Naga Beracun 3

8.9K 35 7
                                    

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
(Lanjutan Naga Sakti Sungai Kuning)
Karya : Kho Ping Hoo
Scan djvu oleh Syaugy_ar
Ebook by Dewi KZ & Sukanta
http://kangzusi.com/
Jilid 11
"Maaf, Paduka Raja Muda Baducin! Saya kira, urusan anak buah adalah urusan kecil, apa
perlunya dibesarkan lagi? Biarlah lain hari kami akan mengirim obat kepada tujuh orang anggota
pasukan Pedang Bengkok itu disertai maaf kedua orang muda ini."
"Aih, Poa Kiu, kenapa begitu? Kami yakin bahwa Raja Muda Baducin tidak mempunyai niat
buruk. Beliau memang kagum kepada orang-orang lihai seperti juga kami. Oleh karena itu,
pertandingan adu kepandaian ini menarik sekali."
Lalu dia menoleh kepada Siauw Can. "Orang muda, beranikah kalian berdua menandingi kedua
orang pengawal pribadi Raja Muda Baducin itu?"
"Kami hanya menanti perintah paduka," Jawab Siauw Can.
"Bagus! Kami perintahkan kepada kalian berdua untuk menandingi dua orang raksasa kembar
itu mengadu ilmu kepandaian." Kepada seorang di antara pengawalnya dia berkata, "Cepat engkau
ke ruangan berlatih dan persiapkan tempat untuk mengadu kepandaian!"
Sambil tertawa-tawa akan tetapi hati mereka sebetulnya panas, dua orang bangsawan itu
berjalan berdampingan menuju ke ruangan latihan yang luas di sebelah belakang bangunan itu.
Mereka diikuti Poa Kiu, kemudian dua orang pengawal pribadi Bangsa Turki, lalu Siauw Can dan
Bi Lan, baru duabelas orang pengawal pangeran itu mengawal bagian paling belakang.
Sebetulnya jarang sekali dua orang bangsawan itu saling berkunjung, bahkan tidak pernah.
Semua orang tahu belaka bahwa Pangeran Tua Li Siu Ti merupakan bangsawan yang tidak suka
kepada orang Turki, seperti banyak pula pejabat dan bangsawan yang seperti dia. Akan tetapi
karena pasukan Turki itu merupakan rekan dari pasukan yang dipimpin Panglima besar Li Si Bin,
tentu saja dia tidak berani berterang menyatakan rasa tidak sukanya kepada Bangsa Turki. Hanya
di dalam hatinya saja dan dia tidak pernah bergaul dengan mereka, kecuali dalam pertemuan
resmi. Hal ini diketahui pula oleh Raja Muda Baducin, maka kalau dia bersikap ramah, ini hanyalah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
basa basi belaka. Di dalam hatinya, tentu saja dia juga amat tidak suka kepada adik kaisar yang
anti Turki ini.
Mereka kini memasuki ruangan latihan yang luas itu. Di sini bukan hanya untuk latihan para
pengawal, akan tetapi j|uga kadang-kadang kalau sang pangeran mengadakan rapat rahasia
dengan orang yang dipercayanya saja, tempat ini dipergunakan. Tempat ini aman, tertutup dan
terjaga ketat oleh para pengawal sehingga orang luar jangan harap akan dapat mengintai, apa lagi
masuk.
Setelah tiba di situ sang pangeran dan sang raja muda segera duduk di kursi yang sudah
disediakan, sedangkan para pengawal berjajar di belakang pangeran. Juga di pintu terdapat prajurit
yang berjaga. Dua orang raksa kembar itu agaknya sudah siap dan mereka menyeringai sambil
memandang ke arah Siauw Can dan Bi Lan, calon lawan mereka. Siauw Can segera memberi
hormat kepada Pangeran Tua Li Siu Ti.
"Mohon maaf, pangeran. Saya mohon agar pertandingan ini diadakan satu lawan satu dan
bergiliran, karena seorang di antara kami harus menjaga Lan Lan, anak kecil ini." Mendengar
ucapan Siauw Can itu, Bi Lan mengangguk setuju dan ia merasa girang sekali. Memang, adanya
Lan Lan merupakan kelemahan bagi pihaknya. Ia belum tahu watak lawan. Siapa tahu mereka
menggunakan akal untuk mencapai kemenangan, misalnya dengan menangkap Lan Lan, seperti
yang pernah dilakukan tiga orang perwira di kota Peng-lu itu. Permohonan Siauw Can kepada
pangeran itu memang penting sekali, karena dengan cara bergantian, maka Lan Lan terjaga
dengan aman.
Pangeran Tua tersenyum dan mengangguk. "Tentu saja, di sini tidak ada istilah keroyokan.
Kamipun ingin menikmati adu kepandaian ini, kalau satu lawani satu akan dapat kita ikuti dengan
baik. Siapa di antara kalian yang akan maju lebih dahulu?"
Bi Lan menyerahkan Lan Lan kepada Siauw Can. Anak ini sudah biasa dengan Siauw Can, maka
iapun mau saja dipangku pemuda itu dan Bi Lan lalu bangkit menghampiri pangeran. "Saya yang
akan maju lebih dulu, pangeran."
Pangeran Tua Li Si u Ti tersenyum kagum. Dia belum percaya betul bahwa wanita muda cantik
yang mempunyai seorang anak ini memiliki ilmu kepandaian hebat dan akan mampu menandingi
seorang di antara dua raksasa kembar itu.
Akan tetapi sikap wanita yang demikian tenang dan berani saja sudah mengundang
kekagumannya. Bagaimanapun juga, dalam hal keberanian, wanita ini jarang tandingannya,
pikirnya. Diapun mengangguk dan menoleh kepada Raja Muda Baducin.
"Nah, jago kami sudah maju. Paduka akan mengajukan jago yang mana?"
Sebetulnya, tingkat kepandaian dua orang saudara kembar itu sama dan kelihaian mereka justru
kalau mereka maju berdua. Biarpun mempunyai dua badan, namun saudara kembar itu dapat
bergerak seperti dikemudikan satu pikiran dan satu perasaan saja, dan hal ini yang membuat
mereka sukar dikalahkan kalau maju berdua. Namun, biarpun seorang diri, masing-masing juga
merupakan lawan yang amat kuat. Hanya bedanya, kalau Gondulam hanya suka akan kemuliaan,
adik kembarnya, Gondalu, adalah seorang mata keranjang. Maka, begitu melihat yang maju Bi Lan,
wanita yang cantik manis itu, Gondalu mendahului saudara kembarnya dan melangkah maju
memberi hormat kepada Raja Muda Baducin sambil berkata. "Kalau paduka mengijinkan, hamba
yang akan maju menandingi perempuan ini. Yang Mulia!"
Tentu saja Baducin mengenal watak Gondalu, maka dia tersenyum dan mengelus kumisnya
sambil mengangguk-angguk, bersenang-senanglah engkau, Gondalu!" katanya.
Gondalu melangkah maju menghampiri Bi Lan yang sudah siap berdiri di tengah ruangan yang
luas itu. Ia bersikap waspada, berdiri dengan santai, akan tetapi seluruh syaraf di tubuhnya dalam
keadaan siap siaga. Ia tadi sengaja menanggalkan sepasang pedangnya dan menyerahkannya
kepada Siauw Can sehingga melihat ini, sebelum melangkah maju Gondalu juga menanggalkan
pedang bengkoknya dan menitipkannya kepada saudara kembarnya. Hal ini atas isyarat Siauw Can
yang tidak ingin kehadiran mereka yang pertama itu akan membuat lawan roboh terluka atau tewas
sehingga akan terjadi permusuhan antara dua orang besar itu.
Gondalu yang juga tidak ingin membunuh lawan, senang-melihat wanita itu maju dengan
tangan kosong. Dengan bertanding tanpa senjata, lebih mudah baginya untuk menelikung dan
menangkap wanita cantik itu, mengalahkannya tanpa melukai, akan tetapi dia akan dapat
sepuasnya memegang-megang dan mengusap-usap!
Bagi orang biasa, melihat kedua orang yang akan bertanding itu berhadapan, tentu akan merasa
cemas terhadap Bi Lan. Sungguh tidak sepadan lawa itu, amat berat sebelah! Gondalu adalah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
seorang laki-laki raksasa yang tubuhnya berotot dan kokoh kekar seperti tugu batu! Sedangkan Bi
Lan seorang wanita muda yang tubuhnya ramping padat dan nampak lemah lembut, tubuh yang
membayangkan kehangatan dan kelembutan yang sepatutnya hanya menandingi kemesraan dan
belaian, bukan kekerasan dan pukulan!
Mereka berdiri berhadapan dalam jarak dua meter. Raksasa itu berdiri dengan punggung agak
melengkung ke depan, lebar dan tinggi, seperti seekor beruang. Kedua lengannya yang panjang itu
tergantung lepas sampai hampir mencapai lutut, dengan jari-jari tangan yang besar. Ibu jari
raksasa itu tentu tidak kalah besar dibandingkan pergelangan tangan Bi Lan!
Agaknya, sekali terkena cengkeraman jari-jari tangan itu tulang-tulang Bi Lan akan remukremuk.
Bi Lan hanya setinggi bawah pundak Gondalu dan biarpun mereka berdiri dalam jarak dua
meter, hidung Bi Lan masih dapat menangkap bau yang apek dan mengingatkan ia akan bau di
kandang kerbau!
"Heh-heh heh, sudah siapkah engkau, nona?" Gondalu bertanya sambil menyeringai, katakatanya
terdengar kaku dengan logat asingnya. "Kalau sudah, seranglah dan perlihatkan
kepandaianmu!"
"Pihakmu yang menantang, maka kamulah yang harus menyerang lebih dulu. Aku sudah siap!"
jawab Bi Lan, sikapnya masih tenang saja dan santai, akan tetapi matanya tak pernah berkedip,
mengikuti gerakan tubuh orang, terutama kedua pundaknya karena semua gerakan penyerangan
kedua tangan selalu didahului oleh gerakan pundak. Juga pendengarannya dikerahkan agar dapat
ia menangkap semua sambaran kaki lawan kalau melakukan penyerangan. Hal ini penting sekali
karena kadang-kadang, pendengaran mendahului penglihatan dalam mengikuti gerakan lawan.
"Heh-heh-heh, kau sambut ini, nona manis!" dan Gondalu sudah menerjang ke depan, kedua
lengannya yang panjang itu bergerak, yang kanan meluncur ke depan mencengkeram ke arah dada
Bi Lan dan yang kiri menyambar dari atas untuk menjambak rambut wanita itu. Jelas bahwa orang
Turki ini tidak lagi bersikap sungkan, walaupun menghadapi lawan wanita, begitu menyerang, dia
langsung mencengkeram ke arah dada, hal yang tidak akan dilakukan oleh seorang yang menjaga
kesopanan terhadap wanita. Namun, Bi Lan menghadapinya dengan tenang. Ia memang tidak
pernah mengharapkan orang seperti raksasa ini akan mengenal sopan santun, maka
serangannyapun tidak membuat ia terkejut atau marah. Dengan lembut dan tidak tergesa-gesa ia
melangkah mundur dan serangan kedua lengan panjang itupun luput, akan tetapi Gondalu sudah
melangkah maju.
Kalau Bi Lan melangkah mundur tiga langkah, maka raksasa ini dengan satu langkah saja sudah
mendekati Bi Lan dan sekali ini, kedua tangannya yang kasar dengan jari-jari tangan terbuka,
sudah menyambar dari kanan kiri untuk menangkap pinggang Bi Lan.
Kembali Bi Lan mengelak dengan lompatan ke kiri. Ia belum berani lancang membalas karena ia
harus mencari dulu kelemahan dari lawan, dan ia dapat menduga bahwa lawan belum benar-benar
menyerangnya, hanya mengira ila seorang wanita lemah dan hendak mempermainkan saja.
Setelah dua kali tubrukannya luput, Gondalu mulai merasa penasaran. Dia melihat gerakan
wanita itu ketika mengelak, demikian ringan dan cepat, maka sebagai seorang yang banyak
pengalaman berkelahi, dia dapat menduga bahwa wanita ini memiliki kegesitan yang membuat dia
akan selalu gagal kalau menyerang dengan lemah dan berusaha menangkap saja. Maka, setelah
lima kali menubruk dan gagal, kini mulailah Gondalu melakukan penyerangan dengan sungguhsungguh.
Dia mengeluarkan suara gerengan nyaring dan lengan kirinya bergerak, mencengkeram dari kiri
atas ke arah kepala lawan, sedangkan tangan kanannya mendorong dengan telapak tangan ke arah
perut. Serangan ini hebat sekali dan dari sambaran anginnya, tahulah Bi Lan bahwa lawan mulai
bersungguh-sungguh!
"Plak! Plakk!" Ia sengaja mundur sambil menangkis dengan kedua lengannya untuk mengukur
tenaga lawan. Bi Lan merasa tubuhnya terguncang! Benarlah dugaannya bahwa mengadu tenaga
dengan lawan seperti ini amat berbahaya. Ketika tangan itu menyambar selagi ia terguncang, ia
sudah melompat ke atas dan kakinya mencuat, menendang ke arah muka lawan.!
Gerakan ini amat cepat karena dilakukan ketika tubuh mencelat ke atas, seperti serangan kaki
seekor burung rajawali!
"Uhhhh.........!" Gondalu terkejut dan cepat dia menarik tubuh atas ke belakang. Nyaris mukanya
tercium sepatu! Dan kini Bi Lan berjungkir balik tiga kali, turun ke atas lantai di belakang lawan.
Akan tetapi Gondalu sudah membalik sambil melakukan tendangan. Kakinya yang panjang dan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
besar itu menyambar seperti sebuah balok yang besar, mendatangkan angin bersiut. Bi Lan kembali
melompat dan mengelak sehingga tendangan itu hanya mengenai tempat kosong.
Marahlah Gondalu. Lupa dia bahwa lawannya seorang wanita yang cantik molek. Lenyap semua
keinginannya merangkul, memeluk, meraba dan mencolek. Dengan beringas dia menyerang dan
ternyata raksasa ini memiliki gerakan silat yang amat ganas, dan tenaganya memang dahsyat.
Namun, tidak percuma beberapa tahun Bi Lan digembleng ilmu oleh guru yang kemudian
menjadi suaminya, yaitu mendiang Sin-tiauw (Rajawali Sakti) Liu Bhok Ki! Tubuhnya berkelebatan
bagaikan seekor burung rajawali, mengelak sambil membalas dengan serangan yang cepat sekali,
dari kanan kiri, dari depan dan terutama sekali dari atas.
Ia pasti membalas dengan serangan dari atas yang membuat Gondalu terkejut dan berkali-kali
dia nyaris terkena tamparan atau tendangan lawan.
Kini Raja Muda Baducin memandang bengong. Pertandingan itu jelas memperlihatkan bahwa
jagonya sama sekali tidak mampu mendesak lawan, dan pertandingan itu hebat sekali. Bagaikan
sekor beruang besar melawan seekor burung rajawali! Beruang itu mencoba untuk menangkap dan
menyerang dari bawah dan rajawali menyambar-nyambar dari atas. Bukan main hebatnya wanita
itu dan sekarang dia mengerti mengapa tujuh orang anggota pasukan Pedang Bengkok tidak
mampu mengalahkan wanita itu. Memang hebat! Juga Gondulam menonton dengan penuh
perhatian. Dia melihat betapa saudara kembarnya itu tidak kalah dalam hal tenaga dan memiliki
daya serang yang lebih dahsyat dan ganas, akan tetapi saudaranya itu tidak berdaya karena lawan
terlampau gesit, terlampau cepat gerakannya dengan keringanan tubuh yang mengagumkan. Sukar
memang menangkap atau menyerang lawan segesit itu, dan saudaranya itu berada dalam bahaya
kalau dia tidak hati-hati.
Sementara itu, Pangeran Tua Li Siu Ti juga memandang bengong, akan tetapi bengong dan
kagum di samping perasaan gembiranya. Berulang kali dia memandang kepada Poa Kiu sambil
mengangguk-angguk senang. Memang pilihan orang kepercayaannya itu benar sekali! Wanita ini
hebat! Kalau dia mempunyai pengawal keluarga seperti ini, tentu aman! Dan puterinya, anak
tunggalnya, Li Ai Yin yang akhir-akhir ini rewel ingin belajar silat, dapat berguru kepada wanita
yang lihai ini!
Tiba-tiba dia melihat puterinya itu muncul di ambang pintu ruangan itu. Para penjaga memberi
hormat, akan tetapi gadis itu tidak memperhatikan, dan ia melangkah masuk, lalu berdiri bengong
memandang ke arah pertandingan yang tengah berlangsung. Li Ai Yin adalah seorang dara berusia
tujuhbelas tahun yang cantik, berkulit putih mulus dengan dandanan seorang puteri, serba indah
dan mewah pakaiannya. Rambut digelung tinggi di atas kepala, dihiasi emas permata. Juga telinga,
leher, lengan dan jari tangannya berhiaskan emas permata gemerlapan. Gadis itu memiliki mata
dan mulut yang manis dan genit menantang. Kerling matanya tajam, senyumnya menantang dan ia
memang memiliki daya tarik yang mempesona. Karena pertandingan sedang berlangsung dan
semua orang memperhatikan pertandingan itu. Pangeran Tua Li Siu Ti juga diam saja tidak
menegur puterinya yang nampak tertegun dan berdiri di dekat pintu.
Pertandingan itu kini sudah mencapai puncaknya. Tigapuluh jurus telah lewat dan belum pernah
satu kalipun Bi Lan terjamah jari tangan Gondalu atau ujung kakinya. Gerakan wanita muda ini
terlalu cepat bagi Gondalu dan kini Bi Lan yakin bahwa kelemahan lawannya adalah pada
gerakannya yang terlalu lamban, karena berat badan dan karena kekakuan otot-otot yang dilatih
terlalu keras itu. Gondalu memang berhasil memiliki tenaga otot sebesar gajah, akan tetapi hal ini
membuat gerakannya menjadi kaku dan lamban. Ia tahu pula bahwa lawan ini memiliki kekebalan,
bahkan pernah ia menotok dengan jari tangan dan mengenai leher dan pundak, akan tetapi raksasa
itu tidak banyak terpengaruh, hanya tergetar sedikit akan tetapi tidak roboh! Sukar agaknya
merobohkan raksasa ini kalau tidak menggunakan akal, pikirnya. Dari gurunya ia telah mendapat
banyak petunjuk bagaimana menghadapi lawan yang tangguh, kebal dan sukar dilukai.
Bi Lan mempercepat gerakannya dalam ilmu silat Hui-tiauw-sin kun (Silat Sakti Rajawali
Terbang) sehingga Gondalu terpaksa harus ikut berputar karena lawannya seperti terbang
berputaran. Gondalu menjadi pening juga karena gerakan lawan terlampau cepat. Tiba-tiba dia
melihat bayangan lawan meloncat ke atas dan ketika wanita itu menukik turun, kedua tangannya
menyambar ke arah ubun-ubun kepala dan matanya.
"Huhh.......!! " Gondalu menggereng dan kedua lengannya diputar di depan kepala dan muka
untuk melindungi bagian ini. Dia memang kebal, akan tetapi matanya jelas tidak kebal, dan ubunubun
kepalanya merupakan bagian yang amat berbahaya walaupun sudah dilindungi dengan
kekebalan. Jangankan terluka, baru tergetar keras atau terguncang saja sudah berbahaya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Akan tetapi, secepat kilat Bi Lan mengurungkan serangannya dan tubuhnya meluncur ke bawah,
memutar dan dari belakang, kedua kakinya menghantam ke arah kedua kaki lawan, tepat di
belakang lutut!
"Bressss.........!!" Betapapun kuat dan kebalnya tubuh Gondalu, akan tetapi dihantam dengan
tendangan mengandung sin-kang dan tepat mengenai belakang lutut, tentu saja dia tidak mampu
bertahan untuk berdiri lagi. Kedua lututnya tertekuk dan diapun sudah jongkok dan bertekuk lutut.
Biarpun dia tidak roboh, akan tetapi sudah jatuh berlutut seperti itu sungguh merupakan bukti
bahwa dia telah kalah! Kalau lawan menghendaki, ketika dia jatuh berlutut itu, tentu lawan dapat
menghabisinya dengan serangan maut ke arah kepalanya.
Bi Lan cepat memberi hormat kepada Pangeran Tua Li Siu Ti dan pangeran itu tersenyum
gembira bukan main. Tiba-tiba terdengar tepuk tangan yang nyaring. Semua orang menengok ke
pintu dan melihat betapa yang bertepuk tangan adalah puteri sang pangeran, semua orang,
termasuk para perajurit yang berjaga, ikut pula bertepuk tangan. Tepuk tangan Ai Yin dan ayahnya
yang paling keras dan kedua orang inilah yang membuat semua orang berani ikut-ikut bertepuk
tangan, kecuali tentu saja Raja Muda Baducin dan dua orang pengawal pribadinya itu.
