw-pang juga harus melakukan keamanan selama pemerintah
yang baru masih sibuk mengadakan operasi pembersihan di mana-mana sehingga roda
pemerintahan belum dapat berjaIan lancar. Banyak dusun, termasuk Ta bun cung yang
tidak mempunyai kepala dusun angkatan pemerintah. Maka penduduk Ta bun-cung dan
juga penduduk dusun-dusun sekitarnya, sepakat untuk mengangkat pangcu dari Hekhouw-
pang untuk sementara menjadi kepala dari semua dusun itu. Demi menjaga
ketertiban dusun-dusun itu, Kam Song Hin, ketua Hek-houw-pang, terpaksa menerima
pengangkatan yang amat penting dan juga berat itu sebagai kepala dari semua dusun,
tentu saja kini tanggung-jawabnya menjadi mutlak!
Biarpun pada waktu itu Li Si Bin haru berusia sekitar duapuluh tahun, namun ternyata
dia sudah menunjukkan bakat besar untuk menjadi seorang pemimpin besar pula.
Memang, baru dua tahun dinasti Tang didirikan, dan pemerintah belum dapat mengatur
seluruh daerah kerajaan yang amat luas itu, keamanan dan ketertiban belum terlaksana
dengan baik, apalagi karena dia sendiri masih sibuk melakukan pembersihan menumpas
mereka yang tidak mau tunduk kepada Kerajaan Tang yang baru. Namun dia mendengar
laporan para penyelidik yang disebarnya, dan memperhatikan keadaan yang sekecilkecilnya.
Dia mendengar pula akan sepak terjang Hek-houw-pang, dan dia amat
menghargai usaha Hek-houw-pang yang membantu pemerintah secara tidak langsung
dengan menjamin keamanan daerah dekat kota Po-yang itu.
Pada suatu hari, tampak kesibukan di dusun Ta-bun-cung, terutama sekali di rumah
perkumpulan Hek houw-pang yang cukup besar. Perumahan Hek-houw pang terdiri dari
beberapa buah bangunan yang bagian induknya dijadikan tempat tinggal keluarga pang-cu
(ketua) Kam Seng Hin.
Keluarga ini terdiri dari Kam Seng Hin, isterinya Poa Liu Hwa, putera mereka Kam Cin
dan kakek Coa Song. Dan di bangunan-bangunan samping tinggal para murid atau
anggota Hek-houw-pang yang belum berkeluarga, tidak kurang dari limabelas orang
jumlahnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mengapa nampak kesibukan di dusun itu? Ternyata pada pagi hari itu seorang perwira
diiringkan dua losin prajurit yang merupakan pasukan dari pemerintah, datang
berkunjung. Sikap perwira ini dan pasukannya baik, sehingga menghilangkan kecurigaan
dan kekhawatiran penduduk, apa lagi ketika perwira itu mengatakan bahwa dia diutus oleh
panglima di kota raja untuk bertemu dengan Hek-houw-pang. Perwira itu lalu diterima
oleh Kam Seng Hin dan istrinya, diajak bicara di dalam sedangkan pasukannya menanti
dan beristirahat di luar, di pekarangan yang cukup luas dan dilayani oleh para anak buah
Hek houw-pang.
"Sribaginda Kaisar sendiri yang mengutus Panglima untuk menghubungi Hek-houw
pang, pangcu. Sribaginda Kaisar sangat berkenan mendengar akan perjuangan Hek-houw
pang mengamankan daerah ini. Jasa Hek-houw-pang sudah dicatat di kota raja."
Tentu saja pangcu Kam Seng Hin dan isterinya merasa bergembira sekali mendengar
pujian ini. Hati siapa tak merasa gembira mendengar bahwa Kaisar sendiri menaruh
perhatian kepada mereka yang berada di dusun?
"Aih, ciangkun. Sebetulnya yang kami lakukan ini hanyalah untuk memenuhi tugas kami
sebagal perkumpulan orang gagah yang selalu menentang kejahatan. Saya kira ini
merupakan tugas setiap warga negara."
Perwira itu tersenyum. "Pangcu memang seorang pendekar yang gagah, maka dapat
memimpin anak-buahnya menjadi orang-orang yang gagah dan baik pula. Karena itu,
kami dari pasukan pemerintah, atas nama Kaisar, ingin minta bantuan pangcu."
Kam Seng Hin dan isterinya saling pandang, lalu ketua itu memandang kepada perwira
itu dengan sikap heran. "Pemerintah hendak minta bantuan kami? Ciangkun (perwira),
bantuan apakah yang dapat kami berikan? Kami hanya perkumpulan kecil di dusun yang
sepi."
"Justru itulah Hek-houw-pang dapat membantu pemerintah, pangcu. Ketahuilah bahwa
pasukan pemerintah yang baru saja menghancurkan kekuatan pemberontak yang dipimpin
oleh seorang raja muda dari Po-yang, keluarga kerajaan Sui yang sudah jatuh. Akan
tetapi, raja muda itu dapat meloloskan diri bersama para pengikutnya dan selama dia
belum tertangkap, akan selalu ada bahaya pemberontakannya. Dia seorang yang
berbahaya, amat pandai, bahkan Panglima sendiri memberi peringatan kepada para
perwira agar berhati-hati dan sedapat mungkin menangkapnya, hidup atau mati."
"Apa hubungannya semua itu dengan Hek-houw-pang, ciangkun? Apa yang dapat kami
lakukan untuk membantu Sribaginda Kaisar?"
"Pangcu, seperti kukatakan tadi, raja muda itu melarikan diri dari Po-yang dan menurut
penyelidikan, dia dan para pengikutnya melarikan diri ke sepanjang lembah Sungai Huangho
dan mungkin sekali berada di sekitar daerah ini, maka pangcu dapat membantu
pemerintah untuk ikut mencari dan menangkap raja muda itu, hidup ataupun mati."
Barulah Kam Seng Hin mengerti. "Siapakah nama raja muda itu, ciangkun. Biarpun
kami tinggal di dusun ini, tidak jauh dari Po-yang, akan tetapi kami tidak mengenal para
pembesar dan bangsawan."
"Namanya Pangeran Cian Bu Ong. Dia masih saudara dari Kaisar Yang Ti dari dinasti
Sui ynng dijatuhkan. Usianya sekitar limapuluh tahun dan tentu jarang ada yang
mengenalnya karena tadinya dia berada di kota raja. Setela dinasti Sui jatuh, dari kota raja
dia melarikan diri ke Po-yang dan di sana dia menyusun pemberontakan. Bukan hanya dia
yang lihai sekali, dia mengajak beberapa orang jagoan yang sedang menjalani hukuman
selama hidup di penjara Po-yang."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Lalu perwira itu menggambarkan bentuk muka dan keadaan pangeran pelarian itu
kepada Kam Seng Hin.
Setelah perwira itu bersama pasukannya meninggalkan dusun Ta-bun-cung, Kam
pangcu lalu mengajak istrinya untuk menghadap kakek Coa Song di dalam kamarnya yang
juga menjadi tempat pertapaannya. Mereka menceritakan semua yang baru saja terjadi
berkenaan dengan kunjungan pasukan pemerintah dan minta nasehat dari kakek yang
sudah lama lebih banyak bertapa di dalam kamarnya itu.
"Pangeran Cian Bu Ong? Hemmm. Aku pernah mendengar nama itu, belasan tahun
yang lalu. Memang kabarnya mendiang Kaisar Yang Ti mempunyai banyak jagoan istana
dan di antaranya terdapat pangeran yang memiliki tubuh kebal dan ilmu silat yang lihai.
Mungkin itulah orangnya. Kalian harus berhati-hati dan mulai sekarang, sebaiknya kalau
kalian mengerahkan semua tenaga orang muda di dusun-dusun agar mereka melakukan
penjagaan di dusun masing-masing. Ada baiknya memberi latihan ilmu silat kepada
mereka untuk menambah semangat mereka. Hek houw-pang tidak pernah mencampuri
urusan pemerintah, akan tetapi kalau ada ancaman bagi rakyat, kita harus bertindak untuk
mengamankan kehidupan rakyat "
Mendengar nasihat kakek mereka itu, Kam Seng Hin dan isterinya lalu mengumpulkan
semua murid atau anak buah Hek houw-pang, membagi-bagi tugas kepada mereka untuk
mengumpulkan para pemuda di dusun-dusun sekitarnya, membentuk pasukan penjaga
keamanan dan melatih silat kepada mereka. Dusun Ta-bun-cung sendiri dijaga ketat siang
malam.
Sebetulnya, apakah yang terjadi di Po-yang? Dan kenapa Panglima Besar, juga Putera
Mahkota seperti Li Si Bin sampai memerintahkan panglimanya melakukan pengejaran
bahkan minta bantuan Hek-houw-pang untuk melakukan pencarian dan penangkapan?
Seperti telah diceritakan oleh perwira yang mengunjungi Hek-houw-pang di Po-yang,
seperti juga di banyak daerah lain, terdapat pemberontakan dari mereka yang masih setia
kepada Kerajaan Sui atau mereka yang tidak mau mengakui kekuasaan kerajaan baru dan
hendak berdiri sendiri. Pemberontakan itu dipimpin oleh Pangeran Cian Bu Ong yang
melarikan diri dari kota raja setelah kotaraja terjatuh ke tangan pasukan Li Si Bin. Akan
tetapi, pemberontakan itupun dapat dilumpuhkan oleh pasukan kerajaan Tang karena
jumlahnya yang jauh kalah besar. Pangeran Cian Bu Ong sendiri adalah seorang yang
sakti, akan tetapi apa artinya kesaktian seseorang menghadapi pasukan yang puluhan ribu
orang jumlahnya?
Dia melibat betapa pasukannya hancur dan sebentar lagi pasukan musuh tentu akan
menyerbu Po-yang, maka dia segera mengumpulkan para pengikutnya yang masih setia
kepadanya untuk lari mengungsi dari Po-yang membawa semua harta yang dimilikinya,
juga dia cepat memasuki penjara besar di Po-yang. Pada masa itu, penjara di Po-yang
merupakan penjara terbesar di seluruh negeri. Para penjahat terbesar dihukum dalam
penjara ini, dan hampir semua penjahat yang dihukum seumur hidup berada di situ.
Pangeran Cian Bu Ong memerintahkan kepala penjara untuk menghadapkan lima orang
penjahat yang paling lihai dengan kaki tangan diborgol.
Setelah lima orang penjahat itu berdiri di depannya, dia menyuruh semua penjaga
keluar, membiarkan dia sendiri berhadapan dengan mereka. Dengan teliti dia mengamati
lima orang laki-laki yang berdiri di depannya itu, lalu dia melihat catatan nama-nama
mereka di sehelai kertas. Sebelum menyuruh mereka menghadap, tentu saja lebih dahulu
dia telah mempelajari tentang mereka dengan teliti.
"Siapa yang bernama Gan Lui?" tanya bangsawan itu dengan sikap berwibawa dan
suara keren.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Seorang di antara lima orang hukuman itu melangkah maju. "Saya yang bernama Gan
Lui," katanya. Cian Bu Ong mengamati orang itu dan alisnya berkerut. Gan Lui seorang
laki-laki yang usianya sekitar tigapuluh lima tahun, bermuka kuning dan matanya sipit,
kumisnya jarang seperti kumis tikus, dan mulutnya selalu cemberut. Menurut catatan, Gan
Lui dihukun seumur hidup karena telah membunuh belasan orang prajurit Kerajaan Sui
ketika dia mencoba untuk menyelundup ke istana. Gan Lui ini adalah putera mendiang Kiubwe-
houw Gan Lok (Harimau Ekor Sembilan) yang tewas oleh pasukan pemerintah. Maka
Gan Lui mendendam kepada kaisar Kerajaan Sui, dan berusaha menyelundup ke istana
untuk membunuh kaisar! Akan tetapi, dia dikeroyok dan biarpun belasan orang prajurit
pengawal tewas di tangannya, namun dia sendiri tertangkap dan dihukum seumur hidup!
"Kalau engkau suka membantuku, sekarang juga aku akan dapat membebaskanmu,"
kata Cian Bu Ong sambil mengamati wajah itu dengan sinar mata penuh selidik. Gan Lui
yang tadinya hanya cemberut saja, ketika mendengar ucapan ini, seketika sepasang mata
yang sipit itu bersinar-sinar dan wajahnya berseri penuh harapan.
"Benarkah itu? Dan siapakah paduka?" tanyanya penuh gairah.
"Belum tiba saatnya engkau mengetahui siapa aku. Jawab dulu, apakah engkau suka
membantuku kalau kubebaskan?"
"Tentu saja saya akan senang sekali!"
"Hemm, hendak kulihat dulu apakah engkau cukup memiliki kemampuan untuk menjadi
pembantuku. Rantai belenggu kaki dan tanganmu itu tidak berapa kuat kulihat. Nah,
engkau boleh mematahkannya."
Gan Lui membelalakkan matanya, demikian pula empat orang hukuman yang lain.
Andaikata mereka mampu mematahkan belenggu sekalipun, mereka tidak berani
melakukan hal itu karena ini dianggap pemberontakan dan mereka akan tertangkap
kembali dan mengalami siksaan hebat. "Saya tidak berani melakukannya........ "
"Aku yang menyuruh, takut apa? Tak kan ada yang berani melarangku!" kata Pangeran
Cian Bu Ong. Mendengar ini Gan Lui lalu mengumpulkan napas dan mengerahkan sinkangnya.
"Krekk.! Krekk!" Rantai belenggu pada kaki dan tangannya itu patah! Biarpun
pergelangan kaki dan tangannya masih dibelenggu, namun kaki tangan itu sudah dapat
bergerak bebas karena rantainya patah.
"Nah, sekarang coba engkau menyerangku! Keluarkan semua kepandaianmu, dan
kerahkan semua tenagamu!" kata pula pangeran itu sambil bangkit dan menuju ke tengah
ruangan yang cukup lebar itu.
Kembali lima orang hukuman itu terbelalak. Akan tetapi Gan Lui sudah maklum betapa
orang tinggi besar dan gagah perkasa itu hendak mengujinya. Maka diapun tldak
meragukan lagi. Dia harus memperlihatkan kepandaiannya kalau ingin dibebaskan dan
dapat membantu orang yang tidak dikenalnya ini.
"Baiklah, harap paduka berhati-hati! Lihat serangan!" Gan Lui sudah melompat dan
menyerang dengan kedua tangannya membentuk cakar harimau. Ternyata dia sudah
menggunakan kepandaian simpanannya, yaitu Houw- jiauw kun (Silat Cakar Harimau).
Ketika memainkan ilmu silat ini, kedua tangan membentuk cakar harimau dan gerakan
kedua lengan itu mirip gerakan sepasang kaki depan harimau, mencakar dan memukul.
Juga dia mengerahkan tenaga sin kangnya sehingga ketika dua tangan itu bergerak,
terdengar suara angin berciutan.
Pangeran Cian Bu Ong mengikuti gerakan Gan Lui ini dengan pandang mata penuh
selidik. Tidak buruk, pikirnya girang dan diapun menggerakkan kedua lengannya. Gan Lui
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
terkejut bukan main, juga terheran-heran ketika merasa betapa kedua tangannya itu
selalu membalik sebelum mengenai tubuh lawan, seolah ada tenaga tidak nampak yang
menjadi perisai melindungi tubuh lawan yang tinggi besar itu. Dan tubuh itupun bergerak
mengelak dengan sedikit gerakan saja, namun membuat semua serangannya
menyeleweng dan tidak pernah dapat menyentuhnya. Pangeran Cian Bu Ong terus
mengelak dan melindungi tubuhnya dengan sin-kang yang amat kuat sampai belasan jurus
lamanya untuk menilai kepandaian Gan Lui. Kemudian, tiba-tiba dia membalas serangan
lawan dengan tamparan-tamparan kedua tangannya. Serangan balasan ini demikian cepat
dan tidak terduga datangnya sehingga Gan Lui terkejut dan cepat diapun melindungi
dirinya dengan kedua lengan yang menangkis ke sana-sini, juga kakinya bergeser dengan
gesit untuk menghindarkan diri dari hujan serangan lawan. Barulah dia tahu bahwa orang
yang seperti bangsawan dan yang mengujiny ini ternyata lihai bukan main!
"Terima ini!" Pangeran Cian Bu Ong berseru dan tangannya menghantam dengan
tamparan dari atas. Gan Lui terkejut, karena datangnya tamparan demikian cepatnya,
maka dia lalu mengangkat kedua lengannya untuk menangkis sambil mengerahkan sinkang
sekuatnya.
"Plakkk!" Kedua tangan Gan Lui bertemu dengan tangan kanan Pangeran Cian Bu Ong
dan akibatnya tubuh Gan Lui terjengkang dan terguling-guling seperti dilanda angin badai
yang amat kuat.
Gan Lui terkejut bukan main. Untung lawannya tidak ingin mencelakainya sehingga dia
tidak terluka. Dia melompat bangun dan cepat memberi hormat dengan hati tulus.
"Saya mengaku kalah!"
Pangeran Cian Bu Ong hanya tersenyum dan memberi isyarat kepada Gan Lui untuk
duduk di atas bangku. Kemudian ia kembali ke mejanya, memeriksa kertas catatan. "Siapa
yang bernama Lie Koan Tek?"
Orang ke dua maju dan memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depan
dada.
"Saya yang bernama Lie Koan Tek, Pangeran." kata orang ini dengan lantang.
Cian Bu Ong mengamati penuh perhatian. Dari catatannya dia mengetahui bahwa lakilaki
berusia empatpuluh lima tahun yang tinggi besar dan gagah perkasa ini adalah
seorang pendekar gagah murid Siauw-lim-pai. Dia dihukum karena bersikap memberontak
terhadap Kerajaan Sui, dan hal ini mudah dimengerti kalau diingat betapa kuil Siauw limpai
pernah dibakar oleh pasukan pemerintah dan banyak sekali murid Siauw lim-pai yang
tewas.
"Lie Koan Tek, bagaimana engkau tahu bahwa aku seorang pangeran?"
"Nama besar paduka sudah terkenal di seluruh penjuru," kata Lie Koan Tek yang
berwatak keras dan jujur itu.
"Kalau engkau mau kubebaskan dan membantuku, perlihatkan kemampuanmu Lie Koan
Tek," kata Pangeran Cian Bu Ong.
Lie Koan Tek mengerahkan tenaga dan rantai pada belenggu kaki tangannya juga
patah-patah seperti yang terjaadi pada Gan Lui tadi.
"Bagus.! Sekarang, kau boleh menyerangku dan keluarkan semua kepandaian dan
tenagamu!"
Tanpa sungkan lagi Lie Koan Tek lalu menggerakkan kaki tangannya menyerang,
mengeluarkan jurus-jurus Siauw lim-pai yang paling tangguh yang dikuasainya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pangeran Cian Bu Ong gembira sekali. Pendekar ini lebih unggul dibandingkan Gan Lui.
Walau selisihnya hanya sedikit. Diapun melayani sampai belasan jurus, kemudian sapuan
kakinya membuat Lie Koan Tek terpelanting.
Pendekar ini kagum bukan main. Jarang dia bertemu dengan orang selihai pangeran ini,
dan dia mengakui kebesaran nama Pangeran Cian Bu Ong. Dia menjura dan mengaku
kalah. Pangeran Cian Bu Ong persilakan dia duduk di samping Gan Lui.
Orang ke tiga adalah Thio Ki Lok, berusia limapuluh tahun, dihukum karena dia
perampok tunggal yang sadis dan lihai., Tubuhnya pendek dengan perut gendut,
wajahnya kekanak-kanakan, akan tetapi pandang matanya licik dan kejam. Selain ilmu
silat, dia pandai ilmu gulat Mongol, dan senjata andalannya adalah golok gergaji. Karena
tingkat kepandaiannya masih sedikit di bawah Gan Lui, maka dalam belasan jurus diapun
dikalahkan Pangeran Cian Bu Ong.
Orang ke empat adalah seorang peranakan Turki, bernama Gulana. Kulitnya hitam
seperti arang, tubuhnya tinggi besar dan rambutnya yang hitam panjang digelung, ditutup
sorban putih. Dia menguasal ilmu silat yang aneh, lengannya yang panjang itu berbahaya
sekali, karena dia pandai menangkap dan membanting lawan. Juga kakinya yang panjang
pandai mengirim tendangan kilat. Senjata yang biasa dia mainkan adalah tongkat baja.
Diapun memiliki kepandaian yang setingkat dengan Gan Lui, dan dirobohkan oleh
Pangeran Cian Bu Ong dalam belasan jurus. Sikapnya yang angkuh berubah setelah dia
merasakan sendiri kehebatan pangeran itu dan diapun mengaku kalah.
Kini Pangeran Cian Bu Ong menghadapi orang ke lima. Dari catatannya dia tahu bahwa
orang ini yang paling tangguh di antara mereka semua, maka sengaja dia menghadapinya
sebagai orang terakhir. Sebelum bicara, dia mengamati dengan penuh perhatian dan
memandang kagum. Orang itu masih muda sekali, tidak akan lebih dari duapuluh tujuh
tahun usianya. Wajahnya tampan sekali dan sikapnya juga lembut, sama sekali tidak
pantas menjadi orang hukuman. Matanya mencorong seperti mata naga. Hidungnya agak
besar dan mancung, bibirnya merah penuh gairah. Melihat tubuhnya yang sedang dan
sikapnya yang lembut, orang takkan menyangka dia pandai ilmu silat. Lebih pantas
menjadi seorang siu-cay (pelajar) yang pandai menulis sajak.
"Namamu Can Hong San?" tanya Pangeran Cian Bu Ong.
Pemuda itu mengangguk, sikapnya angkuh. Pemuda ini memang bukan orang
sembarangan. Dia adalah putera tunggal mendiang Cui-beng Sai-kong, seorang datuk
besar dunia sesat, pendiri dari agama sesat Thian te-kauw. Pemuda yang tampan dan
nampak halus lembut ini adalah seorang yang memiliki watak aneh, hampir tidak normal,
bahkan dia telah membunuh ayahnya sendiri. Kemudian, dia pernah menjadi pemimpin
besar perkumpulan sesat dari agama Thian-te-kauw yang didirikan ayahnya. Ketika
perkumpulan sesat ini diserbu oleh pasukan pemerintah yang dibantu para pendekar,
diapun tertawan, perkumpulannya hancur dan dia dijatuhi hukuman seumur hidup.
"Bagaimana, Can Hong San. maukah engkau membantu kami seperti empat orang
gagah lainnya ini?" tanya Pangeran Cian Bu Ong.
"Nanti dulu, Pangeran. Sebelum aku memberi jawaban, aku harus mengetahui dulu,
bantuan apa yang harus kuberikan kepadamu?" Biarpun ucapannya lembut dan sopan,
namun kata-katanya menunjukkan bahwa dia tidak mau merendahkan diri kepada
pangeran ini. Dia tahu bahwa Kerajaan Sui sudah jatuh, sehingga pangeran ini sekarang
sudah bukan pangeran lagi namanya! Dan bukan watak Coa Hong San untuk
merendahkan diri kepada siapapun juga.
Melihat sikap pemuda ini yang tidak menghormatinya, Pangeran Cian Bu Ong tidak
menjadi marah, bahkan tersenyum. Lebih baik menghadapi orang yang terang-terangan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tidak menghormatinya dari pada orang yang bersikap menjilat namun tidak diketahuinya
benar bagaimana keadaan isi hatinya! Akan tetapi ia masih memancing dan pura-pura
kurang senang, dan mengerutkan alisnya.
"Can Hong San. tahukan engkau bahwa kalau tidak kami tolong, engkau tentu akan
dihukum mati, atau bahkan dibunuh oleh penguasa baru yang tidak mau memelihara
orang hukuman seumur hidup?"
"Pangeran tentu tahu bahwa orang seperti aku tidak takut mati. Katakan dulu, bantuan
apa yang harus kuberikan padamu, baru aku akan memutuskan mau atau tidak!"
Makin kagumlah hati Pangeran Cian Bu Ong. Seorang seperti pemuda inilah yang dapat
diharapkan menjadi seorang pembantunya yang setia dan baik!
"Baiklah, Hong San. Ketahuilah bahwa Kerajaan Sui telah jatuh oleh Li Si Bin yang
memberontak sehingga kini ayahnya yang menjadi kaisar dan mendirikan dinasti Tang.
Usahaku untuk memberontak di Po-yang juga gagal. Terpaksa aku harus melarikan diri
dan menjadi buruan pemerintah yang baru. Akan tetapi, aku tidak putus asa dan akan
berusaha untuk menghimpun kekuatan. Nah, kalau engkau suka, mari bekerja sama
denganku. Kalau kita berhasil kelak, kita sama-sama menikmati hasilnya. Setidaknya
engkau akan bebas dan mempunyai harapan, dari pada sampai mati menjadi orang
hukuman, bukan?"
"Hemm, baiklah kalau begitu, Pangeran. Aku menerima uluran tanganmu,"jawab Can
Hong San yang sebenarnya sejak tadi sudah merasa girang sekali bahwa dia akan
dibebaskan dan mendapatkan harapan baru.
Jilid 2
"Kalau begitu, mari kita main-main sebentar, karena aku harus melihat dulu
kemampuanmu, apakah pantas menjadi pembantuku atau tidak," kata Pangeran Cian Bu
Ong sambil bangkit dari tempat duduknya.
Akan tetapi Hong San cepat berkata , "Pangeran, sungguh tidak baik kalau aku yang
akan menjadi pembantu utamamu ini bertanding denganmu, walaupun hanya untuk
menguji kepandaian. Aku akan merasa tidak enak kalau sampai kesalahan tangan
melukaimu. Sebaiknya, biarkan empat orang calon pembantu yang lain ini maju bersama
mengeroyokku, sehingga selain pangeran dapat menilai kepandaianku, juga mereka itu
dapat menerima bahwa aku lebih unggul dari mereka dan kelak aku yang menjadi
pembantu utama dan mereka itu harus tunduk dan taat kepadaku."
Pangeran Cian Bu Ong tersenyum dan makin kagum. Apakah ucapan itu hanya
merupakan bual kosong belaka? Atau benarkah pemuda itu mampu menandingi
pengeroyokan empat orang calon pembantunya yang cukup lihai itu? Dia sendiripun harus
berhati-hati kalau dikeroyok empat orang itu! Inilah kesempatan baik untuk benar-benar
menguji Can Hong San.
"Baik. Nah, kalian berempat sudah mendengar sendiri. Wakililah aku untuk bersama
maju menandingi dan menguji ke pandaian Can Hong San!" Perintahnya kepada empat
orang itu.
Gan Lui, Gulana, dan Thio Ki Lok segera bangkit. Ini merupakan perintah pertama,
maka mereka segera bangkit dengan penuh semangat, bukan saja untuk mentaati
perintah pangeran Cian Bu Ong, akan tetapi juga untuk menundukkan pemuda yang
mereka anggap terlalu sombong itu. Akan tetapi, Lie Koan Tek tidak bangkit berdiri.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Lie Koan Tek, kenapa engkau tidak bangkit? Majulah dan ikutlah mengeroyok untuk
menguji kepandaian Can Hong San," kata sang pangeran.
"Maaf, Pangeran. Saya bukanlah seorang pengecut. Kalau diperintahkan menguji
pemuda ini, biarlah saya lakukan sendiri saja. Kalah atau menang merupakan hal yang
biasa dalam pertandingan silat. Akan tetapi untuk mengeroyok, saya merasa malu dan
enggan. Maaf !"
Pangeran Cian Bu Ong maklum akan sikap seorang pendekar sejati seperti murid
Siauw-lim-pai ini. "Kalau begitu biarlah nanti saja kalau perlu engkau menguji sendiri. Kini
yang tiga orang kuperintahkan untuk mengeroyok dan menguji kepandaian Can Hong
San!"
Tiga orang itu tidak memiliki pendapat yang sama dengan Lie Koan Tek. Mereka tadi
sudah membuktikan sendiri betapa saktinya pangeran itu dan mereka sudah merasa
tunduk benar. Di dalam hati mereka telah menjadi pembantu yang setia, karena mereka
melihat harapan baik sekali bagi keuntungan mereka sendiri kalau mereka mengabdi
kepada pangeran itu. Maka, begitu menerima peritah ini, mereka bertiga berloncatan dan
berhadapan dengan Can Hong San. Disamping ketaatan mereka terhadap pangera Cian Bu
Ong, mereka juga ingin menghajar pemuda yang amat sombong itu, yang berani
memandang rendah kepada mereka dengan menantang agar mereka mengeroyoknya!
"Orang muda," kata Thio Ki Lok yang pendek gendut. "Kami bertiga sebagai orangorang
yang lebih tua darimu, sebetulnya juga merasa tidak enak kalau harus
mengeroyokmu. Akan tetapi kami mentaati perintah Pangeran yang kami hormati.
Sekarang, apakah engkau masih tetap menantang kami bertiga untuk maju bersama?
Hati-hati, orang muda, jangan sampai tulang-tulangmu yang masih muda akan menjadi
patah-patah menghadapi serangan kami."
"Lebih baik engkau menghadapi kami satu demi satu, orang muda," kata pula Gan Lui.
"Akupun setuju satu lawan satu!" sambung Gulana. Bagaimanapun juga, tiga orang ini
sudah menganggap diri sendiri terlalu pandai sehingga kalau mereka harus mengeroyok
seorang lawan muda, mereka merasa malu dan hal ini akan menurunkan derajat mereka
sebagai ahli-ahli silat tingkat atas.
"Sudahlah, tidak perlu banyak cakap lagi. Aku menantang kalian semua maju berbareng
untuk mempersingkat waktu, juga untuk memudahkan Pangeran dalam menilai
kepandaianku. Kalau aku kalah, anggap saja aku tidak pantas membantu Pangeran!"
Sungguh ucapan ini amat sombong terdengarnya oleh tiga orang jagoan itu. Akan
tetapi sesungguhnya Can Hong San bukan seorang pemuda yang sebodoh itu. Dia bukan
sekedar menyombongkan diri, melainkan ingin menimbulkan kesan dalam hati sang
pangeran dan kalau dia sudah berani bicara seperti itu adalah karena dia sudah yakin akan
mampu mengalahkan tiga orang pengeroyok itu, atau bahkan empat orang bersama Lie
Koan Tek. Dia sudah dapat mengukur sampai di mana tingkat kepandaian mereka itu
ketika tadi mereka satu demi satu diuji oleh Pangeran Cian Bu Ong.
Tiga orang itu merasa penasaran mendengar tantangan Hong San dan merekapun
serentak mengambil sikap menyerang, memasang kuda-kuda, mengurung Hong San
dengan kedudukan tiga sudut.
"Mulailah!" kata Hong San, masih berdiri biasa saja tanpa memasang kuda-kuda, akan
tetapi pada saat itu, selruh otot dan syaraf di tubuhnya menggetar dan dalam keadaan
siap siaga.
"Heiillittttt..........!" Thio Kie Lok menyerang lebih dulu dengan pukulan tangan kirinya
dengan lengan yang pendek. Kalau Hong San menangkis, tangan yang memukul itu tentu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
akan berubah menjadi mencengkeram. Pada saat yang hanya sedetik selisihnya, Gan Lui
juga sudah menyerang dari samping kiri, menampar dengan telapak tangan ke arah
kepala pemuda itu.
"Hemmmn.....!" Tiba-tiba saja tubuh Hong San bergerak, kedua kakiny bergeser dan
dua serangan itu dapat hindarkannya dengan amat mudahnya, dengan meliuk dan
miringkan tubuh.
"Haahhhh......!" Gulana menyambut dengan tendangan kakinya yang panjang.
"Wuuuut......!" Tendangan itupun dapat dielakkan oleh Hong San sehingga melayang
dengan cepat mengeluarkan angin keras. Thio Ki Lok dan Gan Lui sudah menerjang lagi,
demikian pula Gulana. Tiga orang yang merasa penasaran karena serangan pertama
mereka dapat dielakkan dengan mudah oleh Hong San, kini menyerang lebih dahsyat dari
tiga jurusan. Dan kini Pangeran Cian Bu Ong kagum. Tubuh pemuda itu demikian
lincahnya sehingga bagaikan seekor burung walet saja, berkelebatan di antara sambaran
pukulan dan tendangan.
Sampai belasan jurus tiga orang itu menghujankan serangan mereka, namun selalu
dapat dielakkan oleh Hong San.
"Hyeeeehhh........!" Gan Lui yang merasa semakin penasaran, menubruk dari samping
kiri dan kedua tangan yang membentuk cakar harimau itu sudah menerkam ke arah leher
dan dada.
"Pergilah!" Hong San membentak dan kini lengan kirinya diputar menangkis,
pergelangan tangannya berputar dan tangan dengan jari-jari terbuka mendorong ke arah
Gan Lui. Orang tinggi kurus ini berseru kaget karena lengannya terasa sakit bukan main
ketika ditangkis Hong San dan sebelum dia dapat mencegahnya, tubuhnya terdorong
keras dan diapun terjengkang!
Saat itu, sebatang kaki yang panjang dan besar menyambar ke arah perut Hong San.
Itulah tendangan kaki Gulana. Hong San hanya miringkan tubuh sedikit sehingga kaki itu
menyerempet bajunya.
Secepat kilat dia menangkap tumit dan mendorongnya ke atas dan Gulana terlempar
sampai beberapa meter.
Thio Ki Lok hendak mempergunakan kesempatan selagi Hong San diserang Gulana tadi
untuk menerkam dari samping dan dia sudah berhasil merangkul leher Hong San,
menggunakan ilmu gulatnya, kedua tangan memasuki bawah ketiak dan mencengkeram di
belakang tengkuk Hong San. Agaknya dia hendak membuat pemuda itu tidak berdaya
dengan kuncian gulat Mongol itu.
Akan tetapi, tiba-tiba dia berteriak kesakitan ketika kaki Hong San menendang ke
belakang, mengenai kedua lututnya sehingga otomatis kakinya kehilangan tenaga dan
kembali dia berteriak karena tangan Hong San sudah menangkap ibu jari kedua tangan
yang mencengkram tengkuk pemuda itu, sehingga tentu saja cengkeramannya mengendur
karena kekuatan setiap tangan terletak pada ibu jarinya. Dalam keadaan kaki kehilangan
tenaga dan cengkeraman mengendur itu, begitu Hong San membuat gerakan
membungkuk dan melempar dengan pundak, tubuh pendek gendut itupun terlempar
melalui atas punggung Hong San dan jatuh terbanting ke depan pemuda itu!
Ketika tiga orang pengeroyok itu bangkit dengan muka menyeringai kesakitan.
Pangeran Cian Bu Ong bertepuk tangan memuji. "Bagus, bagus! Engkau memang telah
membuktikan kemampuanmu, Hong San! Kami girang sekali mendapat bantuanmu dan
mulai saat ini, engkau kami angkat menjadi pembantu utama! Akan tetapi jangan mengira
bahwa dengan ilmumu itu, engkau akan dapat mengalahkan aku, ha ha ha!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Can Hong San adalah seorang cerdik. Dari cara pangeran itu tadi mengalahkan empat
orang calon pembantu itu, diapun tahu bahwa pangeran itu lihai dan memiliki sin-kang
yang kuat sekali, sehingga dia sendiri tidak berani yakin akan mampu mengalahkannya.
Pula setelah dia diangkat menjadi pembantu utama, tentu saja dia harus bersikap tunduk.
"Aku tahu bahwa engkau adalah seorang yang berilmu tinggi, Pangeran. Kalau tidak
begitu, bagaimana mungkin kusuka untuk membantumu? Akan tetap kuharap engkau suka
berhati-hati terhadap murid Siauw-lim-pai ini." Hong San menunjuk kepada Lie Koan Tek.
Pendekar ini menentang pandang mata Hong San dengan penuh keberanian. Walapun dia
tahu bahwa dia tidak akan menang kalau bertanding dengan pemuda yang lihai luar biasa
itu, akan tetapi bukan watak pendekar Siauw-lim-pai ini untuk memperlihatkan perasaan
takut.
"Hemm, aku adalah seorang laki-laki sejati yang sekali berjanji akan menepatinya
sampai mati. Kurasa Pangeran harus berhati-hati terhadapmu,Can Hong San."
"Keparat! Majulah kalau engkau berani melawan aku dan kalau engkau sudah bosan
hidup!" Hong San menantang dengan muka merah.
"Hemm, biarpun engkau lihai sekali jangan dikira aku akan takut menghadapi maut di
tanganmu!" Lie Koan Tek bangkit berdiri dan membusungkan dadanya.
Pangeran Cian Bu Ong cepat melangkah maju menengahi. "Ah, apa yang kalian lakukan
ini? Kalian akan kubebaskan untuk membantuku, bukan untuk berkelahi dan saling
bermusuhan sendiri! Apa gunanya aku membebaskan kalian, kalau hanya untuk melihat
kalian saling bunuh?"
"Maafkan saya, Pangeran," kata Lie Koan Tek yang segera melihat betapa tidak baiknya
sikapnya tadi terhadap sang pangeran.
"Maaf," kata pula Hong San yang tentu saja tidak ingin kalau Pangeran itu menjadi
tidak suka kepadanya.
"Ketahuilah, aku sekeluarga dan para pengikut sedang hendak menyelamatkan diri
keluar dari Po-yang dan kalian kuminta membantu untuk melindungi. Kemudian kelak
kalian membantuku menegakkan kembali kerajaan baru sebagai pengganti Kerajaan Sui
yang telah jatuh. Dan selama kalian membantuku, kalian tidak boleh mementingkan
perasaan dan urusan pribadi, harus mentaati semua perintahku. Sekarang tiba saatnya
kalian berjanji. Kalau kalian mau taat, aku akan membebaskan kalian, kalau tidak mau,
akupun akan meninggalkan kalian di sini."
Lima orang itu serempak menyatakan janji mereka untuk menaati Pangeran Cian Bu
Ong. Mereka maklum bahwa, jika mereka tidak dibebaskan oleh pangeran itu, tidak
mungkin mereka melarikan diri atas usaha sendiri, karena mereka akan menghadapi
ribuan orang prajurit penjaga, dan kalau mereka ditinggalkan di situ, mereka hanya akan
menghadapi ancaman mati konyol. Tidak ada pilihan kecuali membantu pangeran ini.
Lie Koan Tek sendiri menaruh harapan besar pada diri pangeran itu. Pemerintahan
kaisar Kerajaan Sui yang lalu telah mendatangkan banyak kesengsaraan terhadap rakyat,
bahkan Siauw-lim-si juga diserbu dan dibakar karena Siauw-lim-si membela rakyat jelata.
Dia mengharapkan kalau Pangeran Cian Bu Ong berhasll merebut tahta kerajaan, dia akan
menjadi seorang kaisar yang baik budi dan memakmurkan kehidupan rakyat jelata.
Demikianlah, lima orang hukuman yang lihai itu dibebaskan dengan mudah oleh
Pangeran Cian Bu Ong dan mereka menjadi pengawal-pengawal keluarga pangeran itu
yang melarikan diri dari Po yang.
ooo000ooo
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kongcu datang......!" Teriakan-teriakan gembira terdengar dari para anggota Hekhouw-
pang di gardu penjagaan pintu gerbang dusun Mo-kim-cung.
Biarpun sudah belasan tahun meninggalkan Hek-houw-pang, namun para anggota Hekhouw-
pang masih ingat kepada Siang Lee dan begitu Siang Lee muncul di depan pintu
gerbang dusun, mereka menyambut dengan gembira sekali. Pemuda cucu ketua lama Hek
houw-pang itu yang merupakan keturunan langsung dari keluarga Coa, meninggalkan
Hek-houw-pang karena urusan pribadi, karena kakeknya melarang dia menikah dengan
puteri Ban-tok Mo-li. Terhadap Hek-houw pang Siang Lee tidak mempunyai kesalahan
apapun, maka para anggota Hek houw-pang masih memandangnya sebagal keluarga
pimpinan mereka.
Segera para murid Hek-houw-pang merubung Siang Lee yang datang bersama
isterinya, Sim Lan Ci dan putera mereka, Coa Thian Ki. Akan tetapi mendengar bahwa
kakeknya, Coa Song, yang sudah tua sekali masih hidup, Siang Lee tidak mau berlamalama
bicara dengan para suheng dan sutenya, melainkan langsung saja mengajak anak
isterinya berkunjung ke rumah induk perkumpulan itu, yang menjadi tempat tinggal ketua
Hek-houw-pang.
Karena pada waktu itu keadaan sedang tegang, para murid Hek-houw-pang yang
melakukan penjagaan ketat sehubngan dengan pesan dari komandan pasukan yang
datang berkunjung, maka berita tentang kedatangan Coa Kongcu segera tersiar dengan
cepat.
Mendengar bahwa Coa Siang Lee pulang, ketua Hek-houw-pang, Kam Seng Hin dan
isterinya, Poa Liu Hwa segera keluar menyambut.
Ketika Coa Siang Lee dengan isteri dan anaknya tiba di ruangan depan rumah keluarga
Coa itu, dia disambut oleh Kam Seng Hin dan isterinya, juga anak mereka, Kam Cin.
Beberapa orang murid Hek-houw-pang yang tadi mengikuti tamu itu sudah membisikkan
kepada Siang Lee bahwa ketua Hek-houw-pang sekarang adalah murid Hek-houw-pang
yang bernama Kam Seng Hin dan yang menikah dengan Poa Liu Hwa, cucu luar Coa Song
atau adik misannya. Tentu saja dia mengenal keduanya dan dia merasa bergembira. Dia
mengenal Kam Seng Hin sebagai sutenya (adik seperguruannya) yang gagah perkasa.
"Coa suheng (kakak seperguruan Coa)!" Kam Seng Hin dan isterinya menyambut
dengan gembira sambil member hormat.
"Kam sute, engkau menjadi pangcu dari Hek-houw-pang sekarang? Dan engkau
menjadi suami dari adikku Liu Hwa ini? Ah, aku girang sekali, sute. Perkenalkan, ini
isteriku, dan ini anakku Coa Thian Ki."
Kam Seng Hin memberi hormat kepada Lan Ci dan menyebut "toa-so" (kakak ipar). Liu
Hwa juga menyambut Lan Ci dengan sikap ramah dan manis, lalu ia memperkenalkan
puteranya, Kam Cin. Ketika Kam Cin diperkenalkan dengan Thian Ki, dengan sikap ramah
dan lincah Cin Cin, demikian panggilan akrabnya lalu memegang tangan Thian Ki.
Mereka sebaya, sama-sama lima tahun usianya. "Thian Ki, mari kita bermain di taman
belakang. Kami mempunyai kolam ikan di sana dan kemarin seorang paman memberi
sepasang ikan emas yang lucu bermata besar. Mari......!"
"Kam Cin...." panggil Siang Lee melihat betapa keponakannya itu sudah menarik Thian
Ki diajak bermain-main. Cin-Cin berhenti dan memandang kepada Siang Lee dengan sikap
tidak malu-malu. "Supek (uwa guru), semua orang memanggilku Cin Cin, harap supek ,
pek-bo dan juga Thian Ki menyebut aku Cin Cin saja."
Siang Lee dan isterinya tertawa. Kam Cin atau Cin Cin itu seorang anak yang mungil,
tampan, tabah dan kelihatan cerdik sekali. "Baiklah, Cin Cin, kuminta engkau jangan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mengajak Thian Ki pergi bermain-main dulu. Dia harus lebih dulu kuperkenalkan kepada
kakek buyutnya."
"Ah, jangan khawatir, supek. Sekarang juga akan kuajak Thian Ki menghadap kakek
buyut!"
Setelah berkata demikian, Cin Cin sudah menarik tangan Thian Ki, berlari keluar dari
ruangan itu. Melihat ini Siang Lee dan Lan Ci tertawa, demikian pula ayah dan ibu Cin Cin.
"Cin Cin memang bandel dan manja sekali," kata Liu Hwa.
"Baiknya dia tidak nakal," sambung suaminya.
"Kulihat anak kalian itu cerdik dan lincah. Mari kita menghadap kongkong (kakek) lebih
dulu," kata Siang Lee dan mereka berempat lalu pergi ke kamar kakek Coa Song yang
berada di bagian belakang.
Ketika mereka memasuki kamar yang besar itu, ternyata dua orang anak itu sudah
berada di situ, duduk di atas lantai dekat kedua kaki kakek Coa Song yang nampak
gembira bukan main.
Coa Siang Lee dan Sim Lan Ci segera menjatuhkan diri berlutut menghadap kakek itu,
diiringkan oleh Kam Seng Hin dan Poa Liu Hwa.
"Kong-kong......" kata Siang Lee dengan suara penuh keharuan. Dia tadi sudah
mendengar sepintas dari Kam Sen Hin bahwa kakeknya seringkali menanyakan dirinya,
dan nampaknya kakeknya sudah melupakan pertentangan yang telah lampau. Melihat
betapa kakeknya menarik Thian Ki dengan wajah gembira itu sudah membuktikan
kebenaran keterangan Kam Seng Hin itu.
"Kong-kong......" Lan Ci juga memanggil dengan sikap hormat.