Gondalu merasa penasaran sekali dan beberapa kali dia memprotes, mengatakan dalam
bahasanya sendiri kepada Raja Muda Baducin bahwa dia belum kalah karena belum roboh. Akan
tetapi agaknya Baducin tahu diri. Dia tadi melihat betapa jagoannya memang tidak mampu berbuat
banyak. Wanita muda itu terlalu cepat gerakannya sehingga jagoannya belum pernah berhasil
menampar atau memukul lawan satu kalipun, sedangkan wanita itu sudah beberapa kali memukul
dan menendang dengan tepat, walaupun tidak dapat merobohkan Gondalu yang kebal. Maka
diapun membentak Gondalu disuruh mundur. Gondalu, dengan muka merah, lalu berdiri di
belakang raja muda itu.
"Ayah, siapakah enci yang amat lihai ini? Ia hebat sekali!" Ai Yin menghampiri ayahnya. Ketika
melihat Siauw Can memondong anak perempuan kecil dan Bi Lan yang dikagumi itu menghampiri
pemuda itu dan kini menggantikan memondong Lan Lan, Ai Yin mengerutkan alisnya sambil
memandang kepada Siauw Can dengan penuh perhatian.
"Dan dia ini siapa, ayah? Apakah suami dari enci ini dan anak itu puteri mereka ?"
"Ha-ha ha, wanita ini adalah pengawal keluarga kita yang baru, Ai Yin. Sudahlah, nanti saja kita
bicara dan berkenalan dengan mereka. Sekarang masih ada sebuah pertandingan lagi. Duduklah di
sini, kita nonton pertandingan yang tentu akan lebih menarik lagi," kata sang pangeran.
Ai Yin menghampiri ayahnya dan Siauw Can yang diam-diam memperhatikan, menelan ludah.
Tak disangkanya bahwa Pangeran Li Siu Ti mempunyai seorang puteri yang demikian cantik
jelitanya, dan ketika melangkah, dia menelan ludah. Langkah dara itu mengandung lenggang yang
menggairahkan dan memikat dan sebagai seorang laki-laki yang berpengalaman, tahulah dia bahwa
dara itu memiliki watak yang menantang dan genit. Langkah itu buatan, dan memang hebat, lemah
gemulai dan menonjolkan lekuk-lengkung tubuhnya, dengan pinggul yang menari-nari di balik
bayangan pakaiannya! Dan dengan sikap amat manja Ai Yin duduk di samping ayahnya, tersenyumsenyum
anggun dan bangga karena ia yakin bahwa penampilannya, gaya dan lenggang tadi tentu
akan membuat semua pria yang memandangnya menjadi mabok kepayang! Apalagi pemuda yang
tampan gagah itu!
Siauw Can kini maju dan memberi hormat kepada sang pangeran, otomatis juga kepada Ai Yin
karena dara ini duduk di samping ayahnya. Dengan memasang senyumnya yang paling menarik,
dengan sepasang mata yang bersinar-sinar dengan sikap yang dibuat paling gagah, dia memberi
hormat dan berkata, "Kalau paduka mengijinkan, sava akan menghadapi tantangan jagoan raksasa
ke dua dari Raja Muda Baducin."
"Perlihatkan kemampuanmu kalau kau ingin kami beri kedudukan yang tinggi," kata sang
pangeran.
Siauw Can mengangguk dan ketika dengan sikap gagah dia membalik untuk menghampiri
lawan, Ai Yin berseru, "Heiiii! Ambilkan perhiasan di sorban lawanmu itu untukku!"
Sang pangeran terkejut, akan tetapi karena puterinya sudah terlanjur bicara, diapun tak dapat
berbuat sesuatu. Mendengar ini, Siauw Can membalik memandang kepada puteri itu dengan mata
bersinar dan wajah berseri, bibirnya tersenyum dan diapun menjura dengan dalam.
"Saya akan mentaati perintah paduka!" katanya dan tentu saja Ai Yin yang manja itu menjadi
girang, tersenuum dan mengangguk. Melihat ini, diam-diam Bi Lan merasa tidak enak. Ia sama
sekail tidak merasa cemburu, akan tetapii menganggap bahwa sikap Siauw Can berlebihan. Pemuda
itu akan menemui banyak kesukaran kalau bersikap seperti itu terhadap puteri pangeran! Balum
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
juga memperoleh kedudukan, sudah bersikap seperti itu, sikap yang jelas sekali menunjukkan
bahwa pemuda itu tergila-gila oleh kecantikan sang puteri. Atau mungkin juga oleh kedudukan
puteri itu, karena kalau hanya tertarik oleh kecantikannya, tidak mungkin. Gadis itu masih terlalu
muda, dan mempunyai sifat genit dan manja, dan mengenai kecantikannya, tidaklah terlalu hebatt
sehingga kiranya tidak akan cukup untuk membuat seorang seperti Siauw Can tergila-gila.
Siauw Can sudah berhadapan dengan Gondulam. Tentu saja jagoan ke dua lebih berhati-hati
dari pada saudaranya setelah melihat apa yang dialami oleh Gondalu. Dia sama sekali tidak,
memandang rendah kepada lawannya, walaupun pemuda itu kelihatan kecil saja baginya.
Dia sudah tahu bahwa orang Han banyak yang memiliki ilmu silat aneh dan sama sekali tidak
terduga-duga, penuh rahasia. Maka, sebelum maju dia telah mengerahkan kekuatan sihirnya,
dibantu oleh saudara kembarnya, sehingga ketika dia melangkah maju, selain kedua lengannya
terisi kekuata sihir, juga bagi lawannya dia akan nampak mengerikan dan dahsyat! Selain itu juga
dia menggosok-gosok kedua telapak tangannya dan telapak kedua tangan itu mengeluarkan uap
panas!
Begitu memandang wajah lawan dan melihat wajah itu menggiriskan Siauw Can maklum apa
yang terjadi! Akan tetapi, dalam hatinya dia tertawa.
Ia sendiri adalah putera dan murid mendiang Cui-beng Sai-kong (Kakek Muka Singa Pengejar
Arwah), seorang yang ahli dalam hal ilmu hitam dan sihir. Maka, biarpun tahu bahwa lawannya
mengeluarkan ilmu sihir sehingga membuat wajahnya nampak menyeramkan. Dia memejamkan
kedua mata, berkemak-kemik lalu menggosok kedua matanya dengan telapak tangannya sendiri
dan ketika dia membuka kembali matanya, wajah Gondulam nampak biasa saja!
Melihat kedua telapak tangan lawan mengeluarkan uap, Siauw Can segera menghimpun sinkang
dan menyalurkannya ke arah kedua tangannya. "Sobat, tidak perlu menggunakan ilmu setan
menakut-nakuti anak kecil. Aku sudah siap. Nah, majulah!" tantang Siauw Can sambil tersenyum
manis karena dia menghadap ke arah sang puteri agar dara itu dapat melihat senyumnya. Dan Ai
Yin memang melihat semua lagak pemuda itu. Ia berbisik kepada ayahnya. "Ayah, orang itu hebat,
ya?"
"Hemmm......" Pangeran Tua Li Siu Ti mengerling kepadanya dengan alis berkerut. Di lubuk
hatinya dia merasa tidak senang kalau puterinya tertarik kepada pemuda pendekar itu atau
kepada siapapun juga. Baginya, hanya ada calon tunggal untuk puterinya, yaitu ponakannya
sendiri, sang putera mahkota atau panglima besar, Li Si Bin! Dia tahu bahwa mereka masih saudara
sepupu, sama-sama bermarga Li. Akan tetapi pantangan menikah antara marga yang sama hanya
berlaku untuk rakyat jelata. Keluarga kaisar boleh melakukan apa saja tanpa ada pantangan,
karena bukankah yang membuat peraturan dan hukum adalah keluarga kaisar pula? Yang penting,
Li Ai Yin, anak tunggalnya, harus menjadi isteri Li Si Bin dan kelak menjadi permaisuri, itu
merupakan satu di antara cita-citanya!
Gondulam diam-diam terkejut melihat sikap pemuda itu. Jelas bahwa pemuda itu tidak
terpengaruh kekuatan sihirnya dan ini saja menunjukkan bahwa pemuda itu merupakan lawan yang
tangguh.
"Huahhh.......!!" Dia mengeluarkan teriakan parau dan tanpa membuang waktu lagi,
Gondulam sudah melakukan serangan kilat. Dia tidak mau meniru saudaranya yang tadi gagal.
Begitu menyerang, dia menggunakan gerakan cepat sambil mengerahkan seluruh tenaga.
Menyerang dengan dahsyat sekali sehingga tulang-tulangnya mengeluarkan bunyi berkerotokan
ketika kedua tangannya mencakar-cakar seperti kaki harimau.
Siauw Can juga maklum akan kehebatan lawan. Akan tetapi, tingkat kepandaian Siauw Can jauh
lebih tinggi daripada tingkat lawannya, Juga jauh lebih tinggi daripada tingkat kepandaian Bi Lan.
Maka, dengan berani dia menyambut dengan kedua tangannya pula.
"Dukk! Dess.........!" Dua pasang tangan bertemu. Sepasang lengan yang kokoh kuat dan besar
dari Gondulam bertemu dengan lengan Siauw Can yang biasa saja besarnya, dan akibatnya, tubuh
Gondulam terhuyung ke belakang, sedangkan Siauw Can tetap tegak dan tersenyum mengejek.
"Mana tenagamu? Keluarkan semua tenaga dan kepandaianmu," kata Siauw mengejek. Ai Yin
bertepuk tangan, tepuk tangan tunggal di ruangan itu, akan tetapi dara itu tidak merasa janggal
atau sungkan. Dan diam-diam sang pangeran juga kagum kepada Siauw Can. Pemuda itu dalam
segebrakan saja membuat lawannya terhuyung. Semua orang merasa heran, termasuk Raja Muda
Baducin. Hanya Bi Lan yang tidak merasa heran, karena biarpun belum dapat mengukur sampai di
mana kehebatan Siauw Can, namun ia tahu bahwa pemuda itu memang lihai bukan main.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Gondulam menjadi marah sekali ketika diejek. Dia mengeluarkan suara menggereng seperti
binatang buas, lalu menyerang bertubi-tubi, mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Kedua
tangannya itu kalau sampai dapat menangkap bagian tubuh Siauw Can, tentu akan segera
menggunakan ilmu gulatnya dan jangan harap Siauw Can akan mampu melepaskan dirinya lagi
sebelum seluruh tulangnya patah-patah! Akan tetapi, pemuda inipun bukan seorang bodoh. Selain
memiliki pengalaman bertumpuk, pernah menghadapi lawan-lawan yang jauh lebih lihai dan
berbahaya dibandingkan raksasa itu. Apa lagi sekarang dia sedang berlagak untuk memancing
pujian dan kekaguman dari puteri jelita itu! Dia sengaja hendak mempermainkan lawannya!
Dengan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang tinggi, dia sengaja mengelak dengan langkahlangkah
aneh dan loncatan-loncatan gesit dan lucu. Beberapa kali sengaja membiarkan tangan
lawan menyentuhnya, akan tetapi segera dia mengelak sambil beberapa kali mencolek dan
mendorong tubuh lawan. Kalau dia mau, sejak tadi dia akan mampu merobohkan lawan. Akan
tetapi dia memang sengaja membuat pertandingan itu nampak seru! Padahal, Gondulam sendiri
tahu bahwa dia kalah jauh, akan tetapi karena pemuda itu mempermainkannya. Ia menjadi marah
sekali dan menyerang dengan dahsyat dan mati-matian, bahkan membabi buta.
"Brettt...........!" Siauw Can merobek baju lawan ketika dia mencengkeram baju itu dari
belakang, sehingga tubuh bagian atas lawan menjadi telanjang.
Kalau saja di situ tidak ada Bi Lan dan puteri pangeran itu, tentu akan direnggutnya lepas pula
celana lawan.
Kembali terdengar tepuk tangan dari puteri itu yang bertepuk tangan gembira. Melihat ini, Bi
Lan menjadi semakin khawatir. Ia tahu bawa Siauw Can menjual lagak, dan tahu pula bahwa gadis
itu adalah seorang dara remaja yang masih hijau dan memang berpenampilan genit. Menghadapi
seorang pemuda tampan gagah dan berpengalaman seperti Siauw Can, dara ingusan ini tentu amat
mudah jatuh!
"Ambilkan perhiasan itu untukku!" kata pula Ai Yin di antara tepukannya.
"Baik, tuan puteri!" biarpun dihujani serangan dari lawan yang semakin marah, Siauw Can masih
mampu menjawab. "Heiii, gajah bengkak! Tuan puteri minta perhiasan sorbanmu, tidak cepat kau
serahkan?" katanya dan tiba-tiba tangan kirinya dengan jari-jari terpentang menusuk ke arah mata
Gondulam.
Gerakan ini cepat dan tiba-tiba, membuat Gondulam terkejut. Tentu saja dia tidak ingin matanya
menjadi buta tertusuk jari-jari tangan itu. Dia cepat menangkis, bahkan mencoba untuk menangkap
tangan yang menusuk ke arah mata itu, sambil menarik tubuh atas ke belakang. Akan tetapi, pada
saat itu Siauw Can sudah meloncat ke atas, berjungkir balik dan tangannya menyambar ke arah
sorban di kepala lawan. Sebelum Gondulam dapat mengelak atau menangkis, perhiasan di
sorbannya telah dapat dicabut oleh Siauw Can dan dengan membuat salto beberapa kali, tubuhnya
sudah meluncur ke arah pangeran dan puterinya.
Siauw Can turun dan memberi hormat kepada Ai Yin sambil menyodorkan perhiasan itu kepada
sang puteri.
"Terima kasih, engkau hebat!" kata Ai Yin sambil tertawa. Siauw Can sudah meloncat lagi ke
depan Gondulam yang kini berdiri dengan mata melotot dan muka berubah merah sekali.
"Srattt!" Dia sudah mencabut pedang bengkoknya dan nampak sinar menyilaukan mata saking
tajamnya pedang itu.
"Pemuda sombong, lawanlah pedangku kalau engkau berani!" tantangnya.
"Heiii, bagaimana ini, Raja Baducin? Bukankah paduka datang untuk menguji ilmu, bukan untuk
menyuruh pengawal paduka membunuh orang? Kenapa menggunakan pedang?"
Sejak tadi wajah Raja Muda Baducin sudah muram dan marah. Gondalu tadi telah kalah oleh Bi
Lan, hal itu saja sudah membuat dia kehilangan muka, membuat dia bermuram wajah. Kini, jelas
nampak pula betapa Gondulam menjadi permainan pemuda itu. Sekali ini benar-benar dia
menderita malu.
"Yang Mulia," katanya dengan kata-kata tanpa senyum lagi. "Gondulam hanya menantang untuk
mengadu ilmu senjata. Kalau jagoan paduka itu takut, biarlah tidak perlu dilanjutkan."
Mendengar ini, Siauw Can yang ingin mencari muka, segera memberi hormat kepada sang
pangeran. "Maaf, Yang Mulia! Kalau raksasa ini menantang saya untuk mengadu senjata, biarlah
akan saya layani dan paduka harap tidak merasa khawatir. Dia dan pedangnya bagi saya hanya
seorang anak-anak yang memegang pisau mainan saja!"
Mendengar ini, Ai Yin bersorak. "Horreee.....! Bagus sekali! Layani raksasa itu, orang gagah!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mendengar teriakan puterinya, Pangeran Li Siu Ti merasa tidak enak terhadap tamunya. Maka
diapun memesan, "Baiklah, akan tetapi jangan sekali-kali membunuh orang!"
"Harap paduka jangan khawatir. Raksasa ini tidak akan mati, juga tidak mengeluarkan
setetespun darah yang akan mengotori ruangan ini. Akan tetapi kalau sekedar benjol-benjol di
kepala dan memar di badan, boleh, bukan?"
Semua orang tersenyum mendengar ini, pertanyaan yang lucu akan tetapi juga mengandung
ejekan. Raja Muda Baducin berkata kepada Gondulam dalam bahasa mereka sendiri, "Gondulam,
jangan membikin malu. Kerahkan semua kemampuanmu!"
Melihat pemuda itu berdiri dengan tangan kosong di depan Gondulam yang sudah mencabut
pedang, tiba-tiba Ai Yin turun dari tempat duduknya dan dengan tangan diangkat ke atas ia
berteriak. "Berhenti! Ini tidak adil! Raksasa itu berpedang, kenapa jagoan tidak?"
Pangeran Li Siu Ti baru menyadari akan hal ini. Tadi dia terlalu kagum dan girang melihat bahwa
tanpa disangka-sangka dia telah mendapatkan dua tenaga yang hebat itu.
"Benar, dia harus menggunakan senjata!" teriaknya.
"Harap paduka jangan khawatir, saya sudah memiliki senjata. Inilah senjata saya!" kata Siauw
Can dan dia mencabut sulingnya, lalu mendekatkan suling di mulut dan meniup sebuah lagu rakyat
yang indah! Tentu saja semua orang kembali tertawa. Bagaimana orang menghadapi raksasa yang
memiliki pedang bengkok yang setajam itu, menggunakan sebatang suling dan bahkan meniup
suling itu dalam sebuah lagu?
Tentu saja Gondulam semakin marah . Pemuda itu sungguh amat meremehkan dia. ''Bocah
sombong, kaulihat pedangku!" bentaknya dan diapun sudah menerjang ke arah Siauw Can sambil
menggerakkan peang bengkoknya membacok. Pemuda itu masih enak-enak melanjutkan lagunya,
seolah-olah tidak melihat ada pedang membacok ke arah lehernya!
"Iiihhhhh........!!" Ai Yin menjerit saking ngerinya melihat pedang tajam itu mengeluarkan sinar
dan menyambar ke arah leher pria yang dikaguminya.
Akan tetapi, begitu pedang menyambar dekat leher, Siauw Can meloncat dan bacokan itu luput,
akan tetapi dia masih melanjutkan tiupan sulingnya, karena lagu tadi belum habis. Hal ini buat
Gondulam semakin marah. Seolah-olah keluar uap dari hidung dan mulutnya ketika dia menyerang
tadi, membacok dan menusuk bertubi-tubi. Makin lama semakin ganas karena kemarahannya
semakin menyala. Siauw Can berloncatan ke sana sini, terus memainkan lagu dengan sulingnya
sampai lagu itu selesai.
"Singggg........!" Pedang menyambar dekat sekali dengan pahanya. Akan tetapi berbareng
dengan habisnya lagu, suling itu bergerak menjadi sinar putih dan menangkis pedang itu.
"Tranggggg........!!" Nampak bunga api berpijar dan Gondulam terkejut setengah mati karena
hampir saja pedang bengkoknya terlepas dari pegangan ketika bertemu suling. Dan kini dia yang
repot mengelak dan memutar pedang melindungi tubuhnya karena suling telah berubah menjadi
gulungan sinar yang mengelilingi tubuhnya, membuat matanya berkunang karena dia tidak tahu
lagi ke arah mana ujung suling itu menotok.! Dan semua tangkisannya tidak ada yang dapat
menyentuh suling.
"Takkk!" Tiba-tiba kepalanya terpukul oleh suling. Biarpun dia kebal dan kepalanya masih
terlindung sorban, namun rasa nyeri menyengat kepalanya sampai menembus ke ulu hati! Dia
menjadi nekat dan mencoba untuk balas menyerang dengan pedangnya, menusuk sampai tiga kali.
"Trang-trang-trangg.......tokkk!"
Kembali kepalanya terkena pukulan, kini di dekat tengkuk, membuat matanya berkunang.
Sambil menggereng, Gondulam menyerang lagi membabi-buta, tidak lagi memperdulikan
keselamatan diri.
"Tak-tok-tokk!" Berturut-turut terdengar bunyi nyaring ini dan ujung suling sudah menghantam
kepalanya, menotok tubuhnya di sana sini dan paling akhir, suling itu mencongkel sorbannya
sehingga terlepas dari kepalanya yang ternyata botak hampir gundul.
Dan sebelum Gondulam tahu apa yang terjadi, tiba-tiba saja tubuhnya lemas dan diapun jatuh
terduduk seolah kedua kakinya menjadi lumpuh. Kiranya dia telah terkena totokan yang ampuh,
yang menembus kekebalannya sehingga biarpun hanya untuk sebentar, tetap dia tidak mampu
mempertahankan diri dan jatuh terduduk.!
Siauw Can sudah melompat menjauhinya, menghadap sang pangeran dan puterinya, memberi
hormat dan Ai Yin menyambutnya dengan tepuk tangan yang diikuti para pengawal sehingga riuh
rendah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Biarpun mukanya menjadi pucat saking marahnya, Gondulam harus mengakui kekalahannya.
Sorbannya terlepas, kepalanya yang botak itu jelas memperlihatkan benjolan-benjolan sebesar telur
dan dia tadi telah jatuh.
Raja Muda Baducin bangkit dari tempat duduknya, wajahnya sebentar pucat sebentar merah.
Kalau saja peristiwa ini terjadi bukan dengan Pangeran Li Siu Ti, dia tentu dapat menerima
kekalahan dua orang jagoannya. Akan tapi di depan pangeran yang dia tahu tidak suka kepada
orang Turki itu!
"Sudahlah, sekali ini aku mengaku kalah! Pangeran, kami mohon diri, terima kasih atas pelajaran
yang kami terima di sini."
Pangeran Tua Li Siu Ti merasa tidak enak. Kalau raja muda ini mengadu kepada kaisar, tentu dia
akan menerima teguran dari kakaknya, Kaisar Tang Kao Cu. Maka diapun cepat bangkit berdiri.
"Raja Muda Baducin, harap paduka maafkan kami dan pengawal kami. Marilah kita makan
minum dan beri kesempatan kepada kami untuk menghaturkan maaf dalam perjamuan."
'Terima kasih, pangeran. Kami masih mempunyai banyak urusan. Biarlah lain kali saja." Raja
Muda Baducin diikuti dua orang raksasa kembar lalu keluar dari gedung itu, diantarkan oleh
Pangeran Tua Li Siu Ti sampai ke pekarangan depan. Raja Muda itu lalu menaiki keretanya dan
diikuti rombongan pengawalnya, dia lalu meninggalkan tempat itu dengan hati yang panas!
Pangeran Li Siu Ti memanggil Siauw Can dan Bi Lan ke ruangan dalam dan mereka berkumpul
semua di sana. Pangeran Siu Ti, Poa Kiu, Li Ai Yin, Siauw Can dan Bi Lan ynng memangku Lan Lan.
Wajah pangeran itu berseri "Bagus! Bagus! Sekarang baru aku yakin dan kami menerima kalian
bekerja di sini! Akan tetapi, coba perkenalkan diri kalian kepadaku dan ceritakan riwayat kalian.
"Apakah kalian ini suami isteri dan ini anak kalian?" Ai Yin bertanya sambil mengamati wajah
Siauw Can dengan penuh kagum.
Siauw Can menggeleng kepala, "Bukan, tuan puteri......"
"Ihh, aku bukan puteri raja! Jangan sebut tuan puteri, sebut saja nona, dan namaku Ai Yin, Li Ai
Yin!"
"Maaf, siocia(nona). Begini, pangeran. Saya bernama Siauw Can dan ia bernama Kwa Bi Lan.
Kami masih saudara misan. Saya hidup sebatangkara, tiada orang tua tiada saudara,
Sedangkan adik misan Kwa Bi Lan inipun ditinggal mati suaminya. Ia seorang janda yang
mempunyai seorang anak, yaitu Lan Lan ini."
"Hemm, anak yang manis. Siapa nama keluarganya?" tanya sang pangeran sambil memandang
kepada ibu dan anak itu. Karena Siauw Can sendiri tidak berani lancang memperkenalkan bahwa Bi
Lan adalah isteri mendiang Sin-tiauw Liu Bhok Ki, maka diapun tidak mau menjawab dan
membiarkan wanita itu sendiri yang menjawab.
"Nama keluarganya Liu, pangeran," kata Bi Lan. Memang ia sudah mengambil keputusan untuk
merahasiakan bahwa Lan Lan sebenarnya adalah puteri pendekar Si Han Beng dan bernama Si
Hong Lan. Ia menganggap Lan Lan anaknya sendiri, maka ia mengakui nama keluarganya sebagai
Liu.
Pangeran Tua Li Siu Ti gembira sekali setelah mereka memperkenalkan diri. "Kami senang sekali
menerima kalian sebagai pengawal-pengawal di sini. Engkau, Siauw Can, engkau menjadi pengawal
pribadiku dan aku akan menyerahkan tugas-tugas yang terpenting kepadamu. Engkau boleh minta
nasihat dari Poa Kiu dalam segala hal karena dialah tangan kananku, orang kepercayaanku. Selain
dia, engkau tidak boleh mengadakan perundingan dengan orang lain."
"Terima kasih, Pangeran!" kata Siauw Can sambil memberi hormat dengan berlutut sebelah kaki.
"Bukan pengawalmu saja, ayah! Kalau aku sedang bepergian, akupun minta dikawal oleh Siauw
Can, agar aku merasa aman!" Li Ai Yin berkata dan matanya bersinar-sinar memandang kepada
pemuda tampan dan gagah itu. Siauw Can tahu diri dan pandai beraksi, dia hanya menunduk
seperti seorang pemuda yang alim!
"Ai Yin, selain dia ada Kwa Bi Lan di sini. Bi Lan, engkau kami terima sebagai pengawal keluarga
kami, engkau tinggal di sini bersama puterimu, menjaga keamanan di rumah ini, mengawal
keluarga kami kalau bepergian, dan juga kuangkat menjadi guru dari Ai Yin. Ai Yin, bukankah
engkau selalu ribut ingin mencari guru silat yang pandai.! Nah, engkau boleh belajar dari Bi Lan.
Ai Yin memandang kepada Bi Lan, lalu menoleh ke arah Siauw Can, wajahnya berseri. "Akan
tetapi, akupun boleh minta petunjuk dari Siauw Can, bukan? Kulihat dia lebih lihai dari Bi Lan!"
Sementara itu Bi Lan memberi hormat kepada pangeran itu dan berterima kasih. Demikianlah,
mulai hari itu Kwa Bi Lan dan Lan Lan mendapatkan sebuah kamar di bagian belakang istana itu,
tempat keputren. Ia dihadapkan kepada isteri dan para selir pangeran, dan tentu saja ia diterima
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dengan gembira oleh keluarga pangeran yang merasa tenteram dengan adanya seorang pengawal
wanita yang berilmu tinggi di tengah-tengah mereka. Mereka akan dapat tidur lebih nyenyak
sekarang. Dan Lan Lan yang mungil dan lincah itupun, segera dapat menarik perasaan suka di
antara para keluarga itu, apalagi karena Pangeran Tua Li Siu Ti tidak mempunyai anak lain kecuali
Li Ai Yin yang kini sudah dewasa dan yang berwatak keras terhadap keluarga ayahnya. Adapun
Siauw Can juga mendapatkan sebuah kamar di bagian samping depan, di mana tinggal pula para
perwira pasukan pengawal yang kini harus memandang Siauw Can sebagai atasan mereka! Selain
keluarga pangeran, semua pelayan dan pengawal menyebut Siauw Can dengan sebutan Siauwtaihiap
(Pendekar besar Siauw) dan Bi Lan disebut li-hiap (pendekar wanita).
Diam diam Siauw Can merasa girang bukan main akan nasibnya yang amat baik. Tanpa
disangka-sangka, dengan mudah saja dia diangkat menjadi pengawal pribadi dan kepala pengawal
dari Pangeran Tua! Sungguh merupakan kedudukan yang amat tinggi dan memberi harapan dan
masa depan yang amat cerah, karena dia tahu bahwa pangeran itu merupakan orang yang
kekuasaannya besar, merupakan orang ke tiga setelah kaisar dan putera mahkota. Dan di istana
pangeran itu terdapat Li Ai Yin yang jelas merupakan wanita yang akan mudah dia dekati! Siapa
tahu, melalui gadis itu dia akan mendapatkan kedudukan yang lebih tinggi lagi dari pada sekarang.
Bi Lan sendiri juga girang dengan keadaannya. Ia hidup serba kecukupan. Juga Lan Lan berada
di antara keluarga yang baik. Keluarga pangeran itu rata-rata ramah dan berpendidikan. Ia sendiri
tidak mempunyai banyak pekerjaan kecuali hanya bersikap waspada menjaga keamanan keluarga
itu. Isteri dan para selir pangeran semua bersikap manis kepadanya dan kepada Lan Lan. Hanya
satu hal yang membuat Bi Lan merasa tidak senang, yaitu sikap Li Ai Yin. Memang, diakuinya
bahwa gadis yang lincah dan genit itu bersikap cukup baik dan bersahabat dengannya, bahkan
harus diakui bahwa gadis itu memiliki bakat
yang cukup baik dalam ilmu silat. Akan tetapi, gadis itu terlalu genit dan secara terbuka sering
membicarakan Siauw Can dengannya. Gadis itu jelas amat tertarik dan kagum kepada Siauw Can!
Gadis seperti ini akan mudah tergelincir dan ia melihat bahaya mengancam gadis remaja yang amat
genit ini. Dan ia merasa menjadi tugas kewajibannya untuk mengamati gadis ini agar jangan
sampai terjerumus, walaupun ia belum menganggap Siauw Can seorang pria yang berwatak buruk.
Hanya saja, pernah ia melihat sinar mata Siauw Can menyala aneh ketika pemuda itu memandang
Ai Yin, dan iapun merasa khawatir.
* *
Beberapa hari kemudian, ketika Siauw Can duduk di pos penjagaan depan istana, mengobrol
dengan dua orang perwira pasukan pengawal, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan seekor kuda
besar dibalapkan penunggangnya memasuki halaman istana itu. Tentu saja hal ini merupakan
larangan dan semua penjaga sudah berloncatan, termasuk dua orang perwira yang sedang asyik
mengobrol dan memberi keterangan tentang keadaan dan tugas-tugas di situ kepada Siauw Can.
Siauw Can sendiri mengangkat muka dan bersikap waspada. Siapa tahu penunggang kuda itu akan
membuat kerusuhan dan dia harus siap siaga.
Akan tetapi, betapa herannya ketika dia melihat para penjaga itu tiba-tiba menjatuhkan diri
berlutut menghadap si penunggang kuda yang sudah menghentikan kudanya di pekarangan.
Bahkan dua orang perwira yang tadi bicara dengan dia, juga berlutut kepada penunggang kuda itu.
Siapakah penunggang kuda yang dihormati seperti itu oleh para penjaga? Siauw Can mengamati
penuh perhatian tanpa keluar dari pos penjaga.
Penunggang kuda itu adalah seorang laki-laki muda. Usianya paling banyak duapuluh tiga tahun,
akan tetapi dia bersikap anggun dan gagah, juga amat berwibawa. Pakaiannya seperti seorang
bangsawan muda, akan tetapi sederhana kalau dibandingkan dengan para pemuda bangsawan
lainnya, dan biarpun pakaiannyya lebih mirip seorang pelajar, namun jelas bahwa gerakannya
mengandung kekuatan besar. Terutama sekali sepasang matanya, mencorong dan penuh wibawa,
seperti mata naga saja!
"Selamat datang, Yang Mulia Pangeran!" kata kedua orang perwira itu sambil berlutut. Pemuda
itu memandang kepada dua orang perwira yang berlutut itu sambil mengerutkan alisnya. "Kalian
perwira komandan pasukan pengawal di rumah paman pangeran ini?" Suaranya tegas dan lantang.
"Benar, yang mulia!"
"Hemm, apakah kalian belum mendengar bahwa aku paling tidak suka melihat kelemahan para
perajuritku? Setiap orang perajurit, termasuk kalian, kalau bertemu denganku, harus menghormat
seperti perajurit menghormati atasannya, panglimanya!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mendengar ini dua orang perwira dan anak buah mereka cepat bangkit dan kini berlutut dengan
sebelah kaki, melintangkan lengan ke depan dada dan menghormat secara militer! "Selamat
datang, Panglima Besar!" teriak mereka serentak. Wajah yang gagah itu kehilangan kekerasannya
dan bibirnya tersenyum, mengangguk sedikit.
Melihat dan mendengar semua in Siauw Can merasa betapa kedua kakinya gemetar. Kiranya
pemuda itu adalah Sang Putera Mahkota, juga Panglima Besar Li Si Bin.! Inilah orangnya yang telah
berhasil menggulingkan Kerajaan Sui, dan kemudian mengangkat ayahnya menjadi Kaisar Tang Kao
Cu, sedangkan dia sendiri menjadi putera mahkota dan juga panglima besar! Semua itu sudah
didengarnya akan tetapi tidak pernah dia melihat tokoh ini, karena ketika kerajaan Sui jatuh, dia
berada di penjara, kemudian dikeluarkan oleh Pangeran Cian Bu Ong dan menjadi pembantu
pangeran Kerajaan Sui itu yang mencoba untuk melakukan pemberontakan terhadap kerajaan Tang
yang baru namun gagal, Setelah mengetahui bahwa pemuda itu adalah Pangeran Li Si Bin, Siauw
Can cepat keluar dari dalam pos penjagaan, langsung dia menghadap pangeran itu dan berlutut
dengan sebelah kaki seperti para perwira, memberi hormat dengan sigapnya.
"Panglima Besar!" serunya dengan sikap hormat dan siap.
Pangeran Li Si Bin memandang kepadanya dan sejenak Siauw Can merasa seolah-olah seluruh
tubuhnya digerayangi sinar mata itu, membuat dia merasa ngeri dan bulu tengkuknya meremang.
Belum pernah dia berjumpa dengan orang yang memiliki wibawa sebesar ini!
"Hemm, engkau berpakaian seperti pelajar akan tetapi memberi hormat seperti seorang perwira
militer! Engkaukah yang bernama Siauw Can dan menjadi pengawal pribadi baru dari Paman
Pangeran Tua?"
Diam-diam Siauw Can terkejut dan dia mencatat di dalam hatinya, bahwa selain wibawa yang
amat besar, juga putera mahkota ini memiliki kecerdikan yang mungkin akan dapat membahayakan
dirinya.
"Benar sekali, Yang mulia!" jawabnya.
"Perwira, rawat kudaku ini, beri rumput yang segar!" kata sang pangeran sambil menyerahkan
kendali kuda ke perwira yang cepat meloncat berdiri dan menerima tugas itu.
"Minggirlah, jangan menghalangi jalan!" kata pangeran Li Si Bin dan dengan gerakan wajar,
ketika dia melangkah maju hendak menuju ke beranda depan, dia mendorong ke arah Siauw Can
yang masih berlutut dengan sebelah kaki. Dan betapa kagetnya hati Siauw Can karena dari tangan
pangeran itu menyambar hawa pukulan yang amat dahsyat, tanda bahwa pangeran mahkota ini
memiliki kekuatan sin-kang yang hebat!
Dia menjadi serba salah. Dia tahu bahwa putera mahkota itu tidak bermaksud menyerangnya,
melainkan mungkin sekali hanya ingin mengujinya. Dia tidak boleh menangkis sehingga membuat
pangeran itu kesakitan, juga kalau dia mengelak begitu saja dan dorongan itu luput, berarti dia
melakukan perlawanan. Maka dia berpura-pura tidak tahu bahwa pangeran itu mendorongnya
dengan kekuatan sin-kang. Dia bahkan mengerahkan tenaga membuat tubuhnya kaku dan ketika
terdorong, tubuhnya terlempar dalam keadaan setengah berlutut dan turun lagi sampai tiga meter
di belakangnya, dalam keadaan berlutut seperti tadi, seolah-olah dia adalah sebuah arca yang
dipindahkan Sedikitpun dia tidak terguncang, dan keadaannya sama seperti tidak berubah! Kalau
pangeran itu telah memperlihatkan kekuatan yang dahsyat, sebaliknya Siauw Can memperlihatkan
ilmu meringankan tubuh yang luar biasa pula!
Pangeran Li Si Bin memandang dan sinar kagun memancar sebentar saja dari matanya. Dia
mengangguk dua kali lalu melanjutkan langkahnya menuju beranda depan, dan meloncat masuk
istana itu begitu saja seperti memasuki rumah sendiri. Hal ini tidaklah aneh. Pangeran Tua Li Siu Ti
adalah adik kaisar, jadi pamannya sendiri dan dia sudah biasa keluar masuk ke rumah pamannya
itu secara kekeluargaan. Para penjaga pintu yang melihatnya, segera memberi hormat. Mereka
melihat betapa pangeran mahkota tadi menegur para perwira, maka merekapun tahu diri dan cepat
berlutut dengan sebelah kaki dan memberi hormat secara militer!
Siauw Can menarik napas panjang ketika ia bangkit berdiri. Kagum bukan main. Dengan hawa
pukulannya, pangeran mahkota itu telah dapat membuat dia terlempar sampai tiga meter! Jelas
bahwa pangeran ini diam-diam memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat, dan mungkin memiliki
ilmu kepandaian silat yang hebat pula, jauh lebih hebat dibandingkan dua orang raksasa kembar
pengawal pribadi Raja Muda Baducin! Dia harus berhati-hati terhadap pangeran ini yang selain
berkuasa besar, juga lihai dan cerdik bukan main. Dia mulai merasa khawatir karena darimana
pangeran mahkota itu mengenalnya kalau tidak mendengar dari orang-orang Turki itu?
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Keheranannya berkurang ketika dia ingat bahwa putera mahkota tadi, sejak mudanya telah
memimpin pasukan besar yang berhasil menumbangkan Kerajaan Sui.
Seorang panglima besar seperti itu, sudah pasti memiliki ilmu kepandaian tinggi. Seorang
perwira yang melihat betapa tubuh Siauw Can tadi terlempar sampai tiga meter, hanya menduga
bahwa pengawal baru ini telah dikalahkan oleh sang pangeran, maka dia menghampiri Siauw Can
dan berkata. "Taihiap, kepandaian Yang Mulia Panglima Besar memang seperti dewa saja!"
Ucapannya mengandung kebanggaan seolah hendak mengatakan bahwa bagaimanapun juga,
pemuda ini masih kalah oleh junjungannya! Siauw Can hanya tersenyum, mengangguk dan diapun
melangkah memasuki istana dengan kepada menunduk.
Sementara itu, di dalam taman bunga di sebelah belakang istana, taman bunga yang indah, di
dekat kolam ikan emas, Ai Yin sedang berlatih ilmu silat, di bawah pimpinan Kwa Bi Lan. Bi Lan
memberi pelajaran dasar-dasar ilmu silat yang diambilnya dari ilmu silat Siauw-lim-pai, yaitu ilmu
silat para pendeta yang semula diajarkan hanya untuk memperkuat dan menyehatkan badan,
namun kemudian oleh para murid bukan pendeta, dikembangkan menjadi ilmu bela diri yang kokoh
dan tangguh. Ai Yin memang berbakat, dan tubuhnya lentur. Apa lagi ditambah orangnya memang
genit, maka gerakan-gerakannya juga penuh gairah!
"Bhe-si (Kuda-kuda) itu kurang sempurna, siocia," kata Kwa Bi Lan.
"Eh, Bukankah punggung harus lurus ke atas, kepala dikedikkan dengan pandang mata menatap
ke depan lurus. Kedua tangan santai di kedua pinggang dengan kepala menelentang, dan kedua
kaki ditekuk bersiku lurus dan kekuatan dipusatkan di tengah-tengah?" bantah Ai Yin. Ia sedang
membuat kuda-kuda yang disebut "menunggang kuda" dengan kedua kaki ditekuk menjadi siku,
dipentang seperti orang menunggang kuda. Ia sudah melatih kuda-kuda ini berhari-hari lamanya,
seperti anjuran Bi Lan bahwa ilmu silat yang baik memiliki dasar kuda kuda yang kuat karena ibarat
membuat bangunan, kuda-kuda merupakan tiangnya, maka harus kokoh kuat dan tidak boleh
bosan berlatih. Pada hari-hari pertama, seluruh tubuh Ai Yin terasa nyeri, terutama sekali di bagian
betis dan belakang paha. Untuk jongkok saja rasanya kaku dan nyeri. Akan tetapi kini rasa nyeri
sudah banyak berkurang dan mendengar kuda-kuda itu masih dikatakan kurang sempurna tentu
saja ia menjadi kecewa dan membantah.
"Memang sudah tepat, siocia, hanya sedikit kesalahannya." "Di bagian mana yang salah?"
Kwa Bi Lan tersenyum geli. "Di pinggul itu, terlalu menonjol ke belakang!"
Sang puteri berdiri dan cemberut. "Ihh! Tentu saja! Memang bukit pinggulku besar menonjol.
Bagus, ya?" Ia mengusap-usap pinggulnya dengan bangga. Melihat ini, Bi Lan makin geli. Memang
pinggul puteri itu indah dan montok membusung, akan tetapi ketika memasang kuda-kuda tadi,
terlalu ditonjolkan belakang!
"Memang indah, siocia. Akan tetapi dalam memasang kuda-kuda, haruslah punggung lurus
benar. Dari tengkuk sampai ke pinggul, jangan ditonjolkan pinggul itu terlalu ke belakang."
Ai Yin memasang kuda-kuda lagi, kini menarik sedikit tonjolan pinggulnya sehingga menjadi siku
benar.
"Nah, bagus begitu. Kalau terlalu ditonjolkan ke belakang, perubahan gerakan kakimu bisa kaku
dan terlambat. Sekarang tirukan gerakanku. Ini merupakan jurus baru, siocia."
Dengan penuh.perhatlan Ai Yin meniru gerakan silat Bi Lan, sedangkan Lan Lan bermain-main
dengan daun-daun kering yang rontok terlanda angin. Dengan tekun kedua orang wanita cantik ini
berlatih silat sampai Ai Yin berkeringat, dan napasnya agak memburu sehingga ia menghentikan
gerakannya. Ia telah pandai memainkan belasan jurus ilmu silat yang indah dan tangguh.
"Bagus sekali!" terdengar seruan disusul tepuk tangan.