Sejak tadi kakek Coa Song yang usianya sudah mendekati delapanpuluh tahun itu telah
menyambut kemunculan cucunya itu dengan wajah cerah dan mata berseri.
"Siang Lee, engkau baru datang? Dan itu isterimu yang dulu? Aku sudah berkenalan
dengan putera kalian, Thian Ki. Aku girang sekali kalian sehat-sehat saja dan masih ingat
untuk pulang ke sini.........."
Mendengar suara kakeknya yang agaknya menyesali sikapnya yang dahulu itu. Siang
Lee segera mengalihkan percakapan. "Kong-kong, saya merasa girang sekali melihat kongkong
masih sehat. Semoga Tuhan selalu memberkahi kong-kong dengan panjang usia dan
sehat selalu."
"Sudah lama sekali aku merindukanmu, Siang Lee. Dan sekarang engkau datang
bersama isterimu dan puteramu yang tampan gagah ini. Ah, betapa gembira hatiku. Seng
Hin, suruh buatkan masakan dan minuman, kita adakan pesta keluarga untuk menyambut
Siang Lee!"
Kakek itu kelihatan gembira bukan main. Tak lama kemudian, Kam Seng Hin dan
isterinya meninggalkan Siang Lee dan Lan Ci bertiga saja dengan kakek mereka,
sedangkan Thian Ki sudah diajak pergi ke taman oleh Cin Cin.
Kakek Coa Song menghujani Siang Lee dengan pertanyaan dan suami isteri itu
menceritakan semua pengalaman mereka semenjak berpisah dari kakek itu. Ketika
mendengar pengakuan Siang Lee dan Lan Ci bahwa mereka tidak mengajarkan ilmu silat
sama sekali kepada Thian Ki, kakek Coa Song mengerutkan alisnya tanda tidak setuju.
"Eh, kenapa begitu? Aku tahu bahwa ilmu silatmu sudah maju pesat, tentu sekarang
tingkat kepandaianmu tidak ada yang dapat menandinginya di Hek-houw-pang ini. Juga
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
isterimu memiliki kepandaian yang tinggi. Kenapa kalian tidak mengajarkan ilmu silat
kepada putra kalian?"
"Kong-kong, kami berdua sudah mengalami cukup banyak kesengsaraan yang
disebabkan oleh kehidupan sebagai ahli Silat. Betapa di dunia ini penuh degan
permusuhan dendam mendendam yang menjadi bunga kehidupan di dunia persilatan.
Tidak, kong-kong, kami tidak ingin melihat putera kami terlibat dalam dunia yang penuh
kekerasan itu. Kami tidak sanggup membayangkan dia kelak menjadi orang yang hidupnya
selalu terancam bahaya, hidupnya dikelilingi oleh permusuhan, kekerasan, darah dan
maut!"
Kakek itu mengangguk-angguk. Sebagai seorang yang sudah puluhan tahun
berkecimpung di dunia kangouw, tentu saja dia dapat merasakan kebenaran yang
terkandung dalam ucapan cucunya itu. "Akan tetapi, cucuku yang baik. Justru karena
dunia ini penuh kekerasan, penuh orang-orang jahat yang menggunakan kekerasan
terhadap orang lain untuk memaksakan kehendak mereka, maka kita perlu membekali diri
dengan ilmu silat untuk membela diri sendiri dan untuk membela orang-orang lemah
tertindas, untuk menentang kejahatan."
Kakek itu berhenti sebentar, lalu melanjutkan, "Apakah kalian ingin melihat putra kalian
kelak menjadi seorang yang lemah dan menjadi korban penindasan orang-orang jahat?"
"Tidak, kong-kong. Justru karena tidak bisa silat maka dia akan hidup aman dan
tenteram. Kami sudah mengalaminya sendiri. Semenjak kami berdua hidup sebagai petani
di dusun kecil, kami tidak pernah mengalami kekerasan lagi. Orang-orang yang hidup di
dusun dan tidak mengenal ilmu silat, tidak pernah berkelahi, tidak pernah bermusuhan.
Kami ingin anak kami kelak hidup berbahagia, tenteram dan aman."
Kakek itu menghela napas panjang, "Dia adalah anak kalian, tentu saja kalian yang
paling berhak untuk menentukan. Akan tetapi, Siang Lee, ingatlah, Thian Ki satu-satunya
penerus keluarga Coa. Bagaimana kelak jadinya dengan Hek-houw-pang kalau tidak ada
seorang she Coa yang melanjutkan? Bahkan engkau sendiri sepantasnya sekarang
menggantikan sutemu untuk menjadi ketua Hek-houw-pang. Itu sudah menjadi hakmu,
dan dalam hal ilmu silat, engkau lebih unggul darinya."
"Aih, terima kasih, kong-kong. Akan tetapi, kami sudah mengambil keputusan untuk
tidak lagi memasuki dunia persilatan. Kami hendak melupakan kehidupan yang lampau,
memulai dengan kehidupan baru yang bebas dari kekerasan dan ilmu silat."
Diam-diam kakek Coa Song merasa kecewa, akan tetapi dia tidak menyatakan hal ini.
Sementara itu, selagi orang tuanya bercakap-cakap dengan kakek buyutnya, Thian Ki
diajak Cin Cin bermain-main di dalam taman yang cukup luas itu. Di tengah taman itu
terdapat sebuah kolam ikan dan Cin Cin dengan bangga memperlihatkan ikan-ikannya
yang beraneka warna di kolam itu.
Setelah bosan melihat ikan, Cin-Cin lalu mengajak Thian Ki duduk di atas bangku yang
dilindungi payon seperti payung bentuknya. Mereka segera jadi akrab sekali karena Cin Cin
adalah seorang anak yang lincah jenaka dan pandai bicara, pandai bergaul, beda dengan
Thian Ki, yang biarpun juga cerdik sekali, namun Thian Ki lebih pendiam dibandingkan Cin
Cin yang kalau bicara seperti air terjun yang tak kunjung putus.
"Thian Ki, mari kita latihan," tiba-tiba Cin Cin berkata.
Thian Ki memandang kawan barunya itu dengan heran. "Latihan? Latihan apa?"
Cin Cin tertawa. "Aih, pakai tanya segala! Latihan apa lagi kalau bukan latihan silat?
Kita adalah anak ahli silat, tentu saja aku mengajak latihan silat. Tentu engkau jauh lebih
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pandai daripadaku, karena aku dengar bahwa supek Coa Siang Lee dan supek-bo memiliki
ilmu silat yang tinggi."
Thian Ki tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Aku tidak pernah belajar silat, Cin
Cin."
Cin Cin memandang dengan sepasang matanya yang jernih itu terbelalak lebar. "Aih,
tidak mungkin!" serunya heran.
Thian Ki tertawa. "Apanya yang tidak mungkin? Ayah dan ibu tidak pernah mengajarkan
ilmu silat kepadaku, dan akupun tidak suka mempelajarinya. Maka, sedikitpun aku tidak
bisa bermain silat Cin Cin."
"Tapi.....tapi.....mengapa?" Cin Cin tertegun heran, memandang kepada Thian Ki
dengan sikap masih belum dapat percaya.
Thian Ki tersenyum. "Cin Cin, andaikata aku bisa silat, tentu kita sekarang sudah saling
serang yang kaukatakan latihan tadi. Dalam latihan silat tentu ada yang kena pukul dan
hal ini bisa mendatangkan perasaan tidak senang dan dendam. Akan tetapi sebaliknya,
karena aku tidak bisa silat, tentu engkau tidak bisa memaksa aku untuk berlatih. Kita tidak
saling serang, tidak saling pukul, tidak saling tendang dan kita tidak mungkin merasa
marah dan dendam, dan tetap bergaul dengan akrab. Nah, itulah sebabnya mengapa aku
tidak diajar ilmu silat oleh ayah ibuku."
Cin Cin mengangguk-angguk, akan tetapi tetap saja masih merasa penasaran sekali.
Dia akan menanyakan hal yang dianggapnya aneh ini kepada ayah ibunya.
Ketika mereka semua menghadapi meja dan makan minum bersama, suasananya
sungguh menggembirakan. Sudah lama kakek Coa Song tidak memperlihatkan diri dan kini
dia nampak gembira sekali, bukan hanya kakek Coa Song, Kam Seng Hin dan anak
isterinya yang menyambut kedatangan Siang Lee dan anak isterinyapun hadir dalam pesta
keluarga itu. Juga para murid tingkat tinggi sebanyak enam orang ikut pula hadir. Dalam
kesempatan ini Siang Lee memberi keterangan terhadap segala macam pertanyaan yang
ditujukan kepadanya. Kemudian diapun bertanya akan perubahan suasana di dusun itu
kepada Kam Seng Hin.
"Kam-sute, ketika aku memasuki dusun Ta-bun-cung, aku melihat betapa para anak
buah Hek-houw-pang melakukan penjagaan dengan ketat. Apakah yang telah terjadi?
Seolah-olah ada bahaya mengancam dusun kita ini."
Mendengar pertanyaan ini, Kam Seng Hin memandang kepada kakeknya dan kakek Coa
Song yang menjawab. "Benar, memang ada bahaya mengancam kita, Siang Lee. Bukan
hanya mengancam kita, akan tetapi mengancam seluruh penduduk dusun ini dan dusundusun
di sekitarnya.
Ketahuilah bahwa beberapa hari yang lalu, kami kedatangan pasukan Kerajaan Tang
yang minta bantuan kami untuk ikut mencari seorang buronan pemerintah yang amat
berbahaya. Buronan itu adalah seorang pangeran, masih keluarga dengan kaisar Kerajaan
Sui yang sudah jatuh."
"Akan tetapi, kong-kong. Bukankah selama ini Hek-houw-pang tidak mencampuri
urusan pemerintah?"
"Memang benar, akan tetapi sekali ini kita tidak boleh tinggal diam saja, Engkau tahu
betapa buruknya pemerintah Kerajaan Sui dan kita mendengar pula tentang kegagahan
Panglima Li Si Bin yang telah menjatuhkan kaisar yan lalim itu. Kini, seluruh harapan
rakyat digantungkan kepada kebijaksanaan dinasti Tang. Karena itu, kalau ada sisa
keluarga Kerajaan Sui yang membuat kekacauan, sudah sepatutnya kalau kita membantu
pemerintah baru yang hendak membasminya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kalau buronan itu hanya seorang pangeran saja, kenapa Hek-houw-pang harus
mengerahkan semua tenaga untuk melakukan penjagaan ketat?"
"Aih, engkau tidak tahu siapa buronan itu, Siang Lee. Bukan saja dia mempunyai anak
buah dan pengikut, juga dia adalah seorang yang amat lihai, dulu merupakan seorang di
antara jagoan istana Kerajaan Sui yang sakti."
"Hemm, begitukah? Siapa dia, kongkong?"
"Dia adalah Pangeran Cian Bu Ong. Dia sendiri seorang yang memiliki kepandaian tinggi
dan kita belum tahu berapa banyak pengikutnya dan orang macam apa adanya mereka.
Kebetulan sekali engkau dan isterimu datang, Siang Lee., maka kuharap kalian akan dapat
membantu sutemu untuk menangkap buronan yang berbahaya itu."
Siang Lee dan isterinya saling pandang, merasa aneh. Bertahun-tahun mereka hidup
rukun dan damai di dusun mereka, dan kini, dalam perjalanan menengok kakek mereka,
begitu tiba di situ mereka dihadapkan dengan kekerasan lagi. Diam-diam mereka merasa
khawatir, bukan untuk diri sendiri, melainkan untuk Thian Ki yang terpaksa akan
dihadapkan dengan kekerasan.
"Tentu saja kami akan membantu semampu kami, kong-kong. Hanya sudah bertahuntahun
kami tidak pernah berkelahi, tidak pernah berlatih," kata Siang Lee.
Mereka mengharapkan bahwa selama mereka berada di situ, yang mereka rencanakan
beberapa hari lamanya, tidak akan terjadi sesuatu, dan mereka mengambil keputusan
untuk tidak tinggal terlalu lama di dusun itu.
"Mari ke sini, Thian Ki. Di si banyak kataknya dan besar-besar!" kata Cin Cin sambil
menggerak-gerakkan obor di tangannya. Thian Ki menghampiri, dengan obor di tangan kiri
dan sebatang kayu pemukul di tangan kanan. Malam itu Cin Cin mengajaknya untuk
menangkap katak hijau. Dalam bulan itu memang banyak katak hijau yang gemuk-gemuk
dan Cin Cin suka sekali makan daging katak hijau yang lezat. Setelah mendapat perkenan
ayah ibu mereka, dua orang anak ini pergi menangkap katak hijau di tepi sungai. Cin Cin
sudah hafal tempat di mana terdapat katak gemuk dalam jumlah besar, yaitu di tepi
sungai yang merupakan rawa.
Sebuah kantung kain yang mereka bawa sudah hampir penuh katak hijau. Ketika Cin
Cin ingin mengajak Thian Ki pulang, tiba-tiba dia mendengar saudara misannya itu
berteriak kesakitan. Dia cepat meloncat ke dekat Thian Ki.
"Ada apa, Thian Ki?" tanyanya sambil mengangkat obornya tinggi-tinggi agar dapat
melihat lebih jelas.
"Ah, kakiku.......agaknya digigit sesuatu..... " kata Thian Ki yang tadi melepaskan
obornya.
Dia mengambil obornya yang masih menyala, lalu mereka berdua melihat ke arah kaki
Thian Ki.
"Ihhhhh! Ular.......!" teriak Cin Cin yang melihatnya lebih dulu. Thian Ki juga melihat
seekor ular melilit betisnya dan menggigit betis bagian bawah. Dia menggerakkan tangan
hendak menangkap ular itu.
"Jangan sentuh!" Cin Cin berseru. "Itu ular belang hitam, beracun sekali!"
Dengan mendekatkan obor, Cin Cin hendak menggunakan kayu pemukul katak untuk
melepaskan ular itu dari kaki Thian Ki . Akan tetapi, dia merasa heran karena ular itu
agaknya sudah menempel di kaki Thian Ki dan sama sekali tidak bergerak-gerak biarpun
sudah ia congkel-congkel dengan kayu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ehhhhhh......? Ular ini sudah mati!" teriaknya heran. "Tapi jangan pegang, Thian Ki.
Lebih baik mari lekas pulang, lapor kepada orang tua kita. Engkau dapat berlari?"
"Dapat.......!" Dan keduanya berlari-larian pulang, meninggalkan kantong terisi katak
yang sejak tadi mereka kumpulkan. Dan ular itupun masih menempel di kaki kiri Thian Ki.
Tentu saja keluarga itu terkejut ketika dua orang anak itu datang berlari-larian, apalagi
ketika Cin Cin berteriak "ular, ular!" setelah memasuki perkampungan mereka.
Dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika melihat ular yang membelit betis
kiri Thian Ki.
"Jangan sentuh! Itu ular belang hitam yang amat berbahaya!" teriak kakek Coa Song
ketika melihat ular sebesar ibu jari kaki dan yang panjangnya hanya satu setengah kaki
itu. Wajah kakek ini pucat ketika melihat betapa kepala ular itu masih menempel di betis
cucu buyutnya, masih menggigit! Dia tahu bahwa gigitan ular itu boleh dibilang tidak ada
obatnya!
Dia cepat mengambil kain, menggunakan kain untuk melindungi tangan dan
menangkap ular itu pada lehernya lalu dia menarik. Ular itu terlepas dan kakek itu
terbelalak.
"Ular ini sudah mati!"
Lan Ci sudah merangkul puteranya dan Siang Lee juga memegang pergelangan tangan
puteranya. Dia juga pucat dan khawatir sekali karena sebagai penduduk dusun itu diapun
tahu bahwa gigitan ular belang hitam ini berarti maut. Kakek Coa Song, Kam Seng Hin dan
Poa Liu Hwa juga merasa gelisah sekali. Mereka cepat mengambilkan air panas dan obat
anti racun. Akan tetapi tiba-tiba Lan Ci berseru. "Harap mundur dan biarkan aku
memeriksa anakku. Minta lampu yang terang, air panas dan pisau tajam!"
Siang Lee maklum bahwa isterinya adalah puteri Ban-tok Mo-li, karenanya isterinya
tentu ahli tentang racun.
Kakek Coa Song ingat akan hal itu, demikian pula Kam Seng Hin dan isterinya yang
sudah mendengar tentang toa-so mereka. Cepat mereka mundur dan memper siapkan
semua yang diminta Lan Ci.
Dengan tenang namun sigap Lan Ci mengangkat tubuh anaknya dan merebahkannya di
atas meja. Lampu-lampu di dekatnya sehingga semua orang dapat melihat ular itu dengan
jelas. Lan Ci cepat membalurkan obat bubuk kuning pada tangannya, lalu dengan berani ia
memegang ular yang tadi sudah ditarik lepas dari kaki puteranya. Ia harus memeriksa dulu
racun macam apa yang ada pada ular itu agar dapat menentukan obat penawarnya.
Akan tetapi ia terbelalak ketika memandang ular mati di tangannya itu. Tubuh ular itu
seperti terbakar hangus! Ia memandang kepada Cin Cin. "Apakah engkau tadi membakar
ular itu, Cin Cin? Membakar dengan obormu?" tanyanya sambil menoleh kepada Cin Cin.
"Tidak, supek-bo!"
Siang Lee juga mendekat untuk memeriksa. Ular itu benar sudah mati, mati terbakar!
Karena sukar memeriksa racun dari ular yang sudah gosong itu, Lan Ci lalu memeriksa
luka di betis Thian Ki. Dan kembali ia terbelalak! Tidak nampak keracunan pada luka itu.
Hanya luka kecil yang mengeluarkan sedikit darah. Bekas gigitan itu tidak ada tanda
keracunan, seperti tertusuk duri saja! Ia memandang kepada Thian Ki yang juga
memandangnya. Siang Lee kembali memeriksa tekanan nadi anaknya. Normal!
"Thian Ki..... " Lan Ci memanggil anaknya.
"Kenapa, ibu? Tidak apa-apa, bukan?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Lan Ci menggeleng kepalanya, "Bagaimana rasanya? Apakah panas? Atau ada perasaan
nyeri yang luar biasa, apakah kepalamu pening dan jantungmu berdenyut keras?"
Thian Ki tersenyum, menggelengkan kepala dan bangkit duduk. "Sama sekali tidak, ibu.
Aku tadi hanya terkejut dan rasa gigitan itu hanya perih sedikit, akan tetapi sekarang
sudah sembuh lagi. Ular apakah itu, ibu?"
Tentu saja semua orang menjadi terheran-heran, akan tetapi juga gembira bukan main.
Kakek Coa Song seperti tidak percaya dan dia bahkan kini memeriksa sendiri. Akhirnya dia
tersenyum lebar penuh kelegaaan hati. Cucu buyutnya itu memang sama sekali tidak
keracunan, betapapun tidak mungkinnya hal itu.
"Apakah ular itu sudah kehilangan racunnya ketika menggigit anakmu?" tanyanya
kepada Lan Ci.
Nyonya muda itu mengambil ular itu, lalu sebatang tusuk sanggul perak dicabutnya dari
sanggulnya. Di bawah pandang mata semua orang, nyonya muda itu menggosok-gosok
ujung tusuk sanggul perak itu ke mulut ular, di antara taring-taringnya. Dan semua orang
mengeluarkan seruan ngeri karena segera tusuk sanggul yang tadinya putih bersih itu
tiba-tiba menjadi kehijauan lalu menghitam! Lan Ci juga terbelalak menoleh kepada
puteranya yang hanya ikut memandang tidak mengerti.
"Racun di mulut ular ini cukup kuat untuk membunuh sepuluh orang dewasa!" kata Lan
Ci. "Aku akan memeriksa apa yang membuat binatang ini mati terbakar."
Lan Ci menggunakan pisau menyayat tubuh ular itu, memeriksa di bawah sinar lampu
yang terang. Dan iapun memandang kepada suaminya dengan mata terbuka lebar, penuh
keheranan dan kekagetan.
"Ada apa?" Siang Lee bertanya khawatlr.
"Ular ini....... terserang racun yang amat hebat!"
Tentu saja ucapan ini membuat semua orang terkejut dan terheran-heran dan
bertanya-tanya. Lan Ci diam saja, hanya mengerling sejenak kepada suaminya lalu kepada
puteranya.
"Bangkai ular ini harus dikubur yang dalam. Kalau ada anjing makan dagingnya, anjing
itu akan mati."
Kam Seng Hin lalu menyuruh seorang anggota Hek-houw-pang untuk melakukan
penguburan itu di kebun belakang. Peristiwa ini membuat semua orang bertanya-tanya.
Akan tetapi mereka semua memaklumi ketika Lan Ci mengajak puteranya itu memasuki
kamar. Siang Lee yang masih berkhawatir mengikuti dari belakang. Kini Cin Cin yang
dirubung semua orang dan anak ini menceritakan terjadinya peristiwa yang mengejutkan
dan menggelisahkan tadi.
Setelah semua orang memasuki kamar masing-masing, Kam Seng Hin memberi nasehat
kepada Cin Cin, "Anakku, engkau lihat tadi sikap Thian Ki. Biarpun nyawanya terancam
maut, dia begitu tenang, begitu tabah. Engkau harus mencontoh sikapnya itu. Menjadi
seorang gagah haruslah tenang dan tabah, biar menghadapi maut sekalipun. Jangan
cengeng seperti seorang perempuan lemah."
"Benar kata ayahmu, Cin Cin. Engkau harus menjadi orang yang gagah perkasa dan
sikap Thian Ki tadi memang mengagumkan sekali. Sungguh heran kalau anak seperti itu
tidak diajar ilmu silat," kata Poa Liu Hwa.
Sementara itu, setelah Thian Ki tidur pulas, Lan Ci memberi isyarat kepada suaminya.
Mereka turun dari pembaringan dan bercakap-cakap dengan suara berbisik di sudut
kamar, menjauhi pembaringan itu. Tadi mereka berdua melakukan pemeriksaan lagi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dengan teliti kepada tubuh putera mereka, sampai mereka merasa yakin benar bahwa
Thian Ki tidak keracunan.
"Aku khawatir sekali," kata Sim Lan Ci dengan suara berbisik.
"Hemm, kenapa? Bukankah dia sama sekali tidak keracunan? Kita sepantasnya
bersyukur, kenapa engkau malah khawatir?" tanya Siang Lee, juga berbisik.
Lan Ci mengerutkan alisnya. "Tadinya aku sendiri merasa heran melihat gigitan ular
yang amat berbisa itu tidak membuat dia keracunan. Akan tetapi setelah aku memeriksa
keadaan ular itu, mengertilah aku dan akupun merasa khawatir bukan main."
"Apa yang kaukhawatirkan?" Siang Lee yang melihat wajah isterinya berubah pucat,
merangkulnya dengan penuh sayang. "Jangan membikin aku bingung, katakan apa yang
mengkhawatirkan hatimu."
Dan begitu dirangkul suaminya, Lan Ci menangis di dada suaminya! Tentu saja Siang
Lee menjadi semakin kaget dan heran. Didekapnya isterinya dan diusapnya air matanya.
"Aih, engkau membikin aku menjadi semakin bingung. Kenapakah, sayang?"
Lan Ci mengeraskan hatinya dan membiarkan suaminya mengusap air matanya.
Kemudian ia berhasil menenangkan hatinya dan beberapa kali ia menghela napas panjang.
"Dahulu, sebelum aku ikut denganmu, ibuku pernah bercerita bahwa ibu senang
mempelajari cara membuat seorang anak menjadi Tok-tong (Anak Beracun). Aku tidak
begitu memperhatikannya dan sudah melupakan hal itu lagi ketika ibu menjadi nikouw.
Akan tetapi melihat keadaan Thian Ki, aku tahu bahwa anak kita telah menjadi Tok-tong!"
"Ahh.....!!!" Siang Lee terbelalak memandang kepada isterinya, lalu ke arah Thian Ki
yang
tidur pulas di pembaringan. "Tok-tong.....? Apa artinya itu.....?"
"Artinya, anak kita yang kita ingin didik menjadi orang yang tidak mengenal ilmu silat
itu kini telah memiliki tubuh yang membuat dia menjadi orang yang amat berbahaya!
Engkau lihat saja tadi buktinya. Seekor ular berbisa yang amat berbahaya, setelah
menggigit dia, tidak membuat Thian Ki keracunan, bahkan ular itu sendiri yang keracunan
dan mati seperti terbakar. .Apalagi kalau ada manusia yang menyerangnya!"
"Aduhh.......! Ba.....Bagaimana ini......?" Siang Lee menjadi pucat dan dia memandang
ke arah puteranya. "Dia harus disembuhkan. Racun itu harus dibuang dari tubuhnya!"
Dengan sedih Lan Ci menggeleng kepalanya. "Tidak mungkin. Aku teringat sekarang
semua keterangan ibu. Anak yang akan dijadikan Tok-tong itu bukan saja diberi minum
racun, juga tubuh digodok dengan air beracun, kemudian ditusuki jarum beracun dan
dimasuki hawa beracun yang hanya dapat dilakukan oleh ibu. Otomatis badan anak itu
menjadi beracun, seperti binatang beracun lainnya dan tidak ada yang dapat
menghilangkan racun itu dari tubuhnya."
"Celaka! Ya Tuhan, kenapa ia melakukan itu kepada anak kita?" Siang Lee mengepal
tinju dan mukanya berubah merah karena marah. "Ibumu jahat sekali! Sudah menjadi
nikouw masih mencelakai anak kita!"
Kini Lan Ci yang merangkul suaminya. "Tenanglah, koko. Dalam keadaan seperti ini kita
harus tetap tenang agar dapat mencari jalan keluar yang tepat untuk anak kita."
Sejenak mereka berangkulan dan akhirnya Siang Lee dapat menenangkan hatinya.
"Ceritakan semua, apa akibatnya setelah anak kita menjadi Tok-tong," kata Siang Lee
dan suaranya mengandung kepahitan yang hebat. Anak satu-satunya, yang disayangnya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dan yang diharapkan akan menjadi seorang anak yang jauh dari kekerasan dan ilmu silat,
kini bahkan telah menjadi anak beracun yang berbahaya!
"Thian Ki telah menjadi Tok-tong dan tidak ada obat yang dapat memulihkannya. Dia
akan tumbuh dewasa secara normal. Akan tetapi tubuhnya telah mengandung racun.
Kalau dia tidak diberi tahu, tanpa disengaja dia bisa mengeluarkan hawa beracun, ludah
beracun, bahkan pukulan tangannya dapat mengandung racun. Kita hanya dapat
melatihnya agar dia dapat mengendalikan diri, mengendalikan hawa beracun di tubuhnya
itu."
"Apa tidak ada akibat lain? Benarkah tidak ada cara untuk menghilangkan racun itu?"
"Akibat yang amat menakutkan, kalau dia tahu akan kemampuan hebat dalam dirinya
untuk merobohkan orang lain, kalau dia berambisi untuk menjadi jagoan, tentu dia akan
mencelakai banyak orang. Dan ada satu cara untuk menghilangkan racun itu, akan
tetapi.."
"Tidak ada tapi! Apa cara itu? Akan kutempuh lautan api sekalipun untuk mencarikan
obatnya."
"Racun itu akan dapat berkurang sedikit demi sedikit kalau dia.......berhubungan badan
dengan wanita. Akan tetapi, setiap orang wanita yang berhubungan dengan dia akan mati
keracunan. Entah berapa banyak wanita yang akan mati sebelum dia bersih dari racun
itu."
"Ya Tuhan.......!!! Siang Lee seketika menjadi lemas. Kalau obatnya macam itu, sampai
matipun dia tidak akan mengijinkan puteranya membunuh banyak wanita.
"Tidak ada lain jalan, suamiku. Kita harus memberitahu anak kita sekarang juga, agar
jangan sampai terlambat. Bayangkan saja kalau dia tidak tahu dan besok pagi bermainmain
dengan Cin Cin, kesalahan tangan memukulnya, dapat saja tanpa disengaja hawa
beracun itu bekerja dan Cin Cin tewas di tangannya!"
Siang Lee nampak terkejut sekali. "Celaka, engkau benar! Dia harus diberitahu agar
menyadari keadaan dirinya dan tidak sembarangan membunuh orang.
Akan tetapi baru saja mereka mendekati tempat tidur, di luar kamar mereka terdengar
suara gaduh, disusul ketukan pintu kamar mereka dari luar.
"Suheng! Coa-suheng dan toa-so, harap buka pintu, cepat! Ada hal yang penting
sekali!" terdengar suara Seng Hin, ketua Hek-houw-pang.
Tentu saja Siang Lee dan Lan Ci terkejut, mereka menduga bahwa ini tentu ada
hubungannya dengan keadaan anak mereka yang mengejutkan itu. Siang Lee cepat
membuka daun pintu dan ternyata Seng Hin sudah berdiri di situ bersama Poa Liu Hwa
yang memondong tubuh Cin Cin. Mereka kelihatan panik.
"Ada apakah, sute?" tanya Siang Lee.
"Coa-suheng, mereka telah menyerbu dusun kita!" kata Kam Seng Hin. "Mereka siapa?"
tanya Siang Lee.
"Mungkin anak buah orang buruan itu. Mereka lihai sekali dan beberapa orang anak
buah kita telah roboh. Karena suheng dan toaso tidak mau berkelahi, maka kami hendak
menitipkan Cin Cin di sini. Mohon suheng suka menjaga dan melindungi anak kami ini."
Poa Liu Hwa menurunkan Cin Cin dan mereka berdua lalu berloncatan keluar dari dalam
kamar itu.
"Ayah! Ibu! Aku ikut......!" Cin Cin berseru dan lari mengejar. Akan tetapi Siang Lee
telah menangkap lengannya, lalu mengangkat dan memondong anak itu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tidak boleh, Cin Cin. Ayah ibumu akan bertempur, berbahaya sekali kalau kau ikut
dengan mereka. "
"Aku tidak takut, supek! Aku akan membantu ayah dan ibu menyerang musuh!" Cin Cin
meronta.
"Tidak boleh, Cin Cin. Ayah ibumu telah menitipkan engkau kepada kami, kami harus
menjaga dan melindungimu. Mereka akan marah kalau engkau menyusul ke sana. Di
sinilah bersama kami dan Thian Ki."
"Ayah, apakah yang terjadi? Apa ribut-ribut itu?" Thian Ki yang terbangun oleh suara
gaduh di luar itu sudah turun dari pembaringan dan menghampiri ayah ibunya. "Eh, Cin
Cin disini?"
"Cin Cin, berjanjilah bahwa engkau akan berada di sini bersama Thian Ki dan tidak akan
mencari ayah ibumu," kata Siang Lee sambil menurunkan Cin Cin yang sudah tidak
meronta lagi setelah anak itu melihat Thian Ki.
"Baik, supek. Aku akan berada di sini bersama Thian Ki."
Dari situ terdengar suara orang bertempur di luar. Siang Lee dan istrinya saling
pandang.
"Kita harus menengok keadaan kong-kong, dan melihat apa yang terjadi," kata Siang
Lee kepada isterinya. Lan Ci mengangguk dan Siang Lee kini menghadapi dua orang anak
yang sudah saling berpegang tangan dengan wajah tegang itu. "Thian Ki dan Cin Cin,
kalian dengar baik-baik. Dusun ini diserbu orang-orang jahat, kami orang-orang tua harus
melawan mereka, akan tetapi kalian berdua tidak boleh keluar. Kalian harus bersembunyi
di sini sampai kami kembali dan jangan sekali-kali keluar. Mengerti?"
"Baik, ayah."
"Baik, supek."
Suami isteri itu hendak melangkah ke luar, akan tetapi di ambang di ambang pintu, Lan
Ci kembali memasuki kamar itu dan memegang tangan Thian Ki lalu menariknya dan
berkata, "Thian Ki, engkau ke sini sebentar, ibu mau bicara penting!"
Thian Ki menurut saja diajak ibunya ke sudut kamar dan ibunya berbisik-bisik di
telinganya. "Thian Ki, di tubuhmu terdapat hawa beracun. Ingat ular tadi mati ketika
menggigit kakimu. Kelak engkau harus mencari obat penawarnya, dan jangan sekali-kali
engkau menikah sebelum sembuh. Setiap wanita akan mati kalau berdekatan denganmu.
Ingat baik-baik ini," kata Lan Ci dengan suara berbisik dan sebelum Thian Ki yang menjadi
bengong itu sempat bertanya, ia sudah meninggalkannya dan bersama suaminya ia lalu
keluar dari dalam kamar itu setelah menutupkan daun pintunya.
Cin Cin menghampiri Thian Ki yang masih tertegun bingung. "Thian Ki, apa yang
dipesankan ibumu tadi?" tanya Cin Cin sambil memegang tangan Thian Ki.
Thian Ki menggeleng kepala. "Tidak apa-apa Cin Cin. Ibu hanya pesan agar kita tidak
keluar dari sini karena di luar amat berbahaya, dan bahwa aku harus melindungimu."
"Thian Ki, engkau tidak pandai silat, bagaimana akan dapat melindungiku? Akan tetapi
jangan khawatir, aku dapat melindungi diriku sendiri, bahkan aku yang akan
melindungimu, kalau ada orang jahat berani masuk ke sini akan kuhajar!" Cin Cin
mengepal kedua tinjunya.
Akan tetapi Thian Ki tidak tersenyum melihat kelucuan Cin Cin itu. Dia sedang bingung.
Ucapan ibunya masih terngiang di telinganya dan dia tidak mengerti artinya. Dia
keracunan. Ular itu tadi mati sendiri begitu menggigit kakinya. Akan tetapi, apa artinya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
setiap wanita akan mati kalau berdekatan dengannya? Ibunya juga seorang wanita dan
selama ini dekat dengannya, akan tetapi ibunya tidak mati!. Dia sungguh tidak mengerti.
Akan tapi dia berjanji kepada diri sendiri untuk mencari obat kalau benar di tubuhnya
terdapat hawa beracun.
Sebetulnya, apakah yang terjadi di dusun itu? Benar seperti dugaan Hek-houw-pang-cu
yang mendengar laporan para anggotanya, malam itu rombongan Pangeran Cian Bu Ong
tiba di dusun itu!. Mula-mula, pada malam hari yang gelap itu, menjelang tengah malam,
lima orang menghampiri gardu penjagaan di pintu gerbang dusun Ta bun-cung. Mereka itu
bukan lain adalah lima orang pembantu Utama Pangeran Cian Bu Ong, lima orang bekas
narapidana yang dia bebaskan, yaitu Gan Lui, Lie Koan Tek, Thio Ki Lok, Gulana dan Can
Hong San. Mereka diutus Pangeran Cian Bu Ong untuk melakukan penyelidikan sebagai
pembuka Jalan di dusun itu. Dari mata-matanya, pangeran itu sudah mendengar bahwa
daerah itu dilindungi oleh Hek-houw-pang dan bahwa perkumpulan orang gagah ini sudah
didatangi pasukan Kerajaan Tang dan dimintai bantuan untuk menghadang dan
menangkapnya.
Maka dia bersikap hati-hati dan lebih dulu mengirim orang-orang kepercayaan sebelum
mengajak rombongannya masuk ke dusun itu.
Tentu saja para anggota Hek-houw pang yang melakukan penjagaan di pintu gerbang
itu menjadi terkejut dan curiga ketika melihat munculnya lima orang asing secara tiba-tiba
di tengah malam itu.
"Heii, berhenti! Siapa kalian dan hendak ke mana?" kepala jaga berseru dan bersama
duabelas orang anggota Hek-houw-pang lainnya dia meloncat menghadang lima orang itu
sambil mengamati dengan penuh selidik. Seorang penjaga menyalakan sebuah lampu lain
yang lebih besar sehingga tempat itu tidak segelap tadi.
Biarpun dia yang paling muda, namun Can Hong San secara resmi telah diangkat
sebagai pembantu utama oleh pangeran Cian Bu Ong, dan empat orang yang lain
diwajibkan untuk membantunya. Karena ini merupakan perintah pangeran itu, maka Lie
Koan Tek mentaati perintah itu dan dia menganggap orang muda itu sebagai atasannya.
Tiga orang jagoan yang lain tentu saja tunduk kepada Hong San karena mereka bertiga
sudah pernah dikalahkan oleh pemuda perkasa ini. Kini Hong San melangkah maju dan
dengan sikap angkuh dia menghadapi kepala jaga yang berkepala botak itu.
"Apakah kalian ini anak buah perkumpulan yang dinamakan Hek-houw-pang?" tanya
Hong San, suaranya dingin mengandung ejekan yang memandang rendah.
Sudah lazim bagi orang-orang muda. DaIam keadaan melakukan penjagaan keamanan
itu, timbul sikap gagah-gagahan karena bangga dan merasa kuat. Demikian pula dengan
orang-orang Hek-houw-pang itu. Mereka mengangkat dada dan tangan mereka siap
meraba gagang senjata yang tergantung di pinggang seperti pedang dan golok, atau
tombak yang berada di rak senjata di gardu itu.
"Benar sekali. Kami adalah murid-murid Hek-houw-pang yang melakukan penjagaan
untuk keamanan dusun kami!" jawab si botak. "Siapakah kalian?"
"Hemm, bagus kalau kalian ini orang-orang Hek-houw-pang. Nah, sekarang cepat
beritahukan kepada ketua kalian bahwa kami ingin bertemu karena urusan yang amat
penting," kata Hong San, sikapnya masih dingin.
Para murid Hek-houw-pang itu saling pandang dan si botak bersikap hati-hati. Siapa
tahu, lima orang ini adalah sahabat-sahabat ketua mereka yang datang berkunjung
sebagai tamu. Orang-orang kang-ouw memang banyak yang aneh. Berkunjung di tengah
malam seperti itu bukan suatu pantangan bagi mereka.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Jadi cu-wi (anda sekalian) ingin bertemu dengan pang-cu kami?" tanya si botak, kini
sikapnya agak menghormati dan ragu-ragu. "Akan tetapi, kami harus melaporkan dulu
siapa cu-wi dan apa keperluan cu-wi hendak menghadap pang-cu kami."
"Katakan saja kepada pang-cu kalian bahwa kami berlima diutus oleh pangeran Cian Bu
Ong..... "
Baru bicara sampai di situ, para murid Hek-houw-pang sudah terkejut sekali.
"Pemberontak!"
"Tangkap!"
"Kepung......!"
Tigabelas orang itu serentak mencabut senjata dan mengepung lima orang yang
bersikap tenang itu. Si botak yang memegang sebatang pedang, menudingkan telunjuk
kirinya ke muka Can Hong San dan dia berseru dengan nyaring. "Lebih baik kalian lima
orang pemberontak menyerah kepada kami daripada harus kami tangkap dengan
kekerasan!"
Hong San mengerutkan alisnya. Pangeran Cian Bu Ong sudah marah ketika mendengar
bahwa Hek-houw-pang mengambil sikap bermusuhan dengan dia dan akan membantu
pasukan Kerajaan Tang untuk menangkapnya. Dia sudah berpesan kepada Hong San
bahwa kalau ketua Hek-houw-pang mau diajak kerja sama, hal itu baik sekali. Akan tetapi
kalau mereka berkeras menentangnya, maka lebih baik perkumpulan itu dibasmi saja!
"Hemm, orang Hek-houw-pang. Sekali lagi, panggil ketuamu ke sini agar kami dapat
bicara. Atau kami akan mengambil jalan berdarah untuk menangkap ketua kalian!"
"Serbuuuu! Hancurkan pemberontak!" teriak si botak dan dia sendiri sudah menyerang
Hong San dengan pedangnya, karena pemuda itu berdiri paling depan. Juga para murid
lain sudah menggunakan senjata mereka untuk menyerang empat orang rekan Hong San.
Hong San adalah seorang muda yang amat lihai. Ilmu kepandaiannya sudah mencapai
tingkat tinggi, maka tentu saja serangan murid tingkat ke dua dari Hek-houw-pang itu
tidak ada artinya bagi dirinya. Bahkan kalau dia mau melindungi tubuhnya dengan sinkang,
pedang itu tidak akan mampu menyentuhnya, akan tetapi, Hong San sama sekali
tidak mengelak, bahkan menangkap pedang si botak yang menyerang dengan bacokan.
Tangan kirinya menangkap pedang itu seolah pedang itu bukan benda baja tajam yang
digerakkan dengan tenaga besar, melainkan sebatang pedang kayu tumpul yang
digerakkan tangan seorang anak kecil saja. Dan tangan kanannya dibarengi dengan
tamparan ke arah kepala botak itu.
"Prakkkk!" Si botak terjengkang dan roboh tewas seketika karena kepalanya retak-retak
dan pedangnya terampas berada dalam cengkeraman tangan kiri Hong San. Pemuda ini
tidak berhenti sampai di situ saja. Sekali dia melemparkan pedang rampasan itu ke kiri,
seorang pengeroyok roboh dan pedang itu menancap di dadanya sampai menembus
punggung!
Empat orang rekannya juga sudah di keroyok banyak murid Hek-houw-pang.
Gan Lui merobohkan seorang pengeroyok yang tewas seketika oleh senjata cambuknya,
Thio Ki Lok juga menewaskan seorang pengeroyok dengan golok gergaji. Demikian pula
Gulana meremukkan kepala seorang pengeroyok dengan tongkat bajanya. Hanya Lie Koan
Tek yang tampak ragu-ragu. Melihat betapa sudah ada lima orang roboh tewas, dia
melompat ke depan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tahan semua senjata!" teriaknya dengan suara lantang sekali karena tokoh Siauw-limpai
ini mengerahkan khi-kang sehingga suaranya keluar dari perut dan amat nyaring.
"Kami utusan pangeran Cian Bu Ong datang untuk mengajak bekerja sama, bukan
bermusuhan. Kerajaan telah dirampas pemberontak, apakah kalian hendak membantu
pemberontak Tang? Mari kita bicara dengan baik dan kami persilakan ketua Hek-houwpang
untuk keluar bicara dengan kami!"
"Akulah ketua Hek-houw-pang!" Tiba-tiba terdengar suara keren dan Kam Seng Hin
telah berdiri di situ, didampingi oleh isterinya, Poa Liu Hwa. Ketua yang berusia
empatpuluh tahun ini, yang bertubuh tinggi besar dan gagah, nampak marah sekali
melihat betapa lima orang murid Hek-houw-pang telah roboh tewas. "Kailan anjing-anjing
penjilat Pangeran Cian Bu Ong yang memberontak! Kami adalah rakyat yang tunduk dan
taat kepada pemerintah yang sah!"
Lie Koan Tek merasa khawatir sekali melihat sikap ketua Hek-houw-pang itu. Dia tahu
benar betapa lihainya empat orang rekannya, terutama sekali Can Hong San yang masih
muda itu, dan betapa kejamnya hati mereka. Kalau dibiarkan saja perkelahian berlangsung
lagi, tentu semua orang Hek-houw-pang akan terbunuh mati. Maka diapun cepat
mendahului dengan suaranya yang lantang.
"Ketua Hek-houw-pang ternyata masih muda dan gagah. Pangcu, ketahuilah bahwa
pendirianmu itu keliru. Pemerintah yang sah adalah kerajaan Sui yang jatuh ke tangan
pemberontak yang kini mendirikan Kerajaan Tang. Kalau engkau ingin menjadi seorang
pahlawan, seharusnya engkau membela Kerajaan Sui, bukan Kerajaan Tang yang didirikan
para pemberontak!"
"Tidak perlu memutar-balikkan kenyataan!" bentak pula Kam Seng Hin marah. "Setiap
orang tentu tahu betapa lalimnya kaisar terakhir kerajaan Sui, menindas dan mencekik
rakyat. Panglima Li Si Bin adalah seorang pejuang rakyat, seorang pahlawan yang
mengenyahkan kaisar lalim dan sekarang membangun pemerintahan baru yang bersih dan
adil. Kemudian Pangeran Cian Bu Ong memberontak di Pohai, lalu sekarang menjadi
pelarian. Siapa tidak tahu akan hal itu? Sebaiknya kalau kalian menyerah agar kami
tangkap dan kami hadapkan kepada pemerintah."
"Jahanam sombong!" bentak Can Hong San marah dan diapun sudah menerjang
dengan tangan kirinya, menampar ke arah kepala Kam Seng Hin. Ketua Hek-houw-pang
ini merupakan seorang murid kepala dan tentu saja sudah memiliki kepandaian yang
cukup tinggi. Namun, kini dia berhadapan dengan seorang pemuda yang kepandaiannya
jauh lebih tinggi dari dia, maka melihat tamparan itu, Kam Seng Hin cepat menangkis
sambil mengeluarkan seluruh tenaga.
"Plukkkk!" Begitu tangkisannya bertemu dengan tangan Hong San, tubuh tinggi besar
ketua itu terpelanting dan terbanting keras! Tentu saja semua anggota Hek-houw-pang
terkejut.