Ai Yin dan Bi Lan cepat membalikkan tubuh dan Bi Lan mengerutkan alisnya ketika melihat
seorang pria muda telah berdiri di situ. Muncul dari balik sebatang pohon dan kini bertepuk tangan
memuji. Betapa kurang ajarnya laki-laki ini, pikirnya dan ia memandang dengan curiga, dan siap
menghadapinya kalau orang ini hendak membuat keributan. Akan tetapi, kalau tadinya ia mengira
sang puteri akan marah-marah, sebaliknya begitu melihat laki-laki yang bertepuk tangan memuji
itu, Ai Yin tersenyum girang dan lari menghampiri.
"Aih, kiranya paduka yang datang, pangeran.! Kenapa tidak memberitahu lebih dulu agar kami
dapat menyambut." Dan Ai Yin cepat memberi hormat dengan setengah berlutut.
Pemuda itu menyentuh pundak Ai Yin dan berkata, "Bangkitlah, Ai Yin. Kita ini keluarga sendiri,
mengapa harus memberi kabar lebih dulu? Dan aku girang sekali tadi tidak memberi kabar
sehingga dapat melihat engkau berlatih silat. Engkau hebat! Kelak tentu akan menjadi seorang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
wanita sakti. Ha-ha-ha kelak suamimu harus berhati-hati, jangan sampai membuat kesalahan
padamu, bisa remuk kepalanya, ha-ha..!"
Ai Yin juga tertawa gembira. Bi Lan tertegun. Inikah putera mahkota yang juga menjadi
panglima besar itu? Inikah putera kaisar yang pernah ia dengar dari Siauw Can? Bukan main! Masih
begini muda sudah dapat memimpin rakyat dan menggulingkan pemerintah Kerajaan Sui! Bahkan
mendiang suaminya pernah bicara tentang Li Si Bin sebagai seorang pemuda yang menerima
petunjuk Tuhan sehingga mampu menggerakkan peran rakyat jelata! Namanya berada di ujung
bibir setiap orang yang memuji dan memujanya. Inikah orangnya?
Pangeran itu sudah menggandeng tangan Ai Yin dan menghampirinya. Melihat Kwa Bi Lan
hanya berdiri tertegun, Ai Yin segera berseru, "Heii, enci Bi Lan. Cepat beri hormat. Ini adalah
kakak sepupuku, yang mulia Pangeran Mahkota Li Si Bin, panglima besar yang namanya sudah
menggetarkan seluruh kolong langit!"
Bi Lan cepat memberi hormat kepada pangeran itu, kemudian ia memondong Lan Lan dan
berdiri dengan kepala tertunduk, karena pangeran itu mengamatinya dengan pandang mata tajam
penuh silidik. Mata itu! Mencorong seperti mata naga, pikirnya dengan jerih. Wibawanya luar biasa,
membuat ia merasa dirinya menjadi kecil sekali.
"Engkaukah yang bernama Kwa Bi Lan dan kini menjadi pengawal keluarga di rumah pamanku?"
tanya Pangeran L I Si Bin.
"Benar, pangeran," jawab Bi Lan lirih, diam-diam merasa heran bahwa pangeran ini sudah
mendengar pula tentang dia.
"Bukan hanya pengawal keluarga, pangeran. Akan tetapi juga menjadi guruku. Akan tetapi aku
tidak mau menyebutnya subo (ibu guru). Lihat ia masih begitu muda dan cantik, bagaimana aku
dapat menyebutnya subo? Enci Bi Lan, kau belum memberitahu, berapa sih usiamu?"
Bi Lan merasa canggung dan sungkan sekali. Kalau mereka berada berdua saja, tentu semua
pertanyaan pribadi dari Ai Yin akan dijawabnya dengan senang hati. Akan tetapi kini pertanyaan
tentang umur ditanyakan di depan seorang pria, walaupun pria itu adalah putera mahkota dan
panglima besar! Betapapun juga, ia tidak berani untuk tidak menjawab, maklum akan kekerasan
hati Ai Yin yang mudah tertawa, mudah menangis dan mudah marah-marah itu.
"Duapuluh empat tahun, siocia," jawabnya lirih sambil menundukkan mukanya. "Sungguh
membuat orang kagum.!" Kata pangeran itu dengan suara lirih dan sungguh-sungguh, tidak
bernada mengeluarkan pujian kosong atau merayu belaka.
"Seorang wanita semuda ini sudah dapat memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan mampu
mengalahkan seorang jagoan seperti Gondalu! Sungguh paman pangeran beruntung sekali
mendapatkan seorang pengawal keluarga seperti nyonya muda ini. Akan tetapi, sungguh
menyedihkan dan mengharukan, wanita semuda ini telah menjadi seorang janda dengan seorang
anak."
Berdebar rasa jantung dalam dada Bi Lan. Ucapan itu begitu jujur dan sempat membuat ia
terharu, akan tetapi ia tetap menunduk dan tidak menjawab, hanya mendekap Lan Lan ke dadanya.
"Pangeran belum melihat kakak sepupunya yang bernama Siauw Can. Dia lebih lihai lagi dan
sekarang menjadi pengawal pribadi ayah!" kata Ai Yin.
"Aku sudah bertemu dengan dia di luar tadi," kata Pangeran Li Si Bin, lalu dia kembali
memandang kepada Bi Lan yang menunduk saja.
"Kwa Bi Lan, kulihat tadi engkau mengajarkan kuda-kuda dan jurus-jurus ilmu silat Siauw-limpai.
Apakah engkau murid Siauw-lim-pai?"
Bi Lan terkejut. Kiranya pangeran ini berpemandangan tajam dan pasti pandai ilmu silat maka
dapat mengenal jurus-jurus Siauw-lim-pai. Tanpa mengangkat muka ia mengangguk. "Benar,
pangeran...... "
Jilid 12
"Bi Lan, angkat mukamu dan pandanglah aku kalau bicara denganku. Aku tidak suka bicara
dengan orang yang selalu menundukkan mukanya seperti orang yang menyembunyikan kesalahan."
Ucapan itupun bukan kata-kata yang mengandung kemarahan, akan tetapi mengandung perintah
yang mutlak dan tidak mungkin dapat dibantah atau tidak ditaati.
Bi Lan mengangkat muka memandang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Hamba pernah menjadi murid Siauw-lim-pai, pangeran...." katanya lirih, hamper tidak kuat
menahan sinar mata mencorong seperti naga itu, yang memandang kepadanya dengan bersih dan
jujur akan tetapi seperti hendak mengukur kedalaman isi hatinya.
"Hemm, sekarang ini jarang ada pendekar Siauw-lim-pai yang benar-benar memiliki kepandaian
tinggi. Sungguh saying. Kelaliman Kerajaan Sui telah menghancurkan Siauw-lim-pai, sehingga
ketuanya membakar diri! Sekarang aku bertemu murid Siauw-lim-pai yang pandai. Bi Lan, coba
kauperlihatkan ilmu silatmu dengan melayaniku beberapa jurus."
Setelah berkata demikian, Pangeran Li Si Bin sudah menuju ke tempat tadi kedua orang wanita
itu berlatih silat, yaitu di lapangan rumput yang luas dekat kolam ikan.
Bi Lan menunduk lagi. "Hamba.......hamba tidak berani, pangeran......"
Pangeran Li Si Bin mengerutkan alisnya. "Ini perintah, Kwa Bi Lan!"
Ai Yin segera berkata. "Enci Bi lan, ayah sendiri tidak akan membangkang terhadap perintah
pangeran Mahkota, apalagi engkau!" ia lalu menghampiri Bi Land an memondong Lan Lan,
"Kupangku dulu Lan Lan, kaulayani pangeran!"
Bi Lan terkejut. Hampir ia lupa bahwa pangeran yang berada di depannya ini merupakan orang
yang paling berkuasa di kerajaan Tang! Bahkan menurut Siauw Can, kaisar sendiri, ayah pangeran
ini, masih kalah besar kekuasaannya!
Maka ia cepat memberi hormat lalu bangkit dan menghampiri pangeran yang sudah berada
dilapangan rumput.
Pangeran itu tersenyum senang.
"Nah, begitu sebaiknya, Bi Lan. Aku ingin melihat apakah engkau tepat untuk melatih pasukan
pengawal wanita di istana yang sedang kupersiapkan! Bah, kau maju dan seranglah aku, dan
jangan sungkan atau takut. Keluarkan kepandaianmu agar aku dapat menilainya."
Tepat dugaannya. Pangeran ini hendak menguji kepandaiannya dan mendengar bahwa
pangeran ini ingin agar ia melatih pasukan pengawal di istana, jantungnya berdebar penuh
ketegangan. Ia akan menjadi pelatih di istana Kaisar! Bukan main! Tak pernah ia bermimpi untuk
dapat memasuki istana Kaisar, apalagi menjadi pelatih di sana.
Ia melihat betapa pangeran itu sudah memasang kuda-kuda yang kokoh. Kuda-kuda yang
dikenalnya sebagai kuda-kuda ilmu silat aliran Kun-lun-pai, maka iapun cepat menyalurkan sin-kang
ke arah kedua tangannya, kemudian menggeser kakinya maju, mengangkat kedua tangan ke depan
dada sebagai penghormatan, kemudian berkata lembut, "Maafkan hamba!"
"Mulailah!" Pangeran Li SI Bin tampak gembira sekali melihat gerakan kaki dan tangan wanita itu
yang biarpun nampak lembut dan indah, namun mengandung tenaga sin-kang yang membuat
setiap gerakan itu Nampak mantap berisi.
Bi Lan tidak ragu-ragu lagi setelah melihat betapa pangeran itu memang seorang ahli silat. Ia
menerjang maju dengan pukulan tangan terbuka, dan mempergunakan jurus-jurus ilmu silat Siauwlim-
pai yang pernah dipelajarinya sebelum ia menjadi murid Sin-tiauw Liu Bhok Ki. Tentu saja ia
memilih jurus-jurus terampuh, dank arena ia telah memperoleh kemajuan dalam hal sin-kang dan
gin-kang setelah belajar kepada Sin-Tiauw Liu Bhok Ki, tentu saja gerakannya jauh lebih hebat
dibandingkan sebelumnya. Gerakannya cepat dan setiap serangannya mengandung tenaga yang
kuat sekali.
Bi Lan menjadi kagum. Kiranya pangeran itu benar lihai sekali, melampaui dugaannya. Setiap
serangannya dapat dielakkan atau ditangkis oleh pangeran itu, dan setiap kali lengan mereka
bertemu, ia merasa betapa lengannya tergetar hebat!
Agaknya Pangeran Li Si Bin tidak main-main dalam menguji wanita itu. Ia memang
membutuhkan seorang pelatih yang baik untuk regu pengawalnya yang baru dibentuknya. Dia
sedang membentuk sebuah regu pengawal wanita, terdiri dari para dayang, gadis-gadis muda
pilihan untuk menjaga keamanan keluarga di dalam istana, sehingga tidak perlu menggunakan
pengawal thai-kam (orang kebiri). Memang banyak jagoan silat di istana, akan tetapi kalau dia
menyuruh seorang jagoan untuk melatih dan menggebleng regu pengawal wanita itu, tentu akan
terjadi hal-hal yang tidak enak. Dia tidak dapat menyalahkan para jagoan itu. Siapa dapat bertahan
diri menghadapi seregu dayang yang muda dan cantik-cantik itu? Maka, sebaiknya mencari pelatih
seorang wanita pula dan kalau Kwa Bi Lan ini mempunyai kepandaian tinggi seperti yang
didengarnya, dia akan minta agar wanita ini menggembleng regunya itu.
Karena dia ingin mengukur Bi Lan, maka Pangeran Li Si Bin segera membalas serangan Bi Lan
dengan serangan yang tak kalah hebatnya!
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bi Lan cepat mengelak dan mengandalkan kecapatan gerakannya untuk menghindarkan diri.
Akan tetapi pangeran itupun dapat begerak cepat mengimbangi kecepatannya, sehingga sejenak Bi
Lan terdesak dan main mundur sambil mengelak dan menangkis! Karena pangeran itu terus
mendesak, tiba-tiba Bi Lan mengubah gerakannya dan tubuhnya mencelat ke udara lalu ia menukik
dan menyambar bagaikan seekor burung rajawali. Ia telah memainkan ilmu silat Hui-tiauw Sin-kun
( Silat sakti Rajawali terbang ), yang dipelajarinya dari mendiang suaminya!
Begitu ia menyerang dengan ilmu silat ini, keadaannya menjadi terbalik! Kini pangeran itu
terdesak dan berulang-ulang dia berseru kaget dan kagum. Dengan serangan yang menyambarnyambar
seperti itu, pangeran Li Si Bin nampak bingung dan beberapa kali hampir saja tangan Bi
Lan mengenai pundak dan dadanya.
Akan tetapi tentu saja wanita itu tidak berani melanjutkan serangannya dan selalu menarik
kembali serangannya, apabila serangannya hampir mengenai sasaran.
"Cukup....!" Pangeran Li Si Bin berseru dan Bi Lan meloncat mundur, merangkap kedua tangan
memberi hormat.
"Harap paduka memaafkan hamba....."
"Wah, engkau memang hebat!" Pangeran itu berseru, "Akan tetapi, ilmu silatmu yang terakhir
tadi tentu bukan dari Siauw-lim-pai!"
"Maafkan hamba, karena paduka tadi mendesak, terpaksa hamba mempergunakan ilmu
simpanan itu yang memang bukan dari Siauw-lim-pai."
Pangeran Li Si Bin mengerutkan alisnya. Dia merasa penasaran karena sudah banyak dia
mengenal ilmu silat, akan tetapi ilmu silat yang menyambar-nyambar dan membingungkannya
seperti tadi belum pernah dilihatnya.
"Ilmu silat apakah itu?" "Namanya Hui-tiauw Sin-kun."
"Hemm, memang pantas. Engkau menyambar-nyambar bagaikan burung rajawali saja. Dari
siapa engkau mempelajari ilmu hebat itu, Bi Lan?"
"Dari.... mendiang suami hamba pangeran." "Siapakah mendiang suamimu yang lihai itu?"
"Namanya Liu Bhok Ki...."
"Si Rajawali Sakti? Aih, pantas. Kiranya engkau isteri seorang pendekar besar. Hemm, jadi
engkau ini isterinya dan dia sudah meninggal dunia? Engkau janda pendekar itu dan
itu......anakmu?" Pangeran Li Si Bin menunjuk kepada Lan Lan.
"Benar , pangeran ."
Pada saat itu muncul Pangeran Tua Li Siu Ti sambil tertawa-tawa. Biarpun dia paman dari
pangeran muda ini, namun karena kedudukannya kalah tinggi, Pangeran Li Siu Ti lebih dulu
member hormat kepada keponakannya.
"Pangeran, sudah lamakah dating berkunjung? Ai Yin, kenapa tidak member tahu kepadaku?"
"Kanda pangeran menguji kepandaian enci Bi Lan, ayah," kata Ai Yin gembira dan bangga
karena gurunya membuat pangeran itu kagum.
"Maaf, paman," kata pangeran Li Si Bin. "Saya mendengar tentang dua orang anda yang
menjadi pengawal di sini. Saya kagum sekali setelah menguji kepandaian Kwa Bi Lan. Paman
memang beruntung sekali mendapatkan dua orang muda itu sebagai pengawal pribadi.
Setelah menguji Kwa Bi Lan, saya ingin mengajukan sebuah permintaan kepada paman, harap
paman suka mengabulkannya."
Diam-diam pangeran Tua Li Siu Ti merasa khawatir. Mungkinkah putera mahkota ini tertarik
kepada Bi Lan dan ingin mengambilnya untuk tinggal dalam istananya sendiri? Kalau demikian
halnya, dia akan kehilangan sekali. Sukar mencari pengganti seorang wanita perkasa seperti Bi Lan.
Tentu saja dia tidak berani menyatakan kekhawatirannya ini.
Tidak demikian dengan Ai Yin. Biarpun dia selalu bersikap ramah dan sopan penuh hormat
kepada putera mahkota yang ia tahu memiliki kekuasaan tertinggi, akan tetapi gadis ini lebih berani
dan terbuka, tidak seperti ayahnya.
Maka iapun segera berkata, "Aihh, kanda pangeran, apakah paduka akan membawa enci Bi Lan
pindah dari sini ke istana paduka? Lalu bagaimana dengan saya?"
Pangeran Li Si Bin tersenyum. "Tidak, Ai Yin, aku hanya ingin agar ia suka melatih pasukan
dayang pengawal khusus di istana, setiap hari beberapa jam saja. Tentu saja kalau paman
pangeran membolehkan dan terutama sekali kalau Bi Lan yang bersangkutan tidak berkeberatan."
Bi Lan terbelalak. Pangeran ini yang kekuasaannya demikian besar, ternyata masih bersikap
demikian lunak! Kalau ia tidak berkeberatan? Sungguh sikap yang sama sekali tidak pernah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
disangkanya, dan sikap pangeran ini membuat Bi Lan semakin kagum dan suka sekali kepada
pangeran muda yang rendah hati dan tidak sewenang-wenang itu.
"Aih, tentu saja saya setuju, pangeran!" kata Pangeran Tua Li Siu Ti dengan ramah. "Bagus!
Terima kasih, paman. Dan bagaimana dengan engkau Bi Lan? Maukah engkau membantuku melatih
pasukan dayang agar mereka dapat menjadi pengawal yang dapat diandalkan? Setiap hari tiga atau
empat jam saja dan untuk jerih payahmu itu, tentu saja kami akan memberi imbalan."
"Hamba akan mentaati perintah paduka, pangera." Kata Bi Lan dengan wajah berseri. Entah
bagaimana, ia merasa senang dapat bekerja kepada seorang pangeran seperti ini.! "Baik, terima
kasih. Mulai besok pagi, aku akan menyuruh jemput dengan kereta,s etelah selesai melatih, engkau
akan diantar kembali kesini dengan kereta. Kalau anakmu itu tidak
dapat berpisah darimu, boleh kauajak ke istana." Setelah berkata demikian, Pangeran Li Si Bin
berpamit dari rumah pamannya dan iapun melangkah keluar, diantar oleh Pangeran tua Li Siu Ti
sampai di depan istananya.
00000ooooo000
Betapa indahnya taman itu, seperti taman sorga dalam dongeng. Matahari senja Nampak bulat
merah redup, seperti sebuah lampu gantung yang besar dan bulat. Matahari sudah hamper
menyelesaikan tugasnya sehari penuh dan biarpun nampaknya tidak berkuasa dan bersinar lagi,
namun bekas kekuasaannya masih Nampak membakar langit. Langit kebakaran, merah kuning dan
ada garis-garis biru putih di sana-sini, adapula warna seperti lautan perak dihias awan putih lembut
begumpal-gumpal seperti sekawanan domba putih sedang berangkat pulang ke kandang.
Keindahan alam yang membuat hati terasa nyaman, membuat orang ingin bersenandung. Dan
sesosok bayangan seorang pria menghampiri. Bi Lan tersenyum dan perasaan hangat mesar
menyelubungi hatinya. Betapa besar cinta kasihnya kepada suaminya! Suaminya, Sin-tiauw Liu
Bhok Ki menghampirinya dengan langkahnya yang tegap, dengan wajahnya yang jantan, dengan
sinar matanya yang penuh kasih dan penuh kebijaksanaan, dengan senyumnya yang menenangkan
hati.
Ketika suaminya mendekat sambil mengembangkan kedua lengan, iapun membiarkan dirinya
tenggelam dalam pelukan mesra.
Bibir itu mengecup lehernya, panas. Terasa betapa lehernya digigit dengan dengus penuh nafsu.
Suaminya tidak pernah berbuat hal seperti ini. Suaminya selalu tenang dan tidak pernah dilanda
gairah nafsu yang menggelora seperti ini.
'Thhh...!" ia merenggut dirinya lepas. Bukan suaminya! Dan ia tidak berada di dalam taman, di
senja yang indah. Ia berada di dalam kamarnya, di atas pembaringan dan yang tadinya muncul
sebagai suaminya dalam mimpi, ternyata adalah Siauw Can atau Can Hong San! Ia tadi bermimpi!
Dan kenyataannya, Can Hong San telah memasuki kamarnya seperti maling dan tadi telah
memeluknya dan mengecup, menggigit lehernya dengan penuh nafsu.
"Kau.....!" bentaknya dengan lirih dan kini ia sudah meloncat turun dari atas pembaringan.
Wajahnya menjadi merah dan terasa panas sekali ketika melihat betapa kancing bajunya bagian
atas terlepas sebagian. Jari-jari tangannya cepat mengancingkan kembali baju itu dan matanya
mencorong menatap wajah pemuda itu.
"Bi Lan ..Lan-moi.. ..engkau tahu betapa aku mencintaimu, Lan-moi..! Aku cinta padamu dan
tidak tahan lagi,..Kuharap engkau tidak membuat aku terpaksa menggunakan paksaan...."
Bi Lan teringat bahwa kepandaian pemuda ini jauh lebih tinggi darinya dan kalau pemuda ini
menggunakan paksaan, mungkin ia tidak akan mampu menghindarkan diri dari penghinaan, dari
perkosaan.
Cepat ia meloncat dan di lain saat, ia telah berada di dekat pembaringan kecil di sudut, di mana
Lan Lan tertidur, dan sekali sambar, ia telah memondong anaknya yang masih tidur itu.
"Kalau engkau tidak segera pergi, aku akan berteriak dan melawan mati-matian, aku akan
melaporkan kepada Pangeran Tua dan Pangeran Mahkota. Akan hancur semua pekerjaan kita
selama ini!"
"Lan-moi, kenapa....? Bukankah selama ini aku baik kepadamu, selalu membantumu? Aku cinta
padamu, dan aku percaya bahwa engkaupun cinta padaku."
"Cukup, pergilah atau aku akan berteriak!" kembali Bi Lan mengancam. Hal ini sungguh tidak
disangka sama sekali Can Hong San atau yang sekarang dikenal sebagai Siauw Can. Tadinya dia
merasa yakin bahwa kalau dia melakukan pendekatan, janda muda itu tentu akan menyambutnya
dengan hangat. Dari sikap janda itu, sinar matanya kalau memandangnya, senyumnya, semuanya
menunjukkan bahwa janda itu kagum dan suka kepadanya. Apalagi kalau diingat bahwa sejak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pertemuan pertama, dia selalu menolong janda itu, bukan saja menyelamatkannya, juga
selanjutnya membimbingnya sehingga mereka berdua dapat memperoleh kedudukan yang
menyenangkan dan mulia di rumah Pangeran Tua, bahkan janda itu kini ditugaskan melatih
pasukan dayang di istana!
Dia tahu betapa Bi Lan merasa berhutang budi kepadanya, oleh karena itu, kalau dia melakukan
pendekatan, tentu Bi Lan akan menyambutnya dengan mesra. Ketika tadi dia memperoleh
kesempatan, berhasil menyelinap memasuki kamar janda itu, lalu merangkul, membelai dan
mengecupnya, dalam keadaan setengah sadar Bi Lan menyambutnya dengan
hangat. Akan tetapi, kenapa sekarang keadaannya berubah sama sekali? Tentu saja dia merasa
kecewa bukan main, kecewa, mendongkol dan menyesal. Sia-sia saja semua kebaikan yang
dilakukannya selama ini terhadap Bi Lan.!
"Lan-moi, benarkah engkau menolak cintaku? Engkau mengusirku?"
"Sudahlah, pergi cepat! Aku bukan menggertak saja!" Bi Lan mencabut sepasang pedangnya
yang tergantung di dinding.
"Baik, aku pergi. Takkusangka bahwa engkau adalah seorang perempuan yang tidak mengenal
budi!"
"Dan aku tidak menyangka bahwa engkau hanyalah seekor binatang buas berbulu domba!"
balas Bi Lan.
"Uhh!" Siauw Can keluar dari dalam kamar itu melalui daun jendela, sepeti masuknya tadi. Bi
Lan menutupkan daun jendela, merebahkan kembali Lan Lan, kemudian ia terhuyung dan
menjatuhkan diri di atas pembaringannya. Seluruh tubuhnya gemetar dan lemas, dan iapun tak
dapat menahan diri lagi, menangis tanpa suara!
Betapa mengerikan bahaya yang tadi mengancam dirinya. Kalau saja ia tidak bermimpi bertemu
mendiang suaminya, kalau saja ia tidak sadar, betapa akan mudahnya terjeblos, betapa akan
mudahnya menyeleweng dan menyerahkan dirinya kepada pemuda yang sesungguhnya amat
dikagumi dan disukainya! Dan kini ia menangis bukan karena marah, melainkan karena penyesalan
melihat kenyataan yang amat pahit itu. Siauw Can bukanlah pria seperti yang dibayangkannya
semula! Dan inilah yang membuatnya kini menangis. Ia merasa kehilangan seorang sahabat baik,
seorang yang selama ini dianggapnya seperti kakak sendiri. Bahkan ia harus mengakui bahwa besar
sekali kemungkinannya kelak ia akan menerima cinta kasih pemuda itu dengan hangat, dengan
penuh harapan. Akan tetapi kini semua telah musnah! Semua telah hancur, karena perbuatan
Siauw Can malam itu. Ia kini merasa hidup seorang diri, dan tidak dapat mengandalkan siapapun.
Sementara itu, Siauw Can memasuki kamarnya dengan wajah muram. Berulang kali dia mengenal
tinju dan menyumpah-sumpah dalam hatinya. Dia telah gagal sama sekali! Kegagalan yang sama
sekali tidak pernah dia bayangkan. Dia memang sengaja hendak merayu Bi Lan, bahkan kalau perlu
menggunakan paksaan untuk menggauli janda itu. Sekali
Bi Lan telah menyerahkan dirinya, dia tidak akan kehilangan janda yang sesungguhnya telah
menjatuhkan hatinya itu. Dia mencintai Bi Lan. Inilah yang memusingkan dirinya. Kalau tidak
demikian halnya, tentu dia tidak akan sekecewa ini. Banyak wanita yang lebih cantik daripada Bi
Lan bias dia dapatkan. Akan tetapi dia mencintai Bi Lan dan tidak ingin kehilangan Bi Lan. Tadinya,
usahanya malam ini adalah untuk mengikat agar Bi Lan tidak akan terlepas lagi dari tangannya. Dia
merencanakan hal yang lebih besar. Dia ingin mendekati Li Ai Yin! Kalau dia berhasil mendapatkan
dara bangsawan itu, membuatnya tergila-gila, dan berhasil menjadi mantu Pangeran Tua, tentu dia
memperoleh kemajuan yang hebat! Dan biarpun hal itu tetjadi, kalau Bi Lan sudah berhasil
dikuasainya, tentu Bi Lan tidak dapat berbuat sesuatu! Kelak dia menikah dengan Ai Yin, dan Bi Lan
menjadi selirnya. Betapa akan membahagiakan hatinya. Wanita yang akan mengangkat derajatnya
menjadi isterinya dan wanita yang dicintanya menjadi selirnya!
Akan tetapi, dia telah gagal sama sekali! Bi Lan menolaknya, dan ancaman Bi Lan bisa
berbahaya. Tidak, selama dia tidak mengganggu lagi, Bi Lan juga tidak akan begitu bodoh untuk
melaporkan apa-apa kepada Pangeran Tua maupun Putera Mahkota. Laporan yang tidak ada
buktinya! Pula, kalau melaporkan peristiwa semalam, kedua orang bangsawan itupun tidak akan
mencampuri, dan andaikata kedua bangsawan itu tidak suka kepadanya, tentu Bi Lan akan terbawa
pula.
Siauw Can merebahkan diri tanpa melepas sepatunya, rebah terlentang di atas pembaringannya
sambil melamun.
Kini dia telah tahu akan segala rahasia Pangeran Tua. Pangeran itu merupakan orang yang
berambisi besar dan seorang pembenci Turki. Dan dia sendiri telah menjadi orang kepercayaan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pangeran Tua Li Siu Ti, disamping Poa Kiu. Baru kemarin dia menerima tugas yang amat berat,
akan tetapi juga amat rahasia. Tugas itu saja menunjukkan betapa Pangeran Li Siu Ti percaya
sepenuhnya kepadanya. Dan jantungnya masih berdebar tegang kalau dia mengenang kembali
tugasnya itu, yang dilaksanakan dengan baiknya malam kemarin.
Sebelumnya dia sudah melakukan penyelidikan sehubungan dengan tugas rahasia itu dan dia
tahu bahwa Gala Sing, putera Raja Baducin, pemuda berusia tigapuluh tahun yang tukang pelesir
dan mata keranjang itu, malam itu berada di pondok indahnya di luar kota raja. Seperti biasa, Gala
Sing bersenang-senang di pondoknya itu, dijaga oleh seregu anak buahnya, tukang-tukang
pukulnya.
Setelah membuat rencana dengan masak, seorang diri dia menyusup ke dalam istana bagian
puteri dan tidak terlalu sukar baginya untuk menangkap seoarang selir kaisar, menotoknya
sehingga tidak dapat bergerak dan tak mampu bersuara lagi. Dengan kepandaiannya yang tinggi,
Siauw Can berhasil memanggul selir yang dimasukkannya ke dalam kantung kain besar itu keluar
dari tembok istana, bahkan membawanya keluar dari kotaraja, menuju ke pondok indah milik Gala
Sing di lereng sebuah bukit kecil.
Gegerlah istana di malam hari itu.!
Beberapa orang dayang yang melayani selir itu, hanya melihat bayangan hitam berkelebat,
berkedok dan selir itu diculik si bayangan hitam. Mereka menjerit dan para pengawal segera
mencoba melakukan pencarian, namun sia-sia. Bayangan itu telah menghilang bersama selir kaisar.
Mendengar ini, kaisar menjadi marah dan malam itu juga, kaisar memerintahkazn pasukan
keamanan untuk melakukan penggeledahan dan pencarian di seluruh kota raja. Namun sia-sia saja
hasilnya.
Dan pada keesokan harinya, yaitu pagi-pagi tadi, terjadi kejadian yang lebih menghebohkan lagi.
Para pengawal Gala Sing, pagi itu menemukan majikan mereka, Gala Sing, sudah menggeletak di
atas pembaringan dalam keadaan telanjang bulat dan mati! Dadanya terluka bekas tusukan pisau
yang menembus jantungnya! Dan di sampingnya, Nampak selir kaisar yang sudah mati dengan
tangan kanan masih memegang pisau yang menancap di dadanya sendiri.
Seperti keadaan Gala Sing, selir inipun mati dalam keadaan telanjang bulat. Selain mereka
berdua, di lantai juga terdapat mayat lain, mayat seorang gadis penari yang malam itu dipanggil
oleh Gala Sing untuk menemaninya bersenang-senang. Juga penari ini tewas dengan tusukan di
dada dan leher.
Para penyelidik dari kota raja segera berdatangan dan menurut pemeriksaan mereka, selir itu
telah diperkosa. Mudah saja diambil kesimpulan melihat keadaan di kamar itu. Tentu selir itu diculik
orang, dan dibawa ke kamar itu, diperkosa oleh Gala Sing. Kemudian selir itu mendapat
kesempatan untuk menyambar pisau, menusuk Gala Sing, juga membunuh penari yang mungkin
membantu Gala Sing, kemudian untuk mencuci aib, membunuh diri sendiri. Tidak ada kemungkian
lain lagi, kecuali kesimpulan itu!
Siauw Can tersenyum sendiri. Dia telah bertindak cerdik sekali. Tugas rahasia itu adalah agar
Gala Sing dibunuh dan agar diatur supaya terjadi bentrok antara pihak kaisar dan pihak Raja Muda
Baducin. Hanya itu tugasnya dan dia sendiri yang mengatur siasatnya. Tentu saja dia yang
menculik selir itu dan tanpa setahu para penjaga di luar pondok indah itu, dia berhasil membawa
selir itu masuk. Dia membunuh Gala Sing dan penari itu. Dia pula yang memperkosa selir itu
kemudian membunuhnya, akan tetapi semua itu diatur sedemikian rupa sehingga menimbulkan
kesimpulan di atas tadi!
Dan benar saja. Terjadi geger dan keadaan menjadi gawat. Raja Muda Baducin marah-marah
dan berduka sekali karena putera tersayang tewas. Juga kaisar mencak-mencak karena selirnya
diculik, diperkosa dan membunuh diri. Hal itu dianggap suatu penghinaan besar sekali. Dan
Pangeran Tua Li Siu Ti merangkul pundaknya dengan girang bukan main.
"Tidak percuma engkau menjadi tangan kananku!" bisik pangeran itu setelah mendengar berita
yang menghebohkan itu. Dan sore tadi, Pangeran Li Siu Ti dipanggil oleh kaisar. Tentu diadakan
rapat atau perundingan yang serius sekali sehubungan dengan peristiwa itu sehingga sampai
malam pangeran Tua belum juga kembali. Dan kesempatan itu dia pergunakan untuk mendekati Bi
Lan. Namun sekali ini dia gagal!
Tidak mengapa, dia menghibur diri sendiri. Bi Lan tentu tidak akan berani menceritakan kepada
siapapun juga. Andaikan diceritakanpun, apa salahnya kalau dia menyatakan cintanya kepada
seorang janda, walaupun janda itu diakuinya sebagai saudara misan? Tentu Bi Lan akan
ditertawakan orang dan hal itu bahkan mendatangkan aib bagi dirinya sebagai janda muda! Tidak,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bi Lan tidak akan membuka mulut. Biarlah mala mini gagal, kelak masih banyak kesempatan dan
masih banyak cara untuk membuat usahanya berhasil. Sekarang dia harus mengatur langkah
berikutnya, yaitu pendekatan terhadap Li Ai Yin!
Siauw Can atau Can Hong San pernah menyesali semua pernuatannya yang sesat, dan ketika
dia bertemu dengan Bi Lan, dia sedang berusaha untuk menjadi orang baik! Dia ingin belajar
menjadi orang baik.
Kebaikan adalah suatu keadaan batin, keadaan batin yang bersih dari pada pengaruh nafsu daya
rendah. Keadaan batin, yaitu akal pikiran yang sepenuhnya digerakkan oleh jiwa, dibimbing
kekuasaan Tuhan Yang Maha Kasih! Belajar baik atau melatih kebaikan hanya akan membuahkan
kemunafikan, karena kebaikan itu timbul dari keinginan. Ingin Baik! Dan keinginan baik ini tentu
timbul pula ari keadaan. Seperti Hong San. Setelah dia hidup bergelimang kejahatan, dia mendapat
kenyataan bahwa hidup secara itu tidak mendatangkan keuntungan, bahkan membuat dia selalu
gagal dan sengsara. Kegagalan hidup dan kesengsaraan yang diakibatkan oleh perbuatan jahatnya
itulah yang menimbulkan keinginan di dalam hatinya, ingin menjadi orang baik!
Tentu saja pamrihnya adalah agar akibat perbuatan baik itu membuat dia berhasil dan senang
dalam hidupnya. Jadi, kebaikan itu bukanlah sasaran mutlak, melainkan hanya akan dipergunakan
sebagai suatu cara untuk mencapai tujuannya, yaitu kesenangan. Sasaran dari nafsu hanyalah satu,
yaitu kesenangan.!
Usaha seperti itu, yaitu belajar menjadi baik, berlatih menjadi baik, jelas masih merupakan hasil
karya nafsu, karena sasarannya adalah kesenangan sebagai akibat kebaikannya. Kalaupun orang
menjadi baik karena itu, maka kebaikannya hanya merupakan kemunafikan belaka. Kebaikan
seperti itu hanya polesan, mudah luntur. Karena yang diutamakan sasarannya, yaitu kesenangan,
maka kebaikan yang hanya menjadi cadar itu dapat saja dengan mudah diganti dengan
kebalikannya, yaitu kejahatan, asalkan sasarannya lebih cepat dapat dicapai, yaitu kesenangan.
Apakah kalau begitu kita tidak perlu belajar menjadi orang baik? Siapa sesungguhnya yang
mengajukan pertanyaan seperti itu? Siapa yang ingin belajar menajdi orang baik? Tentu saja
pikiaran, dan pikiran kita telah bergelimang nafsu, telah dicengkeram oleh nafsu daya rendah.
Dengan keadaan seperti itu, apapun yang diusahakan pikiran selalu hanya demi kepentingan diri
pribadi. Dan ini memang menjadi tugas dari pikiaran. Pikiran merupakan satu di antara alat yang
membantu manusia agar hidupnya di dunia dapat dipertahankan dpat diatur. Demikian pula dengan
daya-daya rendah yang menyertai jiwa dalam kehidupannya sebagai manusia di dunia ini. Dayadaya
rendah itu memang disertakan kepada kita sebagai alat, sebagai pembantu.
Tanpa adanya nafsu-nafsu itu, kita tidak akan hidup sebagai manusia. Akan tetapi, kalau sampai
nafsu-nafsu yang semula ditugaskan menjadi pembantu kita itu dibiarkan meliar dan menjadi
majikan, mencengkeram dan menguasai hati dan akal pikiran, maka kita akan diseret dan yang kita
kejar hanyalah kesenangan-kesenangan duniawi yang membuat kita mabok dan tidak pantang
melakukan hal-hal yang amat buruk. Lalu bagaimana daya kita? Kita hidup membutuhkan nafsu,
akan tetapi nafsu juga yang menyeret kita ke dalam kegelapan. Kitapun tidak dapat mengendalikan
nafsu, karena kita yang ingin mengendalikan inipun dikemudikan nafsu!
Tidak ada kekuasaan di dunia ini yang akan dapat menguasai nafsu kecuali kekuasaan Sang
Maha Pencipta. Tuhan yang mencipta semua itu, dan hanya Tuhan pula yang akan dapat mengatur
dan membereskan keadaan yang menyimpang dari kebenaran itu. Kini manusia hanya tinggal
menyerah! Kita menyerah sepenuhnya dengan tawakal dan ikhlas kepada Tuhan Yang Maha Kuas,
batin dan lahir. Batinnya menyerah kepada Tuhan sebagai dasar yang kokoh, lahirnya kita berusaha
dan berikhtiar agar selalu melalui jalan hidup yang benar. Dengan demikian terdapat keseimbangan
lahir dan batin. Doa dan kerja! Yang dua ini harus selalu jalan bersama. Hidup bagaikan naik
perahu. Doa merupakan kemudinya, kerja merupakan pendayungnya. Tanpa kemudi perahu akan
tersesat. Tanpa pendayung, perahu takkan maju. Tanpa kerjasama antara keduanya, perahu akan
ditelan ombak.
ooo000ooo
"Sialan, semua siasat kita telah gagal akibat ulah Pangeran Li Si Bin keparat itu!" Pangeran Tua
Li Siu Ti berjalan mondar-mandir di ruangan rumahnya yang luas itu, wajahnya muram alisnya
berkerut dan kedua tangannya dikepal. Dia marah sekali.
Yang menjadi saksi ulahnya ini hanya dua orang saja, dua orang kepercayaannya, yaitu Poa Kiu
dan Siauw Can! Tentu saja kalau orang lain mendengar ucapannya tadi, orang itu akan terkejut dan
heran bukan main mendengar pembesar itu berani memaki Pangeran Li Si Bin! Kemudian tiba-tiba
pangeran tua itu menjatuhkan diri duduk di atas kursinya berhadapan dengan dua orang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kepercayaannya dan berkata dengan tegas, "Kalian berdualah yang kupercaya. Kalian harus
menemukan cara bagiku, dan harus berhasil! Poa Kiu, pergunakan kecerdikanmu dan engkau Siauw
Can, pergunakan kepandaian silatmu!"
Siauw Can saling pandang dengan Poa Kiu. Siauw Can atau Can Hong San diam-diam merasa
heran mengapa majikannya itu membenci benar orang-orang Turki dan mengapa pula hendak
mengadu domba antara orang-orang Turki dengan kaisar.
"Harap paduka ceritakan dulu, kenapa paduka marah-marah? Bukankah tugas saya telah
terlaksana dengan baik?" Tanya Siauw Can, penasaran.
"Poa Kiu, kauceritakan kepadanya." Kata Pangeran Tua Li Siu Ti. "Kauceritakan segalanya,
kemudian kalian berunding dan nanti sampaikan usul-usul kalian kepadaku!" Setelah berkata
demikian, Li Siu Ti bangkit dan meninggalkan dua orang kepercayaannya itu berbicara berdua saja
di ruangan tertutup itu.
"Sungguh heran, mengapa dia marah-marah?" Tanya Siauw Can setelah pembesar itu pergi.
"Bukankah tugasku sudah kulaksanakan dengan berhasil baik? Kenapa dia mengatakan siasat kita
gagal karena ulah Pangeran Li Si Bin? Apa artinya itu?"
Poa Kiu menghela napas panjang. Pangeran Tua Li Siu Ti sudah menceritakan segalanya
kepadanya dan dia tahu bahwa Siauw Can dapat dipercaya. Bukankah tadi pangeran tua itu
menyuruh dia menceritakan segalanya kepada pemuda perkasa itu?
"Tugas yang kaulaksanakan dengan baik itu bertujuan mengadu domba antara orang-orang
Turki dan Kaisar memang hamper berhasil. Kaisar marah-marah karena selirnya diculik dan
diperkosa dan dibunuh, dan raja Muda Baducin juga marah-marah karena puteranya, Gala Sing,
terbunuh. Memang keduanya sudah siap untuk saling menyalahkan dan kemungkinan besar terjadi
bentrokan dan permusuhan di antara mereka. Akan tetapi muncullah Pangeran Li Si Bin dan
pangeran ini melerai, mengakurkan kembali Baducin dan Kaisar. Dia mengatakan bahwa urusan
pribadi tidak semestinya berkembang menjadi urusan Negara. Dan dia menghibur kedua belah
pihak, mengatakan bahwa penculik dan pemerkosa selir kaisar sudah terhukum dan terbunuh,
sebaliknya pembunuh Gala Sing juga sudah membunuh diri. Keduanya sudah mati, semua dendam
sudah terbalas. Nah, turun tangannya Pangeran Li SI Bin itulah yang membuat keributan mereda,
dan baik Baducin maupun Kaisar sudah dapat menerima kenyataan dan tidak marah-marah lagi."