Poa-Liu Hwa menolong suaminya dan beberapa orang anggota Hek-houw-pang
menyerang Hong San dengan senjata mereka. Juga para anggota Hek-houw-pang lainnya
yang sudah berkumpul telah mengepung dan mengeroyok empat orang yang lain dengan
senjata mereka. Biarpun dengan hati yang berat, karena dikepung dan dikeroyok, Lie Koan
Tek terpaksa membela diri. Akan tetapi, kalau dia hanya mengelak dan menangkis saja
dan merobohkan para pengeroyok tanpa membunuh atau melukai dengan berat, empat
orang lainnya sebaliknya seperti berpesta-pora menyebar maut di antara para anggota
Hek-houw-pang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Poa Liu Hwa yang menolong suaminya mendapat kenyataan bahwa suaminya tidak
terluka, maka mereka berdua lalu menghunus senjata dan ikut pula mengeroyok.
Terjadilah pertempuran yang seru dan mati-matian.
Can Hong San tidak menggunakan pedangnya. Pihak lawan dianggap terlalu lemah
sehingga cukup dengan suling di tangan kiri dan tangan kanan yang kosong saja, dia
sudah menyebar maut.
Sudah enam orang roboh dan tewas oleh totokan suling di tangan kiri atau hantaman
tangan kanannya. Dia mengamuk sambil tersenyum gembira seperti orang yang sedang
membunuhi tikus saja. Melihat ini, Kam Seng Hin yang bersama isterinya tadi mengeroyok
Gulana, menjadi marah sekali. Sambil berteriak nyaring dia membalik dan menerjang Can
Hong San, membantu anak buahnya mengeroyok pemuda tampan ini.
Jilid 2
Kam Seng Hin terlampau marah dan hal ini membuatnya kehilangan kewaspadaan.
Seharusnya dia tahu bahwa dia sama sekali bukan lawan pemuda lihai ini. Tadipun dalam
segebrakan saja, dia telah roboh walaupun tidak terluka. Kini, dengan kemarahan meluap,
Kam Seng Hin menggunakan pedangnya untuk menyerang Hong San. Padahal, para anak
buah Hek-houw-pang sudah mulai gentar untuk mendekati pemuda itu, karena tadi
mereka melihat betapa setiap lawan yang berani mendekat atau menyerang, tentu roboh
dan tewas!
"Haiiitttt ....!" Kam Seng Hin menerjang dengan ganas, pedangnya menyambar ke arah
dada Hong San dengan tusukan maut.
"Hemm, kau sudah bosan hidup!" kata Hong San sambil tersenyum mengejek.
Tubuhnya mendoyong ke kiri dan ketika pedang meluncur dekat tubuhnya, dia
menggerakkan tangan kanannya ke arah kepala Kam Seng Hin. Gerakannya sedemikian
cepatnya sehingga tidak nampak oleh ketua Hek-houw-pang yang tingkat kepandaiannya
kalah jauh itu.
"Prakkk!" Kam Seng Hin mengeluh dan terkulai roboh, tewas seketika dengan kepala
retak!
Melibat suaminya roboh, Poa Liu Hwa menjerit dan dengan nekat ia menggerakkan
pedangnya, menyerang Hong San. Namun sambil tersenyum pemuda ini menggerakkan
kakinya menendang dan tubuh wanita itu terjengkang jauh ke belakang. Ia bangkit lagi,
hendak mengadu nyawa membela kematian suaminya, akan tetapi tiba-tiba tubuhnya
lemas karena ditotok orang dari belakang. Sebelum ia roboh, sebuah lengan yang kuat
menyambutnya dan di lain saat ia telah berada di dalam pondongan dua lengan yang kuat,
kemudian orang itu melarikan diri dengan loncatan jauh dan menghilang dalam kegelapan
malam.
Hong San melihat bahwa orang yang menotok dan melarikan wanita itu adalah seorang
rekannya, yaitu Lie Koan Tek. Dia hanya tersenyum mengejek, mengira bahwa tentu
rekannya itu tertarik pada wanita cantik isteri Hek-houw-pang-cu dan menculiknya untuk
dipermainkan sebelum dibunuh. Dia tidak perduli dan pada saat itu nampak dua bayangan
berkelebat dan tahu-tahu di depannya berdiri seorang laki-laki tampan dan seorang wanita
cantik. Dia memandang heran karena merasa pernah mengenal mereka, akan tetapi lupa
lagi entah di mana dan kapan.
Mereka itu adalah suami isteri Coa Siang Lee dan Sim Lan Ci. Suami isteri ini tadi ikut
keluar dan sejenak mereka bingung melihat lima orang yang amat lihai itu dikeroyok oleh
puluhan anggota Hek-houw-pang. Mereka memang sudah lama tidak mau mencampuri
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
urusan dunia kangouw, bahkan tidak pernah mau mempergunakan ilmu silat untuk
berkelahi. Kini mereka ragu-ragu, akan tetapi ketika melihat Kam Seng Hin roboh tewas
dan Poa Liu Hwa dilarikan orang, Siang Lee tidak dapat menahan dirinya lagi dan diapun
maju mendekati tempat pertempuran.
"Aih, dia adalah jahanam itu ..." Tiba-tiba isterinya, Sim Lan Ci berseru kaget. Siang Lee
memandang dan kini diapun mengenal Can Hong San. Peristiwa itu terjadi dua tahun yang
lalu ketika Thian Ki berusia tiga tahun. Pada suatu malam, seorang Jai-hoa-cat (penjahat
cabul) muncul dalam kamar mereka, dan penjahat itu lihai bukan main.! Mereka berdua
mengeroyoknya dan tiba-tiba penjahat itu menangkap Thian Ki sebagai sandera, memaksa
Sim Lan Ci untuk menotok roboh Coa Siang Lee, kemudian dengan mengancam nyawa
Thian Ki penjahat itu memaksa Lan Ci untuk menyerah digaulinya! Pada saat yang amat
berbahaya bagi kehormatan wanita itu muncul seorang pendekar sakti, yaitu Huang-ho
Sin-liong (Naga Sakti Sungai Kuning) Si Han Beng sehingga perbuatan terkutuk itu dapat
digagalkan dan penjahat itu melarikan diri, tidak kuat melawan Si Naga Sakti Sungai
Kuning.
Penjahat itu bukan lain adalah Can Hong San yang kini mereka hadapi!
"Keparat, kiranya engkau jai-hoa-cat hina!" Siang Lee memaki dan diapun cepat maju
menyerang bersama isterinya.
Semenjak mereka mengambil keputusan untuk hidup sebagai petani dan tidak pernah
mau melibatkan diri dalam perkelahian atau permusuhan, suami isteri ini tidak pernah
membawa senjata, Sekarangpun mereka tidak bersenjata lagi. Padahal Lan Ci memiliki
sebatang pedang pusaka yang bernama Cui-mo Hok-kiam (Pedang Hitam Pengejar Iblis)
dan biasanya dahulu ia membawa sekantung Toat-beng Tok-piauw (Piauw Beracun
Pencabut Nyawa). Akan tetapi sekarang, wanita itupun seperti suaminya hanya menyerang
dengan tangan kosong. Biarpun demikian, ia memiliki Ban-tok Hwa-kun ( Silat Tangan
Kosong Selaksa Racun) yang dipelajarinya dari ibunya, yaitu Ban-tok Mo-li, maka tentu
saja serangannya hebat dan hawa pukulan tangannya mengandung racun. Juga Siang Lee
menyerang dengan pukulan-pukulan ampuh. Pria ini, selain mewarisi ilmu-ilmu dari
keluarganya, yaitu para pimpinan Hek-houw-pang, juga pernah mempelajari banyak
macam ilmu silat dari tokoh-tokoh kangouw, maka serangannya juga berbahaya sekali.
Diam-diam Can Hong San terkejut melihat gerakan suami isteri itu. Dia mengingatingat,
akan tetapi tidak mengenal mereka. Dan serangan mereka itu membuat dia tidak
sempat untuk banyak mengingat lagi. Serangan mereka terlalu berbahaya, maka diapun
cepat mencabut pedangnya, diputar pedangnya itu untuk membela diri dan balas
menyerang. Pedang dan sulingnya menyambar nyambar dan kini suami isteri itu yang
terdesak, walaupun tidak begitu mudah bagi Hong San untuk merobohkan mereka dalam
waktu singkat seperti yang tadi dilakukan terhadap lawannya.
Gulana, jagoan peranakan Turki yang tinggi besar hitam, juga sejak tadi mengamuk
dan sudah membunuh banyak lawan, ketika melihat betapa Can Hong San dikeroyok dua
orang laki-laki dan perempuan yang lihai, segera membantu. Jagoan ini wataknya
sombong, maka melihat bahwa biarpun lihai sekali, pria dan wanita yang mengeroyok
rekannya itu bertangan kosong, dia lalu tertawa dan menancapkan tongkat bajanya di atas
tanah. Dia sudah melihat kecantikan Sim Lan Ci dan timbul niatnya untuk menangkap
wanita cantik itu. Tadipun ia melihat bahwa seorang rekannya, Lie Koan Tek, telah
menangkap dan melarikan seorang wanita cantik, maka timbul keinginannya untuk
menangkap wanita yang kini mengeroyok Can Hong San itu.
Sambil tertawa, bagaikan seekor binatang, dia menubruk dari belakang. Sim Lan Ci
adalah puteri Ban-tok Mo-li, tingkat kepandaiannya bahkan lebih tinggi dibandingkan
suaminya. Biarpun sudah bertahun-tahun ia tidak pernah berkelahi, namun gerakannya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
masih sigap dan pendengarannya masih tajam, mendengar gerakan dari belakang itu,
padahal saat itu, suling di tangan Hong San sedang meluncur dan menotok ke arah
dadanya. Ia cepat membalik, mengelak dari totokan suling sambil memutar tubuh dan
lengan untuk menyambut serangan yang datang dari arah belakang itu. Akan tetapi,
betapa kagetnya ketika kedua pergelangan tangannya ditangkap oleh dua buah tangan
yang berjari panjang dan besar, kuat bukan main sehingga kedua pergelangan tangannya
itu seolah dicengkeram jepitan besi! Dan Gulana menyeringai lebar karena kini dia
mendapat kenyataan bahwa wanita yang ditangkapnya itu luar biasa cantiknya!
"Heh-heh-heh, manis, marilah padaku.........heh-heh!" Dan sambil masih
mencengkeram kedua pergelangan tangan Lan Ci, dia membungkuk dengan maksud untuk
mencium muka wanita itu. Kalau saja dahulu Lan Ci mempelajari ilmu-ilmu yang amat
jahat dari ibunya sehingga bukan saja tangannya mengandung pukulan beracun, juga
kuku, gigi dan ludahnya dapat menjadi senjata beracun, tentu dalam keadaan tertangkap
kedua lengannya itu ia masih dapat menyerang dengan ludah beracun. Akan tetapi Sim
Lan Ci memang berbeda dengan ibunya. Biarpun ia mewarisi ilmu-ilmu ibunya, namun ia
tidak pernah mau mempelajari ilmu yang keji itu. Kini, dicengkram kedua pergelangan
tangannya, ia meronta-ronta dan mencoba untuk melepaskan diri dengan tendangan.
Akan tetapi raksasa hitam itu menariknya dekat sehingga tidak mungkin menendang, dan
yang lebih mengerikan lagi karena raksasa itu mendekatkan mukanya dan mulut yang
lebar itu seolah moncong harimau yang hendak menggigitnya! Lan Ci merasa ngeri sekali.
Tiba-tiba terdengar teriakan seorang anak kecil. "Lepaskan ibuku!" Anak itu adalah Coa
Thian Ki! Tadi dia dan Kam Cin dipesan oleh orang tua mereka untuk berdiam saja di
kamar dan tidak boleh keluar. Akan tetapi ketika mendengar suara pertempuran semakin
gaduh di luar, terdengar teriakan-teriakan kesakitan, dua orang anak itu tak mampu lagi
menahan diri untuk tidak luar. Mereka mengkhawatirkan orang tua masing-masing dan
akhirnya, seperti dikomando saja, mereka bergandeng tangan untuk membesarkan hati
dan berlari keluar dari rumah itu. Dan mereka melihat pemandangan yang mengerikan.
Mayat berserakan, darah bergelimang di mana-mana dan mereka melihat empat orang
yang mengamuk, membunuhi para anggota Hek-houw-pang seperti empat ekor kucing
mengamuk dan membunuh tikus-tikus yang mengeroyok mereka.
Ketika Thian Ki melihat ibunya tak berdaya ditangkap oleh seorang raksasa hitam, dan
ibunya meronta-ronta lemah, dia menjadi marah bukan main. Melupakan segala, kecuali
hanya ingin menolong ibunya, Thian Ki lalu berlari dan berteriak, "Lepaskan ibuku!" dan
diapun sudah meloncat ke arah punggung raksasa itu. Dia sendiri tidak tahu betapa
gerakannya meloncat itu sungguh luar biasa sekali, cepat dan ringan.
Hal ini merupakan suatu keanehan yang seringkali terjadi pada orang yang sedang
takut atau sedang diancam bahaya. Dalam keadaan biasa, kiranya tidak mungkin sekali
Ioncat anak itu dapat tiba di atas punggung Gulana yang tinggi itu. Dan karena dia tidak
tahu apa yang harus dilakukan untuk menolong ibunya, begitu tiba di punggung, Thian Ki
menggunakan kedua lengannya merangkul leher Gulana kemudian membuka mulutnya
dan dia menggigit tengkuk raksasa itu!
Tiba-tiba saja sepasang mata yang besar dari raksasa Turki itu terbelalak melotot lebar,
cengkeraman kedua tangannya pada pergelangan tangan Sim Lan Ci terlepas dan kini
kedua tangannya yang membentuk cakar itu bergerak ke arah punggungnya sendiri, tentu
saja dengan maksud untuk menyingkirkan mahluk yang menggigit tengkuknya dan yang
membuat seluruh tubuhnya terasa seperti dibakar itu. Akan tetapi, dia hanya mampu
mengangkat kedua tangan ke atas dan sebelum cakar kedua tangan itu sempat
menyentuh tubuh Thian Ki, Gulana sudah roboh tersungkur ke depan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Biarpun tubuhnya kini sudah menjadi kaku, mukanya menjadi hangus seperti dibakar,
dan tubuhnya rebah miring, namun Thian Ki masih berada di punggungnya, merangkul
dan menggigit tengkuk, seperti lintah yang menempel di tubuh yang gemuk dan banyak
darahnya.
Melihat betapa rekannya roboh dengan muka hangus, dan seorang anak laki-laki kecil
masih melekat di punggung mayat Gulana dan menggigit tengkuk raksasa itu, Thio Ki Lok
terbelalak. Bekas kepala rampok ini selain ahli silat, juga ahli gulat Mongol. Dia lalu maju
dan mencengkeram ke arah punggung Thian Ki. Demikian kuat cengkeramannya sehingga
baju di punggung anak itu robek dan jari tangan si pendek gendut itu mencengkeram kulit
punggung Thian Ki, lalu melemparkan anak itu sampai melayang sejauh enam meter!
Akan tetapi, Thio Ki Lok mengeluarkan teriakan seperti seekor babi disembelih, matanya
terbelalak memandang tangan kiri yang mencengkeram tadi. Tangan itu kini telah hangus
dan rasa nyeri menjalar dari tangan itu ke atas! Dia adalah seorang yang berpengalaman,
maka tahulah dia bahwa entah bagaimana, tangannya itu telah kena racun yang amat
hebat seperti racun ular berbisa yang paling berbahaya, tanpa ragu-ragu lagi, tangan
kanan yang memegang golok bergerak dan.........."crokkk!" dia telah membuntungi tangan
kirinya sendiri sebatas pergelangan tangan! Akan tetapi, kembali dia meraung karena rasa
nyeri itu telah menjalar ke lengannya. Kembali goloknya bergerak dan kini dia
membuntungi lengan kirinya sampai sebatas siku! Darah muncrat dan darah ini
menghitam. Namun usaha yang nekat ini terlambat. Thio Ki Lok melempar goloknya, jatuh
terpelanting, bergulingan sambil meraung-raung dan tubuhnya berubah menghitam,
diapun tewas seperti Gulana!.
"Thian Ki.....!" Sim Lan Ci menghampiri puteranya yang kini terlempar dan terbanting.
Pada saat itu, terdengar suara riuh rendah dan tempat itu diserbu oleh pasukan
pemerintah! Kiranya tadi ada seorang anggota Hek-houw-pang yang lari melapor kepada
pasukan keamanan yang kebetulan berada tidak jauh dari dusun Ta-bun-cung.
Melihat ini, Can Hong San terkejut dan maklum bahwa sudah tiba saatnya ia dan
teman-temannya harus pergi, Lie Koan Tek sudah pergi melarikan seorang wanita. Thio Ki
Lok dan Gulana telah tewas secara aneh oleh seorang anak kecil. Kini hanya tinggal dia
dan Gan Lui saja, dan dia harus mempertanggung-jawabkan kegagalan ini kepada
Pangeran Cian Bu Ong! Maka, secepat kilat dia menggerakkan suling dan pedangnya,
mengirim serangan dahsyat sekali kepada Coa Siang Lee. Serangan ini terlalu hebat bagi
Siang Lee. Biarpun dia berusaha mengelak dengan loncatan ke belakang, namun terlambat
dan ujung pedang menusuk lehernya. Robohlah Siang Lee dan dia hanya sempat
mengeluarkan keluhan menyebut nama Thian Ki.
Sim Lan Ci yang masih merangkul puteranya, terkejut mendengar suara suaminya. Ia
menoleh dan terbelalak melihat suaminya roboh mandi darah. Sim Lan Ci menjerit sambil
memondong putranya, meloncat ke dekat tubuh Siang Lee yang sudah tewas, menubruk
tubuh itu dan menjerit. Akan tetapi pada saat itu, ujung sulingnya bergerak cepat dua kali
dan ibu dengan puteranya lalu roboh pingsan. Can Hong San adalah seorang yang amat
cerdik. Melihat betapa anak itu mampu membunuh Gulana dan Thio Ki Lok, dia dapat
menduga bahwa anak itu tentu memiliki suatu keanehan dan mungkin menggunakan
racun, maka dia merobohkannya dengan suling. Andaikata dia tidak berhati-hati dan
mencoba untuk menotok Thian Ki dengan tangan, mungkin diapun akan menjadi korban
dan keracunan. Di lain saat, Hong San sudah memondong tubuh ibu dan anak itu dan
meloncat ke dalam gelap sambil berteriak kepada Gan Lui. "Mari kita pergi!"
Kiu-bwe-houw Gan Lui juga khawatir karena munculnya pasukan, maka mendengar
ajakan ini diapun cepat meloncat dan mereka berdua menghilang di dalam kegelapan
malam, meninggalkan mayat dua orang rekan mereka yang tak dapat ditolong lagi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Andaikata dua rekan itu matinya wajar, mungkin mereka masih dapat membawa jenazah
mereka. Akan tetapi mereka tewas dalam keadaan keracunan yang aneh. Amat berbahaya
untuk menyentuh tubuh yang keracunan seperti itu.
Setelah pasukan keamanan datang menyerbu dan dua orang itu melarikan diri,
pertempuran terhenti dengan sendirinya. Dan mulailah hujan tangis. Lebih dari tigapuluh
orang anggota Hek-houw-pang tewas dalam perkelahian itu, dan saking marahnya, sisa
anak buah Hek houw-pang menghujani mayat Thio Ki Lok dan Gulana dengan senjata
tajam sehingga dua buah mayat itu yang sudah hangus menjadi hancur lebur!
Sungguh kasihan sekali melihat Kam Cin atau Cin Cin. Anak ini juga keluar dari kamar
bersama Thian Ki. Kalau Thian Ki segera lari menyerang Gulana untuk menolong ibunya,
Cin Cin lari ke arah mayat ayahnya, menubruk dan menangisi mayat itu tanpa
mempedulikan keadaan di sekitarnya. Setelah pertempuran berhenti dan dia ditolong,
kembali anak ini menangis karena ibunya lenyap, apa lagi dia mendengar bahwa ibunya
ditangkap penjahat dan dibawa lari.
Dusun Ta-bun-cung berkabung. Tiga puluh enam orang anak buah Hek-houw pang
dimakamkan, diiringi tangis sanak keluarga mereka. Lebih dari setengah jumlah anak buah
Hek-houw-pang tewas, bahkan ketuanya juga tewas dan istri ketua lenyap. Lebih dari itu,
Coa Siang Lee juga tewas, isteri dan puteranya juga dilarikan penjahat.
Pukulan ini terlalu hebat bagi kakek Coa Song yang usianya sudah tujuh puluh sembilan
tahun. Berkali-kali kakek ini jatuh pingsan dan setelah siuman, dia tidak mampu lagi
bangkit dari tempat tidurnya. Ketika dia minta Cin Cin dibawa kepadanya, dia merangkul
cucu buyutnya itu dan mereka bertangisan.
Kakek itu jatuh sakit payah. Sebelum dia meninggal dunia, dia mengumpulkan sisa anak
buah Hek-houw-pang. Cin Cin duduk di tepi pembaringan dengan mata merah dan
bengkak. Kakek itu lalu meninggalkan pesan. Dia menugaskan seorang cucu murid
bernama Lai Kun, yaitu seorang sute (adik seperguruan) mendiang Kam Seng Hin, untuk
mengantar Cin Cin pergi mencari Si Han Beng, Si Pendekar Naga Sakti Sungai Huang-ho di
dusun Hong-cun di tepi sungai Huang-ho dan menyerahkan Cin Cin untuk menjadi murid
pendekar sakti itu.
Dengan tangan gemetar, untuk terakhir kalinya kakek itu menulis surat singkat kepada
Si Han Beng. Dia sendiri tidak mengenal Si Han Beng secara langsung, akan tetapi
cucunya, Coa Siang Lee telah menceritakan kepadanya bahwa pendekar sakti Si Han Beng
adalah adik angkat cucunya itu. Maka, dia mengambil keputusan untuk mengirim cucu
buyutnya, Kam Cin kepada pendekar sakti itu agar menjadi muridnya dan kelak dapat
membalaskan kematian ayahnya dan mencari ibunya yang dilarikan penjahat. Juga di
dalam suratnya dia menceritakan bahwa Coa Siang Lee tewas di tangan penjahat yang
sama, dan istri Siang Lee juga dilarikan penjahat. Setelah membuat surat itu, kakek Coa
Song lalu berpesan kepada semua anak buah Hek-houw-pang bahwa mulai hari itu, Hekhouw-
pang dibubarkan dan semua murid boleh mengambil jalan hidup masing-masing.
Semua harta milik Hek-houw-pang dibagi-bagikan kepada para murid. Setelah
meninggalkan semua itu, kakek Coa Song menghembuskan napas terakhir, ditangisi Kam
Cin yang seolah telah kehabisan air mata, sehingga anak ini hanya merintih dan mengeluh
dengan bingung.
Semua murid Hek-houw-pang patuh pada pesan terakhir kakek Coa Song. Setelah
mengurus jenasah kakek Coa Song, Lai Kun yang menerima tugas mengantar Kam Cin ke
dusun Hong-cun, segera mengajak anak itu berangkat. Cin Cin meninggalkan dusun Tabun-
cung dengan menangis memilukan. Dia menangisi kematian ayahnya, kehilangan
ibunya, dan kematian kakek buyutnya. Keberangkatan anak ini diantar sampai ke luar
dusun oleh semua bekas anggota Hek-houw-pang, dan tak seorangpun yang tidak ikut
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menangis saking terharu dan kasihan melihat nasib Kam Cin, anak yang baru berusia lima
tahun dan yang biasanya lincah jenaka dan periang itu.
oo000oo
Can Hong San dan Gan Lui, dengan tubuh lesu karena lelah, menghadap Pangeran Cian
Bu Ong di tempat persembunyian pangeran itu sambil membawa Sim Lan Ci dan Thian Ki
yang masih pingsan, karena setiap kali mereka siuman, Hong San menotok mereka
dengan seruling membuat mereka pingsan kembali. Dia menyuruh Gan Lui untuk
memanggul tubuh Thian Ki, sedang dia sendiri memanggul tubuh Lan Ci. Rekannya itu
mengomel panjang pendek. Pemuda itu memanggul tubuh wanita yang hangat dan cantik
sedangkan dia harus memanggul tubuh seorang laki-laki, tubuh yang amat berbahaya
karena beracun! Tadinya dia ingin membunuh saja anak itu yang hanya menjadi beban,
akan tetapi Hong San melarangnya.
"Jangan tolol," demikian Hong San menegur rekan yang menjadi pembantu atau
bawahannya itu. "Tugas yang kita lakukan biarpun berhasil membasmi Hek houw-pang,
akan tetapi juga mengalami kegagalan besar dengan tewasnya Thio Ki Lok dan Gulana.
Bagaimana kita harus membela diri di depan pangeran kalau kita tidak membawa anak ini
hidup- hidup? Biar pangeran melihat sendiri bahwa dua rekan kita itu tewas oleh anak
setan ini. Kalau engkau membunuhnya dan meninggalkannya, apa yang kaujadikan alasan
kepada pangeran?"
Mendengar ucapan itu, Gan Lui hanya cemberut, akan tetapi dia tahu bahwa memang
alasan yang dlkemukakan Hong San itu masuk akal. Dia dapat membayangkan betapa
Pangeran Cian Bu Ong akan kecewa mendengar betapa dua orang pembantunya tewas,
dan seorang lagi yaitu Lie Koan Tek bahkan melarikan diri membawa seorang wanita
keluarga Hek houw-pang.
Setelah mereka membawa ibu dan anak itu ke depan Pangeran Cian Bu Ong dan
menceritakan hasil pelaksanaan tugas mereka, pangeran itu menjadi marah dan
menggebrak meja di depannya.
''Bodoh, sungguh bodoh sekali! Menghadapi perkumpulan kecil seperti Hek-houw-pang
saja kalian sampai kewalahan dan dua orang tewas? Dan ke mana perginya Lie Koan
Tek?"
Hong San dan Gan Lui saling pandang, lalu Hong San berkata, "Tadinya kami mengira
bahwa dia telah pulang lebih dulu membawa tawanannya, seorang wanita cantik. Kalau
tidak salah istri ketua Hek-houw-pang. Kalau dia tidak kembali ke sini, berarti dia tentu
melarikan diri dan membawa wanita itu. Memang sejak semula aku tidak percaya kepada
murid Siauw-lim-pai itu, pangeran!"
Pangeran Cian Bu Ong mengerutkan alisnya. "Hem, kalau benar dia melarikan diri dan
mengkhianatiku, masih ada waktu untuk mencarinya dan dia akan menyesali
perbuatannya! Akan tetapi, bagaimana Thio Ki Lok dan Gulana sampai tewas, dan
mengapa pula kalian tidak membawa mayat mereka, sebaliknya membawa wanita dan
anak ini?"
Karena takutnya, Kiuw-bwe-houw Gan Lui diam saja hanya menundukkan kepala,
membiarkan Hong San yang menghadapi pangeran yang sedang kecewa dan marah itu.
Hong San bersikap tenang saja. Tidak seperti para pembantu lainnya, dia tidak pernah
merasa gentar terhadap pangeran itu. Kalau dia merendahkan diri menjadi pembantu, hal
itu dilakukannya karena pangeran itu telah menolongnya keluar dari penjara. Juga karena
dia mengharapkan kelak akan mendapat jasa kalau pangeran itu berhasil dalam
perjuangannya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Hendaknya paduka ketahui bahwa dua orang rekan kami itu tewas keracunan
sehingga amat berbahaya untuk membawa mayat mereka ke sini, bahkan
menyentuhnyapun berbahaya. Mereka tewas secara tidak wajar dan yang membunuh
mereka adalah anak ini. Maka aku menangkap dia dan juga ibunya, kemudian terserah
keputusan paduka, pangeran."
Pangeran itu terbelalak. "Anak ini? Membunuh Thio Ki Lok dan Gulana? Hong San, siapa
dapat percaya laporanmu? Jangan bohong?"
Akan tetapi Hong San menentang pandang mata pangeran itu dengan berani. "Aku
tidak pernah berbohong, pangeran. Ketika Gulana berhasil menangkap tangan wanita ini
yang memiliki ilmu silat lumayan, anak ini muncul dan meloncat ke punggung Gulana,
menggigit tengkuknya dan Gulana roboh dan tewas dengan tubuh menghitam. Thio Ki Lok
mencengkeram anak ini dan tangannya sendiri yang keracunan, dibuntunginya tangan itu
namun racunnya sudah menjalar ke seluruh tubuh dan diapun tewas keracunan. Karena
kami ingin membawa bukti, kami menangkap ibu dan anak ini untuk dihadapkan paduka."
"Ehhhh......?" Pangeran Cian Bu Ong turun dari kursinya dan menghampiri ibu dan anak
yang masih pingsan itu. Dia mula-mula memeriksa tubuh Thian-Ki, meraba dadanya,
nadinya, membuka mulutnya dan memeriksa kuku tangannya, lalu meletakkan telapak
tangan di pusar anak itu. Hanya sebentar karena dia sudah melepaskan tangannya dan
meloncat ke belakang, matanya terbuka lebar.
"Anak ini.......dia.....dia Tok-tong (Anak Beracun)!" serunya.
"Tok-tong? Apa artinya itu, pangeran?" Biarpun dia sendiri berpengalaman luas, namun
selama hidupnya belum pernah Hong San mendengar tentang Anak Beracun.
Akan tetapi pangeran itu tidak menjawab karena dia sedang memeriksa keadaan Sim
Lan Ci yang masih rebah pingsan. Wanita berusia tigapuluh dua tahun ini memang
memiliki kecantikan yang khas, manis dan jelita. Pangeran Cian Bu Ong bukan seorang
mata keranjang yang mudah tertarik kecantikan wanita. Di waktu mudanya, sebagai
seorang pangeran, adik tiri mendiang Kaisar Yang Ti, wanita manapun yang
dikehendakinya tentu dapat diperoleh. Maka kini, dalam usia limapuluh satu tahun dia
tidak lagi haus akan wanita cantik.
Akan tetapi, sekali ini dia mengerutkan alisnya yang tebal, memutar otaknya dan
diapun mengangguk-angguk sambil menatap wajah Sim Lan Ci.
"Hong San, bagaimanapun juga, aku merasa girang bahwa engkau memutuskan
membawa wanita dan anak ini kepadaku. Engkau benar dan jasamu ini cukup besar. Akan
tetapi, hubungan antara kita sampai di sini dan kau terimalah ini sebagai imbalan jasamu!"
Pangeran itu mengeluarkan sebuah kantung kecil dan melemparkan benda itu ke arah
Hong San. Pemuda ini memandang heran, menyambar bungkusan atau kantung kain itu
dengan tangan kiri dan membukanya. Isinya potongan-potongan emas murni!
"Pangeran, apakah artinya ini? Mengapa paduka memutuskan hubungan?" tanyanya,
akan tetapi di dalam hatinya ia merasa gembira karena keputusan ini berarti
kebebasannya dan dia masih menerima hadiah yang demikian berharga pula.
Pangeran itu menarik napas panjang. "Perjuanganku tidak akan berhasil selama aku
tidak dapat mengumpulkan orang yang cukup banyak untuk membentuk pasukan. Tidak
enak kalau hidup sebagai pelarian yang terus diburu, dikejar-kejar. Maka kubebaskan
engkau, boleh engkau pergi ke manapun engkau suka."
Can Bong San adalah seorang yang amat cerdik. Dia hanya mempunyai satu saja
pertimbangan, yaitu asal baik dan menguntungkan untuk dirinya sendiri yang lain dia tidak
perduli lagi. Maka dia lalu memberi hormat kepada pangeran itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Terima kasih, Pangeran. Kalau begitu, sekarang juga aku hendak pergi."
"Pergilah, Can Hong San. Engkau seorang pembantu yang baik. Mudah-mudahan kelak,
kalau keadaanku mengijinkan, engkau dapat pula membantuku. Kalau aku sudah kuat,
engkau carilah aku, engkau akan kuberi tugas dan kedudukan yang baik."
Hong San mengangguk dan diapun pergi meninggalkan pondok darurat di dalam hutan
itu.
Gan Lui kini mengangkat muka memandang kepada Pengeran Cian Bu Ong. Dia pun
mengharapkan untuk dibebaskan seperti Hong San dan diberi hadlah. Diapun selalu
merasa khawatir kalau harus mengikuti pangeran yang menjadi pelarian dan dikejar-kejar
pasukan pemerintah itu. Apalagi kini dari lima orang pembantu utama, hanya tinggal dia
seorang. Hal ini amat mengecilkan hati. "Apakah hamba juga harus pergi, pangeran?" Dia
memberanikan diri bertanya. Gan Lui ini sejak mudanya memang selalu menjadi penjahat
dan pemberontak. Dia tidak suka kepada Kerajaan Sui yang kini telah jatuh itu karena
dahulu ayahnya yang bernama Gan Lok dan berjuluk Kiu-bwe-houw, tewas oleh pasukan
pemerintah Kerajaan Sui. Dia sendiri juga mempergunakan julukan ayahnya dan ketika dia
bersama kawan-kawannya melakukan pemberontakan, dia akhirnya tertangkap dan
dihukum sampai akhirnya dia dibebaskan oleh Pangeran Cian Bu Ong.
"Nanti dulu, Gan Lui. Sebelum engkau kubebaskan, aku mempunyai tugas untukmu.
Kaulihat ibu dan anak ini. Mereka adalah orang-orang Hek-houw-pang yang kubenci
karena mereka membantu pemerintah Tang. Juga anak ini telah membunuh Thio Ki Lok
dan
Gulana. Karena itu, ibu dan anak ini harus dihukum dan engkau yang harus
melakukannya." kata sang pangeran sambil tersenyum kejam.
Sepasang mata Gan Lui mengeluarkan sinar bengis. "Ah, serahkan saja kepada hamba,
pangeran! Akan hamba cincang tubuh ibu dan anak ini. Hamba juga dendam kepada
mereka atas kematian dua orang rekan hamba!"
Akan tetapi pangeran itu menggelengkan kepala. "Tidak begitu caranya Gan Lui.
Terlampau enak untuk mereka kalau dibunuh begitu saja. Mereka harus disiksa dulu lahir
batin sebelum dibunuh. Engkau tahu caranya menghukum dan menyiksa seorang wanita,
bukan? Dia cantik, tidak sukar bagimu untuk mempermainkan sesuka hatimu dan semua
harus kaulakukan di depan anaknya."
"Anak setan itu harus melihat ibunya dipermainkan orang! Engkau tidak boleh
membunuh anak itu, juga tidak boleh membunuh ibunya sebelum kuber ijin. Mengerti apa
yang kumaksudkan?"
Gan Lui adalah seorang penjahat besar. Sampai usia tigapuluh lima tahun itu, entah
kejahatan macam apa yang belum pernah dia lakukan. Dia sudah biasa merampok,
membunuh, memperkosa, menyiksa dan dia terkenal sebagai seorang datuk atau tokoh
besar dunia kang ouw. Mendengar ucapan pangeran itu, ia menyeringai dan otomatis
tangannya meraba kumisnya yang jarang seperti kumis tikus, dan matanya yang sipit
menjadi semakin sipit seperti terpejam. "Hamba mengerti, Pangeran. Harap jangan
khawatir, ia akan mengalami penghinaan yang takkan dapat ia lupakan selama hidupnya!
Dan terima kasih, paduka telah menyerahkan si cantik manis ini kepada hamba."
"Nah, aku hendak pergi, kaulakukanlah perintahku baik-baik. Akan tetapi ingat, jangan
sentuh wanita ini sebelum ia sadar, agar ia merasakan siksa batin yang paling hebat. Dan
jangan lupa, engkau tidak boleh membunuhnya, juga tidak boleh membunuh anak ini. Aku
sendiri yang akan membunuh mereka. Awas kalau engkau melanggar perintahku, engkau
akan kuhukum berat!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Gan Lui menyeringai. Apa sukarnya tugas memperkosa wanita cantik? "Jangan
khawatir, pangeran. Hamba akan melaksanakan perintah sebaiknya, ha-ha-ha!"
Pangeran Cian Bu Ong meninggalkan pondok itu dan dengan kecepatan luar biasa dia
mengunjungi orang-orang yang berkumpul tak jauh dari pondok bersembunyi di tengah
hutan. Setelah memberi perintah kepada belasan orang pembantunya, dia lalu kembali ke
pondok. Gerakannya demikian ringan sehingga tidak terdengar oleh Gan Lui yang mulai
beraksi di dalam pondok itu untuk melaksanakan perintah yang baginya amat
menyenangkan itu.
Gan Lui mengamati wajah wanita yang rebah miring di atas lantai itu sambil tersenyumsenyum,
kemudian dia membungkuk dan memondong tubuh itu. "Manisku, mari kita
pindah ke pembaringan, heh-heh-heh!" Ingin dia mencium mulut itu, akan tetapi dia ingat
akan ancaman Pangeran Cian Bu Ong dan ia bergidik. Tidak, dia tidak akan berani
melanggar. Dia harus menanti sampai wanita ini siuman, baru dia akan
memperlakukannya sesuka hatinya. Dia harus bersabar. Direbahkannya wanita itu di atas
pembaringan tunggal yang terdapat di sudut ruangan. Anak itu ia biarkan rebah di lantai.
Kemudian ia duduk di atas kursi dan melihat ada seguci arak di atas meja, dia
menyambarnya dan mulai dia minum arak sambil menoleh ke arah pembaringan, menanti
sampai Sim Lan Ci siuman dari pingsannya. Sudah agak lama sejak Hong San menotoknya
pingsan dan Gan Lui tidak lama menunggu. Kini terdengar wanita itu mengeluh lirih.
"... Siang Lee... Thian Ki......ah, Siang Lee......." wanita itu mengeluh dan
menggerakkan tubuhnya. Gan Lui sudah meloncat dan duduk di tepi pembaringan.
"Heh heh heh, manis, engkau sudah bangun? Engkau cantik sekali!" katanya dan
diapun merangkul.
Lan Ci membuka matanya dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika melihat
dirinya didekap seorang laki-laki yang tinggi kurus bermuka kuning dan berkumis tikus dan
bermata sipit. Orang itu mendekap dengan kurang ajar, tangannya meraba dadanya dan
mukanya begitu dekat, siap untuk menciumnya!
"Lepaskan aku, keparat!" bentaknya dan ia menggerakkan kedua tangan untuk
memukul. Namun sambil terkekeh Gan Lui yang sudah siap itu menangkap kedua lengan
Lan Ci dengan cengkeraman cakar harimau, satu di antara kepandaiannya yang dia
andalkan. Namun, Lan Ci meronta dengan mengerahkan seluruh tenaganya bahkan
mengerahkan tenaga Ban-tok Sin kang. Ilmu dari ibunya yang membuat hawa yang
mendorong tenaganya itu mengandung racun. Walaupun tidak terlalu kuat karena Lan Ci
tidak melatihnya selama bertahun-tahun, namun cukup membuat Gan Lui terkejut ketika
merasa betapa telapak tangannya seperti memegang lengan yang terbuat dari baja panas.
Kesempatan selagi cengkeraman Gan Lui mengendur dipergunakan oleh Lan Ci untuk
meronta lepas dan ia meloncat turun dari atas pembaringan. Melihat Thian Ki roboh
pingsan di atas lantai, hatinya khawatir bukan main. Ia dan puteranya telah terjatuh ke
tangan seorang penjahat keji yang hendak memperkosanya! Demi keselamatan puteranya,
demi kehormatannya, ia harus membela dirinya mati-matian.
"Thian Ki... .!" Ia berseru akan tetapi tidak dapat mendekati anaknya karena ia maklum
bahwa lawannya amat berbahaya.
"Ha-ha-ha, sungguh seperti seekor kuda betina liar! Ha, makin liar makin
menyenangkan. Engkau memang harus merasakan kelihaianku, harus menderita siksaan
lahir batin." Tar-tar-tar....... !
Cambuk yang ujungnya berekor sembilan itu meledak-ledak di udara. Cambuk itu
memang sengaja diberi ekor sembilan yang dahulu merupakan senjata andalan ayah Gan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Lui, sesuai pula dengan julukan mereka Kiu-bwe-houw (Harimau Ekor Sembilan). Kini,
cambuk itu meledak-ledak, kemudian meluncur turun menyerang ke arah tubuh Lan Ci.
"Tar-tarrr......!"
Lan Ci bertangan kosong dan biarpun ia memiliki gerakan lincah, namun tingkat
kepandaian penyerangnya berimbang dengan tingkatnya, bahkan lebih tinggi sedikit dan
kini lawan itu menggunakan cambuk yang panjang, sedangkan ia bertangan kosong. Lan
Ci berloncatan mengelak, akan tetapi sembilan ekor cambuk itu seperti ular-ular hidup
terus mengejarnya dan melecut-lecut.
"Tar-tar-tarr.....I"
Dengan kelincahannya, Lan Ci berhasil meloncat ke sana sini, menyusup di antara sinar
ujung cambuk dan bahkan ia meloncat mendekat dan kakinya melakukan tendangan kilat
ke arah pusar lawan!
"Ehh.......?" Gan Lui terkejut juga.
Tak disangkanya bahwa calon korbannya itu sedemikian lincahnya. Terpaksa ia
mengelak ke kiri, akan tetapi, kembali tangan kiri wanita itu menyambar dengan pukulan
yang mendatangkan hawa panas. Hawa beracun! Demikian berbahayanya pukulan yang
mengandung hawa beracun itu sehingga terpaksa Gan Lui melempar tubuh ke atas lantai,
bergulingan dan cambuknya menyambar-nyambar ke atas.
Tanpa setahu dua orang yang sedang berkelahi mati-matian itu, sepasang mata sejak
tadi mengikuti semua gerakan mereka dan ketika Lan Ci menyerang dengan tendangan
dan disusul pukulan yang mengandung hawa beracun, pemilik sepasang mata itu
memandang kagum. Pengintai itu bukan lain adalah Pangeran Cian Bu Ong! Pangeran itu
sejak mendengar cerita Hong San, merasa tertarik sekali kepada Thian Ki. Apa lagi setelah
dia memeriksa sendiri keadaan tubuh anak itu. Seorang Tok-tong (Anak Beracun)! Dia
sendiri hanya mempunyai seorang anak perempuan yang usianya juga masih kecil, kurang
dari lima tahun. Kalau saja dia dapat mengambil Tok-tong ini sebagai anak, atau
setidaknya sebagai murid. Akan digemblengnya anak itu dan kelak pasti akan menjadi
jagoan nomor satu di dunia. Jagoan yang akan lebih hebat dari pada dia sendiri, dan
dalam waktu belasan tahun saja, mungkin anak ini yang akan dapat membuat cita-citanya
terwujud! Dan diapun sudah melihat ibu anak itu. Seorang wanita yang masih muda,
berwajah cantik manis, bertubuh berisi dan indah. Kini ditambah lagi dengan kenyataan
bahwa wanita itu memiliki tingkat kepandaian silat yang hebat, sebanding dengan para
pembantu utamanya kecuali Can Hong San. Ah, dia melihat keuntungan besar baginya.
Dia sejak tadi mengikuti gerak-gerik kedua orang itu dan setiap saat siap untuk melindungi
Lan Ci.!
Kini Lan Ci kembali terdesak oleh serangan bertubi-tubi dari cambuk itu. Gan Lui yang
maklum bahwa wanita ini sungguh tidak boleh dipandang ringan hanya ingat bahwa
Pangeran Cian Bu Ong tak menghendaki dia membunuh wanita Itu. Dia mempercepat
gerakan cambuknya dan kini ujung sembilan ekor cambuknya itu mematuk-matuk ke arah
pakaian Lan Ci.!
"Bret-bret-bret.... tar-tarr.... !" Mulailah pakaian wanita itu cabik-cabik tergigit ujung
cambuk.
Lan Ci berteriak marah, akan tetapi ia tidak berdaya menghadapi hujan lecutan
sembilan ekor ujung cambuk itu. Ia seolah-olah ditelanjangi sedikit demi sedikit oleh
cambuk itu dan mulai nampak pakaian dalamnya yang tipis berwarna merah muda.
Bahkan bagian atas dadanya sudah nampak, dan ada bagian kulit tubuhnya yang babak
belur!
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tiba-tiba ada sebuah batu kerikil melayang dan mengenai tengkuk Thian Ki yang
sedang rebah pingsan. Anak itu nampak terkejut, bergerak dan bangkit duduk. Dia
terbelalak melihat ibunya dihajar cambuk oleh seorang laki-laki tinggi kurus muka kuning.
Ibunya sudah hampir telanjang.
"Ibuuu.....!" Dia meloncat bangun.
Tentu saja Lan Ci terkejut bukan main mendengar teriakan anaknya. Tanpa menoleh
karena ia harus mengelak dan mencoba untuk menangkap ujung cambuk iapun berseru.
"Thian Ki! Larilah....! Selamatkan dirimu. Lari......!"
Akan tetapi Thian Ki sama sekali tidak lari keluar, bahkan lari menghampiri!
"Engkau jahat! Engkau mencambuki ibuku.! Engkau jahat sekali! Hentikan serangan
itu!"
"Tar-tarrr!" Ujung cambuk menyambar ke arah tubuh Thian Ki. Leher dan dada anak itu
terkena cambuk, akan tetapi anak itu seperti tidak merasakan biarpun kulit lehernya
berdarah. la menerjang terus, berusaha untuk menangkap kaki Gan Lui.
"Anak Setan! Minggatlah!" Gan Lui berseru marah. Kalau dia menghendaki, tentu sekali
pukul atau tendang dia akan dapat membunuh anak itu. Akan tetapi dia tidak berani
melakukannya karena ingat akan ancaman Pangeran Cian Bu Ong. Kembali cambuknya
meledak-Iedak, akan tetapi anak itu di bawah hujan cambuk, tetap saja menerjangnya.
Dan ketika cambuknya menyambar ke arah anak itu, Lan Ci yang terbebas dari desakan
cambuk, sudah mengirim pukulan-pukulan beracun!
Gan Lui menjadi sibuk sekali. Dia mengelak dari hantaman Lan Ci, kemudian dengan
cambuknya dia menahan serangan Lan Ci dan tangan kirinya menyambar dan menangkap
kedua lengan Thian Ki. Dia pikir bahwa anak itu agaknya memiliki pukulan beracun seperti
ibunya. Kalau sudah ditangkap kedua lengannya tentu tidak akan mampu bergerak. Mudah
menotoknya agar anak itu pingsan. Akan tetapi, begitu kedua lengannya dicengkeram,
Thian Ki yang hendak menolong ibunya itu menggigit tangan yang mencengkeramnya.
Dengan sekuat tenaga, giginya menghunjam ke tangan yang amat kuat itu.
"Aughhh......!" Teriakan yang keluar dari kerongkongan Gan Lui seperti suara seekor
binatang buas yang ketakutan. Dia memandang ke arah tangan yang tergigit dan yang kini
menjadi hitam hangus dan nyerinya sampai menusuk jantung. Dia terhuyung ke belakang
dan kesempatan itu dipergunakan oleh Lan Ci untuk mengirim serangan kilat, pukulan
maut ke arah dada lawan.
"Plakk.....!" Dan tubuh Gan Lui terjengkang, matanya mendelik dan dia tewas seketika
pada
saat tubuhnya terbanting ke atas lantai ruangan itu. Ulu hatinya terkena hantaman
pukulan yang mengandung hawa beracun. Tanpa pukulan itupun dia akan mati dalam
waktu cepat karena dari tangan yang tergigit itu menjalar racun yang amat kuat, yang
membuat seluruh jalan darahnya keracunan dan menghitam seperti hangus terbakar.
"Thian Ki.....!"
"Ibu......!"
Mereka berangkulan dan Lan Ci menangis, teringat akan suaminya yang tewas, juga
menangis karena lega bahwa ia dan puteranya terlepas dari ancaman bahaya yang
mengerikan di tangan si tinggi kurus muka kuning itu.
Akan tetapi pada saat itu terdengar suara gaduh dan agaknya banyak orang
mengepung pondok itu. Lan Ci merangkul anaknya, dan melihat cambuk milik Gan Lui
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menggeletak di lantai, memungutnya, kemudian ia berbisik, "Thian Ki, agaknya masih
banyak musuh di luar. Mari naik ke punggungku, kita harus lari dari tempat ini."
Thian Ki tidak membantah dan digendong di punggung ibunya. Kakinya menjepit
pinggang, kedua lengannya merangkul pundak dengan kuat. Lan Ci membawa cambuk itu
dan melompat keluar. Benar saja, di luar terdapat belasan orang yang memegang
bermacam senjata. Begitu ia tiba di luar, orang-orang itu berteriak-teriak dan mengepung
lalu menyerang dengan ganas. Dan ternyata bahwa mereka semua rata-rata memiIiki ilmu
silat yang cukup kuat sehingga kepungan itu ketat dan tangguh, membuat ibu dan anak
itu kembali terancam.
Lan Ci mengamuk dengan cambuknya. Ia merasa canggung dan kaku karena keadaan
pakaiannya yang setengah telanjang, padahal belasan orang pengeroyoknya itu semua
adalah laki-laki. Juga senjata yang dipegangnya itu merupakan senjata yang asing
baginya. Maka, ia hanya menggunakan cambuk itu untuk menangkisi hujan senjata.
Diputarnya cambuk itu melindungi dirinya dan puteranya, namun karena ia kurang mahir
memainkan cambuk, dalam waktu sebentar saja pundak kirinya sudah tercium ujung golok
sehingga terluka.
Pada saat itu, nampak bayangan berkelebat. Bagaikan seekor burung rajawaIi,
bayangan ini menyambar-nyambar dan Lan Ci terbelalak. Demikian hebat gerakan
bayangan itu dan kemanapun dia menyambar, tentu ada pengeroyok yang roboh dan
dalam waktu singkat saja, belasan orang pengeroyok itu roboh semua dan tewas seketika!
Ketika bayangan itu berhenti bergerak, baru nampak jelas oleh Lan Ci bahwa dia
seorang pria yang bertubuh tinggi besar, bermuka merah, berjenggot panjang dan
nampak gagah perkasa, juga penuh wibawa. Usianya sekitar limapuluh tahun dan pria itu
berdiri memandang kepadanya sambil tersenyum.
Dari gerakan tadi saja dan melihat akibatnya, Lan Ci maklum sepenuhnya bahwa ia
berhadapan dengan seorang sakti. Orang ini dengan kedua tangan kosong telah
membunuh belasan orang bersenjata yang kuat. Dan iapun tahu bahwa tanpa pertolongan
orang sakti ini, ia dan puteranya tentu akan tewas dikeroyok. Maka, tanpa ragu lagi iapun
melepaskan Thian Ki dari atas punggungnya dan mengajak puteranya menjatuhkan diri
berlutut di depan pria itu.
"Tai-hiap (pendekar besar) yang budiman. Saya Sim Lan Ci dan anak saya Coa Thian Ki
menghaturkan terima kasih atas pertolongan tai-hiap kepada kami......"
Pada saat itu, terdengar suara gaduh yang datangnya dari arah barat, seperti suara
banyak orang bersorak dan berteriak-teriak. Mendengar ini, orang gagah itu
menanggalkan jubahnya yang lebar dan mempergunakan jubah itu untuk menyelimuti
tubuh Lan Ci yang setengah telanjang, kemudian dia memegang tangan Lan Ci dan
ditariknya bangkit berdiri.
"Sudah, tidak perlu banyak bicara, kita harus cepat pergi dari sini. Mari ikuti aku!" Dan
pria tinggi besar yang gagah perkasa itu sudah meloncat ke arah barat darimana suara
gaduh itu terdengar. Lan Ci berterima kasih sekali karena kini tubuhnya tertutup. Ia
mengikatkan sabuk di luar jubah yang kebesaran itu, kemudian sambil menggandeng
tangan Thian Ki dengan tangan kiri dan memegang cambuk di tangan kanan, iapun
mengikuti orang tinggi besar itu dengan penuh kepercayaan.
Siapakah pendekar yang gagah perkasa ini? Tentu saja Lan Ci sama sekali tidak pernah
menduga bahwa orang itu bukan lain adalah Pangeran Cian Bu Ong sendirl! Ketika
pangeran yang amat cerdik ini mendengar laporan Can Hong San tentang ibu dan anak
itu, hatinya tertarik sekali dan setelah dia memeriksa tubuh Thian Ki dan melihat
kecantikan Lan Ci, timbul suatu keinginan di hatinya untuk memiliki anak dan ibunya itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Maka, melihat betapa gerakannya ini sudah gagal sehingga dia sekeluarga menjadi
orang-orang buruan, diapun ingin mengubah keadaan itu dan memulai hidup baru yang
lain sama sekali. Dia membebaskan Hong San, lalu menyuruh Gan Lui memperkosa Lan Ci
yang sesungguhnya hanyalah merupakan ujian bagi ibu dan anak itu untuk meyakinkan
hatinya.
Juga diam-diam dialah yang menyuruh belasan orang pengikutnya untuk mengeroyok
Lan Ci. Dia mengintai dan melihat betapa dugaannya memang benar. Wanita itu selain
cantik menarik juga memiliki ilmu silat yang cukup timggi dan boleh diandalkan, dan
terutama sekali Thian Ki sungguh membuat dia kagum dan girang. Anak itu benar-benar
seorang Tok-tong, seorang anak beracun, yang sekali gigit saja membuat Gan Lui
keracunan hebat! Ketika belasan orang-orangnya sendiri melakukan pengeroyokan
terhadap Lan Ci, dia lalu muncul dan membunuh mereka semua, sesuai dengan siasat
yang sudah direncanakan sebelumnya.
Menurut rencananya, setelah dia menolong ibu dan anak itu, tentu besar kemungkinan
Lan Ci yang berhutang budi padanya akan menerima pinangannya untuk menjadi isteri ke
dua. Isterinya sendiri bersama kurang lebih belasan orang sanak keluarganya, dia
kumpulkan di dalam hutan itu, bersama puterinya yang masih kecil, tadinya dikawal oleh
belasan orang yang dia perintahkan untuk mengeroyok Lan Ci itu.
Akan tetapi, tidak seluruh rencananya berjalan baik. Tanpa diduga sama kali, ketika
belasan orang pengikutnya menyerbu pondok untuk melaksanakan perintahnya, yaitu
mengeroyok Lan Ci, tempat persembunyian keluarganya itu diketahui pasukan pemerintah
dan suara gaduh itu adalah suara pasukan yang jumlahnya kurang lebih seratus orang
menyerbu hutan di mana keluarganya bersembunyi!
Ketika Pangeran Cian Bu Ong tiba di tempat itu, diikuti oleh Lan Ci dan Thian Ki,
mereka melihat betapa keluarga pangeran itu telah dikepung dan dikeroyok oleh banyak
sekali perajurit kerajaan. Keluarga pangeran yang terdiri dari wanita, kanak-kanak dan
beberapa orang laki-laki itu melakukan perlawanan dengan gigih karena mereka maklum
bahwa sebagai keluarga pemberontak, menyerah berarti penyiksaan dan kematian pula.
Maka dari pada menyerah mereka lebih baik melawan sampai mati.
Pangeran Cian Bu Ong datang setelah terlambat. Dia melihat isterinya, seorang wanita
berusia hampir limapuluh tahun, dengan pedang di tangan, melawan pengeroyokan empat
orang perwira. Isterinya pernah belajar ilmu silat, akan tetapi tidaklah terlalu pandai, maka
dikeroyok empat orang perwira yang lihai itu, ia telah menderita luka-luka parah walaupun
masih melakukan perlawanan dengan gigih. Sambil mengeluarkan suara melengking
nyaring, Pangeran Cian Bu Ong menyerbu dan begitu bayangannya berkelebat dan kaki
tangannya bergerak, empat orang perwira yang mengeroyok isterinya itu terlempar ke
sana-sini dengan kepala remuk atau dada pecah dan tewas seketika.
Isteri pangeran itu mengeluh dan terhuyung. Pangeran Cian Bu Ong cepat
merangkulnya. Dada, perut dan punggung isterinya sudah berlumuran darah.
"Aku.....aku.....melawan sampai akhir... tolong.... tolong......anak kita.... ia
di.....sana...." kata wanita itu dan iapun terkulai pingsan dalam rangkulan suaminya.
Pangeran Cian Bu Ong memondong tubuh isterinya dan menoleh ke kiri, ke arah yang
ditunjuk isterinya tadi dan dia melihat Cian Kui Eng, puterinya yang baru berusia empat
tahun, dipondong oleh seorang prajurit bermuka hitam yang tertawa-tawa merangkul anak
yang meronta-ronta mencakar dan menggigit itu. Sebelum pangeran ini turun tangan,
tiba-tiba terdengar suara bentakan Thian Ki yang sudah tiba di situ bersama ibunya.
"Orang jahat! Lepaskan anak perempuan itu!" Dan Thian Ki sudah meloncat ke dekat
perajurit yang memondong Kui Eng, puteri atau anak tunggal pangeran Cian Bu Ong.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Melihat anak kecil itu berada di depannya sambil mengepal tinju dan menegurnya,
prajurit itu tertawa, "Ha-ha-ha. engkau anjing kecil pergilah!" Dan kakinya menendang ke
arah dada Thian Ki. Anak ini memang tidak pernah mempelajari ilmu silat, tidak pernah
berkelahi, akan tetapi semangatnya untuk menolong Kui Eng besar sekali, maka biarpun
dia terkena tendangan sampai terguling-guling, dia bangkit lagi dan meloncat dekat lagi.
Prajurit itu marah, tangan kiri tetap memondong tubuh Kui Eng dan tangan kanan kini
menjambak rambut kepala Thian Ki, dijambak keras untuk dijebol. Akan tetapi tiba-tiba dia
meraung, melepaskan jambakannya, bahkan Kui Eng juga terlepas dari pondongannya.
Orang itu terhuyung, memegangi tangan yang tadi menjambak rambut. Tangan itu sudah
menghitam dan diapun terpelanting roboh dan bergulingan dalam sekarat! Thian Ki sudah
menggandeng tangan Kui Eng dan diajaknya pergi menjauh.
Sementara itu, dengan cambuk di tangan, Lan Ci juga mengamuk untuk menolong
keluarga yang dikeroyok pasukan itu. Namun agaknya terlambat, karena semua anggota
keluarga itu telah roboh.
Melihat keadaan ini, sekali loncat pangeran Cian Bu Ong sudah mendekati puterinya
dan menyambar tubuh puterinya, dipondong bersama tubuh isterinya yang pingsan, lalu
berkata kepada Lan Ci.
"Sim Lan Ci, cepat pondong anakmu dan kita pergi dari sini!"
Lan Ci maklum bahwa melawan hampir seratus orang itu sama dengan mencari
penyakit, maka mendengar seruan penolongnya, iapun cepat menghampiri Thian Ki,
memondongnya dan sambil memutar cambuknya, ia mengikuti Pangeran Cian Bu Ong
yang mencari jalan keluar sambil menendang-nendang, merobohkan banyak prajurit yang
berani menghadang. Karena tendangan-tendangan itu dahsyat sekali, ditambah gerakan
cambuk di tangan Lan Ci, akhirnya dua orang ini berhasil keluar dari kepungan dan
melarikan diri.
Pangeran Cian Bu Ong memasuki sebuah gua di lereng bukit sambil memondong tubuh
isterinya dan juga puterinya, diikuti oleh Lan Ci yang masih memondong Thian Ki. Setelah
menurunkan Thian Ki, Lan Ci tanpa diminta lalu membuat api unggun, dibantu oleh Thian
Ki. Sementara itu, Pangeran Cian Bu Ong merebahkan tubuh isterinya. Wanita itu
mengeluh lirih ketika suaminya memeriksa luka-lukanya, dilihat oleh Lan Ci dan Thian Ki.
Lan Ci memandang dengan perasaan haru bercampur iba, karena sekali pandang saja
iapun tahu bahwa wanita itu tidak mempunyai harapan untuk hidup lagi. Luka-lukanya
terlampau parah dan terlampau banyak darah keluar. Yang mengagumkan hatinya, anak
perempuan itu tidak menangis hanya bersimpuh di dekat ibunya sambil memegangi
tangan ibunya.
Pangeran Cian Bu Ong hanya dapat menotok jalan darah isterinya untuk menghentikan
mengucurnya darah yang hampir habis dan untuk menghilang rasa nyeri. "Tenanglah,
bagaimanapun juga, anak kita dapat diselamatkan," kata pangeran itu dengan suaranya
yang lembut berwibawa.
"Aku.....aku rela.....harap kau didik baik-baik.....Kui Eng....." wanita itu terkulai dan
menghembuskan napas terakhir.
"Ibuuu.....I" Hanya sekali itu Kui Eng menjerit lirih dan merangkul jenazah ibunya.
Tangisnya hampir tidak terdengar, hanya kedua pundaknya yang bergerak-gerak itu
menunjukkan bahwa ia terisak.
Thian Ki juga sejak tadi memandang dengan hati penuh perasaan iba terhadap Kui Eng.
Kini, melihat Kui Eng mendekap jenasah ibunya sambil menangis tanpa bersuara, Thian Ki
mendekat dan menyentuh pundak anak perempuan itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sudahlah, ditangisipun tidak ada gunanya. Engkau tidak sendirian, baru saja akupun
ditinggal mati ayahku yang dibunuh orang jahat." Anak perempuan itu mengangkat
mukanya, menoleh dan memandang kepada Thian Ki, lalu memandang kepada Lan Ci dan
bertanya, "Ia itu ibumu?" Thian Ki mengangguk.
"Enak saja engkau bicara, engkau sih mempunyai ibu dan aku ditinggal mati ibuku."
"Akan tetapi engkaupun masih mempunyai ayah yang gagah perkasa, dan aku telah
kehilangan ayahku," bantah Thian Ki. Anak itu terdiam dan melirik kepada ayahnya, lalu
kepada Lan Ci, seperti juga yang dilakukan Thian Ki.
Lan Ci memandang kepada laki-laki perkasa itu, merasa kasihan sekali karena ia merasa
betapa karena menolong ia dan Thian Ki, maka pria ini kehilangan keluarganya. Andaikata
dia tidak menolongnya, tentu berada bersama keluarganya dan tidak akan terjadi
keluarganya terbasmi oleh pasukan, karena tentu dia akan mampu melindungi mereka.
"Tai-hiap, maafkan kami. Kami penyebab malapetaka menimpa keluarga tai-hiap,"
katanya lirih.
Pria itu menghela napas panjang. Sejak tadi dia hanya duduk bersila dekat jenazah
istrinya, matanya dipejamkan dan wajahnya dibayangi kedukaan. Setelah menghela napas,
dia membuka matanya dan memandang kepada Lan Ci.
"Benar seperti dikatakan puteramu tadi. Ditangisipun tidak ada gunanya. Kita harus
dapat melihat kenyataan, bagaimanapun macam dan keadaannya. Aku harus cepat
mengubur jenazah ibu Kui Eng sekarang juga. Mungkin pasukan itu akan dapat mengejar
sampai di sini."
Malam itu juga Pangeran Cian Bu Ong menggali lubang, menggunakan sebatang
pedang pendek, di dalam gua yang cukup besar itu, dibantu oleh Lan Ci.
Malam telah hampir terganti pagi ketika pemakaman yang sederhana itu selesai.
Pangeran Cian Bu Ong dan puterinya,Cian Kui Eng bersembahyang di depan gundukan
tanah itu tanpa hio. Juga Lan Ci mengajak puteranya untuk memberi hormat.
"Kita harus cepat meninggalkan tempat ini. Kalau sampai pasukan dapat mengejar, kita
tentu akan mengalami banyak kesukaran," kata pria itu. "Kuharap engkau dan anakmu
akan suka ikut dengan aku sehingga aku akan dapat meIindungi kalian."
Lan Ci memandang heran. Penolongnya adalah seorang yang sakti, dan baru saja
kehilangan semua keluarganya, hanya tinggal puterinya yang masih selamat. Bagaimana
sekarang penolongnya itu akan mengajak ia dan Thian Ki? Mengajak kemana? Tentu saja
ia ingin pulang saja ke dusunnya, yaitu di Mo-kim-cung, akan tetapi ia harus menengok
dulu keadaan Hek-houw-pang yang telah diserbu penjahat-penjahat lihai itu.
"Thai-hiap, saya harus melihat dulu apa yang terjadi di dusun Ta-bun-cung, bagaimana
dengan keadaan keluarga suamiku di Hek-houw-pang," katanya, merasa tidak enak kalau
harus menolak begitu saja ajakan pendekar sakti yang berniat baik itu.
Pangeran Cian Bu Ong kembali menarik napas panjang. "Hem, perjalanan ke dusun itu
mengandung banyak bahaya bertemu dengan pasukan pemerintah. Mari kuantar sampai
luar dusun itu. Aku mengenal jalan yang aman, dan aku menanti di luar dusun."
Lan Ci mengangguk dan merekapun berangkat. Thian Ki menggandeng tangan Kui Eng.
Dia merasa kasihan kepada anak perempuan itu, dan agaknya anak itupun suka
kepadanya. Cian Bu Ong berjalan di depan sebagai penunjuk jalan. Di belakangnya kedua
anak itu berjalan bergandeng tangan dan Lan Ci berjalan di belakang melindungi mereka.
Pria tinggi besar itu mengambil jalan melalui hutan dan lereng yang sunyi dan akhirnya,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
setelah matahari naik tinggi tibalah mereka di dusun Ta-bun-cung. Suasana di dusun itu
sunyi, tak nampak seorangpun berada di luar dusun.
"Kami menanti di sini," kata Cian Bu Ong. "Masuklah ke dusun dan setelah selesai
urusanmu, harap suka kembali ke sini untuk mengambil keputusan."
Lan Ci memandang ragu. Dianggapnya bahwa urusan antara mereka sudah selesai, dan
ia akan mengambil jalan sendiri. Akan tetapi ia merasa tidak enak. Pria ini baru saja
kehilangan seluruh keluarganya, maka kalau mereka harus saling berpisahpun sepatutnya
kalau dalam keadaan yang baik. la akan kembali menemuinya untuk berpamit kalau
saatnya berpisah sudah tiba. Yang penting, ia harus menengok bagaimana keadaan
suaminya dan keluarga Hek-houw-pang. la lalu mengangguk, kemudian menggandeng
tangan puteranya dan diajaknya anak itu berlari memasuki dusun.
Dusun Ta-bun-cung itu kini sunyi bukan main, seperti mati. Akan tetapi ketika ada
beberapa orang kebetulan keluar dan melihat Lan Ci, mereka berlari-larian menghampiri
dan beberapa orang wanita yang mengenal Lan Ci sebagai isteri Coa Siang Lee, sudah
menangis dengan sedih. Lan Ci tidak mempedulikan mereka dan langsung ia lari menuju
ke rumah keluarga Coa. Ternyata pintu gerbang rumah besar itu tertutup dan papan nama
besar yang biasanya tergantung di depan pintu, bertuliskan Hek-houw-pang, juga tidak
ada lagi. Sepi sekali di situ. Lan Ci mengetuk pintu. Daun pintu terbuka dari dalam dan
seorang laki-laki tua, berusia limapuluhan tahun yang dahulu menjadi pelayan keluarga
Coa, memandang dengan mata terbelalak.
Jilid 4
"Coa hujin (Nyonya Coa)......! Dan engkau kongcu (tuan muda)! Ah, kalian masih
selamat?
Syukur kepada Thian kalian masih selamat..." dan orang itupun mengusap air matanya
yang mengalir turun.
"Paman, kenapa rumah ini sekarang kosong? Ceritakan semua akibat dari penyerbuan
para penjahat itu! Cepat ceritakan!" Lan Ci tidak sabar lagi. Rumah itu nampak kosong dan
sepi, bahkan perabot-perabot rumahpun banyak yang hilang. Baru beberapa hari saja ia
tinggal di situ dan sekarang semua telah berubah.
"Hujin......suamimu telah.....gugur..."
"Aku sudah tahu. Ceritakan siapa lagi yang gugur dan bagaimana akhirnya dengan
serbuan para penjahat itu?"
"Tigapuluh lebih anggota Hek-houw-pang tewas, termasuk.....kongcu Coa Siang Lee
dan juga pangcu (ketua) Kam Seng Hin. Juga lo-cian-pwe Coa Song....."
"Alh! Kong-kong juga....?" Lan Ci berseru kaget karena ia tidak melihat kakek itu ikut
berkelahi melawan penjahat.
"Lo-cianpwe meninggal dunia karena duka."
"Ah, dimana isteri pangcu dan puteranya?"
"Sungguh menyedihkan sekali, hujin. Isteri pangcu dilarikan penjahat...!"
"Dan bagaimana dengan Cin Cin?" Thian Ki yang sejak tadi mendengarkan dengan
sedih, bertanya. "Di mana Cin Cin?"
"Sebelum meninggal dunia, lo-cianpwe Coa Song memesan agar anak itu diajak ke
dusun Hong-san, diserahkan kepada Huang-ho Sin liong Si Han Beng untuk dididik.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sekarang telah berangkat dua hari yang lalu. Dan lo-cian-pwe Coa Song juga
membubarkan Hek-houw-pang. Semua murid telah meninggalkan dusun ini karena takut
kalau-kalau para penjahat yang lihai itu datang kembali. Perabot rumah ini banyak dijual
untuk biaya pemakaman dan semua harta sesuai dengan pesan lo-cian-pwe Coa Song,
telah dibagi-bagi di antara para anggota."
"Ahhhh.....!" Lan Ci merasa jantungnya seperti ditusuk. Perih sekali rasanya dan
sungguh aneh, ia teringat pada pendekar tinggi besar yang telah menolongnya dan baru
sekarang ia teringat bahwa ia belum mengenal penolongnya itu! Betapa sama benar
penderitaan antara ia dan penolongnya itu. Penolongnya kehilangan isteri dan
keluarganya, hanya tinggal hidup berdua dengan puterinya, sedangkan ia juga kehilangan
suami dan keluarga suaminya, dan iapun hidup berdua dengan Thian Ki
"Thian Ki......!" Ia merangkul putranya, dan ia teringat akan keadaan puteranya. Susah
payah ia dan mendiang suaminya mendidik Thian Ki menjadi seorang anak yang tidak
mengenal ilmu silat, tidak mengenal kekerasan. Akan tetapi ternyata putera mereka itu
menjadi Tok-tong, dan biarpun tidak disengaja, puteranya itu telah membunuh tiga orang
jagoan lihai dengan tubuhnya yang beracun!
"Ibu, kenapa terjadi hal ini? Kenapa ayah dan para anggota Hek-houw-pang dibunuhi
orang? Siapa pembunuh ayah? Dia jahat sekali dan sepatutnya dia dihukum!"
Mendengar ucapan ini, Lan Ci mencium pipi puteranya tanpa menjawab, bahkan ia
menoleh kepada pelayan itu. "Paman, di mana suamiku dimakamkan? Juga di mana kongkong
dimakamkan?"
"Mereka semua dimakamkan di tanah kuburan luar dusun ini, dan sudah diberi tanda
papan nama di depan makam-makam yang banyak itu. Mudah untuk mencarinya. Mari
kuantarkan..........."
"Tidak usah, paman. Katakan di sebelah mana tanah kuburan itu berada?" Pelayan itu
menunjuk ke utara. "Di sebelah utara dusun, dekat pintu gerbang utara."
"Terima kasih, paman. Kami hendak bersembahyang di sana." Lan Ci lalu bangkit dan
bertanya lagi. "Apakah pakaian kami di kamar sana itu masih ada paman?"
"Masih, nyonya. Kami tidak berani mengganggu dan semua masih lengkap."
Lan Ci memasuki kamar di rumah itu, kamar yang tadinya ia pakai dengan suaminya.
Melihat pembaringan itu, kursi- kursi itu, air matanya bercucuran, rasanya suaminya masih
berada di situ, rebah di pembaringan itu, duduk di kursi itu. Melihat ibunya menangis,
Thian Ki yang baru berusia lima tahun itu agaknya mengerti dan dia mendekati ibunya,
merangkul pinggang ibunya. "Ibu, ayah sudah tidak ada. Untuk apa ditangisi lagi?"
"Thian Ki.....!" Ibunya merangkul dan tangisnya semakin keras, akan tetapi tak lama
kemudian ia mampu menekan perasaannya. Ia memilih pakaiannya lalu berganti pakaian,
menggulung jubah milik penolongnya dan menjadikan satu dengan pakaiannya yang
dibuntal kain kuning. Pakaian Thian Ki juga dibuntal menjadi buntalan lain untuk dibawa
anak itu sendiri. Kemudian merekapun keluar dan menuju ke tanah kuburan.
Dari pelayan itu, Lan Ci mendapatkan kelebihan sisa hio (dupa biting) untuk keperluan
sembahyang.
Tanah kuburan itu sunyi dan menyeramkan walaupun hari telah menjelang siang.
Betapa tidak menyeramkan melihat tanah kuburan yang penuh dengan kuburan baru
sebanyak itu? Biarpun Lan Ci seorang wanita yang gemblengan, bahkan ia puteri seorang
datuk sesat yang keras hati, namun sejak menjadi istri Siang Lee dan hidup sebagai petani
yang tenang dan tenteram, perasaannya peka dan kini ia tidak dapat menahan air
matanya yang terus bercucuran. Melihat deretan makam yang amat banyak itu, hatinya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
terasa sedih bukan main. Akhirnya ia dapat menemukan makam suaminya yang mengapit
makam kakek Coa Song, sedangkan di sebelah lain adalah makam Kam Seng Hin, ketua
Hek-houw-pang. Melihat makam suaminya, Lan Ci membayangkan segala kebaikan
suaminya dan kedua lututnya menjadi lemas. Ia menjatuhkan diri berlutut di depan
makam itu, memeluk gundukan tanah sambil menangis menyedihkan sekali sampai
sesenggukan. Kata-kata yang tidak jelas keluar dari mulutnya, bercampur isak tangisnya.
Thian Ki juga menjatuhkan diri berlutut di samping ibunya. Kadang dia menoleh
memandang wajah ibunya yang ditutupi kedua tangan, lalu menoleh memandang
gundukan tanah yang masih baru. Wajah ibunya yang basah air mata itu kini menjadi
kotor terkena tanah, membuat wajah itu nampak menyedihkan sekali. Thian Ki
mengerutkan alisnya dan tidak berani bicara. Dia dapat merasakan betapa sedihnya hati
ibunya, dan dia merasa kasihan sekali kepada ibunya. Akan tetapi tetap saja dia
berpendapat bahwa tidak ada gunanya menangisi kematian ayahnya. Ditangisi
bagaimanapun juga, ayahnya tidak akan dapat bangun kembali. Setelah agak lama dia
hanya membiarkan saja ibunya menangis dan berkeluh kesah, merintih-rintih dengan
suara yang tidak jelas apa maknanya, akhirnya Thian Ki menyentuh lengan ibunya.
"Ibu, apakah lilin dan hio ini tidak dinyalakan dan dibakar?"
Mendengar pertanyaan puteranya itu, barulah Lan Ci sadar bahwa ia terseret kedukaan
dan iapun menoleh kepada puteranya, menyusut air matanya dan mencoba untuk
tersenyum, senyum yang bahkan nampak amat mengharukan dan sedih.
"Kau nyalakan lilinnya dan pasang di depan makam ayahmu dan kakek buyutmu, Thian
Ki. Ibu yang akan membakar hio-nya."
Ibu dan anak itu lalu bersembahyang di depan makam Coa Siang Lee dan makam
kakek Coa Song, kemudian keduanya duduk di depan makam Coa Siang Lee sambil
termenung.
Hidup dikuasai pikiran dan suka-duka merupakan permainan pikiran. Jarang sekali
pikiran dalam keadaan hening tidak terpengaruh suka ataupun duka. Pikiran selalu
mengejar kesukaan, menjauhi kedukaan. Namun, suka-duka merupakan dua permukaan
dari mata uang yang sama, tak terpisahkan. Dimana ada suka di sana pasti ada duka,
seperti terang dan gelap, siang dan malam, merupakan pasangan yang membuat
kehidupan pikiran menjadi lengkap. Pikiran seperti air samudra, tak pernah diam, selalu
berubah. Oleh karena itu, tidak ada keadaan pikiran yang abadi. Sukapun hanya
sementara, demikian pula duka, walaupun biasanya, duka lebih panjang usianya
dibandingkan suka. Bahkan suka biasanya berekor duka, walaupun duka belum tentu
disambung suka. Apa yang hari ini mendatangkan kesukaan, besok sudah berubah
mendatangkan kedukaan. Keadaannya tidaklah berubah. Keadaan apa adanya merupakan
kenyataan yang tidak berubah. Yang berubah adalah keadaan pikiran kita sehingga karena
dasar pemikirannya berubah, maka penilaiannya juga berubah-ubah. Yang hari ini
menyenangkan pikiran, besok dapat berubah menjadi menyusahkan. Kalau nafsu yang
memperdaya hati akal pikiran sudah mencengkeram kita, maka kita selalu tenggelam, baik
dalam suka maupun dalam duka. Dikala suka, kita dapat menjadi mabok kesenangan dan
lupa diri, sebaliknya, di waktu duka kitapun menjadi mabok kedukaan dan merana.
Keduanya merupakan keadaan di mana kita dipermainkan oleh nafsu melalui hati akal
pikiran kita.
Bagaimana kita dapat mencari jalan keluar dari lingkaran setan ini? Bagaimana kita
dapat terbebas dari nafsu hati dan akal pikiran? Siapa yang bertanya ini? Siapa yang ingin
bebas dari nafsu yang menguasai hati dan akal pikiran? Jelas bahwa yang bertanya adalah
pikiran juga, pikiran yang sama yang bergelimang nafsu. Melihat bahwa nafsu
mendatangkan ketidakbahagiaan, maka pikiran lalu ingin agar bebas dari nafsu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bagaimana mungkin nafsu dapat bebas dari dirinya sendiri? Semua usaha yang dilakukan
nafsu tentu mengandung pamrih menyenangkan diri sendiri, membebaskan diri dari susah.
Dengan usaha ini, berarti kita terjatuh ke dalam lingkaran setan yang sama, atau bahkan
lebih kuat!
Kiranya tidak ada jalan lain bagi kita kecuali MENYERAH! Menyerah kepada Tuhan,
kepada Sang Maha Pencipta, Maha kuasa dan Maha Kasih! Kita ini, berikut hati dan akal
pikiran, berikut nafsu-nafsu kita, kita ini seluruhnya diciptakan oleh kekuasaan Tuhan!
Maka, tidak ada yang lebih benar dari pada menyerahkan segala-galanya kepada yang
mengadakan kita, yang menciptakan kita. Di waktu mengalami suka, kita selalu ingat dan
bersyukur kepadaNya sehingga tidak mabok. Di waktu mengalami duka, kita selalu ingat
dan menyerah padaNya sehingga tidak tenggelam. Hanya kekuasaan Tuhan sajalah yang
mampu meluruskan yang bengkok dalam batin kita, membersihkan yang kotor. Setiap
kehendak Tuhan jadilah! Bukan pikiran yang ingin menyerah karena kalau demikian tentu
ada pamrih yang tersembunyi di balik penyerahan itu. Nafsu selalu berpamrih untuk
memperoleh keuntungan bagi diri sendiri. Tidak ada si aku atau pikiran yang ingin
menyerah. Yang ada hanya penyerahan itu saja, titik. Seolah-olah mati di depan Tuhan.
Nah kalau nafsu hati dan akal pikiran tidak bekerja lagi, maka segalanya terserah kepada
Tuhan. Tuhan Maha Bijaksana, Tuhan Maha Kasih, dan hanya kekuasaa Nya sajalah yang
akan mampu mengadakan atau menjadikan yang tidak mungkin bagi pikiran.
"Ibu, kita sekarang akan kemana?" tiba-tiba Thian Ki berkata, suaranya yang lirih
memecah kesunyian dan menarik kembali semangat ibunya yang melayang-layang.
Lan Ci memandang anaknya. Thian Ki mendekati ibunya dan menggunakan tangannya
untuk membersihkan tanah dari wajah ibunya.
"Ke mana lagi kalau tidak pulang! Kita pulang ke Mo-kim-cung, Thian Ki!"
Anak itu mengerutkan alisnya. "Akan tetapi, rumah sudah tidak ada ayah.! Aku tidak
suka kembali ke sana, akan selalu teringat kepada ayah."
Lan Ci menarik napas panjang. Ia juga merasa ragu untuk tinggal di dusunnya itu,
dekat dengan ibunya! Bersusah-payah ia menjaga agar anak tunggalnya tidak mengenal
kekerasan, akan tetapi setelah ibunya tiba dan menjadi nikouw di kuil Thian-ho-tang,
anaknya malah dijadikan Tok-tong oleh ibunya! Kalau ia mengajak Thian Ki kembali ke
sana, tidak urung ibunya tentu akan berusaha keras agar Thian Ki mempelajari ilmu-ilmu
yang keji dan anaknya ini kelak akan menjadi seorang manusia racun yang amat
berbahaya bagi kehidupan orang lain.
"Thian Ki, malapetaka yang menimpa kita ini mengingatkan aku bahwa mungkin sekali
aku telah keliru mendidikmu. Sejak kecil, ayahmu dan aku yang pandai ilmu silat selalu
berusaha agar engkau tidak mempelajari ilmu silat. Bahkan kami bertahun-tahun hidup
bagai petani yang penuh damai. Siapa tahu, di sini kita bertemu malapetaka! Andaikata
ayahmu dan aku lebih terlatih, belum tentu ayahmu tewas. Dan engkau sendiri.....ah,
engkau bahkan telah menewaskan tiga orang tokoh persilatan yang lihai."
"Ibu, sebetulnya apakah yang telah terjadi? Aku tidak bermaksud membunuh orang.
Aku hanya ingin menolongmu, aku hanya menggigit, dan yang lain itu hanya
mencengkeram aku, kenapa mereka semua roboh dan tewas? Ibu pernah mengatakan
kepadaku bahwa aku sakit, tubuhku beracun dan kalau aku mendekati wanita, ia akan
mati. Apakah itu sebabnya maka tiga orang itu tewas, ibu. Dan kalau benar begitu,
mengapa tubuhku beracun?"
Lan Ci merangkul puteranya. "Thian Ki, kelak engkau akan mengerti sendiri. Aku harus
mencarikan obat untukmu, untuk melenyapkan racun itu dari tubuhmu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ibu, di dunia ini terdapat begitu banyak orang jahat. Mereka telah membunuh ayah,
membunuh para paman Hek-houw-pang, bahkan hampir membunuh ibu dan aku. Mereka
tidak dapat membunuhku karena tubuhku beracun. Kalau ibu hendak melenyapkan racun
dari tubuhku, bukankah kalau ada orang jahat, aku akan mudah mereka bunuh?"
"Ha, tepat sekali ucapanmu itu, Thian Ki!" Tiba-tiba Pangeran Cian Bu Ong muncul
bersama puterinya.
"Thian Ki......!" Kui Eng berseru gembira dan segera menghampiri Thian Ki dan
memegang tangan anak itu.
Melihat munculnya penolongnya, Lan Ci cepat memberi hormat. "Mengapa tai-hiap
mengatakan bahwa ucapan Thian Ki tepat? Tidak mungkin dia dibiarkan begitu saja,
menjadi Tok-tong dan membahayakan nyawa setiap orang yang berdekatan dengannya.
Bahkan sekarang juga, nyawa puterimu dapat terancam bahaya, tai-hiap."
Mendengar ucapan ibunya, Thian Ki terkejut dan cepat dia melepaskan tangannya yang
saling gandeng dengan tangan Kui Eng. Akan tetapi Kui Eng memegang lagi tangan Thian
Ki.
"Kui Eng, lepaskan tanganku. Tubuhku beracun dan engkau dapat celaka keracunan!"
kata Thian Ki, kembali melepaskan tangannya.
"Aah, engkau tentu tidak akan mencelakai aku, tentu aku tidak akan keracunan. Aku
tidak takut berdekatan denganmu, Thian Ki."
Pangeran Cian Bu Ong tersenyum, walaupun senyumnya masih nampak pahit karena
hatinya masih tertekan kedukaan. "Anakku benar, Lan Ci. Justru kekuatan dahsyat dalam
diri Thian Ki harus dipelihara, dirawat dan dipupuk. Kalau dia dapat menguasainya, tentu
dia tidak akan mencelakai orang tanpa disengaja. Aku ingin mengajarkan dia untuk
menguasai kekuatan dahsyat itu dan mengajarkan semua ilmuku, bersama Kui Eng."
Lan Ci cepat memberi hormat. "Harap Thai-hiap memaafkan saya. Sesungguhnya, sejak
kecil Thian Ki tidak pernah kami ajari ilmu silat dan tidak memperkenalkan dia dengan
kehidupan dunia persilatan."
"Sungguh aneh sekali. Engkau dan suamimu memiliki ilmu silat yang cukup baik.
Kenapa tidak diwariskan kepada anak tunggal kalian?"
"Kami ingin agar anak kami hidup dalam keadaan aman tenteram dan penuh damai,
jauh dari kekerasan dan permusuhan seperti yang dialami para ahli silat," kata Lan Ci
dengan tegas.
"Aih, nyonya muda. Alangkah lucunya omonganmu itu. Engkau tidak mengajarkan ilmu
silat kepada puteramu, ingin agar dia hidup dalam keadaan tenang tenteram. Akan tetapi
apa yang telah terjadi? Masih kecil saja dia tertimpa malapetaka! Ayahnya tewas, ibunya
hampir celaka, dan dia sendiri, kalau tidak memiliki kekuatan beracun itu tentu sudah
tewas pula!"
"Kalau tidak ada tai-hiap yang menolong, memang kami ibu dan anak tentu telah
tewas," kata Lan Ci, ia bergidik membayangkan bahaya mengerikan yang mengancam
dirinya ketika itu.
"Sim Lan Ci, engkau seorang ahli silat, kenapa pendirianmu seperti itu? Karena mungkin
engkau dahulu hidup penuh kekerasan dan permusuhan, maka engkau hendak
menjauhkan puteramu dari ilmu silat? Ingatlah, seorang ahli silat setidaknya dapat
membela diri, bahkan dapat mempergunakan ilmunya untuk membela yang lemah, untuk
melakukan perbuatan baik sesuai dengan jiwa seorang pendekar dan pahlawan. Kalaupun
dia tewas dalam pertempuran, maka dia mati seperti orang gagah. Sebaliknya, seorang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
lemah akan selalu ditindas dan ditekan tanpa mampu membela diri sehingga kalau sampai
dia mati, maka dia akan mati konyol! Matinya seorang pendekar adalah matinya seekor
harimau, sebaliknya matinya seorang yang lemah seperti matinya seekor babi. Aku ingin
mengambil Thian Ki sebagai murid, kuharap engkau tidak menolak, kalau engkau tidak
ingin anakmu kelak membunuh lebih banyak orang lagi tanpa sengaja."
"Tapi.... tapi .... saya akan mencarikan obat penawar racun dalam tubuhnya Lan Ci
mencoba untuk membantah dengan lemah.
"Nyonya muda, dari gerakanmu dan pukulanmu, aku tahu bahwa engkau seorang ahli
pukulan beracun. Aku telah memeriksa keadaan puteramu dan aku tahu bahwa tidak ada
obat apapun di dunia ini yang akan mampu membersihkan racun dari tubuh puteramu,
kecuali kalau dia menularkan atau memindahkan racun itu kepada banyak wanita yang
akan menjadi korban. Seluruh darahnya telah mengandung racun, dari ujung rambut
sampai ke jari kakinya. Satu-satunya cara untuk menghindarkan dia menjadi pembunuh
besar kepada semua orang yang dekat dengannya, hanya dengan memberinya ilmu agar
dia dapat menguasai kekuatan itu dan hanya menggunakan kekuatan itu kalau diperlukan
saja."
Sejak tadi Thian Ki mendengarkan percakapan antara ibunya dan laki-laki gagah itu. Dia
masih kecil, akan tetapi dia memang cerdas dan dapat mempertimbangkan apa yang
dibicarakan tadi.
"Ibu, aku tidak mau menjadi pembunuh. Aku harus dapat menguasai racun ini!" lalu dia
maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan Pangeran Cian Bu Ong sambil berkata,"Suhu,
teecu (murid) akan mentaati semua perintah suhu!"
Pangeran Cian Bu Ong tersenyum, "Bagus, Thian Ki. Mulai sekarang engkau menjadi
muridku, menjadi suheng dari Kui Eng. Kalian berdua akan kugembleng menjadi orangorang
yang berguna kelak." Lalu pangeran itu menoleh kepada Lan Ci. "Kuharap sekali
engkau sekarang tidak akan berkeberatan lagi, Lan Ci."
Sebetulnya, Lan Ci merasa berhutang budi kepada penolongnya itu, yang bukan saja
telah menyelamatkannya dari bahaya maut, menyelamatkan kehormatannya, akan tetapi
juga yang selalu bersikap ramah dan baik, bahkan akrab sekali dengan sebutan yang
kadang-kadang menyebut namanya begitu saja. Diapun tahu bahwa penolongnya ini
seorang sakti, dan bahwa puteranya tentu akan menjadi seorang yang berilmu tinggi kalau
menjadi muridnya. Akan tetapi iapun tidak ingin berpisah dari puteranya.
"Tentu saja saya merasa senang dan berterima kasih kalau tai-hiap sudi mendidik Thian
Ki. Akan tetapi dia anak tunggal saya, dan saya hanya mempunyai dia seorang. Bagaimana
mungkin saya dapat berpisah darinya, Tai-hiap?"
"Kenapa harus berpisah? Sim Lan Ci, kau tidak perlu berpisah dengan anakmu. Engkau
ikut bersama kami, bahkan engkau dapat ikut membantu aku dan mendidik anakmu."
Mendengar penawaran ini, di dalam hatinya Lan Ci merasa girang sekali. Kalau ia tidak
berpisah dengan puteranya, maka tidak ada hal lain lagi yang perlu dirisaukan. Hanya saja
ia seorang wanita, bahkan janda pula. Dan penolongnya seorang pria, dan duda! Akan
janggal sekali nampaknya kalau ia mengikuti penolongnya itu, walaupun penolongnya
sudah menjadi guru puteranya. Dan ia tidak ingin berpisah dari puteranya.