Siauw Can mengangguk-angguk. Pantas saja Pangeran Li Siu Ti marah-marah karena memang
semua jeruh payahnya itu sia-sia saja, tidak ada hasilnya.
Sudah sejak dia diterima menjadi pembantu pangeran Li Siu Ti, dia merasa heran mengapa
majikannya yang adik kaisar itu nampaknya tidak suka kepada kaisar dan membenci orang Turki.
Kesempatan baik ini harus dia pergunakan untuk mengetahui dasar pemikiran dan eprasaan
majikannya, apalagi karena dia bercita-cita untuk dapat menjadi mantunya!
"Paman Poa," kini sebagai rekan dia menyebut paman kepada pembesar itu, "kalau boleh aku
mengetahui, kenapa Pangeran Li Siu Ti membenci orang-orang Turki dan mengapa pula
nampaknya tidak suka kepada Pangeran Li Si Bin?"
Poa Kiu mengangguk-angguk. "Memang sebaiknya kalau engkau mengetahui semuanya, Siauw
Can, dan pangeran juga sudah memberi ijin kepadaku untuk menceritakannya kepadamu."
Pembesar itu lalu menceritakan semua keadaan dengan terus terang kepada Siauw Can.
Pangeran Tua Li Siu Ti merasa ikut berjasa ketika terjadi gerakan menggulingkan Kerajaan Sui.
Ketika kakaknya, Li Goan, diangkat menjadi kaisar pertama Kerajaan Tang sebagai Kaisar Tang Kao
Cu, Pangeran Li Siu Ti tentu saja mengharapkan agar kelak dia menjadi pengganti kakaknya,
mengingat bahwa kakanya tidak mempunyai anak laki-laki dari permaisuri. Akan tetapi, ketika Li SI
Bin menjadi putera mahkota, mulailah dia merasa iri dan marah. Li Si Bin hanyalah anak dari selir
bangsa Turki! Perasaan iri hati ini membuat ia membenci orang-orang Turki yang membantu Li Si
Bin.
"Demikianlah Siauw Can. Pangeran Tua Li Siu Ti merasa bahwa dialah keturunan keluarga Li
yang asli setelah kakaknya, dan Pangeran Li Si Bin hanyalah seorang berdarah Turki yang tidak
pantas menjadi putera mahkota dan kelak menggantikan kedudukan kaisar. Karena orang-orang
Turki itu mendukung Pangeran Li Si Bin, maka mereka perlu disingkirkan, dan untuk itulah engkau
bertugas mengadu domba itu. AKan tetapi ternyata siasat itu gagal, maka kita harus mencari siasat
baru."
Siauw Can menganggu-angguk. "Ah, kalau saja tahu lebih dahulu, tentu aku tidak menyetujui
siasat mengadu domba itu. Bagaimana mungkin mereka diadu domba kalau Pangeran Li Si Bin
berdarah Turki pula? Tentu dia akan selalu menentang perpecahan di antara mereka.! Sebaiknya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
diatur agar kedudukan pemerintahan menjadi lemah dengan jalan membujuk Kaisar dan Putera
Mahkota agar tenggelam ke dalam kesenangan dan kurang memperhatikan pemerintahan. Dengan
jalan demikian, para pejabat tinggi dan rakyat akan merasa tidak suka kepada kaisar. Kalau sudah
begitu, baru ada kemungkinan menjatuhkan mereka. Sementara itu, Pangeran Li SIu Ti harus dapat
mengangkat namanya agar popular di kalangan rakyat. Juga perlu mengumpulkan orang-orang
pandai untuk membantu."
"Hemm, kiranya di samping lihai ilmu silatmu, juga engkau memiliki kecerdikan, Siauw Can.
Engkau telah dapat melihat cita-cita menjatuhkan kaisar dan putera mahkota, agar kedudukan
kasisar dapat beliau kuasai. Dan kalau kita membantu sekuat tenaga, kita akan dapat menikmati
hasilnya."
Siauw Can mengangguk-angguk. Dalam keadaan seperti itu, dia harus menempel orang kurus
bungkuk ini! "Baik, paman Poa Kiu. Aku akan membantumu sekuat tenagaku. Bahkan semua usulku
tadi anggap saja sebagai buah pikiranmu sendiri terhadap pangeran. Engkauolah yang mengatur
semuanya, aku yang melaksanakan. Engkau menjadi otak pangeran, aku yang menjadi kaki
tangannya. Tentu kita harus saling bantu, bukan?"
Poa Kiu amat cerdik. Dia tahu bahwa ada udang di balik batu, maka dia harus mengetahui
udang macam apa itu. "Siauw Can, aku terima uluran tanganmu. Nah, jangan ragu, katakana
bantuan apa yang dapat kuberikan padamu."
Siauw Can juga tidak kalah cerdiknya. Dia dapat menjenguk isi hati orang itu, maka diapun tidak
merasa ragu lagi untuk membuka rahasia hatinya. "Paman tentu mengerti bahwa seorang laki-laki
harus dapat memperhitungkan dan menyesuaikan jalan pikiran dan perasaan hatinya. Nah. Terus
terang saja, hatiku tertarik oleh puteri Li Ai Yin, dan aku jatuh cinta kepadanya. Aku yakin bahwa
tidak sukar menjatuhkan hati puteri itu. Kalau saja aku dapat menjadi suaminya, maka seiringlah
jalannya perasaan dan pikiranku. Aku mendapatkan isteri yang tercinta, juga aku mendapatkan
mertua yang kita bantu agar kelak menjadi kaisar. Dengan demikian maka ikatan hubungan di
antara kita dapat lebih erat lagi. Bukankah begitu, paman?"
Poa Kiu memandang kepada pemuda itu dengan kagum. Pemuda ini memang hebat. Tinggi ilmu
silatnya, cerdik dan mempunyai ambisi yang besar! Dia menagangguk dan mengelus jenggotnya
yang jarang. "Semua itu memang baik sekali, Siauw Can. Akan tetapi dalam hubungan asmara ini,
bagaimana aku dapat membantumu?"
Siauw Can tersenyum. "Urusanku dengan Ai Yin, tentu tidak perlu dibantu, karena itu tergantung
dari diriku sendiri. Akan tetapi setidaknya paman dapat membantu agar aku nampak berharga di
mata pangeran, agar kelak tidak timbul tentangan darinya kalau tiba saatnya aku melamar
puterinya."
"Ahhh, baiklah. Itu mudah sekali, Siauw Can. Tentu saja engkaupun harus memperlihatkan jasajasa
yang lebih banyak lagi."
"Kalau kita berkerja sama, pasti kita berdua akan dapat membuat jasa, paman."
"Akan tetapi, bagaimana dengan nyonya muda Kwa Bi Lan, adik misanmu itu? APakah ia akan
suka bekerja sama dengan kita?"
"Ia adalah seorang wanita dan ia belum tahu akan kerjasama ini, ia belum tahu pula akan citacita
pangeran. Menghadapi wanita haruslah berhati-hati dan tidak tergesa-gesa. Biarlah semua ini
kita rahasiakan dulu darinya dan perlahan-lahan aku akan membujuknya agar ia suka membantu
kita. Serahkan saja ia kepadaku, aku akan berusaha untuk menundukkannya."
"Baik kalau begitu. Aku merasa agak khawatir. Pertama, ia seorang wanita yang lihai dan kedua,
dan ini yang paling berbahaya, ia telah ditarik oleh Pangeran Li Si Bin untuk melatih pasukan
dayang setiap hari. Ini berarti ia dekat dengan putera mahkota dan bisa berbahaya sekali..."
"Atau bisa menguntungkan sekali!" kata Siauw Can tersenyum. "Kalau aku berhasil
menundukkannya, bukankah kedekatannya dengan putera mahkota itu mendatangkan keuntungan
besar? Ia dapat kita jadikan mata-mata yang dapat selalu mengamati gerak-gerik kaisar dan putera
mahkota."
Poa Kiu tertawa girang. "Ah, engkau benar dan engkau cerdik, Siauw Can. Engkau harus dapat
menundukkan adik misanmu yang cantik dan janda itu!" Dalam ucapan ini jelas terkandung
dorongan yang sejalan dengan pikiran Siauw Can, yaitu bahwa dia harus dapat menundukkan Bi
Lan lahir batin, yaitu lahirnya wanita itu harus jatuh ke dalam pelukannya, sehingga batinnya akan
selalu taat akan semua kehendak dan perintahnya! Dan pemuda yang cerdik ini sudah dapat
menemukan cara yang amat baik dan yang pasti akan berhasil! Akan tetapi dia tidak boleh tergesagesa.
Baru saja dia gagal mendekati Bi Land an membuat janda muda itu marah. Dia harus pandai
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
membawa diri, memperlihatkan penyesalannya agar kemarahanan Bi Lan mereda dan wanita itu
tidak menaruh kecurigaan kepadanya.
Setelah Pangeran Tua Li Siu Ti memasuki kembali ruangan itu, mereka bertiga lalu berbisik-bisik
mengatur siasat. Sebuah siasat yang diajukan Poa Kiu dan Siauw Can amat mengejutkan hati
Pangeran Li Siu Ti. Siasat itu adalah membunuh Putera Mahkota, Pangeran Li Si Bin.!
Wajah Pangeran Tua Li Siu Ti seketika menjadi pucat dan matanya terbelalak memandang
kepada dua orang kepercayaannya. "Alangkah baiknya kalau dapat terjadi! Akan tetapi mana
mungkin! Li Si Bin seorang yang memiliki kepandaian tinggi, dia tangguh dan sukar dikalahkan!
Selain itu, diapun mempunyai banyak pengawal pandai, dan selalu terjaga. Di belakangnya ada
balatentara seluruh kerajaan, ratusan ribu orang yang setiap saat siap melaksanakan perintahnya!
Bagaimana mungkin menyingkirkannya? Kalau gagal dan ketahuan, ah, ngeri aku membayangkan
akibatnya! Tentu seluruh anggota keluarga kita, sampai ke para pelayan dan binatang peliharaan,
akan dibasmi habis!"
"Harap paduka tidak khawatir," kata Poa Kiu. "Hamba berdua Siauw Can telah merencanakan
siasat yang baik dan halus. Siauw Can akan mempergunakan kepandaiannya dan kalau sampai
berhasil siasat itu, maka Pangeran Li Si Bin akan tewas tanpa ada yang tahu siapa pembunuhnya."
Mereka bertiga lalu berbisik-bisik dan nampaknya Pangeran Tua Li Siu Ti girang sekali. Dia
nampak mengangguk-angguk dan tersnyum-senyum mengelus jenggotnya dan berulang kali
mulutnya berkata, "Bagus........., bagus sekali...!" Saking girang rasa hatinya, pangeran itu lalu
menutup pembicaraan itu dengan sebuah pesta yang meriah, pesta antara mereka bertiga yang
dihadiri pula oleh isteri dan lima orang selir pangeran itu, dan anak tunggalnya, yaitu Li Ai Yin,
gadis cantik genit dan manja yang tidak malu-malu lagi memperlihatkan kekagumannya kepada
Siauw Can.
Mereka makan minum sampai jauh malam dengan penuh kegembiraan dan peristiwa ini saja
sudah membesarkan hati Siauw Can, karena dari Poa Kiu dia mendengar bahwa diajak makan
bersama seluruh keluarga pangeran berarti bahwa dia telah dipercaya sepenuhnya, seperti halnya
Poa Kiu sendiri.
oooo00000ooooo
Dengan penuh kesungguhan hati, Kwa Bi Lan mengajarkan ilmu silat kepada para dayang. Para
dayang ini merupakan gadis-gadis pilihan, bukan saja muda dan cantik, akan tetapi rata-rata
memiliki kecerdikan dan tubuh yang sehat. Mereka itu pandai dengan segala macam bentuk
kesenian, pandai menari, bernyanyi, memainkan alat musik, membaca sajak. Oleh karena itu tidak
sukar bagi Bi Lan untuk mengajarkan ilmu silat kepada tigapuluh orang dayang-dayang istana itu.
Ia mengajarkan dasar-dasar ilmu silat Siauw-lim-pai, kemudian, atas petunjuk Pangeran Li Si Bin, ia
mengajarkan ilmu silat menggunakan senjata sabuk yang diambil dari Ilmu Hui-tiauw Sin-kun ( Silat
sakti rajawali terbang ).
Dengan ilmu silat sabuk itu, dibentuklah Ang-kin-tin ( Barisan sabuk merah). Ang-kin-tin ini
bukan saja dapat memainkan sabuk sebagai senjata ampuh, akan tetapi mereka juga
menggabungkan gerak silat itu dengan ilmu tarian yang mereka kuasai, sehingga kalau tidak
dipergunakan untuk berkelahi, mereka itu dapat menggunakan sabuk merah mereka untuk menarinari
dengan indahnya.
Sabuk sutera merah panjang di tangan mereka dapat digerakkan membentuk bermacam-macam
bunga bahkan huruf!
Pangeran Li Si Bin merasa girang bukan main melihat kemajuan para dayang, dan tugas Bi Lan
melatih para dayang di istana itu memberi kesempatan kepada mereka berdua untuk saling jumpa.
Pangeran Mahkota itu semakin kagum kepada Bi Lan, sebaliknya Bi Lan juga sangat kagum
kepada pangeran yang tampan gagah perkasa dan manis budi ini. Ia mendapatkan segala sifat
jantan pada diri putera mahkota ini. Pangeran itu dapat bersikap lemah lembut, ramah dan manis
budi, akan tetapi kalau perlu, dia dapat pula bersikap keras dan tangan besi, sehingga selain
disayang oleh semua orang, diapun disegani dan dihormati.
Kalau ada kesempatan kedua orang itu bercakap-cakap, dari percakapan ini saja tahulah Bi Lan
bahwa pangeran itu seorang yang berjiwa pendekar, juga amat mencinta tanah air dan bangsa,
mencintai rakyat dan ingin melakukan segalanya demi kebaikan rakyat. Juga pangeran ini memiliki
pengetahuan luas, bahkan dekat dan mengenal tokoh-tokoh kang-ouw dan datuk-datuk dunia
persilatan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Semenjak peristiwa yang amat mengecewakan hatinya malam itu, ketika Siauw Can berusaha
untuk berbuat tidak senonoh kepadanya, lenyaplah semua perasaan suka dan kagum terhadap
pemuda itu. Dan kini semua perasaan suka dan kagum itu beralih kepada Pangeran Li Si Bin!
Tentu saja ia tahu diri dan hanya tinggal mengagumi saja, tidak berani mengharapkan yang
lebih daripada hubungan di antara mereka seperti sekarang. Ia hanya seorang pekerja dan
petugas, tiada bedanya dengan ratusan orang lain yang bekerja di lingkungan istana itu.
Sebelum terjadi peristiwa di malam itu, ia memang pernah merasa suka dan kagum kepada
Siauw Can, bahkan ia akan menerima dengan hati dan tangan terbuka, seandainya pemuda itu
mengajaknya hidup bersama sebagai suami isteri. Akan tetapi, semua harapan itu telah hancur oleh
perbuatan Siauw Can. Kalau bukan Siauw Can yang melakukan perbuatan itu terhadap dirinya, ia
tentu tidak akan mau sudah sebelum membunuh laki-laki itu. Akan tetapi ia telah menganggap
Siauw Can sebagai sahabat baik, dan pemuda itu telah minta maaf. Ia mau melupakan peristiwa
itu, akan tetapi tentu saja semua perasaan sukanya terhadap pemuda itu lenyap sudah. Ia tahu
bahwa Siauw Can mencintainya, akan tetapi pemuda itu menodai cintanya dengan perbuatan yang
tidak senonoh.
Pagi itu, seperti biasa, Bi Lan melatih para dayang bersilat dengan sabuk sutera merah mereka.
Gerakan mereka sudah cukup baik dan tangkas, hanya masih kurang tenaga. Dengan teliti Bi Lan
mengamati mereka dan dengan tekun member petunjuk-petunjuknya. Dan pagi itu, pangeran Li Si
Bin berkenan hadir dan dengan wajah berseri pangeran itu menonton. Hatinya senang karena dia
melihat kemajuan pesat pada para dayang, dan dia semakin kagum karena ketika Bi Lan memberi
contoh kepada para dayang dengan bersilat sabuk sutera merah, janda muda itu nampak seperti
seorang dewi yang turun dari kahyangan dan menari-nari!
Setelah Bi Lan selesai memberi contoh dan kini para dayang berlatih dengan giat, Pangeran Li Si
Bin menggapai dan memberi isyarat kepada Bi Lan untuk mendekat. Bi Lan menghampiri dan
memberi hormat dengan setengah berlutut.
"Bangkit dan duduklah di sini," kata pangeran itu dengan ramah sambil menunjuk kea rah
sebuah bangku. Bi Lan duduk di depan pangeran itu sambil menundukkan muka. Biarpun mereka
sudah sering bercakap dan berjumpa, tetap saja Bi Lan tidak sanggup berpandangan terlalu lama
dengan sepasang mata yang memiliki wibawa sedemikian kuatnya. Ia selalu merasa seperti seorang
anak kecil berhadapan dengan gurunya, dengan perasaan bersalah.
"Bi Lan, kalau engkau melatih pasukan dayang di sini, lalu bagaimana dengan anakmu?"
Diam-diam Bi Lan terkejut karena sama sekali tidak pernah menyangka akan mendapat
pertanyaan seperti itu. Pangeran Li Si Bin menanyakan anaknya!
Segera terbayanglah wajah Hong Lan. Kalau ia bertugas di istana, dititipkannya Hong Lan
kepada Cu-ma, pelayan wanita setengah tua tukang masak yang menjadi sahabat baiknya di istana
pangeran Tua Li Siu Ti. Cu-ma ini dahulunya pengasuh Ai Yin di waktu gadis ini masih kecil, dan
sekarang menjadi tukang masak gadis itu untuk keperluan-keperluan kecil.
"Lan Lan hamba tinggalkan di istana Pangeran Tua dalam asuhan Cu-ma, pangeran," jawabnya.
"Lan Lan? Hemm, bagus sekali nama panggilan itu. Siapa nama anakmu?" "Namanya Hong Lan."
"Kalau begitu nama lengkapnya tentu Liu Hong Lan, bukan? Mendiang suamimu yang berjuluk Si
Rajawali Sakti itu bernama Liu Bhok Ki."
Bi Lan mengangguk membenarkan. Apapun yang terjadi, ia akan tetap mengakui Lan Lan
sebagai anaknya, dan tentu saja nama keluarganya Liu, menurut nama keluarga mendiang
suaminya.
"Bi Lan, kami merasa senang sekali dengan hasil tugasmu melatih para dayang. Untuk
menyatakan terima kasih kami, maka kami harap siang ini sebelum engkau kembali ke rumah
paman Li Siu Ti, engkau suka kami ajak makan siang bersama kami. Nanti kalau makan siang
sudah siap, engkau akan diberi tahu."
Bi Lan merasa betapa jantungnya berdebar tegang. Diajak makan siang bersama Pangeran
Mahkota! Sungguh merupakan suatu kehormatan yang amat luar biasa. Tentu saja ia merasa
canggung dan sungkan, akan tetapi untuk menolak, ia tidak berani. Itu akan merupakan suatu
penghinaan terhadap pangeran itu.
"Baik, Pangeran." Katanya.
Setelah Pangeran Li Si Bin meninggalkan ruangan belajar silat itu, Bi Lan melamun dan akhirnya
ia membubarkan para muridnya, karena ia tidak dapat memusatkan lagi perhatiannya. Ia lalu pergi
ke taman bunga yang amat luas di bagian belakang istana. Karena mendapat kepercayaan Putera
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mahkota, apalagi karena semua petugas mengenalnya sebagai guru dan pelatih para dayang, Bi
Lan sudah biasa berjalan-jalan di taman dan tidak ada seorangpun petugas yang melarangnya.
Perasaan hatinya terguncang oleh undangan makan siang Pangeran Li Si Bin. Sampai lama dia
termenung, duduk di tepi kolam ikan emans, agak terlindung dan tersembunyi di balik semak
berbunga.
Tiba-tiba ia melihat berkelebatnya bayangan orang. Sebagai seorang ahli silat yang sudah
bertualang di dunia persilatan, sudah terbiasa menghadapi bahaya, Bi Lan sudah waspada dan
cepat ia menyelinap di balik semak dan mengintai. Bayangan itu mencurigakan sekali. Kalau orang
itu seorang tukang kebun atau petugas istana, tentu gerakannya tidak seperti itu. Orang itu
berloncatan dari pohon ke pohon, bersembunyi, kadang berjongkok di balik semak, menuju ke
dapur yang terletak di bagian belakang bangunan yang menjadi ruangan makan. Dari dapur, para
petugas, yaitu para dayang dan para thai-kam (laki-laki kebiri) yang bertugas membawa hidangan
ke kamar makan, akan melalui lorong pendek dari dapur ke ruangan makan yang jendelanya
menghadap ke taman itu.