"Tapi .... tapi...." Ia meragu, menerima merasa sungkan dan malu, menolak juga tidak
berani.
"Ibu," kata Thian Ki dengan suara Iantang. "Kenapa ibu menolak? Suhu bermaksud
baik sekali. Aku dapat mempelajari ilmu tanpa harus berpisah dari ibu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aih, engkau ini enak saja bicara. Kita hanya akan menjadi beban dan akan
memberatkan gurumu saja!" kata Lan Ci sambil melirik puteranya dengan sikap menegur.
"Sama sekali tidak, bibi dan Thian Ki, eh ... suheng! Ayahku seorang yang kaya raya,
kalau hanya ditambah dengan kalian berdua, sama sekali tidak berat!" Tiba-tiba Kui Eng
berkata.
"Nah, sumoi Kui Eng sudah berkata begitu, ibu, walaupun aku tidak mengerti
bagaimana suhu dapat menjadi seorang yang kaya raya. Padahal keluarga suhu telah
dihancurkan orang, hartanya dirampok, tidak banyak bedanya dengan kita."
"Suheng, engkau tahu apa? Ayahku adalah seorang pangeran, di mana-mana
mempunyai rumah gedung!" kata pula Kui Eng.
"Hushh, Kui Eng. Jangan membual kau!" ayahnya menegur.
Akan tetapi ucapan anak perempuan itu amat mengejutkan hati Lan Ci. Ia terbelalak
melihat wajah penolongnya, raut wajah yang tampan gagah penuh wibawa, memang
pantas menjadi wajah seorang pangeran!
"Paduka.....paduka seorang pangeran? Bolehkah saya mengetahui siapa nama
paduka?"
Pangeran Cian Bun Ong menghela napas panjang. Mereka masih duduk di depan
makam, di atas batu-batu yang banyak terdapat di tempat itu. Keadaan di keliling itu
sunyi.
"Memang sudah sepantasnya kalau kita saling mengenal lebih dekat lagi, karena
puteramu telah menjadi muridku, akupun hanya tahu bahwa engkau bernama Sim Lan Ci,
keluarga dari pimpinan Hek-houw-pang. Akan tetapi melihat gerakan ilmu silatmu, jelas
engkau bukan murid Hek-houw-pang."
"Yang keluarga Hek-houw-pang adalah mendiang suami saya. Dia adalah keturunan
para pemimpin atau ketua Hek-houw-pang, yaitu keluarga Coa."
"Oh, begitukah? Pantas ilmu silatmu berbeda." Pangeran itu lalu memandang kepada
Thian Ki dan Kui Eng. "Thian Ki, kauajak sumoimu pergi bermain-main ke ujung tanah
kuburan di sana. Jangan terlalu jauh. Aku ingin bicara dengan ibumu dan anak-anak tidak
boleh ikut mendengarkan."
"Baik, suhu. Mari, sumoi!" kata Thian Ki sambil menggandeng tangan Kui Eng. Mereka
pergi meninggalkan dua orang tua itu dan memetik bunga liar yang bertumbuhan di sudut
tanah kuburan.
"Nah, sekarang lebih leluasa kita bicara. Tidak semua hal boleh didengar oleh anakanak
kita."
Lan Ci mengangguk, membenarkan.
"Ilmu silatmu selain berbeda, juga mengandung hawa pukulan beracun. Siapakah
gurumu?" pangeran itu kembali bertanya. Demikian pandainya dia mengatur percakapan
sehingga Lan Ci tidak sadar bahwa pertanyaan tentang nama pangeran itu sama sekali
belum terjawab, bahkan kini orang itu yang menguras keterangan darinya.
"Guru saya adalah ibu kandung saya sendiri." Ia terpaksa mengaku.
"Ah, kiranya begitu? Siapakah nama ibumu? Tentu ia seorang tokoh dunia persilatan
yang amat terkenal."
Sungguh tidak enak rasanya memperkenalkan ibunya, seorang datuk sesat yang
namanya tersohor. Akan tetapi ia tidak dapat mengelak lagi. Biarlah penolongnya ini tahu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
segala tentang dirinya, tentang Thian Ki yang sudah menjadi muridnya. "Dahulu ibu
bernama Phang Bi Cu, berjuluk Ban-tok Mo-li akan tetapi sekarang telah menjadi seorang
Ni-kouw."
Benar seperti dugaannya, penolongnya itu nampak terkejut sekali. Nama ibunya terlalu
tersohor untuk tidak dikenal orang. "Ban-tok Mo-li? Ibumu Ban tok Mo-li? Aahh, sekarang
aku mengerti mengapa anakmu menjadi Tok-tong Ibumu seorang wanita yang amat lihai
dan nama besarnya sudah lama sekali kudengar!" Pangeran itu memandang kagum, lalu
cepat menyambung dengan pertanyaan, " Dan ayahmu?"
"Ayah telah tiada sejak saya kecil sekali. Saya tidak ingat lagi. Paduka belum
menceritakan siapa sebenarnya paduka."
"Memang aku seorang bekas pangeran. Namaku Cian Bu Ong
Lan Ci melompat berdiri dan wajahnya berubah pucat, matanya terbelalak memandang
kepada laki-laki itu dan kedua tangannya dikepal.
"Paduka Pangeran Cian Bu Ong? Jadi.........paduka ini yang mengirim lima orang
penjahat yang telah membasmi Hek-houw-pang dan membunuh suami saya?"
"Duduklah, nyonya, duduk dan tenanglah agar anak-anak kita tidak menjadi kaget "
katanya dan sungguh aneh, suara lembut dan berwibawa itu membuat Lan Ci menjadi
tenang kembali dan iapun kini sudah duduk lagi, walaupun pandang matanya penuh
selidik dan mengandung kemarahan.
"Siapakah yang melempar fitnah itu dan mengatakan bahwa aku yang membasmi Hekhouw-
pang?"
"Bukan fitnah! Lima orang penjahat itu sendiri yang mengaku. Ketika mereka muncul di
dusun Ta-bun-cung, mereka mencari ketua atau pimpinan Hek-houw-pang untuk dipanggil
menghadap Pangeran Cian Bu Ong. Padahal Pangeran Cian Bu Ong adalah seorang
pemberontak yang menjadi buruan pemerintah, maka tentu saja Hek-houw-pang tidak
mau, bahkan hendak menangkap lima orang itu sehingga terjadi pertempuran. Jadi
paduka ini seorang pemberontak yang telah mengutus pembunuh-pembunuh itu untuk
membasmi Hek-houw-pang?"
Pangeran itu menghela napas panjang. "Nanti dulu, nyonya. Beginilah nasib orang yang
kalah. Dengarkan dulu keteranganku, baru nanti engkau boleh menilai. Tidak kusangkal
bahwa aku telah melakukan perlawanan terhadap pemerintah baru. Akan tetapi coba
pertimbangkan, siapakah sesungguhnya yang memberontak? Aku adalah seorang
pangeran dari Kerajaan Sui, saudara dari mendiang Kaisar Yang Ti. Pemberontakan yang
dipimpin Li Si Bin dan ayahnya berhasil menjatuhkan Kerajaan Sui. Sebagai seorang
pangeran, aku berjuang melawan pemberontak yang mendirikan rajaan baru. Nah,
siapakah yang pemberontak? Justeru aku menentang pemberontak! Dan kami kalah. Aku
menjadi pelarian bersama keluargaku. Kalau orang sudah kalah, selalu menjadi bulanbulanan
fitnah, dijadikan keranjang sampah untuk menampung semua kekotoran dan
kesalahan pihak lain. Tidaklah mengherankan kalau lima orang penjahat itu
mempergunakan namaku, agar pasukan keamanan mencariku, bukan mereka. Engkau
melihat sendiri bagaimana sikapku ketika menolongmu. Aku membunuh anak buah
penjahat. Bahkan keluargaku juga terbasmi oleh pasukan keamanan. Nyonya muda Lan Ci,
apakah engkau sekarang masih tega untuk menuduh aku menjadi pembasmi keluarga
Hek-houw-pang? Aku sudah cukup menderita, maka kalau engkau sekarang menuduhku
jahat, maka penderitaanku lengkaplah, bahkan berlebihan, kalau engkau menganggap aku
yang menyuruh bunuh suamimu, nah, di depan makam suamimu ini, engkau boleh
membalas dendam, boleh membunuhku dan aku tidak akan melawan. Aku hanya titip
puteriku, Kui Eng....... "
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Luluh semua kekerasan di hati Lan Ci mendengar keterangan itu. Semua keterangan itu
masuk akal. Pangeran ini bahkan seorang pahlawan yang gigih menentang pemberontak
yang menjatuhkan Kerajaan Sui. Kalau kini dia dicap pemberontak, hal itu hanya karena
Kerajaan Sui telah jatuh. Dengan demikian memang sukar mengatakan siapa yang
memberontak kepada siapa! Apa lagi melihat wajah yang gagah itu menjadi muram oleh
kedukaan, Lan Ci teringat akan nasibnya sendiri dan ia menunduk lalu berkata lirih,
"Maafkan saya, pangeran. Saya percaya kepada paduka."
Wajah yang muram itu menjadi cerah kembali, dan senyum kegembiraan tersembul di
wajah Pangeran Cian Bu Ong. "Syukurlah, Lan Ci. Syukurlah masih ada orang yang
percaya kepadaku. Mari kita cepat pergi dari sini. Kalau sampai ketahuan pasukan
keamanan, tentu kita akan terancam bahaya. Kita harus menyelamatkan Kui Eng dan
Thian Ki."
"Ke mana kita akan pergi, pangeran?"
"Di perbatasan utara, di sebuah lereng bukit ada sebuah dusun besar orang-orong suku
bangsa Hui. Di sana aku mempunyai sebuah rumah. Dan di sana kita akan aman dari
jangkauan pengejaran pasukan pemerintah Tang."
Mereka memanggil dua orang yang sedang bermain-main itu dan berangkatlah mereka
meninggalkan tanah kuburan, menuju ke utara. Pangeran Cian Bu Ong menjadi penunjuk
jalan dan dia mengambil jalan melalui bukit dan lembah, melalui hutan-hutan yang sunyi.
Dan di sepanjang perjalanan Sim Lan Ci menjadi semakin kagum dan tertarik karena sikap
pangeran itu sungguh lembut, halus dan sopan. Iapun diam-diam menyerahkan nasibnya
dan puteranya ke tangan pria yang berwibawa itu.
oooo0000oooo
"Lepaskan aku......atau bunuh saja aku. Biarkan aku mati menyusul suamiku......!"
Wanita itu meronta-ronta dalam pondongan Lie Koan Tek ketika pengaruh totokan
membuatnya mampu bergerak kembali. Mereka tiba di dalam sebuah hutan.
Lie Koan Tek melepaskan pondongannya dan wanita itu menjatuhkan diri berlutut
sambil menangis. Wanita itu adalah Poa Liu Hwa, isteri Kam Seng Hin ketua Hek-houwpang.
Ketika lima orang penjahat lihai menyerbu Hek-houw-pang, ia membantu suaminya.
Melihat suaminya roboh dan tewas, nyonya muda ini mengamuk dengan pedangnya, nekat
menyerang penjahat lihai. Akan tetapi tiba-tiba ia terkulai lemas, tertotok dan dibawa lari
oleh seorang di antara lima penjahat itu. Kini ia berada di tangan seorang penjahat lihai
dan melawanpun tidak ada gunanya. Teringat akan kematian suaminya, teringat pula akan
nasib puteranya yang entah bagaimana, Poa Liu Hwa hanya dapat menangis sedih.
"Tenanglah, nyonya, dan harap jangan salah sangka. Aku sengaja melarikanmu dengan
dua maksud........"
"Huh, penjahat keji macam engkau, maksudmu tentu keji dan jahat! Lebih baik bunuh
saja aku!" Liu Hwa berseru marah.
"Diam dulu dan dengarkan keteranganku" Lie Koan Tek membentak marah. Agaknya.
Liu Hwa dapat menangkap kekerasan dan ketegasan dalam suara itu dan iapun
menurunkan kedua tangan yang tadi menutupi mukanya, memandang dengan mata
basah, akan tetapi dengan sinar kebencian seolah hendak membakar. Melihat wanita itu
sudah agak tenang dan mau menghentikan tangisnya, Lie Koan Tek menghela napas
panjang.
"Tidak ada yang lebih menyakitkan hati dari pada tuduhan orang bahwa aku keji, jahat
dan sudah menjadi seorang penjahat. Ketahuilah bahwa aku bernama Lie Koan Tek, aku
seorang murid Siauw-lim-pai yang belum pernah melakukan kejahatan."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Liu Hwa terkejut, juga heran. Tentu saja ia pernah mendengar nama Lie Koan Tek,
murid Siauw-lim-pai yang gagah-perkasa, yang merupakan sisa para tokoh Siauw-lim-pai
yang berhasil lolos ketika kuil Siauw-lim-si dibakar oleh pasukan pemerintah Kerajaan Sui,
beberapa tahun yang lalu. Semua orang gagah di dunia persilatan memuji dan kagum
kepada Lie Koan Tek dan lima orang saudaranya.
"Tapi........tapi kenapa engkau ikut menyerbu Hek-houw-pang dan menawanku?"
"Dengar saja dulu baik-baik. Engkau mungkin tidak tahu. Aku adalah seorang yang
dimusuhi Kerajaan Sui, dan karena aku selalu menentang kesewenang-wenangan para
pembesar Sui, akhirnya aku terkepung dan tertawan, lalu dihukum penjara. Ketika
kerajaan itu jatuh oleh pasukan Li Si Bin yang memberontak, aku masih di dalam penjara.
Lalu aku dibebaskan oleh Pangeran Cian Bu Ong yang sebaliknya sebagai balasannya
minta kepadaku untuk membantunya melawan pemberontak Li Si Bin yang sudah berhasil
mendirikan Kerajaan Tang. Mula-mula aku menyetujuinya karena aku sendiri biarpun
dimusuhi Kerajaan Sui juga menentang pemberontakan. Akan tetapi, ketika kami
diperintah oleh Pangeran Cian Bu Ong menyerbu Hek-houw pang yang membantu
pemerintah pemberontak, aku melihat kegagahan orang-orang Hek-houw-pang dan
melihat kekejian para rekanku. Timbullah kesadaranku bahwa orang-orang yang
membantu Pangeran Cian Bu Ong adalah orang-orang jahat. Apalagi melihat suamimu
ketua Hek-houw-pang terbunuh, dan engkau terancam, aku lalu turun tangan
melarikanmu, dengan hanya satu niat saja, yaitu menyelamatkanmu."
"Aku tidak butuh kauselamatkan! Aku tidak takut mati, bahkan aku ingin mati bersama
suamiku!" Liu Hwa berseru lalu iapun bangkit dan lari meninggalkan Koan Tek.
"Haiii, nyonya, engkau hendak pergi ke mana?" Koan Tek meloncat dan mengejar.
"Perduli apa denganmu?" Wanita itu membalik dan menegur, penuh kemarahan.
Walaupun ia percaya akan keterangan Lie Koan Tek tadi, tetap saja kebenciannya tidak
hilang karena ia menganggap bahwa pria ini menjadi satu di antara sebab tewasnya
suaminya.
"Aku......aku memang tidak ada sangkutan denganmu, tapi.........amat berbahaya untuk
melakukan perjalanan sendiri kembali ke dusunmu. Bagaimana kalau sampai engkau
bertemu dengan anak buah Pangeran Cian Bu Ong?"
"Aku tidak takut. Aku akan melawan sampai napas terakhir!" nyonya muda itu
menjawab tegas.
Koan Tek kagum. Wanita ini memang gagah, pikirnya, walaupun ilmu silatnya tidak
begitu tangguh. "Engkau sudah nekat, nyonya. Engkau bukan lawan mereka. Sebaiknya
engkau menanti satu dua hari sebelum kembali ke dusunmu."
"Tidak! Aku harus pergi sekarang juga. Aku harus mencari anakku!"
"Anakmu? Ahh, jadi ada anakmu tertinggal di dusun?" Kini hati Lie Koan Tek merasa
khawatir bukan main. Kasihan wanita ini. Suaminya tewas dan ia masih meninggalkan
anak di dusun yang dihancurkan anak buah Pangeran Cian Bu Ong itu.
Kini Liu Hwa mengangguk dan hampir ia menangis lagi ketika teringat akan puteranya.
"Anak tunggalku, Kam Cin yang baru berusia lima tahun, entah bagaimana nasibnya. Aku
harus mencarunya sekarang juga," katanya dan iapun lari lagi. Sejenak Lie Koan Tek
termangu. Hatinya makin iba terhadap wanita itu dan setelah menarik napas panjang dia
pun lari membayangi. Pendekar perkasa ini merasa heran sekali kepada dirinya sendiri.
Entah mengapa. Baru sekarang ini dia merasa tertarik dan kasihan sekali kepada seorang
wanita.! Seorang janda yang mempunyai anak lagi! Sungguh aneh. Akan tetapi dia hanya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mengikuti perasaan hatinya dan membayangi karena dia tahu bahwa wanita itu melakukan
perjalanan yang penuh bahaya.
Apa yang dikhawatirkan pendekar Siauw-lim-pai itu memang tidak berlebihan. Ketika
para penjahat di sekitar dusun Ta-bun-cung mendengar bahwa Hek-houw-pang terbasmi,
ketuanya tewas, bahkan kakek Coa juga tewas dan semua anggota Hek-houw-pang
meninggalkan dusun karena perkumpulan orang gagah itu dibubarkan, mereka bagaikan
gerombolan tikus yang ditinggalkan kucing-kucing penjaga! Mereka seperti berpesta-pora
dan menjadi berani.
Matahari telah naik tinggi ketika Liu Hwa tiba di bukit terdekat dengan dusun Ta-buncung.
Ia tahu bahwa di balik bukit itulah terletak dusunnya. Biarpun tubuhnya sudah lelah
sekali, namun ia memaksa diri untuk berjalan terus. Kekhawatiran akan puteranya
membuatnya dapat bertahan.
Akan tetapi, ketika ia tiba di lereng bukit itu, di jalan tikungan yang tertutup tebing
bukit, tiba-tiba ia di kejutkan oleh munculnya banyak orang yang segera mengepungnya.
Tidak kurang lari duapuluh orang laki-laki yang sikapnya kasar, mengepung dan
memandang kepadanya dengan mata seperti binatang buas yang kelaparan, mulut mereka
menyeringai kurang ajar.
Mereka semua memegang senjata golok, pedang atau ruyung dan sikap mereka buas.
"Aha, bukankah ini nyonya ketua Hek-houw-pang yang terhormat?"
"Dan cantik manis? Lihat kedua pipinya segar kemerahan!"
"Ha-ha-ha, nyonya muda yang segar dan molek! Di mana suamimu?"
"Hei, nyonya ketua. Dimana sekarang Hek-houw-pang?"
Melihat orang-orang itu mulai mendekat dan tangan mereka mulai jahil dan kurang
ajar, ada yang hendak mengelus dagunya, ada yang hendak menyentuh tubuhnya, Liu
Hwa menangkis sambil berkata keras membentak, "Heii! Kalian mau apa? Minggir atau
terpaksa akan kubunuh kalian semua!"
Ternyata suara nyonya muda ini masih cukup berwibawa sehingga beberapa orang
yang kurang kuat nyalinya, melangkah mundur sambil menyeringai.
"Biar kuhadapi si manis ini!" tiba-tiba terdengar suara parau dan seorang yang
bertubuh tinggi besar melangkah maju menghadapi Liu Hwa. Dia seorang laki-laki yang
usianya kurang lebih empat puluh tahun, tubuhnya tinggi besar, suaranya parau dan
ketika Liu Hwa mengangkat muka memandang, diam-diam nyonya ini merasa ngeri.
Wajah laki-laki ini memang menyeramkan. Rambutnya awut-awutan, agaknya tidak
pernah dicuci apalagi disisir, sehingga nampak kotor dan jorok sekali. Mukanya kasar,
dengan bintik-bintik hitam dan nampak keras seperti kulit buaya, hidungnya besar dan
mulutnya lebar. Yang lebih menyeramkan adalah matanya. Mata itu tinggal sebelah kanan
saja karena yang kiri terpejam dan agaknya tidak ada biji matanya lagi. Liu Hwa teringat
sekarang. Biarpun belum pernah melihat orangnya, namun pernah suaminya dan para
anggota Hek-houw-pang bercerita tentang seorang perampok ganas yang berjuluk It-gan
Tiat-gu (Kerbau Besi Mata Satu). Perampok ini pernah meraja-lela di luar daerah Ta-buncung,
akan tetapi setelah Hek-houw-pang membuat gerakan pembersihan, dia tidak berani
muncul. Agaknya sekarang dia mengumpulkan penjahat-penjahat lain untuk dipimpin
menjadi gerombolan perampok.
"Ha-ha-ha, manis. Ketua Hek-houw-pang sudah mampus, dan Hek-houw-pang sendiri
sudah bubar. Daripada menjadi seorang janda kembang yang terlantar lebih baik engkau
menjadi isteriku, he heh-heh!" Berkata demikian, dia menjuIurkan lengan kanannya yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
panjang dan besar, dan tangannya hendak merangkul leher Liu Hwa. Akan tetapi nyonya
ini mengelak dan menepiskan tangan tangan mata satu itu dengan pengerahan tenaga.
"Plakk!" Tangan penjahat itu terpental. "Aku tidak sudi! Lebih baik aku mati dari pada
menjadi isterimu!"
"Mati? Ha-ha, sayang kalau orang semanis engkau mati. Engkau sudi atau tidak, mau
atau tidak, harus menjadi isteri It-gan Tiat-gu, heh-heh-heh!"
Dan tiba-tiba si mata satu itu menubruk bagaikan seekor beruang menubruk kambing.
Poa Liu Hwa mengelak dengan loncatan ke kiri, lalu kaki kanannya mencuat dalam sebuah
tendangan ke arah perut raksasa mata satu itu. Akan tetapi, Tiat-gu atau Si Kerbau Besi
itu ternyata cukup lihai. Tangannya bergerak menangkis tendangan itu dan tangan kanan
kembali mencengkeram ke arah pundak Liu Hwa. Liu Hwa terpaksa meloncat lagi ke
belakang dan diam-diam terkejut karena kakinya yang tertangkis terasa nyeri, tanda
bahwa raksasa mata satu itu memiliki tenaga seperti seekor kerbau! Ketika ia meloncat ke
belakang dua orang anggota gerombolan menyergapnya. Liu Hwa membalik dan kaki
tangannya bergerak, menendang dan menampar. Dua orang anggota gerombolan itu
jatuh tersungkur. Akan tetapi lebih banyak orang lagi mengeroyoknya, semua dengan
tangan kosong karena mereka ingin membantu pemimpin mereka menangkap calon
korban ini, bukan hendak melukai atau membunuhnya.
"Tikus-tikus busuk!" tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan bagaikan seekor garuda
menyambar dari angkasa, Lie Koan Tek sudah terjun ke dalam perkelahian itu dan dia
mengamuk. Sekali dia menerjang, dua orang perampok terpelanting keras. Melihat ini,
para perampok segera menggunakan senjata mereka untuk mengepung dan mengeroyok.
Pendekar Siauw-lim-pai itupun melolos rantai bajanya yang dipakai sebagai ikat pinggang,
dan diapun memutar rantai baja itu, mengamuk di antara pengeroyokan banyak orang.
Melihat munculnya seorang pria yang gagah perkasa, It-gan Tiat-gu segera menubruk
Liu Hwa dari belakang dan karena pada saat itu Liu Hwa sedang menghadapi
pengeroyokan dua orang maka ia tidak mampu mengelak. Kedua lengan Kerbau Besi telah
merangkulnya dan karena tenaga kepala perampok itu memang besar, Liu Hwa sama
sekali tidak mampu berkutik. It-gan Tiat-gu sudah menotoknya dan memanggul tubuh Liu
Hwa yang menjadi lemas, dan kepala perampok ini menyelinap pergi, menggunakan
kesempatan selagi Lie Koan Tek sibuk menghadapi pengeroyok yang banyak jumlahnya.
Karena sibuk menghadapi pengeroyokan kurang lebih duapuluh orang yang semuanya
bersenjata tajam, Lie Koan Tek sendiri tentu saja tidak sempat untuk memperhatikan Liu
Hwa. Dia mengamuk dan memutar rantai bajanya, merobohkan bayak pengeroyok
sehingga para perampok menjadi gentar. Sisanya yang belum roboh lalu melarikan diri
cerai-berai ke segala jurusan. Baru setelah para perampok pergi, Lie Koan Tek mendapat
kenyataan bahwa Liu Hwa tidak berada di situ!
Dia menjadi bingung. Hendak mengejar ke mana? Para perampok itu lari ke empat
penjuru!
Apakah Liu Hwa telah berhasil melarikan diri ketika dia datang menyerbu para penjahat
itu? Mengingat akan kemungkinan ini, dia lalu cepat mendaki bukit dan pergi ke dusun Tabun-
cung.
Sebagai seorang di antara para penyerbu dusun itu malam tadi, tentu saja dia tidak
berani memasuki dusun secara terang-terangan. Dia menanti sampai hari menjadi gelap,
baru dia melakukan penyelidikan. Diam-diam dia merasa menyesal juga mendapat
keterangan bahwa puluhan orang anggota Hek-houw-pang telah tewas dalam
pertempuran ketika anak buah Pangeran Cian Bu Ong datang menyerbu. Biarpun dia tidak
bersungguh-sungguh membantu pangeran itu, dia tetap merasa ikut berdosa. Dia tidak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menyelidiki terlalu banyak mengenai Hek-houw-pang. Yang dicarinya hanya Liu Hwa.
Kalau nyonya muda itu sudah kembali ke dusun, hatinya akan merasa lega dan diapun
akan pergi tanpa menemuinya.
Akan tetapi, betapa bingung hatinya ketika dia mendapat kenyataan bahwa Poa Liu
Hwa tidak pernah pulang! Nyonya muda itu telah lenyap.! Masih baik kalau lenyapnya itu
karena ia telah pergi dan tidak ingin kembali ke dusun, akan tetapi bagaimana kalau
sampai ia tertawan penjahat?
Lie Koan Tek cepat meninggalkan dusun itu dan kembali memasuki hutan di lereng
bukit, di mana siang tadi dia membantu Liu Hwa yang dikepung penjahat.
Akan tetapi hutan itu sunyi saja. Dia tidak tidur semalam suntuk melainkan menjelajahi
bukit itu, namun tidak menemukan jejak, bahkan tidak bertemu dengan seorangpun
manusia.
Agaknya anggota gerombolan perampok yang dia robohkan dalam keadaan terluka
atau tewas sudah diangkut pergi kawan-kawan mereka. Terpaksa pada keesokan harinya,
dia menuruni bukit dan menuju ke dusun yang nampak paling dekat di kaki bukit. Dia
menjelajahi dusun-dusun dan akhirnya, pada hari ke tiga ketika dia memasuki sebuah
dusun, dia melihat lima orang sedang ribut dengan pemilik rumah yang cukup besar di
dusun itu. Ia melihat lima orang itu memukuli tuan rumah, dan yang lain sedang
mengangkut barang-barang berharga dari rumah itu. Seorang di antara mereka yang
menjadi pemimpin mempunyai luka melintang di mukanya dan teringatlah Lie Koan Tek
bahwa orang itu pernah dilihatnya di antara para pengeroyoknya ketika ia menolong Liu
Hwa malam itu.
Cepat ia lari menghampiri dan tanpa banyak cakap lagi dia menerjang si codet yang
sedang memukuli tuan rumah.
"Plakk!" Dipukul pundaknya, si codet terpelanting. Tentu saja dia marah sekali dan
mencabut golok, lalu meloncat bangun dan hendak menyerang pemukulnya. Akan tetapi,
begitu dia mengenal Koan Tek, mukanya yang codet menjadi pucat. Dia mengenal
pendekar ini yang membuat dia dan belasan orang kawannya lari tunggang-langgang tiga
hari yang lalu.
Akan tetapi, dia tidak mungkin dapat lari lagi, maka terpaksa dia memberanikan diri dan
menyerang dengan bacokan goloknya ke arah kepala Koan Tek.
Pendekar ini menggeser kaki sehingga tubuhnya miring dan ketika golok lawan
meluncur lewat di samping tubuhnya, dia cepat menggerakkan tangan memukul pundak
kanan lawan.
"Krekkkl" Tulang pundak itu hancur. Golok terlepas dan si codet yang berteriak
kesakitan hendak melarikan diri. Akan tetapi sebuah tendangan membuat sambungan lutut
kanannya terlepas dan diapun roboh tak mampu bangkit lagi, hanya duduk dan
mengaduh-aduh dengan muka pucat ketakutan.
Lie Koan Tek tidak berhenti sampai disitu saja. Dia berkelebat ke sana-sini dan
terdengar teriakan-teriakan ketika empat orang penjahat yang lain roboh terpukul olehnya.
Ada yang remuk tulang lengan atau kakinya, ada yang benjol-benjol kepalanya atau
matang biru mukanya. Akan tetapi mereka semua tidak mampu melarikan diri lagi dan
hanya mengaduh-aduh, ada pula yang pingsan. Lie Koan Tek tidak memperdulikan
penduduk yang datang berlarian ke tempat itu, juga tidak memperdulikan anggota
perampok yang lain. Dia menyeret tubuh si codet dan membawanya lari keluar dari dusun.
Si codet merintih-rintih ketakutan dan minta-minta ampun, Namun Koan Tek tidak perduli
dan terus menyeretnya keluar dusun sampai tiba di tempat sepi, baru dia melepaskan
cengkeramannya sehingga tubuh si codet terhempas ke atas tanah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ampun......ampunkan hamba......,tai-hiap......." kata si codet sambil berlutut
menyembah-nyembah.
"Mudah saja mengampuni dan membunuhmu, akan tetapi cepat katakan di mana
adanya nyonya yang kalian rampok tiga hari yang lalu itu. Katakan dengan sejujurnya
kalau engkau tak ingin kusiksa sampai mati!"
"Ampun, tai-hiap. Bukan saya yang mengganggunya, akan tetapi nyonya itu dibawa
pergi oleh toako........, ampunkan saya......."
"Siapa itu toako?" "It-gan Tiat-gu....... "
"Di mana dia sekarang? Nyonya itu dibawa ke mana? Hayo katakan sejujurnya."
"Mungkin ke sarangnya yang baru......Saya.....saya hanya menjadi pembantunya
sementara saja, dan malam itu... dia pergi melarikan nyonya itu......"
"Hemm, cepat antarkan aku ke sarangnya!" "Jauh sekali, tai-hiap, perjalanan sehari
penuh....."
"Cerewet! Kau ingin mampus!" Koan Tek menendang dan tubuh orang itu terlempar
sampai beberapa meter jauhnya.
Dia mengerang dan merangkak bangun.
"Ampun, saya..... saya mau mengantarkan tai-hiap, tapi........... saya takut, tentu dia
akan marah kepada saya dan membunuh saya."
"Huh, ada aku di sini, tidak perlu takut. Kalau engkau mengantar aku sampai berhasil
menemukan nyonya itu, aku akan mencegah dia membunuhmu. Sebaliknya, kalau engkau
tidak memenuhi permintaanku, engkau akan kusiksa sampai mati. Hayo cepat!"
Si codet itu takut sekali dan diapun cepat bangkit lalu menjadi penunjuk jalan. Lie Koan
Tek berjalan di belakangnya dan mendorong-dorongnya sehingga si codet, walaupun
menderita nyeri di pundaknya, terpaksa berlari-lari.
Untung bahwa karena gelisah memikirkan keselamatan Poa Liu Hwa, Koan Tek
memaksa si codet berlari-lari sehingga dia tidak datang terlambat. Karena kepala
perampok yang berjuluk It-Gan Tiat-gu (Kerbau Besi Mata Satu) itu, setelah berhasil
melarikan Liu Hwa dan meninggalkan Koan Tek dikeroyok anak buahnya, melakukan
perjalanan yang santai menuju ke sarangnya, puncak sebuah bukit yang sunyi. Dia telah
menotok wanita tawanannya itu hingga Liu Hwa tidak mampu meronta, tidak mampu pula
berteriak. Dengan hati bangga dan girang, si mata satu itu memondong tubuh Liu Hwa,
dibawa ke sarangnya dengan jalan kaki biasa saja tidak berlari-lari. Dia bangga karena
telah berhasil menawan isteri ketua Hek-houw-pang dan akan memaksa wanita itu
menjadi isterinya.
Masih ada belasan orang anak buahnya di sarang itu. Mereka menyambut kedatangan
It-gan Tiat-gu dengan gembira apa lagi ketika melihat bahwa wanita yang ditawan
pemimpin mereka adalah isteri ketua Hek-houw-pang!
"Siapkan pesta. Malam ini aku akan menikah dengan isteri ketua Hek-houw-pang. Ha
ha-ha!" It-gan Tiat-gu berkata lantang kepada anak buahnya dengan bangga, dan anak
buahnya yang belasan orang itupun tertawa gembira.
Karena It-gan Tiat-gu hanya berjalan, sedangkan si codet yang didorong oleh Koan Tek
itu berlari-lari, maka tidak jauh selisih waktu antara kedatangan It-gan Tiat-gu dan mereka
berdua di puncak bukit itu. Mereka tiba di puncak itu pada sore hari dan segera belasan
orang anak buah Kerbau Besi Mata Satu yang tentu saja mengenal si codet sebagai rekan
mereka. Melihat si codet datang sambil meringis kesakitan dan memegangi pundaknya,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mereka segera merubungnya dan bertanya-tanya. Si codet maklum bahwa sedikit saja ia
mengkhianati pendekar yang menawannya, pendekar itu tentu akan membunuhnya. Maka
ketika kawan-kawannya membanjirinya dengan pertanyaan, dia menggerakkan tangan
dengan tidak sabar "Sudahlah, jangan banyak bertanya dulu. Aku ingin menghadap toako,
di mana dia? Aku akan melaporkan sesuatu yang amat penting."
"Aihhh, toako sedang bersenang-senang dengan calon isterinya, jangan diganggu,!"
kata seorang di antara mereka sambil menunjuk ke arah sebuah pondok tak jauh dari situ.
"Malam nanti kita pesta untuk pernikahan toako, ha-ha-ha!" kata yang lain. Mendengar
ini, tanpa menanti lagi Lie Koan Tek meloncat ke depan pondok dan sekali tendang, daun
pintu pondok itu roboh dan diapun menyerbu ke dalam.
Apa yang dilihatnya di dalam kamar pondok itu membuat wajah Koan Tek jadi merah
saking marahnya. Dia melihat Liu Hwa rebah telentang dalam kedaan tertotok dan
pakaiannya tidak karuan, karena It-gan Tiat-gu sedang terkekeh-kekeh sambil mulai
membukai pakaian wanita itu.
"Ehh?" It-gan Tiat-gu terkejut bukan main ketika tiba-tiba pintu pondok jebol. Dia
meloncat sambil menyambar senjatanya, sebatang golok yang tadi ditaruh di atas meja.
Dia terkejut ketika mengenal pria yang tadi mengamuk dan dikeroyok oleh anak buahnya.
"Jahanam busuk!" Koan Tek membentak dan biarpun lawan memegang golok dia tidak
takut dan bahkan Koan Tek yang menyerang dengan dahsyatnya. Mata Satu
menyambutnya dengan bacokan golok ke arah kepalanya. Koan Tek miringkan tubuh
menghindar, dan tangannya terus melanjutkan serangannya dengan pukulan tangan
terbuka ke arah dada It-gan Tiat-gu. Kepala perampok itu mengelak dengan loncatan ke
samping dan goloknya berkelebat, kini membabat ke arah pinggang tokoh Siauw-lim-pai
itu. Koan Tek yang sudah marah bukan main melihat penjahat ini tadi nyaris memperkosa
wanita yang selalu berada dalam ingatannya itu, menyambut serangan golok dengan
tendangan kaki dari samping.
"Trangggg....!" Golok terlepas dan membentur dinding. It-gan Tiat-gu terkejut bukan
main dan merasa jerih, hendak melarikan diri. Akan tetapi Koan Tek mendahuluinya
dengan tendangan yang mengenai belakang lututnya, kepala perampok itupun
terpelanting.
Sebelum dia sempat bangun, kaki Koan Tek menyusulkan tendangan yang diarahkan ke
tengkuknya.
"Krekkkk!" Patahlah tulang leher It-gan Tiat-gu dan diapun tewas seketika. Pada saat
itu, anak buah perampok sudah menyerbu dari luar pondok. Koan Tek cepat meloncat ke
dekat pembaringan dan sekali tangannya bergerak, bebaslah totokan pada diri Liu Hwa.
Sebelum wanita ini sempat berkata sesuatu, Koan Tek sudah meloncat keluar lagi dan
mengamuklah dia dikeroyok belasan orang anak buah perampok itu. Dia melihat bahwa si
codet yang tadi dipaksanya mengantar telah tewas, tentu dibunuh oleh rekan-rekannya
sendiri setelah dia lari menjebol daun pintu tadi.
Lie Koan Tek mengamuk dan biarpun ia bertangan kosong, belasan orang anak buah
perampok itu bukan tandingannya. Mereka kocar-kacir dan lebih-lebih ketika Liu Hwa
muncul dari dalam pondok memegang sebatang golok milik It-gan Tiat-gu. Kini pakaian
Liu Hwa telah rapi kembali dan dengan golok di tangan, wanita ini mengamuk membantu
Koan Tek. Tentu saja para perampok menjadi gentar dan merekapun lari cerai-berai
meninggalkan yang terluka.
Mereka saling pandang, berhadapan dalam jarak tiga meter. Lalu tiba-tiba Liu Hwa
melepaskan goloknya, lari menghampiri Koan Tek dan menjatuhkan diri sambil menangis.
Koan Tek cepat menyambutnya, memegang kedua pundaknya dan menariknya berdiri,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
melarangnya berlutut. Liu Hwa kini menangis di atas dada pendekar Siauw-lim-pai itu.
Hampir saja kepala perampok mata satu itu memperkosanya. Ia sudah tidak berdaya sama
sekali. Dalam saat terakhir, muncul pula pendekar Siauw-lim-pai ini menyelamatkannya. Ia
begitu bersyukur, terharu dan juga bersedih karena ia teringat lagi akan keadaannya yang
kehilangan seluruh keluarganya, maka ia lupa diri dan menangis di atas dada yang bidang
itu. Koan Tek juga seperti lupa, dengan sendirinya mendekap dan mengelus rambutnya
dengan perasaan penuh kasih sayang!
Setelah menumpahkan perasaan haru dan dukanya, Liu Hwa sadar akan dirinya dan
iapun melepaskan diri, melangkah dua tindak ke belakang dan mukanya berubah merah
sekali.
"Ahhh.......apa yang kulakukan......aih, tai-hiap, maafkan aku........aku telah membuat
bajumu basah....." katanya memandang kepada baju pendekar itu yang basah di bagian
dada oleh air matanya.
Koan Tek tersenyum. "Tidak apa, engkau memang perlu dapat menangis sepuas
hatimu, nyonya. Nah, marilah kita melanjutkan perjalanan. Kuantar engkau sampai ke
dusunmu."
Liu Hwa mengangguk dan merekapun kini meninggalkan bukit itu, menuju dusun Tabun-
cung. Malam telah tiba ketika mereka tiba di luar dusun, dan di luar pintu gerbang
yang nampak sunyi, Koan Tek berhenti. "Nyonya, pergilah engkau ke dalam. Aku lebih
baik menanti saja di sini. Mereka tentu mengenaliku sebagai seorang di antara para
penyerbu, dan mereka akan menyerangku."
"Tidak, tai-hiap. Mari masuk saja, biar aku yang akan memberi penjelasan kepada
mereka nanti, " kata Liu Hwa, akan tetapi Koan Tek merasa tidak enak.
Memang kalau dia ingat akan peristiwa yang terjadi di dusun itu, betapa dia membantu
para penjahat untuk membasmi Hek-houw-pang, dia merasa menyesal bukan main dan
merasa malu kepada dirinya sendiri.
"Aku menanti saja di sini. Kalau engkau perlu bertemu dengan aku besok, aku akan
berada di sini."
Terpaksa Liu Hwa meninggalkan pendekar Siauw-lim-pai itu dan memasuki dusun Tabun-
cung yang nampak sunyi. Akan tetapi begitu ada orang melihatnya, orang itu segera
berseru akan munculnya nyonya ketua Hek-houw-pang dan semua orangpun berlarian
keluar menyambut. Dan hujan tangispun terjadi. Liu Hwa menangis lagi mendengar
betapa banyaknya korban jatuh. Bahkan Coa Siang Lee yang menjadi tamu, juga yang
menjadi ahliwaris keluarga Coa yang selalu menjadi ketua perkumpulan itu, ikut tewas.
Demikian pula Coa Song, kakek yang dihormatinya itu.
Malam hari itu juga, Liu Hwa membawa perlengkapan sembahyang dan ia
bersembahyang di depan makam suaminya. Ia tdak mau ditemani orang lain, bahkan ia
menyuruh semua orang yang mengantarnya untuk meninggalkannya agar ia dapat
meratapi nasibnya di depan kuburan suaminya. Ia hanya mempunyai satu saja hiburan,
yaitu bahwa puteranya, Cin Cin, selamat dan kini menurut pesan terakhir kakek Coa Song,
Cin Cin diantar oleh Lai Kun, sute suaminya, untuk menjadi murid pendekar sakti Si Han
Beng yang berjuluk Huang-ho Sin-liong (Naga Sakti Sungai Kuning).
la bersembahyang bukan saja di depan makam suaminya, juga ia bersembahyang di
depan makam kakek Coa Song dan di depan makam Coa Siang Lee, bahkan ia
menyembahyangi makam para murid atau anggota Hek-houw-pang yang tewas dalam
serbuan itu. Ketika ia menghampiri makam yang paling ujung sambil membawa hioswa
(dupa biting) dan sekeranjang kembang, ia melihat sesosok tubuh kecil melingkar di depan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
makam itu. Ternyata ada seorang anak laki-laki yang usianya paling banyak enam tahun
rebah miring dan melingkar di atas tanah, agaknya tertidur!
Liu Hwa memandang ke arah makam itu. Sinar bulan cukup terang dan tulisan hurufhuruf
di atas kayu yang sementara dipasang sebagai nisan itu cukup besar. Ia membaca
nama korban itu. Ah, kiranya itu makam The Ci Kok, seorang anggota Hek-houw-pang
tingkat atas. The Ci Kok bahkan menjadi suheng dari suaminya yang memiliki kepandaian
seimbang dengan suaminya. Kalau Kam Seng Hin yang dipilih menjadi ketua adalah
karena The Ci Kok ini orangnya pendiam dan agak bodoh. Kiranya dia juga tewas!
Kini Liu Hwa dapat menduga siapa anak kecil itu dan hatinya seperti ditusuk. Anak itu
tentu The Siong Ki putera suheng suaminya itu. Iapu tahu bahwa ibu anak itu telah tiada
sejak anak itu masih kecil sekali. Berarti bahwa anak itu kini menjadi seorang anak yatim
piatu.
"Siong Ki......Siong Ki.......! Bangunlah, jangan tidur di sini, nak!" katanya lembut sambil
mengguncang pundak anak itu. Akan tetapi, anak itu tidak terbangun. Betapa kuatpun dia
mengguncang, tetap saja anak itu tidak terjaga. la mulai curiga, lalu memeriksanya. Anak
itu seperti dalam keadaan tidur, akan tetapi kini ia tahu bahwa anak itu sebenarnya jatuh
pingsan!
Makin tertusuk rasa hati Liu Hwa. Diletakkannya bunga dan dupa di atas makam dan ia
lalu mengangkat dan memangku anak itu, mengurut tengkuk dan dadanya. Akhirnya, anak
itu menggeliat lalu menggumam.
"Ayah......ayah.....jangan tinggalkan Siong Ki sendirian, ayah......! Jahanam, aku akan
membunuh kalian semua.!" Anak itu meronta bangkit dan dengan kedua tangan terkepal
dia menyerang Liu Hwa!
Dengan hati terharu sekali Liu Hwa menangkap pukulan-pukulan itu dengan lembut
sambil berkata, "Siong Ki, lihatlah siapa aku ini......"
"Tidak perduli engkau siapa, setan atau iblis. Aku tidak takut! Biar kau membunuhku,
aku tidak takut. Aku ingin mati dan bersama ayah dan ibuku!" Dan dia menyerang terus.
Setelah Liu Hwa menangkap kedua lengannya dan merangkulnya, baru anak itu
mengamati Liu Hwa dan diapun merangkul dan menangis, "Bibi.......ah. bibi.......!
Aku.......aku ingin mati saja, bibi..!"
Biarpun hatinya sendiri seperti diremas-remas, penuh kedukaan dan keharuan yang
membuat ia ingin menjerit-jerit dan menangis seperti anak kecil, akan tetapi Liu Hwa
menahan perasaannya, menggigit gigi sendiri dan merapatkan bibir dengan kuat-kuat
sambil merangkul anak itu. Kemudian ia bicara.