Melihat bayangan itu menyelinap masuk ke dalam dapur melalui jendela dengan gerakan ringan,
Bi Lan semakin curiga. Ia lalu mengintai ke dalam dapur melalui jendela. Agaknya hidangan sudah
dikeluarkan dan dapur itu nampak sunyi. Ia melihat orang tadi berdiri di dekat pintu. Ia tidak
mengenal laki-laki itu yang bertubuh gendut pendek, usianya kurang lebih tigapuluh tahun,
wajahnya tampan dan kulit mukanya halus tanpa kumis dan jenggot. Tak lama kemudian, dari pintu
dapur masuklah seorang thai-kam yang biasa bertugas membawa hidangan dari dapur ke ruangan
makan. Ketika thai-kam itu melihat laki-laki itu, dia kelihatan terkejut. Akan tetapi, si gendut itu
sudah menangkap pergelangan tangan thai-kam itu dan bertanya dengan suara mendesis, "Sudah
kauhidangkan guci arak itu?"
"Sudah, akan tetapi kenapa engkau memaksa aku untuk menghidangkan guci arak yang itu?
Aku tidak mengerti dan....................."Pada saat itu, si gendut sudah menggerakkan tangannya dan
sebatang pisau menancap ke dada thai-kam itu dan sebelum dia sempat mengeluarkan suara, si
gendut sudah menotok lehernya, sehingga dia terkulai roboh tanpa dapat bersuara lagi.
"Heiiii, apa yang kau lakukan itu?" bentak Bi Lan sambil membuka daun jendela. Akan tetapi,
orang gendut itu tidak menjawab, bahkan cepat melompat bagaikan seekor rusa, melarikan diri
keluar dari dapur itu ke dalam taman.
Melihat ini, Bi Lan segera lari mengejar dan dengan mudah saja ia dapat menyusul. Orang
gendut itu tiba-tiba membalik dan di tangannya sudah terdapat dua batang pisau seperti yang tadi
dia pakai membunuh thai-kam di dapur. Diapun cepat menggerakkan kedua pisau itu menyerang Bi
Lan! Akan tetapi betapa kuat dan cepat gerakan serangan kedua pisau itu, bagi Bi Lan masih terlalu
lambat, sehingga dengan amat mudahnya ia mengelak mundur dan ketika sepasang pisau itu
menyambar lewat dari kanan dan kiri, kakinya mencuat dan menendang kea rah lutut kiri
penyerangnya. Akan tetapi, ternyata penyerangnya itupun bukan orang lemah.
Dia mampu meloncat ke samping sehingga tendangan itu luput, dan kembali dia menubruk ke
depan, menggerakkan sepasang pisaunya dengan ganas. Orang itu menyerang untuk membunuh,
serangan orang yang nekat dan yang melihat bahwa jalan satu-satunya baginya untuk dapat
meloloskan diri hanya membunuh siapa saja yang menghalanginya.
"Pembunuh keparat!" Bi Lan berseru marah dan tiba-tiba tubuhnya melayang ke atas dan
bagaikan seekor burung rajawali menyambar, tubuhnya meluncur kea rah lawan dengan kedua
tangan mencakar dan menampar. Orang gendut itu berusaha untuk menyambut dengan sepasang
pisaunya, akan tetapi kedua pundaknya sudah lebih dahulu kena dicakar dan ditampar sehingga
sepasang senjata itu terlepas jatuh. Ketika orang itu hendak melarikan diri, kembali tangan bi Lan
bergerak, sekali ini kea rah tengkuk dan orang itupun jatuh tersungkur!
Bi Lan menginjak punggungnya dan membentak, "Hayo katakana, kenapa engkau membunuh
thai-kam itu!" Akan tetapi, tangan kiri si gendut itu memasukkan sesuatu ke dalam mulutnya sendiri
dan diapun terkulai. Ketika Bi Lan memeriksanya, ternyata dia telah mati dengan muka berubah
menghitam. Racun!
Teringat akan ini, berubah wajah Bi Lan. Racun! Dan si gendut ini agaknya menyuruh dengan
paksa thai-kam tadi menghidangkan guci arak kepada Pangeran Mahkota!
Ketika para pengawal lari berdatangan mendengar keributan itu, Bi Lan berkata, "Jaga mayat
pembunuh ini!" Dan diapun sudah melompat dan bagaikan terbang secepatnya ia memasuki
ruangan makan, dimana ia harus hadir atas undangan Pangeran Li Si Bin. Akan tetapi saat itu ia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sama sekali tidak teringat akan undangan makan siang itu, dan ia memasuki ruangan itu bukan
untuk memenuhi undangan makan.
Begitu tiba di ambang pintu, dimana terdapat sebuah meja yang menjadi tempat persediaan
cadangan mangkok dan sumpit, ia melihat pangeran itu yang dilayani para dayang,sedang
mengangkat cawan arak ke mulutnya.
Celaka, piker Bi Land an wajahnya pucat sekali. Tidak ada waktu lagi untuk mencegah hal amat
dikhawatirkannya, maka tangannya menyambar sebatang sumpit dari atas meja dan sekali tangan
itu bergerak, sumpit melayang seperti anak panah ke arah pangeran.
"Sing.....trang....!"
Cawan yang bibirnya sudah menempel di bibir Pangeran Li Si Bin itu terlempar dan isinya
tumpah, muncrat ke mana-mana.
Akan tetapi pangeran bersikap tenang. Dia menoleh ke arah Bi Lan, melihat betapa wajah
wanita itu pucat sekali. Sepasang mata pangeran itu mencorong, dan dia berkata dengan suara
yang lembut, namun berwibawa sekali sehingga terasa oleh Bi Lan seperti pedang yang menembus
jantungnya.
"Bi Lan, engkau kuundang makan siang dan aku sudah menantimu. Akan tetapi, engkau datang
dan melakukan ini? Apa maksudmu?" Tentu saja pangeran yang juga memiliki ilmu kepandaian silat
tinggi itu dapat mengenal serangan untuk membunuhnya atau serangan untuk mencegahnya
minum arak dari cawan tadi. Kalau wanita itu menghendaki, tentu bukan sumpit yang disambitkan,
melainkan senjata rahasia yang ampuh, dan bukan cawan di tangannya yang dijadikan sasaran,
melainkan anggota tubuhnya yang mematikan. Akan tetapi kalau demikian halnya, tentu diapun
sudah mengelak atau menangkis.
Saking tegang, gelisah dan juga sungkan, Bi Lan menjatuhkan dirinya berlutut kepada pangeran
itu. Biasanya ia memberi hormat dengan membungkuk atau hanya berlutut dengan sebelah kaki
saja.
"Ampunkan hamba, pangeran. Akan tetapi........arak itu.....arak itu mungkin sekali mengandung
racun.!" Katanya agak gagap karena tentu saja ia sendiri belum yakin akan hal itu, hanya baru
dugaan saja.
Sepasang mata yang mencorong itu terbelalak. Tanpa banyak cakap lagi Pangeran Li Si Bin yang
sejak muda sudah bergaul dengan dunia kangouw dan mempunyai banyak pengalaman,
lalu mengambil guci arak darimana tadi dia menuangkan arak ke dalam cawannya, menciumnya,
lalu mengeluarkan sebuah mainan batu giok putih yang tergantung di leher, mencelupkan batu
kemala itu ke dalam arak. Tak lama kemudian dia mengangkat lagi batu giok itu dan ternyata
warna putih itu berubah menjadi kehijauan.!
"Hemm, engkau benar Bi Lan. Kalau kuminum arak dalam cawan tadi, mungkin aku sudah mati.
Racun ini kehijauan, tidak berbau dan tidak ada rasanya, amat berbahaya. Akan tetapi, bagaimana
engkau bisa mengetahui bahwa arak yang akan kuminum itu mengandung racun? Bangkitlah, dan
duduklah, ceritakan semuanya, Bi Lan."
Para dayang, tujuh orang banyaknya yang ditugaskan melayani pangeran yang akan makan
siang dengan Bi Lan, saling pandang dengan wajah pucat sekali. Mereka ketakutan dan terkejut
bukan main ketika melihat bahwa arak yang hamper saja diminum pangeran itu beracun! Andaikan
pangeran itu tadi meminumnya dan tewas, mereka tentu akan terseret dan takkan diampuni lagi
walaupun mereka sama sekali tidak tahu menahu akan arak beracun itu. Merekapun nyaris tewas
dan baru saja lolos dari cengkeraman maut bersama pangeran Mahkota!
Bi Lan bangkit dan dengan langkah tenang menghampiri meja, lalu duduk menghadapi meja,
berhadapan dengan pangeran itu yang menatapnya dengan penuh perhatian, akan tetapi dengan
alis berkerut, karena dia belum tahu atau menduga apa yang sesungguhnya telah terjadi.
"Pangeran, tadi ketika hamba berjalan-jalan di taman, hamba melihat bayangan orang bergerak
cepat memasuki dapur. Hamba merasa curiga dan membayanginya. Dia seorang laki-laki gendut
dan di dapur, dia berbicara dengan seorang thai-kam. Thai-kam itu berkata mengapa dia harus
menghidangkan guci arak itu kepada paduka. Tiba-tiba si gendut itu membunuh si thai-kam.
Hamba terkejut dan melompat masuk. Si gendut melarikan diri ke dalam taman dan hamba berhasil
mengejarnya. Dia menyerang hamba dan hamba berhasil merobohkannya dan hendak
menawannya. Akan tetapi dia membunuh diri dengan menelan racu. Lalu hamba teringat akan
ucapan thai-kam tadi, tentang guci arak yang dihidangkan pada paduka. Melihat si gendut itu ahli
racun, hamba lalu menjadi curiga dan cepat hamba lari ke sini dan terpaksa hamba melemparkan
sumpit untuk mencegah paduka minum arak itu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kini pangeran itu mengangguk-angguk dan matanya mengeluarkan sinar kagum. "Bi Lan,
engkau sungguh hebat sekali, bukan saja engkau lihai dan cantik, akan tetapi engkau juga amat
cerdik dan setia. Hanya kecerdikanmu yang tadi telah menyelamatkan nyawaku. Sungguh aku
berhutang budi dan nyawa kepadamu, Bi Lan. Bagaimana kau dapat membalasnya? Terima kasih,
Bi Lan."
Kalau tadi wajah Bi Lan pucat sekali karena tegang, cemas dan juga sungkan, kini wajah itu
berubah kemerahan sehingga wajahnya menjadi semakin manis, dan dia tidak berani menentang
pandang mata pangeran itu yang kini bersinar-sinar penuh kagum. Melihat wanita yang
dikaguminya itu menunduk dengan kedua pipi kemerahan, Pangeran Li Si Bin yang jarang tertarik
wajah cantik itu, kini tersenyum dan hatinya tertarik sekali. Dia tahu bahwa tidak mudah
mendapatkan seorang wanita seperti Bi Lan ini. Cantik jelita, masih muda, berkepandaian silat
tinggi, cerdik dan setia! Biarpun wanita ini telah menjadi janda dengan seorang anak, namun ia
jauh lebih menarik daripada gadis yang manapun! Mungkin karena merasa berhutang budi dan
nyawa, saat itu sang pangeran telah jatuh hati kepada Kwa Bi Lan!
"Mengapa pangeran berkata demikian? Hamba hanyalah melaksanakan tugas hamba, dan tidak
ada yang perlu dipuji," kata Bi Lan lirih tanpa berani mengangkat mukanya.
Jilid 13
Pangeran Li Si Bin tertawa lalu berkata kepada para dayang. "Kalian melihat sendiri. Contohlah
wanita ini! Nah. kalian singkirkan guci arak ini, tutup dan simpan untuk penyelidikan nanti. Ambil
arak lain yang tidak terlalu keras, dan anggur untuk Kwa lihiap (Pendekar Winita Kwa). Bi Lan, mari
kita makan siang, jangan sampai peristiwa tadi mengganggu makan siang kita."
Bi Lan mengangkat mukanya, memandang wajah pangeran itu, lalu matanya mengamati
hidangan yang berada di atas meja, matanya membayangkan keraguan.
"Jangan khawatir, aku mempunyai batu kemala yang dapat kita pergunakan untuk menguji
apakah ada masakan yang mengandung racun," kata pangeran itu dan iapun mempergunakan batu
kemala tadi, setelah membersihkannya, untuk menguji semua masakan. Ternyata hanya arak
dalam guci sajalah yang mengandung racun, maka mereka lalu makan minum dengan hati tenang.
Sambil makan dan minum, yang di layani oleh para dayang yang kini menjadi gembira sekali, dan
ditemani Bi Lan yang sudah tidak sungkan atau canggung lagi, Pangeran Li Si Bin mengajak wanita
itu bercakap-cakap. Akan tetapi, tiba-tiba kepala pengawal, yaitu Siok-ciangkun mohon menghadap.
Maklum bahwa hal itu tentu ada hubungannya dengan yang diceritakan Bi Lan tadi, Pangeran Li Si
Bin menyuruh panglima itu masuk.
Siok-ciangkun memberi hormat dengan berlutut sebelah kaki, melaporkan bahwa seorang thaikam
terbunuh di dapur istana, dan seorang laki-laki gendut yang ternyata seorang bekas thai-kam
istana yang dikeluarkan, kedapatan mati terbunuh pula di taman.
"Hemm, kami sudah tahu, ciangkun. Thai-kam itu dibunuh oleh laki-laki gendut, dan laki-laki itu
membunuh diri menelan racun ketika ditangkap oleh Kwa-lihiap ini. Jangan perkenankan orang
keluar masuk istana hari ini. Aku sendiri yang akan memeriksa seluruh pelayan, thai-kam dan
pengawal dalam istana. Kumpulkan mereka dan tak seorangpun boleh meninggalkan istana hari
ini."
Setelah berkata demikian. Pangeran Li Si Bin memberi isyarat kepada Siok-ciangkun untuk
meninggalkan ruangan makan. Dengan sikap tenang, dia lalu melanjutkan makan minum dan
bercakap-cakap. Sikap pangeran ini menambah kekaguman dalam hati Bi Lan. Sungguh bukan
sikap seorang pembesar yang sewenang-wenang ataupun cengeng, melainkan sikap seorang
pendekar!
"Bi Lan, dahulu pernah aku mendengar nama besar Pendekar Rajawali Sakti yang kukagumi. Dia
seorang pendekar yang terkenal dan sungguh merupakan suatu keberuntungan bahwa kini isteri
pendekar itu mau membantu kami. Kalau boleh kami ketahui, bagaimana semuda ini engkau sudah
menjadi janda? Apa yang menyebabkan kematian suamimu?"
Bi Lan tahu bahwa berhadapan dengan pangeran ini, tidak perlu menyembunyikan keadaan nya.
Juga beberapa orang dayang itu merupakan orang-orang kepercayaan, maka tidak ada salahnya
kalau mereka hadir pula dalam percakapan ini, walaupun kini mereka nampak tidak mendengarkan
percakapan itu.
"Suami hamba meninggal dunia karena sakit tua. pangeran," jawabnya singkat. "Karena tidak
betah lagi tinggal di rumah, hamba lalu mengajak Lan Lan untuk pergi mengembara."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Dan bagaimana dengan Siauw Can yang datang bersamamu di kota raja?" pangeran itu
bertanya seperti sambil lalu, namun pandang matanya menyelidik.
Diam-diam Bi Lan terkejut dan semakin kagum. Pangeran ini tentu mempunyai banyak matamata
yang tersebar di seluruh kota raja, sehingga tidak aneh kalau dia sudah tahu pula tentang
Siauw Can!
Jantungnya berdebar. Tahu pulakah pangeran ini bahwa Siauw Can sesungguhnya adalah Can
Hong San dan dahulu pernah membela Kerajaan Sui ketika digulingkan oleh pangeran ini dan
pasukannya? Bagaimanapun juga, ia dan Siauw Can telah memperkenalkan diri sebagai saudara
misan kepada Pangeran Tua Li Siu Ti, maka iapun harus tetap berpegang kepada pengakuan itu.
"Dia adalah kakak misan hamba pangeran. Diapun ingin mencari pekerjaan, dan kami
mengadakan perjalanan bersama ke kota raja." jawabnya singkat.
Kini pandang mata pangeran itu semakin tajam penuh selidik sehingga kembali Bi Lan harus
menundukkan mukanya. "Bi Lan, apakah hanya itu hubunganmu dengan Siauw Can? Hanya
saudara misan dan tidak ada hubungan lainnya?"
Bi Lan tidak berani mengangkat mukanya, dan kedua pipinya terasa panas. Terbayanglah
peristiwa malam itu, di mana ulah Siauw Can menghapus semua perasaan suka dan kagumnya
terhadap pemuda itu. Ia tidak berbohong kalau sekarang, ia menggelengkan kepala dengan tegas
dan mengangkat muka menentang tatapan mata pangeran itu dengan berani dan berkata, "Kami
hanya datang bersama ke kota raja. Selain hubungan misan, tidak ada hubungan apapun di antara
kami. Kenapa paduka bertanya demikian, pangeran?"
"Aku ingin memperoleh kepastian tentang dirimu, Bi Lan. Aku merasa kagum dan juga kasihan
kepadamu, Bi Lan. Engkau hidup sebagai seorang janda, dan harus menjaga seorang anak, dan
engkau masih begini muda,......."
Bi Lan tersenyum. Hampir lupa ia bahwa berhadapan dengan seorang pangeran, bahkan putra
mahkota, calon kaisar, dan bahkan orang yang paling besar kekuasaannya di seluruh negeri, lebih
besar dari pada kaisar sendiri. Ucapan pangeran itu demikian wajar dan biasa, seperti ucapan
seorang laki-laki biasa saja. Ia menjadi semakin kagum.
"Maaf, pangeran, hamba yakin bahwa hamba lebih tua dari paduka. Usia hamba sudah duapuluh
empat tahun........"
Pangeran Li Si Bin tertawa, bebas dan bergelak sehingga wajahnya yang tampan dan gagah itu
nampak kekanak-kanakan. "Ha-ha-ha, bagaimanapun juga, aku merasa jauh lebih tua darimu, Bi
Lan..!"
Mereka tidak bercakap-cakap lagi atau lebih tepat, pangeran itu tidak bicara lagi, maka Bi Lan
juga tidak berani berkata apapun. Mereka melanjutkan makan minum sampai selesai dan wajah
pangeran itu cerah berseri. Dia lalu bangkit berdiri. "Aku harus mengadakan pemeriksaan sendiri
dan melakukan pembersihan. Siapa tahu, di antara para pelayan dan pengawal di istana telah
dikuasai pihak yang memusuhi kami."
Bi Lan bangkit dan memberi hormat sambil menghaturkan terima kasih, berdiri menanti sampai
sang pangeran meninggalkan ruangan makan itu sambil melemparkan senyum ramah kepadanya.
Seorang pangeran yang gagah perkasa, tampan, agung dan sopan, pikir wanita itu, terbuai
lamunan muluk ketika ia meninggalkan istana, kembali ke istana Pangeran Tua Li Siu Ti dengan
sebuah kereta yang telah dipersiapkan untuk keperluannya setiap hari.
Begitu tiba di Istana Pangeran Tua, baru ia turun dari kereta, bukan hanya Lan Lan dalam
pondongan pengasuh Cu-ma, akan tetapi juga nampak Siauw Can menyambutnya. Wajah pemuda
itu nampak tegang dan ketika Bi Lan memondong puterinya yang dengan girang merangkulnya,
Siauw Can bertanya, tidak memperdulikan ada Cu-ma di situ dan ada beberapa orang pengawal
yang berjaga di depan Istana itu.
"Lan-moi, apakah yang terjadi di istana! Engkau baru saja pulang dari sana, tentu mengetahui
apa yang telah terjadi!" Pemuda itu nampak tegang.
Bi Lan mengerutkan alisnya dan memandang kepada pemuda yang pernah menggerakkan
hatinya akan tetapi yang kini amat dicurigainya itu. "Bagaimana engkau tahu bahwa ada terjadi
sesuatu di istana?" Ia balas bertanya dan sinar matanya memandang penuh selidik.
Melihat sinar mata Bi Lan, Siauw Can bersikap tenang. "Aih, tentu saja aku tahu, Lan-moi. Baru
saja Pangeran Tua dipanggil ke istana dengan pesan agar segera datang menghadap karena ada
urusan yang teramat penting. Pangeran Tua sendiri yang berkata kepadaku bahwa panggilan itu
tidak seperti biasanya, dan hal itu hanya berarti bahwa di istana telah terjadi sesuatu yang luar
biasa. Nah, engkau baru saja datang dari istana, tentu mengetahui apa yang telah terjadi."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kecurigaan hati Bi Lan menghilang. Kiranya Pangeran Li Siu Ti telah dipanggil ke istana, tentu
ada hubungannya dengan keinginan Pangeran Mahkota untuk melakukan pemeriksaan dan
pembersihan terhadap para pelayan dan pengawal, semua petugas di istana. Dan tidak aneh kalau
Siauw Can menanyakan apa yang telah terjadi di istana.
Ia tidak ingin urusan itu didengar orang lain, maka sambil memondong Lan Lan, iapun berkata
singkat, "Kita bicara di dalam saja."
Setelah mereka berada di ruangan dalam, mereka disambut oleh Li Ai Yin yang juga segera
mengajukan pertanyaan kepada Bi Lan, "Enci Bi Lan, apakah yang telah terjadi di Istana?"
Bi Lan menjatuhkan diri duduk di atas kursi dan merangkul puterinya, lalu menarik napas
panjang, "Ada orang mencoba untuk meracuni Pangeran Mahkota......."
"Ihhh.......!." Ai Yin menjerit, matanya terbelalak dan mukanya pucat. "Betapa mengerikan.
Dan bagaimana keadaan kakanda pangeran?" Dari sikap dan ucapan gadis bangsawan itu, Bi
Lan tahu bahwa bagaimanapun juga, ada perasaan sayang di hati gadis itu terhadap kakak
sepupunya.
"Jangan khawatir, nona. Beliau sehat-sehat saja karena arak beracun itu tidak sampai
diminumnya."
"Lan-moi, bagaimana terjadinya? Siapa yang hendak meracuni Pangeran Mahkota dan
bagaimana pula caranya, bagaimana pula usaha pembunuhan keji itu dapat digagalkan?" tanya
Siauw Can ingin tahu sekali.
"Benar, enci Bi Lan. Ceritakanlah, apa yang sesungguhnya terjadi? Akupun ingin tahu sekali."
kata Ai Yin.
"Nanti kalau Pangeran Tua pulang, tentu beliau dapat bercerita lebih jelas," kata Bi Lan
mengelak.
"Tidak, aku ingin mendengar dari sekarang, enci Bi Lan! Aku sudah tidak sabar menanti
pulangnya ayah!" kata gadis bangsawan itu.
Bi Lan terpaksa. Bagaimanapun juga, Pangeran Tua tentu akan mendengar segalanya dan kedua
orang ini akan mendengarnya juga. Kalau ia bertahan dan tidak mau menceritakan, tentu
menimbulkan dugaan yang bukan-bukan. Iapun menghela napas panjang.
"Siang tadi, ketika aku beristirahat dan berjalan-jalan seorang diri di taman bunga istana, aku
melihat bayangan orang ke dapur istana. Aku menjadi curiga dan membayangi. Dia seorang gendut
yang bertemu dengan seorang thai-kam di dapur. Aku mendengar thai-kam itu menegur si gendut
mengapa ia harus memberikan guci arak itu kepada Pangeran Mahkota. Si gendut lalu membunuh
thai-kam itu. Tentu saja aku mengejarnya, dia lari ke dalam taman dan aku berhasil
merobohkannya. Ketika aku hendak menangkapnya, dia menelan racun dan mati seketika. Aku
mengkhawatirkan kesehatan Pangeran Mahkota, maka cepat aku memasuki ruangan makan. Ketika
melihat pangeran hendak minum arak dari sebuah guci, aku teringat akan ucapan thai-kam yang
terbunuh dan kusambit cawan di tangan pangeran itu dengan sumpit. Ketika diperiksa, arak itu
memang beracun!"
Ai Yin merangkul Bi Lan. "Aih, engkau hebat, enci Bi Lan. Engkau pantas menjadi guruku. Wah,
namamu tentu akan tersohor di istana, aku ikut bangga karena engkau guruku. Dan telah
menyelamatkan nyawa kakanda pangeran! Bukan main!" Gadis itu girang sekali. Karena ia
dirangkul. Bi Lan terhalang dan tidak melihat perubahan pada wajah Siauw Can.
ooo0000ooo
"Hemm, bagaimanapun baiknya siasat itu, ternyata telah gagal dan bagaimana kalau thai-kam
dan bekas thai-kam itu dapat tertangkap hidup-hiup? Tak dapat aku membayangkan akibatnya.
Kalian berdua harus bekerja lebih baik dan hati-hati!" Pangeran Tua Li Siu Ti mengomel panjangpendek
di dalam kamar pertemuan yang tertutup rapat itu. Mereka bertiga, Pangeran Tua Li Siu Ti,
Poa Kiu, dan Siauw Can, membicarakan tentang usaha pembunuhan terhadap Pangeran Li Si Bin
yang gagal. Usaha pembunuhan itu memang hasil siasat Poa Kiu dan Siauw Can.
Siauw Can mengepal tinju. "Pangeran, kalau tidak karena ulah Bi Lan, kalau tidak kebetulan Bi
Lan berada di sana, tentu sekarang ini Pangeran Mahkota telah tewas.!"
"Bagaimana juga, harap paduka tidak menjadi khawatir. Hamba telah berlaku amat hati-hati.
Andaikata bekas thai-kam itu tertangkap hidup-hiduppun, dia tidak akan tahu siapa yang memberi
banyak uang emas kepadanya dan yang menyurur dia menyelundupkan arak beracun ke istana.
Juga, dia telah kami ancam tanpa dia mengenal kami, bahwa kalau dia tertawan, dia harus
membunuh diri dengan racun. Kalau tidak, maka seluruh keluarganya di dusun akan kami bunuh.
Dan ternyata ancaman itu cukup ampuh. Buktinya, dia memilih membunuh diri dari pada tertawan,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sedangkan keluarganya di dusun dapat menikmati hidup berkecupan dengan upah yang telah kami
berikan kepadanya."
Sang pangeran mengangguk-angguk dan wajahnya yang tadinya diliputi kegelisanan kini
menjadi terang kembali, sikapnya menjadi tenang, lalu dia duduk berhadapan dengan dua orang
kepercayaannya. "Lalu, apa yang dapat kita lakukan selanjutnya?"
"Harap paduka jangan tergesa-gesa. Kegagalan itu membuat Pangeran Mahkota menjadi
waspada. Bahkan kabarnya para petugas di istana akan dipilih dengan seksama dan penjagaan
diperketat. Tidak mungkinlah dalam waktu dekat ini menyelundupkan orang ke dalam istana. Kita
harus nanti saat yang tepat dan kesempatan yang baik, pangeran."
"Henm, engkau memang benar, Poa Kiu. Aku sebagai penasihat kaisar, tadi juga menasehati
agar para petugas diganti dan dilakukan pemilihan yang cermat. Hal itu untuk menjauhkan diriku
dari persangkaan. Akupun menasehatkan kepada kaisar agar mayat kedua orang itu digantung di
pintu gerbang agar semua rakyat melihatnya dan agar tidak ada yang berani lagi melakukan
percobaan pembunuhan di istana. Akan tetapi, sampai kapan kita harus menanti kesempatan?"
"Pangeran, usaha membunuh Pangeran Mahkota, untuk sementara ini harus ditangguhkan. Hal
ini selain amat sukar, juga amat berbahaya bagi selamatan paduka sendiri. Kita harus mencari cara
lain yang lebih halus."
"Cara lain yang bagaimana?" tanya Pangeran Tua tak sabar.
"Misalnya, dengan usaha agar Pangeran Mahkota mendapat nama buruk dan dikecam rakyat
sebagai seorang pemuda yang tidak pantas kelak menggantikan ayahnya menjadi kaisar.
Menonjolkan bahwa dia hanyalah keturunan darah Turki, dan kalau mungkin, kita usahakan agar
Permaisuri bentrok dengan Pangeran Mahkota, atau setidaknya ada terjadi pertentangan di antara
mereka......".
Pangeran Tua mengangguk-angguk. "Siasat ini baik sekali dan perlahan-lahan boleh kaucari
jalannya untuk melaksanakannya. Akan tetapi aku sendiri sama sekali tidak boleh tersangkut,
karena aku adalah penasihat kaisar, bahkan kalau perlu, andaikata sampai terjadi kebocoran, aku
tidak segan-segan untuk menasehatkan menghukum mereka yang mengacau di istana! Nah,
engkau harus berhati-hati sekali, Poa Kiu. Jangan sampai rahasiamu terbongkar dan terpaksa aku
harus menasehatkan kaisar agar menjatuhkan hukuman seberatnya kepadamu dan keluargamu!"
Poa Kiu bergidik. "Hamba mengerti, Pangeran. Yang pertama adalah keselamatan paduka tidak
tersangkut, dan ke dua barulah berhasilnya siasat itu."
"Bagus kalau engkau sudah mengerti. Engkau boleh bekerja sama dengan Siauw Can. Dan
bagaimana dengan engkau sendiri, Siauw Can? Apakah kau memiliki siasat lain, kecuali yang sudah
dikemukakan Poa Kiu?"
"Hamba masih mempunyai satu harapan untuk melenyapkan Pangeran Mahkota, pangeran..."
"Hushhhhh! Engkau akan memancing bahaya bagi kita? Tadi sudah dibicarakan bahwa untuk
sementara waktu ini, tidak mungkin siasat itu dilaksanakan. Siapa yang akan mampu menembus
benteng pertahanan para pengawal di istana?"
"Hamba sendiri tidak dapat, akan tetapi ada orang yang dapat, pangeran." "Siapakah dia?"
"Ia adalah adik misan hamba sendiri, Bi Lan."
Sepasang mata yang cerdik dan licik dari Pangeran Tua Li Siu Ti nampak berseri. Seketika iapun
dapat melihat kemungkinan itu. "Ah, engkau benar.! Setiap hari Bi Lan memasuki istana, tentu saja
ia tidak dicurigai, apa lagi baru saja ia yang menyelamatkan nyawa Pangeran Mahkota. Akan tetapi
apakah ia mau membantu?" Pangeran Tua mengerutkan alisnya, ragu-ragu karena dia sudah
melihat sikap Bi Lan. Wanita itu keras hati dan agaknya sukar ditundukkan.
"Kita harus bekerja dengan tenang dan hati-hati, pangeran. Memang adik misan hamba itu keras
kepala dan keras hati. Akan tetapi hamba akan membujuknya perlahan-lahan agar ia mau
membantu."
Biarpun mulutnya berkata demikian, di dalam, hatinya Siauw Can yakin benar bahwa Bi Lan
tidak mungkin mau kalau disuruh mencelakai Putera Mahkota, apa lagi membunuhnya. Kalau dia
berani berjanji Kepada Pangeran Tua Li Siu Ti, itu adalah karena dia hendak mempergunakan cara
lain untuk memaksa Bi Lan suka bekerja sama.! Ada Poa Kiu yang dapat membantunya. Dengan
kerja sama yang baik, tentu mereka berdua akan mampu menundukkan Bi Lan dan kalau wanita itu
sudah mau bekerja sama, membinasakan pangeran Li Si Bin bukan merupakan hal yang mustahil
lagi.
oooo0000oooo
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
'Terlalu! Sungguh keterlaluan sekali! Orang-orang Turki mencoreng muka kita dengan kotoran,
mencemarkan kehormatan keluarga dan menghina kita dan paduka membiarkan
begitu saja? Apakah Baducin dan anak buahnya yang biadab itu tidak akan mentertawakan
paduka? Selir paduka di culik, diperkosa dan dibunuh, dan paduka hanya diam mengelus dada saja!
Apakah karena permaisuri muda orang Turki, lalu paduka membiarkan saja keluarga kita diinjakinjak
kehormatannya?" Permaisuri itu berkata dengan nada suara yang penasaran dan kesedihan,
sambil menggunakan sapu tangan menghapus air mata yang jatuh berderai.!
Kaisar Tang Kao Cu duduk dengan wajah muram, alisnya berkerut dan berulang kali dia
menghela napas panjang. "Tenanglah dan jangan menuruti perasaan saja. Bukankah Gala Sing,
putera Raja Muda Baducin yang berdosa itu telah menerima hukumannya dan tewas?"
"Apakah cukup dengan itu? Tentu orang-orang Turki itu akan berpendapat bahwa semua wanita
dalam istana ini boleh saja diganggu dan dihina, kalau tertangkap mungkin dibunuh, akan tetapi
kalau tidak? Mereka semua akan menertawakan keluarga istana!" kata pula sang permaisuri dengan
marah.
Kaisar Tang Kao Cu kehilangan kesabarannya dan memandang kepada permaisurinya dan
bertanya kaku, "Habis, kalau menurut pendapatmu, kita harus berbuat apa terhadap mereka?"
"Mereka adalah orang-orang biadab, orang-orang asing yang sepantasnya diusir semua dari
negara kita. Perintahkan mereka pulang ke negara mereka sendiri dan jangan lagi memperbolehkan
mereka berada di kota raja!"
"Akan tetapi, hal itu tidak mungkin!. Engkau tahu bahwa Pangeran Mahkota Li Si Bin amat
membutuhkan bantuan mereka untuk menundukkan para pemberontak yang masih mengacau di
sana sini. Dan engkau tentu tahu pula bahwa merekalah yang membantu kita menggulingkan
Kerajaan Sui. Li Si Bin sendiri yang minta kepada kami untuk lebih mementingtan urusan negara
daripada urusan pribadi.Dan di antara kami dan Raja Muda Baducin telah berdamai, saling
memaafkan."
"Paduka telah dipengaruhi orang-orang Turki.! Aihh, nasib kami sungguh celaka, dapat dihina
oleh orang-orang biadab tanpa kami dapat berdaya sama sekali." Permaisuri menangis. Kaisar Tang
Kao Cu menjadi jengkel dan dia meninggalkan permaisurinya. Dia tahu bahwa permaisurinya itu
bagaimanapun juga adalah seorang wanita yang tidak lepas dari pengaruh
cenburu. Karena permaisuri tidak mempunyai putera, dan dia mengangkat ibu Li Si Bin, seorang
wanita Turki, sebagai permaisuri muda, bahkan sebagai ibu kandung putera mahkota, maka tentu
saja permaisuri merasa tersisihkan dan merasa diancam kedudukannya. Dia sendiri tadinya
memang marah bukan main kepada Raja Muda Baducin, pemimpin orang-orang Turki karena
selirnya diculik, diperkosa dan sampai membunuh diri, oleh putera Baducin. Akan tetapi, puteranya,
Pangeran Li Si Bin membujuknya dan menyadarkannya. Dan biarpun dia seorang ayah, biar dia
yang menjadi kaisar, namun dia tahu bahwa dia tidak mungkin dapat membantah puteranya itu.
Puteranya yang menjadi panglima besar, puteranya yang berhasil memimpin pasukan
menggulingkan kerajaan Sui, bahkan puteranya yang mengangkat dia menjadi kaisar.!
Sejak percakapan itu terjadi, permaisuri mulai diracuni dendam kebencian terhadap Pangeran
Mahkota Li Si Bin, anak tirinya yang dianggapnya keturunan bangsa biadab! Dan dengan sendirinya
iapun menerima dengan hati terhibur ketika adik suaminya. Pangeran Li Siu Ti, mendekatinya.
Pangeran Li Siu Ti adalah adik kaisar, dan karena keduanya sama-sama tidak suka kepada
Pangeran Mahkota yang berdarah Turki itu tentu saja mereka merasa saling cocok dan hal ini
memudahkan Pangeran Li Siu Ti untuk menyelundupkan seorang thai-kam baru sebagai pelayan di
istana bagian puteri, tentu saja mereka dengan bantuan Permaisuri yang tidak tahu bahwa thaikam
baru yang diusulkan Pangeran Li Siu Ti itu bertugas sebagai mata-mata di dalam istana.!
Bukan itu saja usaha yang dilakukan oleh Pangeran Li Siu Ti yang menugaskan Poa Kiu dan
Siauw Can untuk mengatur segala macam siasat demi tercapainya tujuannya, yaitu merusak nama
baik Pangeran Mahkota atau kalau mungkin membunuhnya,agar kelak mahkota dapat terjatuh ke
tangan Pangeran Li Siu Ti.!
Seperti juga keadaan hati akal pikiran setiap orang di dunia ini, juga Pangeran Li Siu Ti, Poa Kiu
maupun Siauw Can, sama sekali tidak merasa bahwa mereka telah melakukan perbuatan yang tidak
baik. Setiap manusia akan selalu membenarkan tindakan mereka, selama tindakan itu bertujuan
baik bagi diri sendiri. Hati dan akal pikiran yang sudah bergelimang nafsu selalu mementingkan
pamrih dalam setiap perbuatan, pamrih untuk keuntungan dan kesenangan diri sendiri, dan setiap
kali hati nurani mencela dan menegur perbuatan itu, maka hati dan akal pikiran akan menjadi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pembela yang gigih dan cerdik, selalu akan mencari alasan-alasan kuat untuk membenarkan
tindakan mereka.
Pangeran Li Siu Ti tidak pernah merasa bahwa perbuatannya itu didorong oleh iri dan keinginan
untuk berkuasa, melainkan menganggap sebagai perbuatan yang baik karena dia menganggap
bahwa Li Si Bin tidak pantas menjadi calon kaisar. Seorang berdarah Turki tidak patut menjadi
kaisar dan dialah yang lebih berhak dan lebih pantas. Poa Kiu juga menganggap semua
tindakannya benar karena hal itu menunjukkan bahwa ia adalah seorang pembantu yang setia.
Juga Siauw Can menganggap dirinya benar karena dia ingin memperoleh kedudukan yang baik dan
wajarlah kalau dia membantu Pangeran Li Siu Ti yang dianggapnya akan dapat menariknya ke
tingkat yang tinggi.
Hanya ada sebuah hal yang selalu meresahkan hati Siauw Can, yaitu mengenal Kwa Bi Lan.
Diam-diam dia harus mengakui bahwa dia telah jatuh cinta kepada Bi Lan. Kalau malam itu dia
berusaha menggauli Bi Lan, bukan semata-mata karena ia tidak mampu mengendalikan nafsu
berahinya. Sama sekali bukan. Dia mencinta Bi Lan dan ingin memperisteri wanita itu. Akan tetapi,
kemudian setelah dia melihat Ai Yin, akal pikirannya bekerja dan dia melihat betapa cita-citanya
akan dapat tercapai kalau dia dapat memperisteri Ai Yin! Dia akan menjadi mantu Pangeran Tua
yang kelak mungkin akan menjadi kaisar! Dia ingin memperisteri Ai Yin karena ingin memperoleh
kedudukan tinggi, berbeda dengan keinginannya memperisteri Bi Lan karena memang mencinta
janda itu. Maka, diapun ingin menjadi suami Ai Yin akan tetapi tidak ingin kehilangan Bi Lan, dan
dia berusaha menggauli janda itu karena sekali janda itu telah menyerahkan diri kepadanya, tentu
takkan dapat terlepas lagi dan dia akan mengambil Bi Lan sebagai isteri ke dua! Akan tetapi, Bi Lan
menolak, bahkan marah-marah dan sejak itu, sikap Bi Lan dingin terhadapnya. Ini yang amat
meresahkan hati Siauw Can.
Sekarang, sesuai dengan rencana yang diatur bersama Poa Kiu, bukan hanya cinta yang
mendorong Siauw Can untuk memiliki Bi Lan, melainkan juga untuk dapat memperalat janda itu
yang kini mendapatkan kepercayaan dari Pangeran Li Si Bin dan setiap hari memasuki istana kaisar.
Siauw Can mulai mendekati Bi Lan dan dengan wajah penuh penyesalan, dengan suara menggetar
sedih dia membujuk Bi Lan pada suatu sore, ketika mendapatkan kesempatan bicara empat mata
dengan janda muda itu.
"Lan-moi, kenapa engkau masih nampak marah kepadaku? Sudah berkali-kali aku minta maaf
kepadamu. Lan-moi, aku memang bersalah malam itu. Akan tetapi ketahuilah bahwa aku cinta
padamu, aku rindu padamu dan malam itu aku tidak dapat menahan diri sehingga melakukan hal
yang tidak sepatutnya kulakukan. Aku minta maaf, Lan-moi."
Bi Lan menarik napas panjang. Sebetulnya, ia pernah tertarik kepada pemuda ini dan betapa
akan mudahnya membalas cintanya. Akan tetapi, peristiwa malam itu sungguh telah menyapu
bersih semua perasaannya terhadap Siauw Can! Biarpun demikian, ia tidak dapat merasa benci
kepada pemuda ini, karena iapun dapat memakluminya sekarang. Ia teringat akan semua kebaikan
Siauw Can, teringat betapa pemuda itulah yang mengajaknya ke kota raja sehingga kini ia
mendapatkan pekerjaan yang baik dan terhormat. Semua penghuni istana kaisar bahkan
menghormatinya karena ia telah menjadi orang kepercayaan Pangeran Mahkota. Semua itu dapat
terjadi karena Siauw Can yang mengajaknya ke kota raja. Kalau ia tidak bertemu dengan pemuda
itu, entah bagaimana keadaannya sekarang.
"Can-toako, aku sudah melupakan peristiwa itu. Aku memaafkanmu, akan tetapi kuminta mulai
saat ini, engkau jangan lagi bicara tentang cinta padaku. Aku hanya akan menjadi muak dan
teringat akan peristiwa itu lagi saja. Kita hanya sahabat, toako, dan untuk membalas semua
kebaikanmu, aku berjanji tidak akan membuka