Jilid 5
"Siong Ki, jangan bicara seperti itu!"
Dengan muka basah air mata dan mata merah, anak itu mengangkat mukanya,
memandang kepada wanita itu. "Bibi, apa yang harus kulakukan kalau aku dibiarkan
hidup? Aku seorang diri, tiada ayah ibu, tiada keluarga. Melihat ayah tewas, juga para
paman......ah, apa gunanya lagi aku hidup? Tiada lagi yang melindungi aku, bibi....."
"Hushh.....! Omongan apa itu? Disini masih ada aku, Siong Ki. Aku yang akan
melindungimu, dan engkau boleh ikut denganku selamanya karena mulai saat ini, engkau
menjadi muridku."
Siong Ki membelalakkan matanya seperti orang yang tidak percaya. "Benarkah ini..... ?
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Benarkah, bibi? Atau hanya hiburan kosong belaka?"
"Tentu saja benar, Siong Ki. Apakah kau tidak percaya kepadaku dan menyangka aku
membohongimu?"
Anak itu nampak gembira sekali. "Kalau begitu, berjanjilah di depan makam ayah, bibi.
Biar ayah menjadi saksi, biar ada semangat lagi bagiku untuk hidup!" Lalu anak itu
berlutut di depan Liu Hwa dan kini suaranya terdengar lantang dan penuh semangat.
"Ayah saksikanlah, ayah. Mulai saat ini anakmu, The Siong Ki, mempunyai pelindung baru,
yaitu bibi Poa Liu Hwa yang menjadi guruku. Subo, terimalah hormat tcecu (murid)!" Dan
diapun memberi hormat delapan kali kepada wanita itu.
"Siong Ki, muridku yang baik, bangkitlah."
"Teecu tidak akan bangkit sebelum subo (ibu guru) berjanji di depan makam ayah!"
Liu Hwa menatap makam itu dan diam-diam ia bergidik. Ia sendiri kehilangan segalagalanya,
bahkan puteranya Cin Cin, yang selamat, kini telah dibawa pergi ke tempat jauh.
Ia sendiri sebatangkara, dan kini ia telah mengambil Siong Ki sebagai murid, siap
melindunginya dan menjadi pengganti orang tuanya. Suatu tugas yang amat berat.
Sedangkan untuk melindungi diri sendiri saja ia sudah jelas tidak kuat. Buktinya, hampir
saja ia celaka dan mungkin sekarang sudah tewas terbunuh atau membunuh diri kalau
saja ia tidak dibebaskan dari tangan lt-gan Tiat-gu oleh pendekar Siauw-lim pai itu! Akan
tetapi, ia tidak dapat undur kembali, sudah berjanji, dan kalau ada anak ini di sampingnya,
setidaknya ia akan terhibur. Maka iapun lalu mengangkat kedua tangan di depan dada
sambil membungkuk ke arah makam The Ci Kok dan berkata dengan lirih.
"Suheng The Ci Kok. Aku berjanji bahwa mulai saat ini puteramu The Siong Ki telah
menjadi muridku. Semoga arwahmu ikut pula melindungi kami berdua."
Setelah mendengar janji gurunya itu, Siong Ki bangkit dan kini wajahnya menjadi
cerah. Liu Hwa juga memandang kepadanya. Anak ini nampaknya cerdik dan seingatnya,
Siong Ki bukan seorang anak yang bandel, tidak nakal dan pandai membawa diri.
"Siong Ki, setelah engkau selesai bersembahyang di sini, susullah aku di makam
suamiku."
"Aku sudah selesai, subo. Aku selalu berada di sini sejak ayah dimakamkan dan baru
satu kali aku pulang ke rumah," katanya sambil mengambil sebuah buntalan yang tadi dia
gantungkan di cabang sebatang pohon.
"Engkau sudah siap dengan buntalan pakaianmu? Apakah engkau tidak ingin pulang ke
rumah mendiang ayahmu?"
Siong Ki menjawab dengan wajah sedih. "Tadinya aku sudah ingin pergi saja, subo.
Untuk apa kembali ke dusun Ta-bun-cung dimana kita hanya akan diingatkan selalu akan
peristiwa menyedihkan itu? Akan tetapi kalau subo ingin kembali.......... "
Liu Hwa melangkah ke arah makam suaminya, lalu duduk di depan makam, termenung.
Siong Ki mengikutinya dan anak itupun duduk di depan subonya. Setelah berulang kali
menghela napas panjang, Liu Hwa juga berkata dengan sura sendu.
"Akupun tidak mungkin dapat bertahan tinggal di dusun dimana aku telah kehilangan
segala-galanya. Apalagi, sebelum meninggal, kakek Coa Song telah membagi-bagikan
seluruh isi rumah kepada para murid. Aku tidak dapat tinggal di rumah kosong itu, yang
setiap saat akan mengingatkan aku kepada suamiku dan anakku."
"Lalu, ke mana kita akan pergi, subo?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Wanita itu menundukkan mukanya dengan sedih. "Aku tidak tahu, Siong Ki, ....aku
tidak tahu...... "
Siong Ki bicara lagi, kini suaranya terdengar gembira. "Subo, aku mendengar bahwa
adik Cin Cin telah diajak pergi oleh susiok Lai Kun ke rumah pendekar sakti Huang-ho Sinliong
Si Han Beng. Bagaimana kalau kita menyusul kesana?"
Wajah wanita itu agak cerah mendengar ucapan itu. Sudah diduganya, anak ini cerdik
dan penuh semangat, dan senang akan keputusannya mengambil anak ini menjadi murid.
"Benar, Siong Ki. Agaknya memang sebaiknya kalau kita menyusul adikmu Cin Cin lebih
dulu. Setelah itu......setelah bertemu dengan Cin Cin, baru kita mencari tempat tinggal
baru. Akan tetapi, ah, aku sudah tidak memiliki apa-apa lagi. Bahkan senjatapun tidak
punya lagi....."
"Subo, jangan khawatir?" kata Siong Ki dan anak ini segera menurunkan buntalan
pakaiannya yang besar, lalu membukanya. Pertama-tama dia mengeluarkan sebatang
pedang dengan sarungnya. "Ini pedang milik ayah, subo. Kuambil dari tangan jenazah
ayah, lalu sarung pedangnya kucari. Nah, terimalah pedang ini subo, agar subo dapat
melindungi diri kita berdua dalam perjalanan."
Dengan girang Liu Hwa menerima pedang itu dan memeriksanya. Ternyata sebatang
pedang yang cukup baik, terbuat dari baja yang baik. Ia merasa kuat ketika memegang
pedang ini.
"Dan ini, subo. Ini peninggalan ayah, kukumpulkan semua dan kubawa serta. Subo
boleh menggunakannya semua untuk biaya apa saja, biaya perjalanan kita, biaya mencari
tempat tinggal baru......."
Liu Hwa terbelalak. Anak itu membuka sebuah buntalan kecil yang isinya potongan
emas dan perak, cukup banyak!
"Siong Ki," ia berkata dengan terharu. "Ternyata bukan aku yang menolongmu,
melainkan engkau yang menolongku."
"Sama sekali tidak, subo. Aku sendiri tidak tahu harus berbuat apa degan pedang dan
emas perak itu. Kuserahkan kepada subo agar subo dapat melindungi kita berdua."
Liu Hwa tiba-tiba teringat kepada pendekar Siauw-lim-pai yang menunggunya di luar
pintu gerbang. Ah, sudah terlalu banyak ia menyusahkan pendekar itu. Sungguh ia merasa
malu kepada Lie Koan Tek.
Pula, sungguh tidak pantas dilihat orang kalau ia berdua saja dengan pendekar itu. Ia
kini seorang janda! Dan pendekar Siauw-lim pai Lie Koan Tek, sepanjang yang
didengarnya, belum pernah menikah. Biarpun usianya sudah empatpuluh tahun lebih,
masih membujang. Pasti akan menimbulkan prasangka yang bukan-bukan dalam benak
orang yang melihat seorang janda berduaan saja dengan seorang pria yang masih
membujang. Tidak, aku tidak boleh mengganggunya lagi. Akan tetapi, bagaimana ia harus
mengatakan kepada pendekar itu bahwa ia tidak mau melanjutkan perjalanan bersama
dia?
"Siong Ki, mari kira pergi." "Pergi? Sekarang juga, subo?"
Liu Hwa mengangguk. "Sekarang ini juga, kita pergi meninggalkan dusun kita dan pergi
menyusul Cin Cin."
Tentu saja Siong Ki merasa heran. Malam itu biarpun ada bulan, namun tetap saja
cuaca hanya remang-remang. Mengapa subonya demikian tergesa-gesa. Akan tetapi dia
tidak berani membantah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Baik subo. Mari!" Dia lari ke makam ayahnya, memberi hormat lagi untuk yang terakhir
kalinya, kemudian membawa buntalan pakaiannya dan berjalan di samping subonya.
Ketika Siong Ki hendak mengambil jalan keluar dari pintu gerbang, Liu Hwa memegang
tangannya, dan menariknya ke kiri. "Kita ambil jalan ini saja, Siong K i."
Kembali anak itu terheran. Jalan keluar dari dusun itu memang ada beberapa buah,
akan tetapi yang paling enak adalah jalan keluar melalui pintu gerbang. Akan tetapi
subonya mengajak ia keluar dari dusun melalui jalan setapak yang penuh semak belukar!
Akan tetapi diapun tidak berani banyak bertanya dan dengan hati-hati mereka keluar dari
dusun itu.
Sama sekali Poa Liu Hwa tidak pernah menduga bahwa hanya tiga hari setelah dia
pergi, Sim Lan Ci dan Thian Ki datang ke dusun itu pula! Kalau saja hal itu terjadi, pasti
jalan hidupnya akan menjadi lain!
Hati Liu Hwa menjadi lega setelah mereka keluar dari dusun dan tiba di lereng bukit.
Matahari pagi memandikan bumi dengan cahayanya yang hangat dan segar
menghidupkan. Biarpun merasa lelah sekali karena selain baru saja mengalami ancaman
malapetaka dan terpendam kedukaan, apa lagi semalam sama sekali tidak tidur, namun
Liu Hwa tidak mau berhenti berjalan. Siong Ki berjalan di sebelahnya sambil menggendong
buntalan pakaiannya. Kantung berisi emas dan perak oleh Liu Hwa juga dititipkan
kepadanya dalam buntalan. Hanya pedang itu kini tergantung di punggung nyonya muda
itu.
Sudah sejak malam tadi Liu Hwa melihat betapa anak itu kelelahan, juga mungkin
sekali kelaparan. Namun, biarpun jalannya kadang terhuyung, anak itu sama sekali tidak
pernah mengeluh. Hal ini saja membuat Liu Hwa semakin suka kepada anak yang kini
menjadi muridnya itu. Anak ini keras hati dan tabah bukan main, pikirnya. Ia merasa
kasihan akan tetapi tidak mau mengajak Siong Ki berhenti karena ia khawatir kalau sampai
bertemu dengan Lie Koan Tek yang ingin dihindarinya. Ia sendiri juga lelah, akan tetapi ia
memaksa diri untuk melewati sebuah bukit lagi, baru akan mengaso dan mencari
makanan.
Ketika ia mulai mendaki bukit itu dan tiba di sebuah hutan kecil, tiba-tiba saja di
depannya muncul seorang pria muda yang tampan sekali. Usianya sekitar duapuluh tujuh
tahun, tubuhnya sedang dan dia mengenakan pakaian pelajar yang mewah. Wajahnya
tampan dan ganteng, dengan hidung besar mancung, bibir merah seperti diberi pemerah
bibir, matanya hitam sekali maniknya. Dan kepalanya yang berambut hitam tebal itu
tertutup sebuah caping lebar. Di pinggangnya terselip sebatang suling dan melihat
penampilannya, Liu Hwa menduga bahwa pemuda ini tentu seorang pemuda kaya yang
terpelajar. Namun kemunculannya yang tiba-tiba itu mengejutkan hatinya dan ia
memandang dengan khawatir.
Pemuda itu bukan lain adalah Can Hong San. Setelah dia berpisah dari Pangeran Cian
Bu Ong dan memperoleh sekantung emas, Hong San lalu sengaja pergi ke dusun Ta-buncung.
Dia masih merasa penasaran, ingin melihat apa yang terjadi di dusun itu, terutama
sekali dia ingin mencari Lie Koan Tek, pendekar Siauw-lim-pai bekas rekannya itu yang dia
lihat melarikan seorang wanita cantik ketika mereka menyerbu dusun itu. Kini, bertemu
dengan Liu Hwa dan seorang anak laki-laki, dia segera mengenal wanita itu sebagai
wanita yang pernah dilarikan Lie Koan Tek, maka cepat dia menghadang wanita itu dan
dia tersenyum girang ketika melihat bahwa wanita yang usianya sekita tigapuluh tahun ini
juga cukup cantik untuk menggelitik wataknya yang memang mata keranjang.!
Hong San tersenyum dan wajahnya nampak tampan dan menarik sekali. Karena
sikapnya memang sopan dan halus Liu Hwa juga tersenyum malu-malu dan nyonya ini
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menggandeng tangan Siong Ki untuk diajak melewati pemuda itu sambil membungkukkan
tubuh sebagai penghormatan.
Melihat ini, Hong San cepat melangkah dan menghadang lagi. "Perlahan dulu, enci.
Kalau aku tidak salah sangka, enci tentu datang dari dusun Ta-bun-cung, bukan?" Dia
mengangkat kedua tangan memberi hormat.
Melihat sikap yang sopan dan ramah itu, Liu Hwa membalas penghormatan pemuda itu
dan menjawab, "Benar, kongcu. Kami memang penduduk Ta-bun-cung."
"Bukankah enci wanita yang dilarikan oleh Lie Koan Tek malam itu?"
Bukan main kagetnya Liu Hwa mendengar pertanyaan itu dan ia memandang Hong San
dengan pernuh perhatian. Malam terjadinya penyerbuan di dusun itu terlalu gelap
sehingga ia tidak mengenal para penyerangnya.
"Bagaimana engkau bisa tahu, kongcu?" tanyanya penuh selidik.
"Ha-ha-ha, aku tahu segalanya, enci. Beberapa malam yang lalu, Hek-houw-pang di
dusun Ta-bun-cung diserbu oleh pembunuh-pembunuh bayaran, bukan? Dan seorang di
antara para pembunuh itu adalah Lie Koan Tek. Kemudian, setelah membunuhi banyak
orang, mungkin yang terbanyak di antara rekan-rekannya, Lie Koan Tek agaknya tertarik
kepadamu dan membawamu lari! Apakah kini Lie Koan Tek sudah bosan denganmu dan
membiarkanmu pergi, enci yang baik?"
Wajah Liu Hwa menjadi merah sekali. Merah karena marah dan merah karena malu.
Juga ia merasa dihina oleh pemuda halus ini.
"Tidak! Lie Koan Tek adalah seorang pendekar Siauw-lim-pai yang gagah dan bukan
pembunuh bayaran. Dia telah tertipu. Juga dia melarikan aku karena dia ingin
menyelamatkan aku!"
"Ha-ha-ha-ha! Enci yang baik, agaknya engkau telah tergila-gila kepada pembunuh itu!
Aku yang lebih tahu bahwa dialah yang membunuh banyak tokoh Hek-houw-pang!"
"Paman yang baik, apakah Lie Koan Tek itu pula yang telah membunuh ayahku?
Ayahku bernama The Ci Kok, dia suheng dari mendiang ketua Hek-houw-pang...."
"Siong Ki!" Liu Hwa menegur muridnya.
"The Ci Kok? Ha, siapa lagi yang membunuhnya kalau bukan Lie Koan Tek? Aku
melihatnya sendiri..... "
"Engkau bohong! Sudahlah, jangan mengganggu kami. Kami akan melanjutkan
perjalanan kami!" Liu Hwa kini berkata dengan marah. "Mari, Siong Ki, kita pergi!" Ia
menggandeng tangan muridnya dan menariknya pergi.
"Nanti dulu, enci yang manis. Engkau cukup manis untuk menemaniku. Jangan kau
pergi dulu. Kalau anak ini mau pergi, biarkan dia pergi, akan tetapi engkau harus
menemaniku bercakap-cakap. Aku kesepian sekali, enci yang manis."
Kini tahulah Liu Hwa dengan orang macam apa ia berhadapan. Biarpun pemuda ini
amat tampan dan dapat bersikap halus dan ramah, namun ia dapat menduga bahwa
pemuda ini adalah seorang pria yang suka memandang rendah dan mempermainkan
wanita.
"Slngg...!" Ia mencabut pedangnya dan matanya mencorong marah. "Manusia rendah,
jangan ganggu kami atau terpaksa aku akan menggunakan pedang ini!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Akan tetapi tentu saja gerakan itu merupakan sesuatu yang lucu bagi Hong San
sehingga dia tertawa. "Ha-ha-ha, sungguh aneh dan lucu. Seekor kelinci betina yang
gemuk mengancam seekor harimau! Ha-ha-ha !"
Liu Hwa tidak sabar lagi dan iapun menggerakkan pedangnya menusuk ke arah dada
pemuda yang kurang ajar itu. Akan tetapi, dengan amat mudahnya Hong San mengelak
dan sekali tangannya bergerak, dia telah menyentuh dada Liu Hwa secara kurang ajar
sekali.
"Ihhhh......!" Liu Hwa menjerit dan meloncat ke belakang. Wajahnya menjadi merah
karena malu dan marah, akan tetapi iapun terkejut karena tahulah ia bahwa ia
berhadapan dengan seorang lawan yang amat lihai. lapun menjadi nekat dan dengan
ganas wanita itu memutar pedangnya melakukan penyerangan bertubi-tubi. Namun,
semua serangan itu dapat dihindarkan dengan amat mudahnya oleh Hong San. Kalau
pemuda ini menghendaki, dalam satu dua jurus saja tentu ia mampu merobohkan Liu
Hwa. Akan tetapi watak pemuda ini memang aneh. Ia ingin menjadi seperti seekor kucing
mempermainkan tikus. Dia akan membekuk wanita ini setelah mempermainkannya. Ia
hanya mengelak, menangkis sambil mencolek dagu, dada, mengelus pipi sambil tertawa,
membuat Liu Hwa menjadi semakin marah dan nekat.
Siong Ki melihat ini dengan alis berkerut. Hatinya kecewa. Wanita yang diangkatnya
sebagai guru itu ternyata tidak berdaya sama sekali melawan pemuda itu! Mempunyai
guru selemah itu sungguh tidak ada untungnya baginya.
"Can Hong San, jangan kurang ajar kau!" tiba-tiba terdengar bentakan dan muncullah
Lie Koan Tek yang langsung menyerang dengan rantai baja yang selalu dipakai sebagai
ikat pinggang. Pendekar ini menanti Liu Hwa di luar pintu gerbang. Ketika pagi tadi dia
tidak melihat Liu Hwa keluar dia lalu mencari-cari, menyusul ke tanah kuburan dan melihat
bekas peralatan sembahyang. Ketika dia tidak menemukan lagi wanita itu di dusun,
tahulah dia bahwa Liu Hwa tentu telah pergi meninggalkan dusun, meninggalkan dia
melalui jalan lain. Dia cepat melakukan pengejaran dengan hati merasa aneh dan heran.
Mengapa Liu Hwa meninggalkan dia? Andaikan tidak ingin bersamanya, setidaknya wanita
itu akan memberi tahu kepadanya lebih dulu.
Akhirnya dia menemukan Liu Hwa yang sedang dipermainkan oleh Hong San. Biarpun
dia tahu bahwa Hong San amat lihai, melihat wanita yang telah menjatuhkan hatinya itu
dipermainkan, dia menjadi marah dan langsung menyerang dengan rantai bajanya.
Hong San meloncat ke belakang dan mencabut sulingnya. "Ha-ha , Lie Koan Tek!.
Engkau pengkhianat besar. Engkau hendak melindungi wanita yang kau larikan ini, ya?
Bagus, aku memang sedang mencarimu untuk memberi hukuman atas nama Pangeran
Cian Bu Ong!"
Lie Koan Tek yang sudah nekat itu tidak menjawab melainkan segera menyerang
dengan dahsyatnya. Liu Hwa tidak mau tinggal diam dan iapun membantu pendekar
Siauw-lim-pai itu dengan pedangnya. Melihat ini, kembali Hong San tertawa sambil
memutar suling untuk menangkis kedua senjata pengeroyoknya.
"Ha ha, si penculik dan yang diculik saling bantu! Bagus, agaknya kalian sudah saling
jatuh hati. Ha-ha-ha!" Dan sulingnya diputar sedemikian rupa sehingga amat merepotkan
Lie Koan Tek. Apa lagi Llu Hwa. Setiap kali pedangnya bertemu suling, ia pasti terdorong
dan terhuyung. Untung baginya bahwa Hong San tidak ingin membunuh wanita ini, kalau
demikian halnya, tentu ia sudah roboh dan tewas. Hong San hendak membunuh Lie Koan
Tek akan tetapi ingin menangkap Poa Liu Hwa hidup-hidup.
Bagaimanapun juga, Lie Koan Tek adalah seorang pendekar Siauw-lim-pai yang sudah
matang dalam pengalaman. Dia pernah diuji kepandaiannya melawan Hong San dan dia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tahu betapa lihainya suling di tangan pemuda itu. Maka pengalamannya ketika dia
bertanding melawan Hong San kini dia pergunakan untuk berjaga diri, tidak menuruti
kemarahan hatinya sehingga dia dapat bertahan ketika Hong San mulai membalas dengan
desakan sulingnya. Sementara itu, biarpun beberapa kali pedangnya hampir terlepas dari
tangannya yang kadang seperti lumpuh kalau pedang itu bertemu suling, Liu Hwa tidak
pernah mundur dan dengan nekat ia membantu Lie Koan Tek tanpa memperdulikan lagi
keselamatan dirinya sendiri. Ia merasa yakin bahwa Lie Koan Tek adalah seorang
pendekar tulen, sedangkan pemuda yang bernama Can Hong San ini seorang penjahat
yang berbahaya sekali. Kiranya Can Hong San ini yang memimpin penyerbuan terhadap
Hek-houw-pang itu dan kini ia pun ingat. Can Hong San inilah yang telah merobohkan dan
membunuh suaminya, Kam Seng Hin! Maka iapun menyerang dengan mati-matian.
Namun, kini Hong San juga sudah mencabut pedangnya. Dia mempergunakan pedang
di tangan kanan dan suling di tangan kiri, dan desakan-desakannya membuat Lie Koan
Tek makin repot.
Pada saat itu terdengar bentakan nyaring, "Penjahat dari mana berani mengganggu
paman Lie Koan Tek?" Dan muncullah seorang wanita muda yang usianya sekitar
duapuluh empat tahun, wajahnya bulat berkulit putih, hidungnya mancung dan matanya
tajam. Gerakannya ringan bukan main dan begitu muncul, ia telah menggerakkan
sepasang pedangnya dan menyerang Hong San dengan cepat dan kuat!
Hong San terkejut sekali. Dia menangkis dengan pedangnya sambil mengerahkan
tenaga untuk membuat pedang kiri gadis itu patah atau terpental. Akan tetapi,
tangkisannya luput dan tubuh gadis itu sudah meloncat ke atas, bagaikan seekor burung
rajawali ia sudah menyerang lagi dengan tubuh menukik ke arah Hong San!
"Trang! Tranggg........!" Hong San menangkis dan terpaksa melangkah ke belakang.
Diam-diam gadis itupun terkejut karena tangkisan pemuda tampan itu membuat kedua
tangannya terasa panas dan tergetar hebat. Mengertilah ia mengapa pamannya, Lie Koan
Tek pendekar Siauw-lim pai itu tadi terdesak hebat, iapun turun dan menyerang lagi
dengan dahsyatnya, membantu Lie Koan Tek dan Liu Hwa yang juga sudah menyerang
lagi.
Lie Koan Tek terheran-heran, tidak mengenal gadis yang menyebutnya paman itu. Akan
tetapi dia tidak sempat banyak berpikir, hanya mencurahkan seluruh perhatiannya untuk
bersama gadis itu dan Liu Hwa mengeroyok Hong San. Ternyata kepandaian gadis yang
baru datang itu hebat pula, bahkan tidak kalah dahsyatnya dibandingkan kepandaian Lie
Koan Tek sendiri.
Biarpun belum tentu kalau dikeroyok tiga dia akan kalah, Hong San merasa tidak ada
gunanya untuk berkelahi terus. Gadis itu cukup lihai, dan kalau mereka itu nekat, diapun
mungkin akan terluka. Maka, setelah mendapatkan kesempatan, diapun meloncat jauh ke
belakang dan melarikan diri dengan cepat. Gadis itu hendak mengejar sambil berseru,
"Jangan lari !" akan tetapi Lie Koan Tek cepat mencegahnya.
"Nona, jangan kejar dia. Dia berbahaya!"
Gadis itu tidak jadi mengejar. Iapun agaknya tahu bahwa seorang diri saja, ia bukanlah
lawan pemuda tampan yang lihai tadi, maka iapun berhenti dan kini menghadap Lie Koan
Tek sambil memberi hormat.
"Paman, bertahun-tahun saya mencari paman tanpa hasil. Sekarang, secara kebetulan
kita dapat bertemu di sini!" katanya dengan nada suara girang.
"Nanti dulu, maafkan aku, nona. Akan tetapi, siapakah engkau?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Gadis itu memandang aneh. "Paman Lie Koan Tek lupa kepada saya? Saya Bi Lan,
paman, Kwa Bi Lan."
"Bi Lan......? Ah, Bi Lan, kiranya engkau ini?" Lie Koan Tek memandang dengan wajah
berseri dan girang. "Tentu saja aku lupa. Engkau sudah begini dewasa dan ilmu
kepandaianrau hebat sekali."
"Aih, paman terlalu memujiku. Siapakah enci ini, paman?" tanya Bi Lan sambil
menunjuk kepada Liu Hwa.
"Ia? Ah, ia ini adalah isteri mendiang ketua Hek-houw-pang di dusun Ta-bun-cung.
Panjang ceritanya, Bi Lan, dan......eh, engkau mencari siapakah, nyonya?" Koan Tek
mengalihkan pembicaraannya kepada Liu Hwa yang nampak kebingungan dan mencaricari
dengan pandang matanya.
"Saya mencari Siong Ki! Di mana dia? Siong Ki......! Siong Ki, di mana engkau.......?"
"Siapa Siong Ki?" tanya Koan Tek heran.
"Dia muridku, anak laki-laki berusia enam tahun, putera dari suheng suamiku yang juga
menjadi korban pembunuhan....." Liu Hwa mencari-cari dan kini dibantu oleh Koan Tek
dan diikuti pula oleh Bi Lan. Akan tetapi sia-sia saja usaha pencarian mereka. Siong Ki
lenyap dan tidak meninggalkan jejak. Melihat Liu Hwa bingung dan khawatir, Koan Tek
juga ikut merasa khawatir.
"Can Hong San itu jahat dan licik bukan main. Jangan-jangan dia yang menculik anak
itu dan membawanya lari."
Liu Hwa mengerutkan alisnya mengingat-ingat, lalu menggeleng kepalanya. "Kurasa
tidak begitu. Agaknya anak itu memang.......sengaja hendak meninggalkan saya, tai hiap.
Tadi, ketika pemuda itu muncul, sebelum tai-hiap datang pemuda itu menyebut-nyebut
nama tai-hiap sebagai pembunuh ayah Siong Ki. Oleh karena itu,ketika tai-hiap datang dan
membantuku, agaknya dia lalu diam-diam pergi meninggalkan aku. Dia anak yang cerdik
sekali, tai-hiap. Aku bertemu dengan dia di depan makam ayahnya dalam keadaan
pingsan, lalu kuajak dia sebagai muridku."
"Hemmm......." Lie Koan Tek menggumam marah kepada Hong San. "Hong San
memang
dapat melakukan kejahatan apa saja. Biar nanti aku yang membantumu mencari anak
itu, nyonya. Sekarang perkenalkan, ini keponakanku bernama Bi Lan, puteri dari enciku. Bi
Lan, ini adalah nyonya....... "
"Namaku Poa Liu Hwa, adik Bi Lan. Terima kasih atas pertolonganmu tadi sehingga
pemuda yang jahat sekali itu dapat diusir," kata Liu Hwa.
"Aih, enci jangan terlalu sungkan. Aku hanya kebetulan lewat dan melihat enci dan
paman didesak, maka aku tentu saja segera membantu. Masih untung ada paman dan
enci sendiri, kalau aku seorang diri harus melawannya, kurasa aku tidak akan mampu
menang."
"Akan tetapi kulihat ilmu kepandaianmu sudah maju pesat, Bi Lan, dan bukan
sepenuhnya ilmu silat Siauw-lim-pai. Oya, bagaimana dengan ibumu? Sekarang di
manakah ia tinggal?"
Ditanya tentang ibunya, Bi Lan menarik napas panjang. "Aih. paman. Ibu sudah
meninggal lima tahun lebih yang lalu."
"Ah, kasihan! Engkau menjadi yatim piatu..... "
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Karena kematian ibu itulah aku lalu pergi mencarimu, paman. Aku hidup sebatangkara
setelah ibu meninggal, dan satu-satunya keluarga hanyalah paman. Akan tetapi, sia-sia
aku mencari paman........ "
"Tentu saja. Aku ditangkap pemerintah dan dipenjarakan, bagaimana engkau dapat
menemukan aku? Lalu, bagaimana engkau sampai lewat di sini? Ceritakanlah
pengalamanmu, Bi Lan. Setelah itu, baru nanti kuceritakan semua pengalamanku dan
tentang nyonya ini."
Mereka lalu memilih tempat yang teduh di bawah sebatang pohon besar di dalam hutan
itu. Mereka duduk di atas batu dan Bi Lan menceritakan pengalamannya.
Kwa Bi Lan adalah seorang gadis Siauw-lim-pai pula, puteri tunggal dari kakak
perempuan Lie Koan Tek. Ibunya seorang janda karena ayahnya sejak ia kecil telah
meninggal dunia. Ketika ibunya meninggal dunia, Bi Lan menjadi sebatangkara. Ia lalu
meninggalkan rumahnya, bahkan menjual semua miliknya dan mulai merantau mencari
pamannya, satu-satunya keluarga yang ada. Namun, segala jerih payahnya sia-sia belaka
karena ia tidak pernah berhasil menemukan pamannya yang menjadi buruan pemerintah
karena Siauw-lim-pai dianggap sebagai pemberontak oleh pemerintah Kerajaan Sui yang
ketika itu belum jatuh.
"Setelah hampir putus-asa mencarimu, paman, pada suatu hari aku hampir celaka
menghadapi segerombolan perampok. Untung ada bintang penolong, yang kemudian
menjadi guruku. Dia adalah Sin-tiauw Liu Bhok Ki."
"Ah, dia seorang pendekar besar!" kata Lie Koan Tek. "Namanya terkenal sekali di dunia
persilatan."
"Aku menjadi muridnya, bahkan kemudian aku dijodohkan oleh suhu kepada seorang
muridnya yang ketika itu belum pernah kujumpai karena murid itu sudah turun gunung.
Karena suhu amat baik kepadaku, seolah menjadi pengganti orang tuaku, maka akupun
menurut saja, yakin bahwa suhu tentu telah mengatur sebaiknya untuk diriku. Akan
tetapi..... "
"Bagaimana selanjutnya, Bi Lan?" tanya Koan Tek yang melihat wajah gadis itu berubah
muram.
"Ternyata kemudian bahwa suhengku yang menjadi calon suamiku itu, yang ketika itu
sudah menyetujui, di luar tahu suhu telah menikah dengan seorang wanita lain.
Mendengar berita itu kemudian, suhu menjadi marah sekali, juga menjadi sakit hati. Akan
tetapi dia tidak mampu berbuat sesuatu, karena dia maklum bahwa ketika itu kepandaian
murid pertama itu sudah jauh lebih tinggi daripada kepandaiannya sendiri. Agaknya, kalau
tidak ada aku, suhu tentu telah membunuh diri. Dia merasa dikhianati, merasa tidak
dipandang dan hina oleh muridnya sendiri yang amat disayang dan dibanggakan. Aku
merasa kasihan sekali, aku menangis dan menderita batin bersama suhu. Sejak mudanya
suhu sudah banyak menderita karena ditinggal isterinya yang tercinta.! Suhu tidak
mempunyai anak, tidak mempunyai siapa-siapa. Akhirnya......sudah kehendak Thian
agaknya, kami........maksudku, suhu dan aku....... kami menikah dan menjadi suami isteri."
Gadis itu menghentikan ceritanya sambil menundukkan muka. Koan Tek memandang
heran, akan tetapi tidak sampai hati untuk memberi komentar. Lima tahun yang lalu,
pikirnya. Tentu keponakannya ini baru berusia sembilanbelas tahun, dan dia mendengar
bahwa Liu Bhok Ki yang berjuluk Sin-tiauw (Rajawali Sakti) itu jauh lebih tua darinya,
mungkin sekarang sudah mendekati tujuhpuluh tahun, dan ketika bertemu dengan
keponakannya tentu usianya sudah enampuluh tahun lebih!
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Llu Hwa yang juga ikut mendengarkan, tidak merasakan sesuatu yang ganjil karena ia
hanya pernah mendengar nama Sin-tiauw Liu Bhok Ki sebagai seorang datuk persilatan
yang lihai.
Ketika akhirnya Bi Lan mengangkat mukanya, Koan Tek telah dapat menguasai hatinya
dan wajahnya tidak membayangkan sesuatu. Legalah hati Bi Lan dan iapun melanjutkan
dengan suara yang bernada sedih.
"Setelah kami menikah, aku merasa hidupku berbahagia sekali, paman. Dia amat baik
kepadaku, dan dia kuanggap sebagai guru, orang tua, dan suami yang amat kucinta. Akan
tetapi, agaknya luka yang dideritanya karena ulah muridnya yang mengingkari janji itu
tidak pernah dapat diobati. Dia tetap saja menderita, dan akhirnya, setelah menikah
denganku selama dua tahun lebih, guruku dan suamiku itu meninggal dunia karena sakit
dalam hatinya."
Bi Lan berhenti dan biarpun ia tidak menangis namun kedua matanya basah dan
punggung tangannya mengusap beberapa butir air mata.
"Ah. Rajawali Sakti itu telah meninggal dunia?" Lie Koan Tek berseru perlahan dan
memandang kepada keponakannya dengan penuh perasaan iba.
Tiba-tiba wajah yang menunduk itu terangkat dan sepasang mata Bi Lan mengeluarkan
sinar mencorong, dan kedua tangannya dikepal. "Ini semua gara-gara Si Han Beng! Aku
akan pergi mencari nya dan dia harus membayar kematian suamiku, guruku dan orang
tuaku itu dengan nyawa!"
"Bi Lan!" Koan Tek berseru kaget. "Apa maksudmu? Si Han Beng? Kaumaksudkan
Huang-ho Sin-liong (Naga Sakti Sungai Kuning)? Ada apa pula dengan dia?!"
"Dialah suhengku itu! Dialah murid suhu dan suamiku itu!"
"Akan tetapi.....Huang-ho Sin-liong adalah seorang pendekar sakti yang ilmu
kepandaiannya amat tinggi!"
"Aku tidak perduli, dan tidak takut. Aku rela mati di tangannya untuk membela
kematian suamiku juga guruku!" kata Bi Lan dan kini sikapnya amat keras.
"Dan dia terkenal sebagai seorang pendekar budiman yang selalu membela kebenaran
dan keadilan. Bi Lan, ingatlah dan jangan menurutkan perasaan!" kata pula pamannya.
"Hemm, paman mengira bahwa aku sakit hati karena dia membatalkan ikatan
perjodohan itu? Sama sekali tidak, paman! Ketika ikatan perjodohan itu dilakukan oleh
suhu, aku masih belum mengenal Si Han Beng. Aku tidak atau belum mempunyai
perasaan cinta kepadanya. Apalagi setelah aku menjadi isteri suhu. Cintaku hanya untuk
suamiku seorang! Dan suamiku yang bertubuh sehat dan kuat itu tentu belum mati kalau
hatinya tidak dirusak oleh kemurtadan Si Han Beng!"
"Bi Lan, bersabarlah, ingatlah bahwa engkau hanya terdorong oleh perasaan dendam
yang timbul dari kedukaan. Kematian setiap manusia berada di tangan Thian, engkau tidak
boleh mencari Si Han Beng untuk membalas dendam kematian gurumu.....eh, suamimu!"
"Tidak, paman. Aku harus pergi mencarinya dan mengadu nyawa dengannya. Aku
sudah bersumpah di depan makam suamiku!" Wanita muda itu meloncat dan memandang
kepada pamannya dengan sinar mata mencorong. "Paman atau siapapun juga tidak
berhak melarangku. Selamat tinggal, paman!" Dan iapun meloncat dan berlari cepat
meninggalkan tempat itu.
"Bi Lan.....!" Lie Koan Tek hendak mengejar.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tidak ada gunanya dikejar. Ia takkan mau membatalkan niatnya," kata Liu Hwa dan
Koan Tek tahu akan hal ini maka diapun membatalkan niatnya untuk mengejar, duduk
kembali di atas batu di depan Liu Hwa dan menghela napas panjang menggelenggelengkan
kepalanya.
"Bi Lan memiliki kekerasan hati yang luar biasa. Aku dapat melihat pada pandang
matanya," kata pula Liu Hwa yang merasa kasihan kepada penolongnya itu.
Kembali Koan Tek menghela napas panjang. "Seingatku, Bi Lan adalah seorang gadis
yang lembut hati. Aku tahu, perubahan pada dirinya itu pertama karena kedukaan yang
mendalam, kedua karena agaknya watak suaminya telah menular kepadanya. Aku
mendengar bahwa Sin tiauw Liu Bhok Ki adalah seorang pendekar yang berhati baja, keras
dan sukar diluluhkan. Aih, apa yang akan terjadi nanti kalau sampai ia bertemu dengan
Huang-ho Sin-liong?"
"Tai-hiap, menurut apa yang kudengar, pendekar sakti Si Han Beng adalah seorang
pendekar yang berhati budiman dan lembut. Siapa tahu dia akan bisa menundukkan
kekerasan hati Bi Lan sehingga tidak perlu terjadi perkelahian di antara mereka."
"Mudah-mudahan begitu. Sekarang kita bicara tentang dirimu sendiri, nyonya
Kam......."
"Tay-hiap, harap jangan menyebutku nyonya Kam. Suamiku meninggal dunia dan
sebutan itu hanya mengingatkan aku kepadanya. Namaku Poa Liu Hwa dan tai-hiap boleh
menyebut namaku saja."
Lie Koan Tek menahan senyumnya, senyum gembira. "Baiklah, akan tetapi engkaupun
jangan menyebutku tai-hiap. Sebut saja namaku, Lie Koan Tek."
Liu Hwa memandang wajah pendekar itu dengan hati terharu. "Engkau penolongku
yang budiman dan di dekatmu aku merasa aman seolah berada di dekat seorang kakak
yang baik. Biarlah kusebut engkau Lie-toako (kakak Lie)."
"Baik sekali, adik Liu Hwa. Nah, sekarang, katakan. Kenapa engkau meninggalkan
dusun Ta-bun-cung dengan mengambil jalan lain dan tidak memberitahu kepadaku yang
menantimu di luar pintu gerbang?"
Liu Hwa menundukkan mukanya yang berubah merah. Ia merasa malu sekali. Ia
menghindarkan diri dari pendekar ini sehingga ia bertemu orang jahat dan kembali
pendekar ini yang menyelamatkannya, bahkan hampir berkorban nyawa kalau tidak
muncul keponakan pendekar ini.
"Tai-hiap......eh, toako. Sesungguhnya, aku sengaja mengambil jalan ini untuk
menghindarkan pertemuan denganmu.......maafkan aku, toako."
Lie Koan Tek mengerutkan alisnya. "Ehh? Kenapa, Hwa-moi (adik Hwa)?"
Makin merah wajah Liu Hwa mendengar sebutan "adik Hwa" yang demikian lembut.
"Maaf, toako. Aku merasa betapa aku telah banyak merepotkanmu, bagaimana mungkin
aku berani membuat toako menjadi semakin sibuk untuk melindungiku terus? Bagaimana
aku akan mampu membalas budimu yang bertumpuk-tumpuk? Siapa tahu, di sini aku
bertemu dengan penjahat keji itu dan kembali engkau yang telah menolongku. Toako,
maafkan aku...... "
Lie Koan Tek menarik napas panjang. Dia dapat mengerti dan sikap itu bahkan
membuat nyonya muda ini menjadi semakin terpuji. 'Hwa-moi, kenapa engkau mempunyai
anggapan bahwa engkau merepotkan aku? Dan mengapa pula tidak mungkin aku menjadi
pelindungmu selamanya? Aku sanggup melindungimu selamanya, Hwa-moi."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pendekar itu menghentikan ucapannya dengan kaget, karena tanpa disengaja dia telah
membongkar rahasia hatinya sendiri. Wanita itupun dapat merasakan apa yang tersirat
dalam kata-kata itu, jantungnya berdebar keras, dan ia merasa berdosa terhadap
suaminya. Baru saja beberapa hari, belum sebulan, ia ditinggal mati suaminya dan
sekarang sudah ada pria yang menyatakan perasaan tertarik kepadanya! Ia juga terkejut
bukan main, sama sekali tidak pernah menyangka bahwa pendekar perkasa yang dikagumi
itu diam-diam ternyata mengandung perasaan cinta kepadanya.
"Taihiap......?" Ia berkata lirih sambil terbelalak, lupa lagi akan sebutan kakak.
"Aku......aku tidak bermaksud buruk, Hwa-moi. Maafkan kata-kataku kalau mengejutkan
hatimu. Sudahlah, aku menerima alasanmu tadi. Akan tetapi, bukankah engkau katakan
bahwa engkau hendak mencari anakmu? Tadinya kusangka Siong Ki itu anak yang
kaucari-cari."
Ucapan ini mengingatkan kembali Liu Hwa kepada anaknya dan kepada Siong Ki
sehingga rasa kaget dan sungkannya terusir. "Siong Ki bukan anakku, toako. Sudah
kukatakan tadi, aku bertemu dengannya di depan makam ayahnya. Ayahnya adalah The Ci
Kok, suheng dari mendiang suamiku. Melihat dia sebatang kara, yatim piatu, maka aku
ingin mengajaknya pergi dan mengakui sebagai murid. Adapun anakku, Cin Cin, seorang
anak perempuan, telah diajak pergi oleh Lai Kun, sute dari suamiku, atas pesan kakek Coa
Song."
"Dibawa pergi? Kemana, Hwa-moi?"
"Ke dusun Hong-cun di tepi Sungai Huang-ho untuk diserahkan kepada Huang ho Sinliong
Si Han Beng, disertai surat dari kakek Coa Song agar Cin Cin dapat diterima sebagai
murid pendekar itu."
"Ah, kalau begitu bagus sekali. Anakmu tentu akan menjadi seorang pendekar wanita
yang hebat kelak kalau ia dapat menjadi murid Huang-ho Sin-liong!" seru Lie Koan Tek
dengan girang. "Lalu, apa, kehendakmu sekarang, Hwa-moi. Tadinya bersama Siong Ki,
engkau hendak pergi ke manakah?"
"Aku hendak menyusul Cin Cin."
"Apa? Engkau hendak minta anakmu agar tidak menjadi murid pendekar sakti itu?"
"Bukan begitu, toako. Akupun senang sekali mendengar bahwa Cin Cin diantar paman
gurunya untuk menjadi murid Si Tai-hiap. Akan tetapi.........sekarang aku hanya
mempunyai ia seorang, tai-hiap. Bagaimana aku dapat berpisah darinya? Aku hanya akan
menjenguknya, dan aku sendiri yang akan menyerahkan dan menitipkan anakku kepada
keluarga Si Tai-hiap, kemudian aku akan tinggal di dusun itu, bekerja apa saja di sana,
pokoknya aku tidak jauh dari anakku dan setiap waktu dapat menengoknya. "
Lie Koan Tek mengangguk-angguk. "Memang kukira sebaiknya begitu, Hwa-moi. Nah,
karena tempat tinggal Huang-ho Sin-liong amat jauh dari sini, dan kini perjalanan amat
tidak aman dan banyak orang jabat, mari kuantar engkau sampai dapat bertemu dengan
puterimu."
Biarpun hatinya merasa sungkan sekali, akan tetapi terpaksa Liu Hwa menyambut
penawaran itu dengan hati girang. Kalau ia melakukan perjalanan menyusul puterinya
bersama pendekar ini, ia akan merasa aman, dan juga tidak akan sesat di jalan.
"Terima kasih. Lie-toako. Engkau begini baik kepadaku, aku tidak mungkin dapat
membalas semua budi kebaikanmu. Biarlah Thian yang akan membalasnya, toako. Biarlah
kelak dalam penjelmaan yang lain aku akan menjadi pelayanmu," katanya terharu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aih, Hwa-moi, lupakan saja semua itu. Aku tidak mengharapkan balasan, juga tidak
merasa menolongmu. Memang akupun ingin sekali bertemu dengan pendekar sakti yang
kukagumi itu. Mari kita berangkat."
Setelah mereka berangkat, baru Liu Hwa teringat bahwa sekantung uang yang tadinya
ia terima dari Siong Ki, ia titipkan kepada anak itu dan ketika pergi, agaknya anak itu
membawa pergi pula uang yang dia berikan kepada subonya. Ia tidak mempunyai apa-apa
lagi, bahkan pakaianpun hanya yang menempel pada tubuhnya.! Tentu saja ia merasa
canggung dan sungkan bukan main. Apalagi setelah mereka melewati sebuah kota, Koan
Tek yang berpengalaman dan bijaksana itu, tanpa bertanya sudah mengetahui
keadaannya dan pendekar itu mengajaknya ke toko dan membelikan beberapa potong
pakaian untuknya!.
Hampir Liu Hwa menangis saking girang dan terharunya mendapatkan bekal ganti
pakaian yang amat dibutuhkannya itu. Dan disepanjang perjalanan, seperti telah
diduganya, Lie Koan Tek selalu berlaku sopan dan lembut. Setiap kali menginap di rumah
penginapan, pendekar ini selalu menyewa dua buah kamar yang berpisah, walaupun
berdekatan. Tak pernah sedikitpun pendekar Siauw-lim-pai itu memperlihatkan sikap
kurang ajar. Kalaupun ada tanda-tanda bahwa pendekar itu tertarik kepadanya, maka hal
itu hanya nampak pada pandang matanya yang kadang seperti orang terpesona, dan pada
sikapnya yang lemah lembut. Diam-diam, sebagai seorang wanita yang berperasaan peka,
Liu Hwa mengerti bahwa pendekar itu jatuh hati kepadanya, atau setidaknya menaruh
perhatian besar sekali kepadanya. Hal ini membuat ia merasa terharu sekali, akan tetapi
juga bingung dan selagi tidur sendiri di waktu malam, ia suka menangis dan meratap
kepada mendiang suaminya. Ia seorang wanita yang cantik dan sehat, usianya baru
tigapuluh tahun. Mungkinkah ia akan menyiksa diri, menjanda selama hidupnya?
* * *
"Susiok, katanya susiok hendak membawaku kepada ibu. Mana ibu? Kenapa kita belum
juga tiba di tempat ibu? Kita sudah melakukan perjalanan selama berhari-hari! Paman,
jangan bohongi aku! Mana ib, susiok (paman guru)?"
Anak itu kini mulai merengek dan hampir menangis. Ia seorang anak perempuan
berusia lima tahun yang manis. Akan tetapi pada saat itu ia nampak marah, sedih dan juga
kecewa. Ia adalah Kam Cin yang diajak Lai Kun meninggalkan dusun Ta-bun-cung,
memenuhi pesan kakek Coa Song. Amat sukar membujuk Kam Cin untuk ikut bersamanya,
akan tetapi Lai Kun mempunyai akal. Setelah ia mengatakan bahwa dia mengajak anak itu
untuk mencari dan menyusul ibunya yang menghilang pada malam terjadinya penyerbuan
penjahat itu, tentu saja Kam Cin menjadi girang sekali dan seketika ia menyatakan setuju.
Kini Lai Kun menghadapi anak yang mulai rewel dengan alis berkerut. Sebagai sute dari
ayah anak itu, mendiang Kam Seng Hin, dia mengenal benar watak Kam Cin. Seorang
anak yang dapat menjadi manis sekali, akan tetapi kalau sudah marah, juga menjadi anak
yang rewel dan sulit diatur! Mereka sudah melakukan perjalanan selama sepuluh hari, dan
mulai pada hari kelima saja Kam Cin sudah selalu merengek dan marah kepadanya.
"Sabarlah, Cin Cin. Tempat ibumu jauh sekali dan kita belum sampai, terpaksa
bermalam di rumah penginapan ini. Mari kita makan. Lihat, masakan yang kupesan ini
enak sekali, bukan? Mari kita makan, lalu tidur dan besok pagi-pagi kita lanjutkan
perjalanan!" Kata pria itu dengan suara membujuk sambil menyodorkan mangkok dan
sumpit ke arah anak yang sedang marah itu. Dia seorang pria berusia empatpuluh tahun,
kurus jangkung dengan hidung agak besar dan mata kecil. Dia adalah Lai Kun, murid Hekhouw
pang, sute mendiang Kam Seng Hin. Karena diapun masih membujang, dan tidak
mempunyai keluarga lagi, maka setelah terjadi penyerbuan para penjahat yang membasmi
Hek-houw-pang itu, Lai Kun tentu saja tidak betah lagi tinggal di Ta-bun-cung. Maka,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ketika menerima tugas dari kakek Coa Song, untuk mengantar murid keponakan itu
kepada Huang-ho Sin-liong di dusun Hong-cun, dia merasa gembira sekali. Pertama, dia
akan meninggalkan dusun Ta-bun-cung yang kini nampak menyedihkan itu, apa lagi Hekhouw-
pang sudah dibubarkan, dan kedua dia akan bertemu dengan pendekar sakti Si Han
Beng yang sudah lama didengar nama besarnya dan dikaguminya itu. Tak disangkanya,
baru juga setengah perjalanan, Cin Cin sudah mulai rewel dan kini malah mogok makan.
"Tidak, aku tidak lapar! Susiok makan saja sendiri!" kata Cin Cin sambi mendorong
kembali mangkok nasi itu. "Aku mau tidur!" Anak itu lalu turun dari bangku dan lari ke
pembaringan, langsung saja ia meloncat ke atas pembaringan, menghadap ke dinding.
Lai Kun mengerutkan alisnya memandang ke arah murid keponakan itu dan menghela
napas sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Sudah beberapa hari ini dia selalu jengkel
menghadapi Cin Cin dan mulai dia menyesali tugasnya yang ternyata tidak menyenangkan
ini. Beberapa kali bahkan dia sudah membentak Cin Cin kalau terlalu rewel. Akan tetapi
anak ini memang keras dan sukar diatur. Dihadapi dengan sikap halus, tetap marah. Kalau
dikasari , bertambah marah! Sulit memang! Dia mengangkat ke dua pundaknya dan
melanjutkan makan sendiri. Sejak siang tadi, Cin Cin tidak mau makan. Hanya pagi tadi
saja makan bubur semangkuk. Anak itu memang bandelnya bukan kepalang.
Tiba-tiba Cin Cin membalik sedikit dan menengok kepadanya. Lai Kun sudah merasa
girang karena mengira anak itu mulai kelaparan dan mau mengubah sikapnya, mau
makan. Akan tetapi Cin Cin yang kedua matanya merah karena tangis yang ditahan-tahan
itu berkata ketus. "Susiok, kalau besok kita belum tiba di tempat ibu. Jelas bahwa engkau
berbohong dan aku tidak mau lagi melakukan perjalanan bersamamu!"
Makin mendalam kerut di antara alis Lai Kun. Hatinya mulai panas oleh kejengkelan
melihat sikap menantang anak itu. "Hemm. lalu apa yang akan kau lakukan kalau engkau
tidak mau melakukan perjalanan bersamaku?" tanyanya menahan marah.
"Tidak perlu susiok tahu! Pendeknya, aku akan mencari sendiri ibuku!"
Lai Kun menggebrak meja di depannya sehingga mangkok piring berdentingan. "Anak
bandel! Dengar kau baik-baik. Kaukira aku kesenangan mengantarmu? Aku hanya
mentaati perintah kakek Coa Song untuk membawamu kepada Huang-ho Sin-liong Si Han
Beng, kautahu? Kita sedang melakukan perjalanan ke sana! Dan engkau harus mentaati
pesan kakek Coa Song!"
Cin Cin melompat turun dari pembaringan, berdiri memandang wajah Lai Kun dengan
marah. "Nah, benar saja! Susiok telah bohong kepadaku! Aku tidak mau pergi ke
manapun! Aku hendak mencari ibuku. Bawa aku kembali ke Ta-bun-cung, aku mau
mencari ibuku!"
Melihat anak itu berteriak-teriak marah, hampir saja Lai Kun menamparnya. Akan tetapi
dia teringat dan menahan kemarahannya. Mukanya merah sekali dan diapun mengangguk.
"Baiklah, besok pagi kita pulang!" katanya singkat. Agaknya Cin Cin juga puas dengan
keputusan itu dan iapun kini mau duduk menghadapi makanan di atas meja. Ia mengambil
nasi dan sayur, mulai makan. Agaknya timbul semangat anak itu ketika akan diajak
pulang!
Akan tetapi Lai Kun sudah marah sekali maka diapun mendiamkan saja. Dia merasa
bingung. Bagaimana dia dapat mengajak anak itu pulang ke Ta-bun-cung setelah
melakukan perjalanan setengahnya menuju ke dusun Hong Cun? Dan dia tidak ingin
pulang ke dusun Ta-bun-cung!
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sehabis makan dan setelah pelayan menyingkirkan mangkok piring, dia hanya berkata
singkat kepada Cin Cin. "Kau tidurlah, aku hendak jalan-jalan dulu. Besok pagi-pagi kita
berangkat!"
"Pulang?" Cin Cin menegas.
"Ya, pulang!" jawab Lai Kun singkat, lalu dia keluar dari kamar, menutupkan daun pintu
kamar itu dari luar. Dengan hati mengkal dia lalu berjalan-jalan di sepanjang jalan raya
kota itu. Kota Ji-goan merupakan kota yang cukup besar, terletak di sebelah utara Sungai
Huang-ho, sedangkan Lok-yang, kota raja, terletak tidak terlalu jauh dari pantai selatan
Sungai Kuning itu. Bahkan penyeberangan sungai dari utara ke selatan dan sebaliknya
berada di kota Ji-goan, maka tentu saja kota yang menjadi pusat lalu-lintas ke kota raja
itu cukup besar, mempunyai banyak losmen dan rumah makan.
Sudah lazim bahwa jika sebuah kota dikunjungi banyak tamu, maka selain perdagangan
menjadi ramai, juga usaha hiburan berkembang biak dengan cepat sekali. Para tamu itu
membutuhkan hiburan dan mereka berani mengeluarkan banyak uang untuk mendapatkan
kesenangan. Apa lagi mereka adalah pedagang-pedagang yang mempunyai uang. Setelah
memperoleh keuntungan, mereka tidak sayang menghamburkan sebagian kecil
keuntungannya di rumah-rumah judi dan rumah pelesir.
Karena dia tidak mengenal jalan, tanpa disadari Lai Kun memasuki lorong yang terkenal
di kota itu sebagai lorong pusat tempat hiburan. Dia melihat rumah-rumah judi akan tetapi
tidak tertarik. Dia sedang mengkal, sedang marah karena kerewelan Cin Cin. Ketika
melihat sebuah rumah minum yang dihias indah, dia tertarik. Dipesannya arak dan kueh
kering, lalu diapun minum untuk menghilangkan rasa jengkelnya.
Kehadirannya sejak tadi diikuti sepasang mata yang jeli, mata seorang wanita muda
yang wajahnya dirias cantik, sikapnya genit dan wanita itu memang seorang pelacur yang
sedang mengintai korban di rumah makan itu. Melihat Lal Kun minum-minum seorang diri,
dan nampak jelas bahwa pria ini adalah orang luar kota, pelacur itu melihat,seorang calon
korban yang akan menguntungkan dirinya. Ia menanti sampai Lai Kun menghabiskan
seguci kecil arak dan kepalanya sudah agak bergoyang-goyang.
Ketika Lai Kun minta tambah arak, pelacur itu menghadang pelayan yang datang
membawakan arak.
"Biar aku yang mengantarkan kepadanya," bisik pelacur yang dikenal dengan nama Sui
Su itu. Pelayan itu tersenyum. Kalau pelacur itu berhasil, dia pasti akan menerima
imbalannya nanti. Diberikannya guci arak itu kepada Sui Su yang dengan langkah gontai,
bibir tersenyum-senyum dan sikap memikat membawa guci arak itu kepada meja Lai Kun.
"Silakan, tuan. Ini tambahan araknya," katanya dengan suara merdu.
Lai Kun memandang kepadanya dengan alis berkerut. "Eh? Siapakah nona....?"
Sui Su tersenyum sehingga nampak giginya berkilat di balik sepasang bibir yang merah,
akan tetapi dengan luwes ia menutupi mulutnya dengan saputangan sutera. "Nama saya
Sui Su, tuan dan saya menjadi pelayan tuan untuk malam ini....." Matanya mengerling
tajam dan penuh daya pikat.
Lai Kun sudah setengah mabok. Akan tetapi dia bukan anak kecil. Dia seorang laki-laki
berusia empatpuluh tahun dan biarpun sudah setengah mabok, namun dia mengerti
bahwa dia berhadapan dengan seorang pelacur yang memiliki wajah cukup cantik dan
bentuk tubuh yang menggiurkan.
"Hem, maaf, nona. Aku tidak ingin melacur malam ini......" katanya akan tetapi dia tidak
menolak ketika wanita itu menuangkan arak dari guci ke dalam cawan araknya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sui Su pura-pura marah. "Aih, jangan menghina, tuan. Saya bukan pelacur! Saya
memang suka menghibur tamu yang kesepian dan yang sedang menderita sedih, akan
tetapi saya bukan pelacur murahan!"
Lai Kun tersenyum sedikit dan minum araknya. Bukan pelacur murahan tentu pelacur
mahalan, pikirnya. Akan tetapi dia memang sedang jengkel, membutuhkan hiburan dan
agaknya wanita ini amat ramah sikapnya, menyenangkan kalau diajak bercakap-cakap.
"Duduklah, nona. Mungkin aku membutuhkan teman bercakap-cakap malam ini."
Wanita itu duduk di bangku, dekat dengannya dan melayaninya makan kue kering dan
minum arak. Dan memang benar dugaan Lai Kun, wanita itu amat pandai bicara, pandai
bercerita dan pengetahuan umumnya juga banyak. Pandai bercerita tentang peristiwaperistiwa
penting yang terjadi di kota Ji-goan.
Karena terpikat oleh gaya bicara Sui Su yang ramah, Lai Kun mempergunakan
kesempatan itu untuk bersenang-senang. Dari kakek Coa Song, dia menerima sekantung
emas yang kelak harus diserahkan kepada pendekar sakti Si Han Beng, sebagai biaya
hidup Cin Cin kalau menjadi murid pendekar itu agar jangan memberatkan penanggungan
keluarga Si Naga Sakti Sungai Kuning. Akan tetapi kemurungan dan kemarahannya
terhadap Cin Cin membuat murid Hek-houw-pang ini lupa diri, bahkan dia agaknya seperti
sengaja hendak menghamburkan uang itu untuk menumpahkan kemarahannya terhadap
Cin Cin.
Dan Sui Su memang seorang wanita yang berpengalaman dan cerdik. Dari cara Lai Kun
yang sudah setengah mabok itu membayar harga makanan dan minuman secara royal,
iapun gembira sekali dan tahu bahwa dugaannya benar. Korbannya ini memang golongan
"kakap", maka iapun memperhebat usahanya untuk menjatuhkan hati Lai-kun dan
akhirnya ia berhasil membujuk Lai Kun untuk mengantarnya pulang!
Dengan senang hati Lai Kun mengantarnya, dan ternyata bahwa tempat tinggal Sui Su
adalah sebuah rumah pelesir yang cukup terkenal di kota itu, yaitu rumah pelesir Ang-hwa
(Bunga Merah). Karena sudah mabok arak dan mabok kecantikan dan rayuan maut Sui Su,
Lai Kun tidak memperdulikan banyaknya tamu dan para wanita muda yang cantik yang
memenuhi ruangan tamu yang luas itu. Juga dia acuh saja ketika seorang wanita berusia
limapuluh tahun yang bertubuh gendut menyambutnya dengan ramah sekali. Samarsamar
dia mendengar bahwa Sui Su memperkenalkan wanita itu sebagai Cia Ma, yang
diperkenalkan sebagai ibu angkatnya!
Tentu saja Cia Ma ini adalah sang mucikari, pemilik dan pengurus rumah pelesir itu
yang tersenyum-senyum melihat Sui Su mendapatkan seorang korban. Ini berarti rejeki
baginya, tentu saja!
Lai Kun, biarpun usianya sudah empatpuluh tahun, pengalamannya dalam pergaulan
dengan wanita tidaklah terlalu banyak, maka mudah saja dia jatuh oleh Sui Su yang
pandai dan berpengalaman itu. Untuk beberapa jam lamanya, dia lupa diri dan dapat
mereguk kesenangan, merasa terhibur dan lupa akan segala kemurungan hatinya tadi.
Namun, setelah semua itu lewat, dia teringat lagi kepada Cin Cin yang ditinggalkannya di
rumah penginapan, teringat betapa besok pagi-pagi anak itu tentu akan menagih janji dan
akan marah-marah lagi. Maka, teringat akan ini, Lai Kun kembali menjadi murung, bangkit
dan duduk di tepi pembaringan, tidak lagi menengok kepada Sui Su yang baru saja
melayaninya dan membuat dia merasa senang dan terhibur. Melihat ini, Sui Su
memandang penuh perhatian, ikut bangkit dan merangkul dengan sikap manja.
"Lai-toako (kakak Lai), engkau kenapakah? Mengapa engkau tiba-tiba saja menjadi
murung? Sejak engkau minum seorang diri di rumah makan, aku sudah melihat engkau
murung dan kelihatan marah. Tadi engkau dapat melupakan semua kemurunganmu, akan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tetapi sekarang kembali engkau murung. Toako yang baik, apakah yang menyebabkan
engkau murung? Ceritakan kepada Sui Su, pasti aku akan dapat menghiburmu!"
Lai Kun menghela napas panjang. Teringat akan tugasnya, teringat akan kerewelan Cin
Cin, dia merasa penasaran dan jengkel sekali dan dia memang memerlukan seseorang
untuk menumpahkan semua rasa penasaran di hatinya. Maka, dia lalu menceritakan
semua itu kepada Sui Su. Dianggapnya bahwa Sui Su adalah seorang wanita yang baik
sekali, yang amat mencintanya! Demikianlah bodohnya pria kalau sudah berhadapan
dengan wanita yang pandai mengambil hatinya. Betapapun gagahnya seorang pria, sekali
berhadapan dengan wanita yang mampu menjatuhkan hatinya, dia akan bertekuk lutut
dan menyerah!
Lai Kun tidak menyembunyikan sesuatu, mengharapkan nasihat dari wanita itu.
Diceritakannya tentang Hek-houw-pang yang dibasmi penjahat-penjahat lihai; tentang
kematian para pimpinan Hek-houw pang, kemudian tentang tugasnya mengajak Cin Cin
pergi ke Hong-cun dan tentang kerewelan Cin Cin yang membuat dia pusing sekali.
Setelah Lai Kun mengakhiri ceritanya, Sui Su merangkulnya dan tersenyum, akan tetapi
suaranya terdengar sungguh-sungguh ketika ia bertanya, "Lai-toako, apakah anak
perempuan itu cantik? Dan berapa usianya?"
"Usianya baru lima tahun, akan tetapi ia memang seorang anak yang cantik mungil,
akan tetapi keras hati dan keras kepala seperti setan!" Lai Kun menjawab.
"Bagus kalau ia cantik, akan tetapi sayang usianya baru lima tahun. Toako, engkau tadi
berkata bahwa engkau hidup sebatangkara dan tidak ingin kembali lagi ke Ta-bun-cung,
dan bahwa Hek-houw-pang sudah dibubarkan. Tentu engkau sudah tidak ingin lagi
kembali ke sana, bukan?"
Lai Kun menggelengkan kepalanya. "Untuk apa aku kembali ke sana? Sudah tidak ada
apa-apanya yang menarik kecuali kenangan pahit."
"Nah, kalau begitu, mengapa susah-susah engkau hendak mengantar Cin Cin ke tempat
jauh, sedangkan anak itu rewel dan membuatmu pusing? Kenapa tidak mempergunakan
kesempatan yang tadinya menjengkelkan ini berubah menjadi menguntungkan dan
menyenangkan? Engkau akan terbebas dari pada kejengkelan, dan akan mendapatkan
keuntungkan besar."
"Eh? Apa maksudmu, Sui Su?"
"Dengar baik-baik, toako. Ibu angkatku, Cia Ma, tidak mempunyai anak kandung dan ia
ingin sekali mengangkat anak perempuan yang mungil. Biarpun ia sudah mempunyai
beberapa orang anak angkat, akan tetapi mereka sudah dewasa dan Cia Ma merasa tidak
senang. Ia ingin merawat dan mendidik seorang anak angkat yang masih kecil. Nah, kau
serahkan Cin Cin itu kepada Cia Ma, anak itu akan berada di tangan yang penuh kasih
sayang, akan dididik menjadi seorang wanita yang pandai dengan segala pekerjaan
wanita, dan kelak akan memperoleh jodoh seorang pria yang baik-baik, kalau tidak
bangsawan tinggi tentu hartawan besar. Dan sebagai pengganti uang lelah, kalau benar
anak itu cantik jelita, engkau akan menerima im balan sedikitnya seratus tail perak.! Kalau
lebih cantik dari pada yang kuduga, mungkin lebih dari itu!"
"Ahhh......?" Lai Kun terbelalak dan kalau bukan Sui Su yang bicara, dia tentu marah
sekali mendengar usul untuk "menjual" Cin Cin itu. Akan tetapi, dia sudah terpengaruh
oleh Sui Su yang dianggapnya amat baik, maka usul itu menjadi bahan pertimbangannya.
"Tapi.....hal itu tak dapat kulakukan," akhirnya dia berkata.
"Kenapa, toako? Apakah usulku itu tidak amat baik?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kalau kelak hal ini diketahui orang, tentu aku dipersalahkan."
"Mana mungkin? Engkau tidak menyia-nyiakan Cin Cin, bahkan menyerahkannya ke
tangan orang yang benar-benar dapat merawat dan mendidiknya. Mereka bahkan akan
berterima kasih kepadamu, toako."
"Akan tetapi, menurut kakek Coa Song, Cin Cin akan diserahkan kepada seorang
pendekar sakti untuk menjadi muridnya."
"Aihh, toako. Cin Cin seorang anak perempuan, dan cantik pula menurut ceritamu.
Betapa sayangnya seorang wanita cantik kelak menjadi tukang pukul, galak, menjadi
pembunuh dan tukang berkelahi! Sayang kulitnya yang putih halus menjadi kasar dan
keras. Tidakkah seorang wanita lebih baik dan menyenangkan kalau menjadi wanita
sepenuhnya, penuh kelembutan, kehangatan, penuh dengan kemesraan dan pandai dalam
hal kesenian dan kebudayaan, bukan menjadi tukang berkelahi yang mengerikan?"
Lai Kun tersenyum. Percuma bicara dengan seorang wanita yang sama sekali tidak
mengerti silat, tentang perlunya seorang wanita menjadi pendekar. Akan tetapi kini
hatinya tertarik. Kalau Cin Cin diserahkan kepada tangan yang baik, yang akan
mendidiknya dan merawatnya baik-baik sehingga kelak Cin Cin menjadi seorang wanita
yang pandai dan berguna, berarti dia telah melakukan usaha yang baik untuk puteri
suhengnya itu! Dan dia tidak perlu pusing menghadapi kerewelan Cin Cin yang berkeras
minta pulang karena ingin mencari ibunya, tidak mau diajak menghadap Huang-ho Sinliong.
Ditambah pula dia mendapat seratus tail perak yang dapat dia pergunakan sebagai
modal kerja atau berdagang!
Jilid 6
Apakah engkau berani menjamin bahwa Cin Cin akan diperlakukan dan dirawat dengan
baik oleh Cia Ma?"
Melihat pancingannya berhasil, Sui Su menjadi girang sekali. Kalau jual beli itu jadi, ia
tentu Mendapat imbalan dari Cia Ma! "Tentu saja, kujamin dengan nyawaku, toako! Kau
kira aku ini orang yang akan diam saja kalau melihat anak perempuan itu diperlakukan
tidak baik? Aku yang akan menjaga dan melindunginyal Akan tetapi, kalau engkau setuju,
aku harus melihat dulu wajah anak Itu, agar aku dapat melapor kepada Cia Ma!" Pada
hal, Sui Su Ingin melihat agar la dapat memasang harga untuk anak itu. Demi
keuntungannya, tentu saja!
Lai Kun jatuh! Dia memang sedang kebingungan Cin Cin berkeras tidak mau diantar ke
rumah pendekar Si Han Beng, berkeras minta pulang untuk mencari ibunya. Ini saja sudah
merupakan masalah merepotkan baginya. Belum lagi kerewelan anak itu. Bagaimana dia
akan mempertanggung-jawabkan kepada penduduk dusun Ta-bun-cung kalau dia pulang
lagi bersama Cin Cin ke sana?
Malam itu Juga, Lai Kun mengajak Sui Su untuk pergi ke rumah penginapan. Hari sudah
larut malam dan Sui Su lebih dahulu menemui Cia Ma, berbisik-bisik dan Cia Ma dengan
wajah cerah mengijinkan Sui Su pergi bersama Lai Kun. Dengan hati-hati Lai Kun
membuka pintu kamarnya dan ternyata Cin Cin tidur pulas, terlentag di atas pembaringan
tanpa membuka sepatunya. Lai Kun menyalakan dua batang lilin lagi di atas meja
sehingga sinar lilin cukup terang, menerangi wajah Cin Cin yang agak menghadap keluar
sehingga Sui Su dapat mengamati wajah itu sepenuhnya. Diam-diam ia kagum bukan
main! Wajah itu demikian cantik, manis dan mungil, dan kulit muka dan leher itu demikian
putih mulus! Seorang anak yang kelak pasti akan menjadi gadis yang cantik jelita Ini
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berarti la untung besar! Sedikitnya Cia Ma akan berani membayar duaratus perak untuk
anak seperti ini, apalagi kalau disertai surat pernyataan "Jual beli '. Dan ia akan menerima
imbalan pula di samping keuntungannya sendiri!
Sui Su memberi isyarat kepada Lai Kun untuk meniup lilin-lilin itu agar jangan
mengganggu Cin Cin, kemudian mengajak pria itu keluar kamar.
"Bagaimana pendapatmu?" tanya Lai Kun dengan hati tegang, khawatir kalau sampai
Cin Cin ditolak. Ketegangan Lai Kun ini saja membuat Sui Su diam-diam bersorak.
"Hemrn, tidak buruk, juga tidak terlalu istimewa. Akan tetapi akan kuusahakan agar Cia
Ma suka membayar seratus duapuluh lima tail perak untuk anak itu."
"Seratus duapuluh lima tail? Aihhh kalau benar, akan kuhadiahkan sepuluh tail
untukmu, Sui Su!"
Sui Su tersenyum. Hujan keuntungan berjatuhan dari depan belakang! Ia.berbisik,
"Harus diatur agar anak itu tidak curiga dan mau kau tinggalkan di sana. Aku malam ini
juga akan bicara dengan Cia Ma. Engkau besok pagi-pagi bawa anak itu ke sana. Katakan
bahwa engkau akan melakukan penyelidikan karena mendengar bahwa ibu anak itu
berada di sekitar daerah ini, dan kautitipkan anak itu kepadaku, untuk sehari saja. Kalau
mendengar bahwa engkau akan menyelidiki tentang Ibunya, tentu la tidak banyak rewel.
Kemudian, engkau akan kutemui, akan kuserahkan uang itu dari Cia Ma. dan engkau
hanya tinggal menandatangani surat penyerahan anak Itu."
Lai Kun diam-diam merasa girang sekali. Dia akan menerima seratus duapuluh lima tail
perak! Akan tetapi mendengar tentang penandatanganan itu alis nya berkerut. "Harus
menanda tangani'
Sui Su mengusap dagu pria itu dengan sikap mesra. "Tentu saja, toako Kalau tidak,
salah-salah kami akan di tuduh menculik anak itu!"
Lai Kun mengangguk-angguk maklum, walaupun dia sama sekail tidak mengerti tentang
urusan seperti itu. Sui Su memasuki tandu dan dipikul oleh empat orang pemikul tandu,
pulang ke rumah pelesir Ang-hwa, sedangkan Lai Kun masuk lagi ke kamarnya. Namun,
semalam dia tidak dapat tidur pulas. Bagaimanapun juga. dia merasa tegang. Pertama, dia
akan menyerahkan Cin Cin kepada orang lain, bukan kepada pendekar sakti Si Man Beng.
Untuk ini, kalau kelak ada pertanyaan, mudah saja baginya untuk membela diri. Dia akan
menyatakan bahwa karena Cin Cin tidak mau diajak kesana, terpaksa dia menyerahkan
kepada orang lain yang berbalk hati untuk merawat dan mendidik Cin Cin. Dan dia tidak
berbohong karena memang Cin Cin tidak mau diajak melanjutkan perjalanan berkeras
ingin pulang mencari ibunya. Ke dua, dia akan menerima uang yang banyak. Sudah ada
uang yang diterimanya dari kakek Coa Song, kini ditambah seratus duapuluh lima tail. Dia
menjadi kaya! Tentu saja dia menganggap demikian karena dia memang selama
hidupnya bellum pernah memegang uang sebanyak itu. Dia membayangkan menjadi
pedagang yang berhasil dengan modal itu, hidup senang di tempat lain, hidup baru dan
mungkin dia akan mengambil seorang wanita untuk menjadi isterlnya. Yang secantik Sui
Su, selembut dan sehangat Sui Su! Dan hidupnya akan berbahagia. Lamunan ini yang
membuat dia tidak dapat tidur. Sebetulnya, dia merasa kasihan kepada Cin Cin. murid
keponakan yang sudah dekat dengan dia sejak kecil itu. Akan tetapi, akan lebih
menyedihkan lagi kalau Cin Cin diajak pulAng ke Ta-bun-cung. Ayahnya sudah tewas dan
ibunya dilarikan penjahat! Lebih baik Cin Cin hidup dekat Cia Ma dan terutama dekat
Sui Su yang demikian lembut dan ramah. Tentu ia akan menjadi seorang gadis yang cantik
dan bahagia kelak!
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Cin Cin sudah bangun, dan ia sudah
menghampiri pembaringan Lai Kui dan menggoyang pundak orang itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Susiok. bangun! Susiok...... cepat bangun!"
Belum ada dua jam Lai Kun dapat tertidur dan tentu saja ia terkejut ketika pundaknya
diguncang. Ia terbangun dan bangkit duduk, memandang anak itu
"Susiok, mari kita berangkat. Pulang!'
"Hemm, nanti dulu, Cin Cin. Aku mempunyai kabar yang baik sekali."
Anak Itu mengerutkan alisnya dan menatap tajam, penuh curiga. "Kabar baik apa,
Susiok? Aku ingin pulang dan mencari ibu!"
"Justeru ini kabar mengenai ibumu Cin Cin. Semalam aku berjalan-jalan dan aku
mendengar tentang ibumu."
Wajah anak itu berseri dan pandang matanya penuh ketegangan. "Benarkah itu,
paman? Di mana ibu?"
"Sabarlah, Cin Cin. Aku baru mendengar beritanya saja semalam dari orang-orang yang
kupercaya. Katanya mereka melihat ibumu yang diculik oleh penjahat, di sekitar daerah
ini....."
"Kalau begitu, mari sekarang juga kita ke sana, Susiok!"
"Ahh, bagaimana mungkin mengajakmu, Cin Cin? Ka utahu, penjahat itu berbahaya
sekali. Aku harus menyelidikinya sendiri. Mungkin aku harus menyerang penjahat itu untuk
menyelamatkan lbumu Karena itu, untuk satu hari saja engkau akan kutitipkan kepada
orang-orang yang kupercaya itu."
"Engkau pergilah sekarang juga menolong ibuku, susiok. Aku akan menunggumu di
sinil"
"Aih, mana bisa begitu? Kalau penjahat itu tahu engkau puteri ibumu, mungkin engkau
akan diculiknya pula untuk memaksa ibumu! Tidak, sebaiknya engkau kutitipkan di rumah
teman-temanku itu, agar hatiku tenang, ada yang menjagamu”
"Aku di sini saja! Aku tidak mau di tempat lain!" Cin Cin berkeras.
"Hemm, Cin Cin! Kenapa engkau selalu rewel dan tidak menurut kata-kataku. Aku harus
melindungimu, bagaimana aku dapat meninggalkanmu seorang diri ditempat umum
begini? Tidak, kalau engkau tidak mau kutitipkan kepada orang-orang yang kupercaya,
akupun terpaksa tidak berani pergi meninggalkanmu. Aku tidak akan menyelidiki keadaan
Ibumu!”
"Ih, jangan begitu, Susiok! Apakah Susiok tega membiarkan ibu di tangan penjahat?
Baiklah, aku akan menunggu di rumah teman-temanmu. Akan tetapi siapakah mereka?
Bagaimana Susiok yang baru saja tiba di sini dapat mempunyai teman-teman baik di sini?"
“Hemm, anak ini cerdik luar biasa. Aku harus berhati-hati, demikian pikir Lai Kun.
"Memang baru semalam aku bertemu dengan mereka. Dan mereka itulah yang memberi
kabar tentang ibumu itu kepadaku. Aku bertemu dengan seorang wanita di rumah makan.
Melihat aku murung, ia bertanya dan kami bercakap-cakap. Dan iapun memberi kabar
tentang ibumu itu. Kau bisa bertanya sendiri padanya kalau bertemu dengannya."
"Seorang wanita? Ah, aku mau pergi ke sana. Mari sekarang juga kita pergi Susiok,
agar engkau dapat segera mencari ibuku."
Lai Kun lalu berkemas, membayar sewa kamar, kemudian mengajak Cin Cin pergi ke
rumah pelesir. Ang-hwa. Pagi hari itu, rumah itu sunyi tidak ada tamu berkunjung, dan
para gadis penghibur juga enggan keluar dari kamar di mana mereka masih tidur
kelelahan. Akan tetapi Sui Su sudah berdandan rapi dan menunggu di ruangan depan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Begitu Lai Kun muncul bersama Cin Cin wanita Itu lalu menyambut dengan sikap ramah
sekali.
"Aih, Lai-toako. Pagi benar engkau datang!" katanya. "Dan anak ini, siapakah ia? Anak
yang baik, mari, duduk di sini, dekat bibi."
"Nona Sui Su, aku datang pagi-pagi untuk menitipkan murid keponakanku ini di sini,
untuk sehari saja. Aku akan segera menyelidiki tentang isteri suhengku itu. Dan anak ini
bernama Kam Cin, panggilannya Cin Cin, la puterl mendiang suheng."
"Aihh, Jadi Inikah yang kaucerita kan semalam? Kasihan sekali. Baiklah biar di sini la
menunggu kau. Aku akan menjaganya baik-baik. Engkau cepat cari Ibu anak Ini, toako.
Kasihan sekali"
Pada saat Itu, Cia Ma muncul. Wanita yang gembrot ini mengamati Cin Cin dengan
penuh selidik dan agaknya ia merasa puas. Ia tersenyum dan berkata
“Ah, kiranya tuan Lai Kun yang datang. Selamat pagi! Dan siapa anak ini?" Ia mendekat
dan mengelus kepala Cin Cin dengan sikap menyayang. "Anak manis siapa namamu?"
Cin Cin merasa senang. Orang-orang di sini ramah, pikirnya. "Namaku Cin Cin!"
Lai Kun lalu berkata kepada Cin Cin "Cin Cin, engkau di sini dulu, ya' Tunggu aku sehari
di sini, setelah berhasil aku akan menjemputmu "
"Cin Cin, mari main-main di dalam! Engkau belum makan pagi, bukan? Ada bubur ayam
di dalam, enak sekail mari kita makan minum di dalam, biar paman gurumu mencari
ibumu. Mari, anak manis!" Cia Ma menggandeng tangan anak itu dan Cin Cin bangkit dari
tempat duduknya. Akan tetapi sebelum masuk, la menoleh kepada Susioknya
"Susiok, berhasil atau tidak, aku menunggumu sampai sore. Kalau sampai malam nanti
engkau tidak datang, aku akan mencari sendiri!" katanya dengan nada mengancam. Lai
Kun mengangguk dan lapun keluar bersama Sui Su yang membawa buntalan berat.
Sui Su menyerahkan uang seberat seratus limabelas tali perak dan berkata, "Ini
seratus limabelas, sudah kupotong sepuluh tail seperti yang kau janjikan dan harap
engkau suka menandatangani surat penyerahan ini."
Lai Kun membaca surat itu yang mengatakan bahwa dia menyerahkan anak bernama
Kam Cin kepada Cia Ma dengan Imbalan uang sebanyak duaratus tail perak dan bahwa
sejak saat itu dia tidak boleh menemui Cin Cin, apa lagi mengajaknya pergi karena Cin Cin
telah menjadi anak angkat Cia Ma!
“Dua ratus tail?” tanyanya dengan heran.
Sui Su tersenyum manis. “Aih seperi engkau tidak tahu saja urusan dagang, toako
Dengan surat ini, andaikata ada orang yang mau menebus Cin Cin maka Cia Ma tentu saja
menghendaki keuntungan."
Lai Kun percaya, apa lagi dia sudah merasa puas dengan jumlah yang di terimanya.
Hanya tentu saja dia tidak menyangka bahwa yang tujuhpuluh lima tail merupakan bagian
Sui Su yang mencatut harga itu! Karena dalam surat itu tidak diutarakan jual-bell maka
diapun dapat pergi dengan hati ringan. Dia tidak menjual Cin Cin. melainkan menyerahkan
kepada orang yang akan dapat merawatnya dengan baik. Dia tidak menjual, hanya
menyerahkan dan dia menirma imbalan, bukan hasil penjualan! Demikian dia menghibur
diri sendiri dan diapun cepat pergi meninggalkan rumah pelesir itu, dan langsung
rneninggalki kota Ji-goan!
"Aku harus pergi dari sini! Sekarang juga!" kata Cin Cin pada keesokan harinya, setelah
malam tadi Cia Ma dan Sui Su berhasil membujuknya untuk meliwati semalam itu. Cin Cin
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sudah marah-marah dan semalam hampir tidak tidur. Maka pagi-pagi la terbangun,
langsung la menanyakan apakah paman-gurunya sudah kembali. Ketika dijawab belum, la
lalu marah dan nekat untuk meninggalkan tempat itu, membawa buntalan pakaiannya.
"Cin Cin, anak baik, engkau hendak pergi ke mana? Engkau tidak membawa bekal
uang, dan perjalanan amat jauh!" Sui Su mencoba untuk membujuk.
“Semua uang dibawa oleh Susiok! Aku sekarang tahu, dia pasti menipuku! Aku tidak
sudi bersama dia lagi. Aku mau pulang, aku mau mencari ibu!" kata anak itu sambil
mengenakan sepatunya dan setelah mengikat buntalan pakaian di punggungnya, la lalu
bergegas hendak keluar dari pintu kamarnya.
"Tidak, engkau tidak boleh pergi!' Sui Su kini tidak sabar lagi. Bagaimanapun juga,
tentu saja anak Ini tdak boleh pergi.Ia sudah menyimpan delapanpuluh lima tali sebagal
keuntungan nya! Ia kini memegang lengan anak itu untuk menahannya.
"Bibi Sui Su, lepaskan aku! Aku mau pergi dan siapapun tidak boleh menahan dan
menghalangiku!" Cin Cin membentak marah.
"Cin Cin, engkau tidak boleh pergi sebelum paman gurumu kembali! Dia menitipkan
engkau di sini. Kami bertanggung-jawab dan harus menahanmu di sini sampai dia kembali.
Engkau tidak boleh pergi!" kata Sui Su dan pegangan pada lengan anak itu semakin kuat.
"Bibi Sui Su, sekali lagi. lepaskan aku. Engkau sudah bersikap baik jangan membuat
aku marah dan menganggap engkau Jahat!"
"Cin Cin, engkaulah yang jahat kalau memaksa pergi. Kami bertanggung-jawab dan
harus menahanmu di sini."
Kini Cin Cin memandang marah. "Bagus! Agaknya bibi bersekutu dengan susiok untuk
menahanku di sini, ya?" Tiba-tlba Cin Cin menarik tangannya yang memegang kuat
sehingga Sui Su mengerahkan tenaga menahan dan menarik. Mendadak Cin Cin memutar
lengannya dan mendorong! Karena-saat Itu. Sui Su sedang mempertahankan dan
menarik, maka dorongan yang tiba-tiba itu membuat ia terjengkang dan terhuyung,
pegangannya terlepas!
Cin Cin yang sejak kecil sudah dilatih Ilmu silat oleh mendiang ayahnya itu, segera
meloncat ke arah pintu untuk melarikan diri. Akan tetapi tiba-tiba di pintu muncul Cia Ma.
Tubuhnya yang gembrot memenuhi pintu sehingga Cin Cin tidak dapat keluar.
"Eh, anak manis. Engkau hendak pergi ke manakah?" tanya Cia Ma sambil
mengembangkan kedua lengannya sehingga makin penuhlah lubang pintu itu.
"Cia Ma, biarkan aku pergi dari sini! Susiok Lai Kun menipuku!" kata Cin Cin dengan
sabar karena sejak kemarin nenek gendut itu bersikap amat baik dan ramah kepadanya.
"Cia Ma, tahan anak itu! Ia hendak memaksa melarikan diri!" Sui Su yang tadi terjatuh
dan pantatnya terbanting agak keras di atas lantai sehingga terasa nyeri, kini merangkak
bangun dan berteriak kepada Cia Ma.
"Ehh? Cin Cin, engkau tidak boleh pergi dari sini! Engkau sudah menjadi anak angkatku.
Dengar, engkau sudah jadi anakku. Tempat tinggalmu disini dan engkau tidak boleh pergi
dari sinl!" kata Cia Ma, kini tidaklagi manis dan lembut melainkan keras karena la tahu
bahwa sekarang saatnya menggunakan kekerasan untuk menakut-nakuti Cin Cin.
Akan tetapi ia salah besar kalau hendak menakut-nakuti anak perempuan berusia lima
tahun itu. Melihat sikap dan mendengar ucapan Cia Ma, Cin Cin membelalakkan matanya
dan mengepal tinjunya. "Ah, kiranya engkaupun bersekongkol dengan suslok, nenek
gendut Siapapun tidak boleh menahanku disini!" Dan lapun menerjang nenek itu, kakinya
menendang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tukk!" Sepatunya menendang tepat mengenai tulang kering kaki kiri Cia Ma.
“Aduh h.....aduh, aduhh....... anak setan ......aduhh.....!" Cia Ma berjingkrak dengan
kaki kanannya sambil berusaha mengelus atau memegang kaki kiri dengan kedua
tangannya yang agaknya terlalu pendek.
“Minggir kau!" Cin Cin membentak dan ia menyeruduk ke depan, menggunakan
pundaknya untuk menerjang nenek yang sedang berjingkrak dengan sebelah kaki itu.
“Aughhh..... brukkk.....!" tentu saja Cia Ma terjatuh, terpelanting dan pinggulnya yang
besar itu menimpa meja tepat pada ujung meja segi empat yang runcing. Melihat
kesempatan ini, Cin Cin lari keluar dari dalam kamar itu.
"Cin Cin, jangan lari!" teriak Sui Su sambil mengejar.
Dari ruangan luar menerobos masuk dua orang laki-laki yang usianya sekitar
empatpuluh tahun, bertubuh tinggi besar dan bersikap garang. Mereka adalah dua orang
tukang pukul yang dipelihara oleh Cia Ma. Mereka mendengar teriakan majikan mereka,
maka mereka la-i l ke dalam. Melihat mereka, Cia Ma berteriak-teriak.
"Tangkap anak itu! Tangkap, jangan sampai ia lari!"
Dua orang laki-laki itu segera menghadang di tengah jalan. "Mlnggir!" teriak Cin Cin
berani dan menerjang di antara dua orang laki-laki itu. Akan tetapi, dua orang tukang
pukul itu tertawa, Disangkanya ada bahaya, tidak tau hanya hanya seorang anak
perempuan kecil yang hendak melarikan diri! Seorang di antara mereka, yang brewok dan
bermuka hitam, menggerakkan tangan kiri dan sekali cengkeram, dia sudah menangkap
punggung baju Cin Cin dan begitu tangannya diangkat keatas, tubuh Cin Cin tergantung di
udara!
"Lepaskan aku, kau babi hitam! Lepaskan aku!" Cin Cin meronta-ronta dan memakimaki,
kakinya mencoba untuk menendang-nendang, kedua tangannya mencakar dan
memukul.
"Ha-ha-ha-ha-ha! " Laki-laki ke dua yang bermuka bersih dan pucat kekuningan
tertawa-tawa melihat anak perempuan itu memaki-maki temannya dengan sebutan babi
hitam!
Si muka hitam mulai marah. Bukannya karena makian itu, akan tetapi juga karena Cin
Cin menendang, mencakar memukul, bahkan mencoba untuk menggiglt lengnnnya dan
meludah ke arah mukanya!
"Eh-eh, anak setan, anak liar. Engkau minta ditampar, ya?" Tangan kanannya yang
lebar sudah siap untuk memukul dengan tamparan.
"Heii, Hek-gu (Kerbau Hitam), Jangan pukul anakku! Awas kau, kalau berani
memukulnya!" Cia Ma mengancam muka hitam sambil terseok-seok la menghampiri
karena pinggulnya terasa nyeri.
"Ah, tidak. Cia Ma, aku hanya menakut-nakuti Habis, ia liar sekali” kata si muka hitam
yang berjuluk Kebau Hitam itu.
"Kau, Kerbau Hitam, Anjing Hitam, Babi Hitam, lepaskan aku!" kembali Cin Cin
meronta-ronta dengan marah. Anak ini memang memiliki keberanian luar biasa. Melihat
ini, Cia Ma mengerutkan alisnya. Celaka, pikirnya. Ia sudah mengeluarkan uang duaratus
tali perak dan memang anak ini mungil sekail, kelak pasti menjadi seorang gadis cantik
yang menjadi sumber keuangan besar baginya. Akan tetapi sungguh tidak disangka, anak
ini memiliki watak yang demikian keras dan bandel, sukar diurus. Harus dipergunakan
kekerasan untuk anak sebengal ini. .
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sekap ia dalam kamarnya. Jaga jangan sampai dapat lari. Kalau perlu, Ikat kakinya
dengan rantai!"
Cin Cin tidak dapat meronta pula karena kedua kaki tangannya diikat dengan sabuk dan
ia dilempar ke atas pembaringan dalam kamarnya. Ia melotot, memakl-maki, akan tetapi
tidak mampu meronta lagi. Anak ini memang bandel bukan main dan juga amat tabah.
Dalam keadaan seperti itu, la tidak pernah menangis, hanya marah-marah dan memakimaki!
Kalau Cia Ma tidak berpesan kepada dua orang tukang pukulnya agar Jangan
memukul anak itu, tentu Hek-gu (Kerbau Hitam) dan Pek-gu (Kerbau Putih) sudah
menamparnya karena mereka dimaki-maki.
Sampai habis suara Cin Cin dipakai memaki dan berteriak-teriak. Juga kedua kaki
tangannya terasa nyeri dan lelah. Ia haus sekali, juga lapar, akan tetapi ia tidak mau
mengatakan penderitaannya ini. Setelah tubuhnya lemaa, ia mendiamkan diri dan
mencoba untuk tidur. Sementara itu, dua orang tukangi pukul menjaga di luar pintu.
Ketika siang hari itu seorang wanita pelayan datang mengantar makanan, Cin Cin tidak
mau makan, tidak mau minum dan tidak mau bicara, hanya rebah dengan muka
cemberut. Sebetulnya ia menangis, akan tetapi tangisnya ditahan! dan hanya kedua
matanya saja basah, tidak ada keluhan keluar dari mulutnya.
Ia merasa haus bukan main, dan lapar, dan lelah. Akan tetapi semua itu ditahannya
dan iapun mengenangkan semua peristiwa yang terjadi dengan diri nya. Biarpun ia baru
berusia lima tahun akan tetapi la seorang anak cerdas. Ia kini yakin bahwa Susioknya, Lai
Kun, telah menipunya. Ia memang oleh Susioknya diberikan kepada Cia Ma, dan kini entah
ke mana perginya Susiok itu. Ia marah kepada Susioknya. Akan tetapi iapun tidak berdaya.
Andaikata ia dapat kembali ke Ta-bun-cung, kepada siapa ia akan melaporkan perbuatan
susioknya itu? Kakek Coa Song telah tiada, demikian pula ayah dan ibunya. Supeknya, Coa
Siang Lee juga tewas dan isteri supeknya bersama Thian Ki lenyap pula. Tidak, ia tidak
dapat melaporkan kepada siapapun. Akan tetapi yang terpenting sekarang adalah mencari
jalan untuk membebaskan diri dari kurungan ini. Akan tetapi, sampai terasa pening
kepalanya, anak itu tidak dapat menemukan jalan. Ia disekap dalam kamar, kaki
tangannya diikat rantai, dan di depan kamarnya ada dua orang jahat dan kejam itu
melakukan penjagaan secara bergiliran. Ia sungguh tidak berdaya. Ingin rasanya ia
menangis, akan tetapi ditahannya. Ia demikian benci kepada mereka semua sehingga
tidak ingin menyenangkan hati mereka dengan memperlihatkan kelemahannya! Sejak
kecil, ayahnya menekankan perlunya sikap gagah bagi seorang calon pendekar! '
Beberapa kali dalam sehari itu, Cia Ma menjenguknya dari pintu dan bicara lirih dengan
penjaga. Dan nenek itu mengerutkan alis, menarik napas panjang dan menggeleng-geleng
kepala. Melihat nenek itu marah-marah dan kecewa, ada perasaan lega yang merupakan
hiburan di hati Cin Cin. Setidaknya, ia mampu membalas dengan membuat orang itu
kecewa, pikirnya.
Malam itu, yang datang mengantar makanan, selain seorang pelayan wanita itu juga
ikut masuk ke kamar itu Sui Su. Melihat wanita ini, Cin Cin membuang muka. Biarpun
selama ini Sui Su memperlihatkan sikap baik kepadanya, namun mengingat bahwa
pertama kali susioknya membawanya ke situ yang menerima adalah Sui Su, maka la
menduga bahwa tentu wanita genit ini ikut pula menjadi komplotan yang menipunya.
Sui Su duduk di tepi pembaringan Cin Cin menggulingkan tubuhnya, menghadap
dinding membelakanginya. "Sstt......Cin Cin, aku mau bicara denganmu. Penting untuk
kebaikanmu sendiri........"
Cin Cin tidak perduli, atau setidaknya mengambil sikap tidak perduli walaupun kedua
telinganya dipasang baik-baik untuk memperhatikan apa yang akan dikatakan wanita itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Anak baik, Jangan engkau bersikap seperti ini. Engkau menyiksa dirimu sendiri.
Susiokmu bermaksud baik, menitip engkau di sini, dan kalau engkau taat, tentu engkau
akan diperlakukan dengan baik, engkau akan dapat makan enak setiap hari, dapat pakaian
yang bagus-bagus, dan engkau akan dihormati semua orang karena engkau telah menjadi
anak angkat Cia Ma."
"Aku tidak sudi! Lebih baik aku mati!" kata Cin Cin ketus, akan tetapi kini ia
membalikkan tubuhnya untuk memandang kepada wanita itu.
“Hussh, Cin Cin, jangan begitu bodoh," bisik Sui Su, "kalau engkau mati, berarti engkau
akan membikin gembira hati mereka yang membencimu. Bodoh sekail "
Kata-kata ini tepat sekali dan membuat Cin Cin terbelalak memandang kepada wanita
itu. "Tapi........ aku tidak mau di sini. Aku tidak mau menjadi anak Cia Ma. Aku ingin
pulang, mencari ibuku!"
“Sssst ..jangan berteriak-teriak” bisik lagi Sui Su. "Dengar baik-baik Cin Cin. Aku ingin
menolongmu. Kalau engkau berkeras, bagaimana mungkin dapat lolos dari sini? Kalau
engkau tidak mau makan minum tubuhmu akan menjadi lemas, mungkin akan sakit dan
mati. Engkau harus makan minum agar kuat dan mencari kesempatan untuk kelak
melarikan diri......"
"Apa......apa maksudmu, bibi....”
Senang rasa hati Sui Su. Sepanjang hari Cia Ma hanya marah-marah saja terutama
kepadanya, mengatakan bahwa ia merasa tertipu dengan membeli anak itu. Tentu saja Sui
Su merasa tidak enak hati, apa lagi mengingat bahwa ia memperoleh keuntungan banyak
dalam jual beli anak itu. Sui Su diam-diam merasa kasihan kepada Cin Cin. Ia teringat
akan nasibnya sendiri. lapun dahulu dijual oleh ayah ibunya yang melarat kepada Cia Ma,
ketika la berusia lima tahun. la dirawat, dipelihara dan dididik menjadi pelacur oleh Cia Ma.
Setelah ia dewasa, ia dijual oleh Cia Ma, diperas habis-habis walaupun ia dapat hidup
dalam kemewahan. Kini, setelah memperoleh banyak uang karena jual beli Cin Cin, ia
ingin berdikari, ingin kembali ke dusun dan dengan modalnya itu la dapat hidup tanpa
harus menjual dirinya. Ia merasa kasihan kepada Cin Cin, maka sambil berusaha untuk
meredakan kemarahan Cia Ma dengan membujuk Cin Cin, iapun ingin memberi jalan dan
nasehat bagi anak itu agar kelak dapat melarikan diri sebelum terjeblos seertl yang
dialaminya.
"Cin Cin," kata Sui Su berbisik sambil berlagak mellrik ke luar seolah-olah ia tidak ingin
suaranya terdengar oleh tukang pukul yang berjaga diluar "Engkau harus pura-pura
mentaati dan menjadi anak yang baik di sini. Engkau menjaga kesehatanmu dengan
makan yang cukup, tidur yang cukup dan seolah-olah menikmati kehidupan di sini.
Dengan sikapmu itu, lambat laun tentu Cia Ma akan percaya kepadamu. Nah, kalau
engkau sudah mendapat kepercayaan sehingga tidak lagi dikeram, tidak lagi dijaga, dan
mendapat kebebasan, pada suatu hari yang baik kalau ada kesempatan engkau tentu akan
dapat melarikan diri dengan mudah. Bukankah ini akal yang baik sekali? Kalau kita tidak
dapat menggunakan kekerasan, kita harus menggunakan akal, anak yang manis."
Wajah anak itu semakin cerah dan pun tersenyum sambil menganggukkan "Engkau
benar, bibi, engkau benar, terima kasih. Aku harus bersabar menggunakan akal itu....."
katanya lirih.
“Bagus, nak aku akan menyuruh mereka melepaskan ikatan kaki tanganmu dan engkau
harus berlagak penurut, superti seekor anak harimau yang memakai bulu domba.
'perumpamaan itu menyenangkan hati Cin Cin. Ia anak harimau! Akan tetapipi demi
keselamatannya, ia harus mengenakan bulu domba. Ia mengangguk-angguk maklum.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sui Su menoleh ke pintu dan berteriak kepada Pek-gu yang kebetulan berjaga di situ,
menggantikan Hek-gu “heii paman lPek-gu. Tolong kau lepaskan rantai-rantai ini. Cin Cin
kini sudah mengerti dan ia tidak akan memberontak lagi"
Pek-gu memasuki kamar dan memandang kepada Cin Cin. "Benarkah? Anak setan ini
tidak akan memaki-maki dan meronta lagi ?”
Sepasang mata Cin Cin mengandung api kemarahan dan hampir saja ia memaki lagii
kalau saja Sui Su tidak cepat merangkulnya. “Paman, hati-hatilah dengan omonganmu.
Ingat, ia ini adalah Cing Siocia (nona Cing), puteri Cia Ma. Engkau harus menghormatinya
kalau tidak ingin dimarahi Cia Ma!"
Pek-gu menghampiri Cin Cin dan melepaskan rantai-rantai yang mengikat kaki dan
tangan anak itu. Melihat anak itu diam saja tidak meronta dan tidak mengeluarkan suara,
Pek-gu yang berwajah putih pucat kekuningan itu tersenyum.
"Nah, begini baru anak baik, tidak membikin repot orang. Nona kecil, engkau kelak
tentu akan menjadi seorang gadis yang cantik jelita dan hidup serba kecukupan dan
senang seperti nona Sui Su. Lihat, nona Sui Su ini cantik sekali, bukan? Eh, nona Sui Su.
Sekali-kali perbolehkan aku bermalam di kamarmu! Bukankah kita sudah lama menjadi
rekan sekerja di sini?"
Sui Su tersenyum mengejek. “Sudah terlalu banyakkah uangmu, paman? Setahuku,
semua, uangmu kauhabiskan di meja Judi!"
“Aih, sesama rekan masa pakai uang segala?"
"Enaknya! Sudah, keluar sana dan jangan ganggu kami. Nona Cin harus makan
sekarang." Sui Su mengusir tukang pukul Itu yang keluar sambil menyeringai, biarpun
menjadi pelacur, mereka yang anak angkat Cia Ma menang dihormati orang karena Cia Ma
yang galak itu selalu melindungi anak-anaknya.
Oleh bujukan Sui Su, Cin Cin mau makan dan minum. Baru terasa olehnya betapa lapar
dan hausnya, sehingga ia makan dengan gembul, ditemani Sul Bu yang melayaninya
dengan sabar. Setelah makan kenyang, muncullah Cia Ma. Ia sejak tadi sudah diberitahu
dan mengintip. Girang sekali ia melihat Sui Su berhasil membujuk Cin Cin. Tadi, Sui Su
berkata kepadanya bahwa ia akan membujuk Cin Cin dengan halus, dan kalau berhasil, la
minta diijinkan untuk mengambll cuti selama seminggu karena ia hendak pulang ke dusun
menengok keluarga di dusun, walaupun kini ayah dan ibunya sudah tiada. Cia Ma
menyanggupi, akan memberi ijin itu kalau benar Sui Su berhasil. Nenek ini sudah terlalu
pusing melihat sikap Cin Cin dan ia membayangkan uangnya yang dua ratus tail perak itu!
Cin Ma memasuki kamar itu dengan wajah berseri "Aduh, anakku yang baik anakku
yang manis. Cin Cin, engkau sudah suka makan dan minum. Bagus, aku datang
membawakan pakaian yang bagus-bagus untukmu, nak!"
Cin Cin mengerling kepada Sui Su yang berkedip kepadanya. Biarpun ia merasa tidak
senang kepada nenek gembrot itu, namun ia menahan perasaannya, teringat akan nasihat
Sui Su tadi. la harus bersikap penurut dan manis memperoleh kepercayaan sehingga
kelak dengan mudah ia akan dapat melarikan diri. Maka, ketika buntalan pakaian yang
serba indah itu dibuka, Iapun memaksakan diri untuk tersenyum dan memperihatkan
muka girang
Demikianlah, Cin Cin yang biar berhati keras namun amat cerdik ia bersikap penurut
dan ia mau saja ketika disuruh belajar menulis dan menyulamm, melukis, bahkan
bernyanyi , menari, dan menabuh yang-klm (gitar) dan suling. Iapun acuh saja ketika
pada suatu hari Sui Su berpamlt kepadanya, katanya hendak cuti seminggu untuk
menengok keluarganya di dusun.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ingat, jangan lari sebelum mendapat kesempatan yang baik sekail, karena kalau
engkau tertangkap lagi, tentu akann dlperlakukan dengan buruk ," demikiann nasihatnya
kepada Cin Cin. dengan suara bisik bisik
Benar saja seperti yang dikatakan Sui Su, setelah Cin Cin bersikap taat dan penurut, Cin
Ma bersikap lembut dan manis kepadanya, bahkan memanjakanya. Apa lagi ketika ia
melihat betapa Cin Cin amat cerdas. Segala yang diajarkan kepada anak itu, sebentar saja
dapat dikuasainya. Dalam waktu setahun saja, anak Itu sudah pandal meniup suing,
bermain yang-kim, bahkan menari. Juga dalan hal ilmu baca tulis, karena memang tadinya
ia sudah mendapat pelajaran dari orang tuanya, ia maju pesat
Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Cin Cin sudah menyelinap keluar dari rumah itu.
Biarpun ia masih kecil, namun karena setiap hari melihat wanit wanita muda dan cantik
bersenda-gurau dengan kaum pria, ia sudah dapat meraba bahwa para wanita itu tidak
mengenal rasa malu dan menyebalkan sekali. Ia makin tidak betah dan setelah
mendapatkan kepercayaan dan kebebasan, maka pada pagi hari itu iapun menyelinap luar
ketika semua orang belum bangun tidur. Malam tadi ia telah mempersiapkan segalanya.
Membawa pakaian untuk bekal, dibuntalnya, juga meloloskan perhiasan yang diberikan
Cia Ma kepadanya juga dimasukkan ke dalam buntal untuk bekal biaya perjalanannya.
Tentu saja ia tidak ingat lagi jalan pulang ke Ta-bun-cung. Yang diingatnya hanyalah
bahwa ketika ia melakukan perjalanan bersama Susiok-nya, mereka berjalan terus ke
barat. Maka kini la tahu bahwa ia harus menuju ke timur, menyusuri tepi sebelah utara
dari Sungai Hua ho untuk kembali ke dusunnya.
Pada waktu itu, pergantian pemerintahan dari dinasti Sui ke dinasti Tang baru berjalan
kurang lebih tiga tahun saja. Keamanan belum pulih, terutama sekali di luar kota raja Lokyang
Pemerintah baru belum sempat mengatur daerah daerah dan belum membentuk
pasukan keamanan untuk mengamankan kota-kota dan dusun-dusun. Biarpun kota Jigoan
masih termasuk daerah Lok-yang, namun pemerintahan di daerah itupun belum
lancar benar sehingga keamanannya masih buruk. Para penjahat masih merajalela,
melakukan pemerasan di sana sini, perampokan dan gangguan terhadap rakyat. Jaminan
keamanan dari pemerintah belum lancar benar dan hampir setiap hari terjadi kejahatan.
Cin Cin sama sekali tidak tahu akan hal ini. Selama ini ia merasa aman semenjak
melakukan perjalanan bersama susioknya karena Susioknya adalah murid Hek houw-pang
yang memiliki kepandaian cukup tangguh. Apa lagi ketika ia berada dalam rumah besar
Cia Ma, la tidak pernah keluar tanpa pengawalan. Di dalam rumah itu yang ada hanya
kemewah dan pesta, maka ia selalu merasa aman. Dalam pikiran anak berusia enam tahun
itu tentu saja belum mengerti tentang kejahatan manusia yang kadang melebihi
kekejaman mahluk apapun juga binatangpun tidak sekejam manusia, dan hukum yang
berlaku adalah siapa kuat dia menang dan siapa menang dia berkuasa, lalu siapa berkuasa
dia selslu benar !
Sepagi itu selagi kota Ji-goan belum bangun, seorang anak perempuan berusia enam
tahun melakukan perjalanan seorang diri, membawa buntalan besar tentu saja segera
menarik perhatian orang yang kebetulan bertemu dengan Cin Cin. Kalau yang bertemu
dengannya itu orang atau penduduk biasa, tentu orang itu hanya merasa heran saja. Akan
tetapi, sebelum ia keluar dari pintu gerbang kota Ji-goan, di sebuah lorong yang
membelok, tiba-tiba saja ia berhadapan dengan seorang laki-laki kurus kering yang
pakaiannya penuh tumbalan seperti jembel. Laki-laki itu berusia sekitar tiga puluh tahun
dan matanya liar seperti mata maling. Ketika ia melihat Cin Cin, anak perempuan yang
membawa buntalan besar, sedangkan di sekitar situ belum ada rumah yang membuka
daun pintu, belum nampak ada orang di jalan. dia lalu menyeringai dan menghadang di
depan Cin Cin.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aih, anak manis, engkau hendak kemanakah seorang diri di pagi buta ini ?"
Tanpa menyangka buruk, Cin Cin menjawab, "Aku hendak keluar kota dan pergi ke
timur......”
Sebelum anak itu habis bicara, tahu-tahu orang itu sudah menyambar dan merenggut
lepas buntalan di punggung Cin Cin. Tentu saja anak itu terkejut dan marah sekali.
"Hei! Kembalikan buntalanku!" teriaknya dan Cin Cin mencoba untuk meraih dan
merampas kembali. Akan tetapi orang itu sambil menyeringai memegang bunntalan
dengan tangan kiri tlnggl-tinggi di atas kepala sehingga tentu saja Cin Cin tidak mampu
meraihnya.
”Bukk!" Tangan kecil itu kini memukul mengenai lambung orang kurus yang merampas
buntalannya "Kembalikan buntalanku, keparat!" ia memaki.
"Ehh......?" Laki-laki itu merasa nyeri terpukul lambungnya dan diapun marah. "Anak
setan, kau ingin mampus?”
"Kembalikan buntalanku” Cin Cin kembali menerjang dengan pukulan kedua tangan.
Akan tetapi sekali ini, laki laki yang sedikit banyak pernah belajar silat itu dapat mengelak,
kemudian dari samping, kakinya menendang, keras sekali.
"Bukk.....!" dada Cin Cin bagian samplng kena ditendang dan anak itupun terjengkang
dan terbanting jatuh.
"Hei, A-kew, ada apakah?" tiba-tita muncul seorang laki-laki lain, juga pakaiannya
penuh tambalan dan tubuhnya agak pendek, mukanya bulat dan kotor.
Si kurus yang dipanggil A-kew itu sibuk membuka buntalannya. "Wah, makanan empuk.
A-cauw, lihat, pakaian bagus bagus dan ada perhiasan emas pula. Wah pesta sekali ini
aku!"
"Hussh, engkau tidak melihat sesuatu yang lebih berharga lagi, A-kew?"
"Apa maksudmu?"
"Lihat itu!" Si pendek itu menuding kearah Cin Cin yang masih rebah setengah duduk
sambil menyeringai kesakitan. Napasnya menjadi sesak terkena tendangan tadi "Anak itu
cantik sekali!"
”Ha-ha, A-cauw, mata keranjangmu tidak ketulungan lagi rupanya! Anak itu paling
banyak baru enam tahun usianya, untuk apa? Ha-ha!"
"Hussh, dasar engkau yang tolol! Anak perempuan cantik itu akan mendatangkan uang
sedikitnya duapuluh atau tigapuluh tali perak!"
Mata Akew yang sipit itu agak melotot, "Ehh?-Apa maksudmu?"
"Dasar bodoh, tetap tolol! Setiap orang majikan rumah pelesir akan suka membelinya. "
"Ah, benar! Aku sampai lupa karena kegrangan mendapatkan pakaian bagus dan
perhiasan ini. Mari kita tangkap anak ini, kita bawa kepada rumah pelesir tentu diterima."
"Lebih baik ke rumah pelesir Ang-hwa, Cia Ma suka sekali membeli anak-anak yang
cantik." Dan si pendek it menghampiri Cin Cin
Mendengar percakapan mereka, wajah Cin Cin menjadi pucat. Percuma melarikan diri.
Melawan seorang saja dari mereka, ia kalah, apa lagi dikeroyok dua. Maka iapun
menjatuhkan diri berlutut setelah tadi mencoba bangun.
"Paman-paman yang baik, kasihanilah aku..jangan bawa aku kepada Cia Ma..” Ia
memohon.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dua orang itu saling pandang. "Eh Engkau anak kecil sudah mengenal Cia Ma?" tanya
Akew.
"Ha, aku tahu. Engkau tentu lari dari rumah Cia Ma, bukan?" kata Acauw.
Cin Cin tidak mampu membantah ”Benar, paman. Aku lari karena aku hendak mencari
ibuku. Bebaskanlah aku, buntalan itu untuk kalian, akan tetapi jangan bawa aku kembali
ke sana”
"Pelarian dari Cia Ma?" Akew beseru. "Celaka benar. Cia Ma memelihara jagoan-jagoan
seperti Hek-gu dan Pek gu, kalau mereka tahu aku yang mengambll buntalan ini, remuk
kepalaku. Bagaimana baiknya ini."
”Jangan khawatir, tenang saja, Akew. Kita kembalikan anak ini kesana berikut
buntalannya. Tentu kita akan mendapatkan hadiah yang mungkin tidak kalah besarnya."
"Baiklah," kata Akew agak kecewa karena tadinya dia sudah merasa beruntung sekali.
Dia tidak berani main-main terhadap Cia Ma yang terkenal galak dan memiliki banyak
tukang pukul yang lihai dan kejam itu.
Mendengar percakapan kedua orang itu, Cin Cin menjadi putus asa dan timbul
kemarahannya. “Jahanam, kiranya kalian berdua juga hanya manusia-manusia keparat!"
serunya dan iapun meloncat t diri dan menyerang kalang kabut!
Dua orang laki-laki dewasa yang sudah biasa berkelahi dan menggunakan kekerasan
itu, tentu saja memandang rendah anak berusia enam tahun. Akan tetapi karena Cin Cin
nekat, bergerak dengan ilmu silat sebisanya, mencampur gerakan itu dengan menendang,
memukul, mencakar, bahkan menggigit, dua orang itu menjadi repot.
"Wah wah, anak ini seperti seekor anak harimau” teriak Akew, meringis karena
lengannya kena dicakar sampai berdarah.
"Tangkap kedua lengannya, biar kuikat dengan sabukku!" kata Acauw.
Akew berhasil menangkap kedua pergelangan tangan Cin Cin dan Acauw mengikatnya
dengan sabuk kain. Cin Cin ronta-ronta, menendang dan memaki.
"Lepaskan aku, kalian dua anjing kotor! Lepaskan, babi busuk!"
"Wah, wah, anak ini benar-benar seperti iblis kecil!” kata Acauw.
"Mari kita bawa setan kecil ini kepada Cia Ma”
Demikianlah, usaha Cin Cin melarikan diri gagal sama sekali. Ketika Cia Ma
menerimanya kembali dari dua orang jembel itu, ia marah sekali kepada Cin Cin. Juga ia
berterima kasih kepada dua orang jembel yang segera diberinya imbalan yang cukup
memuaskan hati mereka.
"Buka bajunya, la harus menerima hukuman" kata Cia Ma dan ia sendiri yang
mencambuki punggung Cin Cin sampai tangannya terasa letih dan anak itu terkulai
pingsan dengan kulit punggung pecah-pecah. Lalu ia menyuruh pembantunya mengambil
obat dan setelah Cin Cin siuman, dengan tangannya sendiri Cia Ma mengobati dan
mengoles obat yang mendatangkan rasa dingin dan nyaman di kulit punggung yang
pecah-pecah itu. Cin Cin tidak menangis, hanya meringis menahan sakit dan mendesis
saja, atau menggigit bibirnya.
”Engkau anak nakal, engkau tidak meengenal budi. Bukankah selama setahun aku
selalu bersikap baikkepadamu? memberimu makan, pakaian dan mendatangkan guru-guru
kesenian untuk mendidikmu. Akan tetapi apa balasanmu? Engkau malah hendak melarikan
diri! Begitu tega engkau menyakitkan hati Cia Ma-ma!" bujuk Cia Ma dengan suara lembut.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Cinn Cin adalah seorang anak yang cerdik Ia tahu bahwa percuma saja
mempergunakan kekerasan. Cia Ma mempunyai banyakk tukang pukul yang kuat dan
kalau la melawan dengan kekerasan, akhirnya ia sendiri yang akan menderita, sayang
bahwa Sui Su tidak berada lagi situ sehingga ia kehilangan seorang sahabat yang benarbenar
menyayanginya. Ia teringat akan nasihat Sui Su. Akan lebih menguntungkan kalau
ia pura-pura menurut dan patuh kepada Cia Ma sehingga selain memperoleh segala
macam didikan dan kehidupan mewah. Juga memperoleh kebebasan. "Akan tetapi, jangan
sampai engkau masih berada disini kalau engkau sudah berusia empat belas tahun, sudah
mulai dewasa. Karena setelah engkau berusia tlgabelas atau empatbelas tahun, engkau
pasti akan dijual kepada laki-laki hidung belang menjadi permainan mereka dan menjadi
sumber uang banyak bagi Cia Ma. Kalau engkau menolak, siksaan yang lebih hebat akan
kau alami." Demikian nasihat Sui Su ketika itu. "Carilah kelengahanya, dan sebelum
berusia tlgabelas tahun, sedapat mungkin larilah dari neraka yang berselubung sorga ini."
Ia baru berusia enam tahun. Masih banyak waktu untuk hidup layak dan bebas,
pikirnya. Maka, tiba-tiba Cin Cin menangis, hal yang biasanya tak pernah lakukan. Tentu
saja Cia Ma menjadi girang melihat "kelemahan" ini dan ia merangkulnya "Anak baik,
kenapa menangis? Apa yang kau susahkan?"
Cin Cin menangis terisak-isak dan menyembunyikan mukanya di balik lengan baju Cia
Ma. Suaranya bercampur tangis ketika ia berkata, "Nasibku yang buruk. .uh-uh huuuu......
ayah dibunuh orang, ibu diculik orang, dan disini aku dicambuki.......hu-huuu......"
Cia Ma merangkulnya semakin kuat dan mengelus rambutnya. "Anak baik, kau
kucambuki karena engkau melarikan diri. Kalau tidak begitu, aku sayang padamu.
Bukankah selama ini aku tdak pernah memukul atau memakimu, akan tetapi amat sayang
padamu?"
Cin Cin mengusap air matanya, dan mengangguk.
Bukan main senangnya hati Cia Ma. ”Engkau berjanji tidak akan lari lagi?"
"Tidak, Cia Ma, aku menyesal. Tadi nya, karena rindu kepada ibuku, aku ingln mencari
ibuku.......maafkan aku ..aku tidak akan lari lagi."
"Bagus! Engkau memang anak baik, anak cantik manis. Aku akan menyuruh orangorangku
untuk mencari keterangan tentang ibumu. Dan engkau yang aman saja di sini,
ya?"
Demikianlah, mulai hari ini, Cin Cin nampak taat dan penurut. Ia bahkan tekun
mempelajari ilmu baca-tulis, menyulam, menari, bernyanyi dan menabuh Suling dan yangkim,
bahkan bersajak. Tentu saja Cia Ma menjadi girang bukan main karena makin tekun
anak itu, makin pandai anak itu, ia melihat betapa tabungannya semakin gemuk dan kelak
kaau sudah tiba saatnya, la tinggal memetik buahnya! Tentu Cin Cin akan menjadi seorang
gadis yang cantik jelita dan pandai sehingga harganyapun tentu akan amat mahal!
Keadaan itu berjalan dengan baiknya sampai dua tahun lagi sehingga sudah tiga tahun
Cin Cin tinggal di rumah Cia Ma. Ia semakin besar, menjadi seorang gadis cilik yang amat
manis dan amat pandai. Ia memang berbakat dalam kesenian sehingga selain pandai
meniup suling menabuh yang-kim, Juga suaranya merdu kalau bernyanyi, dan tubuhnya
lemah gemulai kalau menari. Ia pandai pula bersajak, lancar membaca dan menulis.
Pendeknya, Jelas bahwa Kam Cin atau Cin Cin merupakan sekuntum bunga yang masih
berkuncup namun sudah menjanjikan setangkai bunga yang akan mekar semerbak harum
dan indah, lagi mahal harganya!
Pada suatu hari, rumah pelesir Cia menerima kunjungan seorang tamu agung. Rumah
pelesir Ang-hwa (Bunga Merah) itu dinyatakan tertutup untuk umum karena pada hari itu,
seorang pembear yang menjabat kedudukan penting di kota raja Lok-yang datang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berkunjung! Sebelum pembesar itu datang, sudah lebih dulu utusannya datang
memberiahu bahwa Coa Tai-Jin(Pembesar Coa) itu hendak berkunjung karena tertarik oleh
nama Ang-hwa sebagai rumah pelesir kota Ji-goan yang kabarnya memiliki bunga-bunga
yang cantik menarik.
Cia Ma segera mengumpulkan gadis-gadis penghibur dari seluruh kota, rumahnya juga
segera dibersihkan dihias seperti hendak menyambut seorang mempelai pria! Bahkan Cin
Cin suruh berpakaian yang paling indah dan di antara hiburan yang akan disajikan kepada
Coa Tai-jin, diselipkan Cin Cin yang akan melakukan tarian dan nyanyiannya.
Sejak pagi, lima orang jagoan yang menjadi pengawal-pengawal Coa Tai-Jn Juga
menjadi tukang pukulnya, sudah datang berkunjung dan melakukan persiapan agar
perjalanan majikan mereka ke tempat itu aman. Dan setelah matahari naiktinggi,
datanglah kereta yang membawa Coa TaJ-Jin, diiringi sepasukan pengawal terdiri dari
selosin peraj rit, dipimpin oleh lima orang Jago itu.
Setelah turun dari kereta, ternyata Coa Tai-jin yang disegani, di takuti dan dihormati itu
hanyalah seorang laki laki berusia limapuluh tahun lebih yang kecil kurus seperti cecak
kering karena terlalu banyak menghisap madat dan berpelesir. Menuruni tangga kereta
saja dia harus dibantu tukang pukulnya agar tidak terpeleset jatuh dan sambil tersenyum
"agung", senyum khas para pembesar yang merasa dirinya tinggi dan berkuasa, dia
melangkah tertatih-tatih disambut oleh Cia Ma dan anak buahnya sambil berlutut! '
Ini tidak aneh karena Coa Tai-jin berpangkat jaksa tinggi dan masih kerabat keluarga
kaisar! Dengan lagak "murah hati" Coa Tai-jin menggerakkan keduaa tangan menyuruh
mereka semua bangkit, kemudian diapun memasuki rumah pelesir Ang-hwa, disambut
asap dupa harum dan bunyi musik lirih yang menyemarakkan suasana.
Karena Cia Ma maklum benar bahwa, kunjungan seorang pejabat tinggi selalu
mendatangkan kehormatan juga mendatangkan banyak uang baginya, maka ia berusaha
sekuat tenaga untuk menyenangkan tamunya. Arak terbaik, hidangan termahal,
disuguhkan oleh gadis-gadis pilihan yang manis-manis. Coa Tai-jin gembira sekali
dikelilingi nona-nona cantik itu, apa lagi dia makan minum sambil menonton pertunjukan
tarian dan nyanyian yang dilakukan oleh penar penari cantik. Kesempatan ini
dipergunakan untuk bermain mata dan melakukan pilihan-pilihan, siapa kiranya gadis
gadis itu yang akan diminta untuk melayaninya sehari semalam di tempat pelesir itu.
Setiap ada gadis yang dianggapnya menggetarkan perasaan hatinnya dia berbisik kepada
seorang pengawal pribadinya sambil menunjuk gadis itu dengan pandang matanya.
Setelah selesal makan minum, sudah ada tujuh oranh gadis yang dipilihnya! Tujuh orang
gadis yang akan menghiburnya sehari semalam itu! Cia Ma menggosok-gosok telapak
kedua tangannya, menghitung hitung berapa kiranya akan diterimanya dari pembesar itu
untuk tujuh orang gadisnya! Sedikitnya akan lima kali lipat harga biasa, belum termasuk
hadiah pribadi.
Pertunjukan terakhir adalah tarian dan nyanyian yang harus dilakukan Cin Cin. Dengan
dandanan sebagai seorang dewi, gadis cilik ini benar-benar mempesona semua
penontonnya, termasuk Coa Tai-jin! Ia benar-benar seperti seorang dewi yang baru
melayang turun dari kahyangan, tariannya demikian lemah mulai dan lembut, suara
nyanyiannya dengan suara kanak-kanak itu masih bening dan merdu. Jantung Coa Tai-jin
bergetar dibuatnya! Kini dia memberi isyarat kepada kepala pengawalnya untuk mendekat,
lalu la berbisik-bisik sampai lama di telinga pengawalnya Itu. Cia Ma tersenyum makin
lebar, mengira bahwa tentu pembesar yang rakus akan wanita itu menambah lagi
pilihannya, mungkin sampai sembilan atau sepuluh orang gadis yang diharuskan
menghiburnya! Akan tetapi, ketika kepala pengawal itu menghampirinya dan membisikkan
pesan Tai-jin, wajah Cia Ma. berubah "Apa ?” Teriaknya dalam bisikan. "Akan tetapi Cin
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Cin baru berusia delapan tahun! Ia masih kanak-kanak! Bagaimana mungkin la dapat
melayani yang mulia............?"
”Hushh, kenapa engkau sekarang begini tolol, Cia Ma?" Kepala pengawal yang sudah
mengenalnya itu mencela "Taijln ingin memindahkan tanaman, bunga yang manis Itu ke
dalam taman bunganya sendiri, bukan untuk dipetik sekarang. Kuncup itu belu mekar.
Taijin Juga tidak ingin memetiknya sekarang. Kalau sudah ditanam di taman bunganya
kelak kalau sudah mekar, setiap saat taijin dapat memetiknya. Mengerti engkau?"
Tentu saja Cia Ma mengerti. Kalau tadi ia berpura-pura, sikap ini hanya merupakan
gaya untuk menaikkan harga
"Tapi......Cin Cin adalah keponakanku sendiri! Kubesarkan ia sejak kecil dan
aku........aku amat sayang padanya. Bagaimana yang mulia begitu tega untuk
memisahkannya darlku.....” Dan dari kedua mata Cia Ma benar-benar keluar air.mata. Air
mata buaya! Memang Cia Ma pandai sekali bersandiwara.
Kepala pengawal itu adalah seorang kangouw yang berpengalaman. Tentu saja tak
mudah mengelabuhl orang seperti dia dan dia tahu bahwa bagi seorang manusia seperti
Cia Ma, tidak ada lagi perasaan sayang kepada sesamanya, yang disayangnya hanyalah
uang!
"Sudahlah, tak ptrlu banyak cakap, katakan saja, berapa harganya?" potongnya singkat.
Cia Ma tidak berpura-pura lagi. Ia tahu sudah membawa dagangannya kepada harga
puncak, tinggal menentukan saja berapa.
"Ahhh, kalau memang yang mulia sungguh-sungguh menginginkan keponakanku,
biarlah akan kuhitung dulu malam Ini, berapa biaya yang sudah kukeluarkan selama
bertahun-tahun ini untuk mendidiknya menjadi seorang calon gadis yang paling hebat di
seluruh Ji-goan, bahkan mungkin tidak ada banding nya di seluruh negeri. Besok pagi-pagi
akan kutentukan berapa biaya yang sudah kukeluarkan itu."
Permintaan ini pantas dan kepala pengawal Itu menyampaikan dengan bisikan kepada
Coa Tai-jin. Pembesar Itu mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tesenyum sabar, dan
leher kecil panjang Itu seperti akan patah ketika dia angguk-angguk seperti itu. Yang
penting baginya, Cia Ma menyetujui untuk "menjual" gadis cilik yang manis itu. Soal
berapa harganya, itu bukan soal baginya. Setiap saat dia dapat mengambil uang yang
dibutuhkannya, dari gudang hartanya yang berada di mana-mana. Setiap orang hartawan
di kota raja sekali saja melihat dia menggerakkan telunjuknya, akan bergesa-gesa dan
berlumba memenuhi kebutuhannya itu!
Demikianlah, sehari semalam itu Tai-jin berenang dalam lautan kesenangan, tenggelam
dalam pemuasan nafsu. Nafsu menyeret kita ke dalam kesenangan, membuat kita mabok
dan lupa diri! Kita lupa sama sekali karena telah mabok kesenangan, bahwa semua
kesenangan bagaikan gelembung-gelembung yang beterbangan di udara. Nampak indah
menarik, seperti gelembung-gelembung air sabun. Namun, hanya selewat saja, untuk
disusul oleh pecahnya gelembung-gelembung itu yang mendatangkan percikan-percikan
air sabun yang pahit dan getir!
Bagaikan langit dengan bumi perbedaan antara menikmati keadaan seadanya dan
mengejar kenikmatan yang belum ada. Yang pertama, yaitu menikmati kehidupan berarti
mensyukuri apa saja yang kita dapatkan dalam kehidupan ini! Selama hal yang kita alami
dalam hidup ini merupakan rangkaian romantika kehidupann dan kalau kita
menghadapinya dengan perasaan syukur, dengan perasaan seyakinnya bahwa
kesemuanya itu adalah kehendak dan karenanya berkah dari Tuhan , maka apapun yang
ada akan mendatangkan perasaan nikmat dan bahagia dalam hati sanubari kita!
Sebaliknya, pengejaran kesenangan timbul karena kita tidak puas dengan keadaan yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
nyata, seadanya, dan pikiran kita membayangkan hal-hal yang belum ada. Hal-hal yang
belum ada. Inilah yang kita namakan kesenangan! Tidak puas dengan apa adanya dan
membayangkan hal-hal yang belum ada ini menciptakan gelembung-gelembung itu. Kalau
sudah begini maka terjadilah kebalikan yang menyedihkan. Semestinya, menurut kodrat,
manusia menjadi majikan, menunggang kuda nafsu agar dapat melakukan perjalanan
hidup, Sesuai kodrat. Namun, kalau Sudah terjadi sebaliknya, kuda menunggangi majikan
nafsu menunggangi manusia, akan celakalah!
Fungsi atau tugas hati akal pikir adalah untuk membantu manusia menanggulangl
segala bentuk kesukaran dalam kehidupan, mendatangkan kecerdikan akal sehingga
manusia dapat melindungi dirinya dari bahaya dan dapat bekerja untuk kelangsungan
hidupnya. Namun, hati akal pikiran yang sudah di cengkeram nafsu, sudah bergelimang
nafsu, menjadi alat daya-daya rendah sehingga menyimpang dari pada tugasnya. Bukan
jadi alat yang baik dan bermanfaat, melainkan sebaliknya menjadi penggoda dengan
bayangan-bayangan yang memikat hingga menyeret kita untuk mengejar
Bayangan-bayangan itu. Dan kalau kita sudah terseret mengejar bayangan
kesenangan, kita lupa diri, hati nurani kita tertutup dan segala hal mungkin kita lakukan
untuk memperoleh apa yang kita kejar-kejar itu. Pengejaran kesenangan harta
kekayaan memungkinkan kita lakukan korupsi, penipuan, pencurian, perampokan dan
sebegainya untuk memperoleh harta yang kita kejar-kejar. Pengejaran kesenangan sex
memungkinkan kita melakukan perjinaan, pelacuran, perkosaan dan sebagainya untuk
memperoleh kesenangan yang kita kejar-kejar, kesenangan yang kita bayangkan dapat
datangkan oleh kekuasaan, kedudukan, memungkinkan kita untuk berebutan sehingga
terjadi pertentangan, persaingan bahkan perang!
Lalu, apakah kita harus menjauhkan dari dari kesenangan? Menjauhkan diri
PENGEJARAN KESENANGAN, memang benar. Akan tetapi bukan berarti menjauhkan diri
dari kenikmatan kehidupan dengan segala romantikanya Ini. Kita dilahirkan dengan segala
perlengkapan yang memungkinkan kita menikmati kehidupan, bukan menjauhi kenikmatan
kehidupan. Buktinya, telinga kita dapat nikmati bunyi-bunyian merdu, mata kita dapat
menikmati penglihatan-penglihatan yang Indah, hidung kita dapat menikmati keharumankeharuman
yang sedap, mulut kita dapat menikmati rasa asin manis, masam dan
sebagalinya dalam makanan. Kita hendak menikmati semua itu, karena itulah berkah
Tuhan! Kita berhak menikmati apa yang ada setiap saat, setiap detik. Bahkan setiap
tarikan napas akan terasa nikmat sekali kalau kita ingat bahwa setiap tarikan napas
merupakan berkah Tuhan! Apa saja yang ada merupakan sumber kenikmatan bagi orang
mensyukuri kehendak Tuhan karena dalam segala hal, kalau Tuhan menghendaki,
terdapat berkah dan kenikmatan!
Ketika pada keesokan harinya Cia menyebutkan jumlah uang yang katanya telah ia
keluarkan sebagal biaya mendidik Cin Cin, dengan royal Coa Tai-jin membayarnya dengan
tunai, bahkan menambahkan sejumlah hadiah yang melampaui bayangan Cia Ma sendiri.
Tentu saja wanita gendut Itu girang bukan main. Kalau dihitung, selama tiga tahun
mendidik Cin Cin, la menerima, keuntungan puluhan kali lipat! Akan tetapi, segera
kegirangan ini disusul kekecewaan dan kemarahan karena ketika ia membujuk anak
perempuan itu, Cin Cin berkeras tidak mau diserahkan kepada Coa Tai-jin.
"Anak tolol! Setiap anak perempuan di manapun akan berlumba untuk menjadi gadis
pingitan di rumah seorang pembesar tinggi seperti Coa Tai-jin, dan egkau yang dipilih oleh
beliau, berani menolak? Bodoh kau, Cin Cin. Engkau akan hidup mewah, mulia dan
terhormat di sana. Apa lagi kalau kelak diangkat menjadi selir Coa Tai-jin, ada
kemungkinan untuk menjadi nyonya besar!" Cia Ma mencoba membujuk, akan tetapi
bujukan ini salah alamat. Bukannya tertarik oleh bujukan itu, Cin Cin menjadi makin marah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tidak, Cia Ma! Aku tidak sudi menjadi budak belian, biar di rumah istana kaisar
sekalipun. Biar aku pergi saja dari sini kalau engkau tidak mau menerlmaku lagi!" Diamdiam
Cin Cin nyesal mengapa tidak dari kemarin melarikan diri. Disangkanya, belum
waktunya untuk melarikan diri, karena bukankah Sui Su pernah memesan kepadanya agar
ia berhati-hati dan jangan tlnggal di situ setelah berusia tlgabelas tahun? Kini usianya baru
delapan tahun dan ia sudah akan dijual! Ia tahu bahwa dirinya akan dijual kepada
pembesar kurus kering yang semalam menonton. Ia menari dengan mata melotot dan
mulut menyeringai.
(Bersambung Jilid 7)

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 06, 2010 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Naga Beracun1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang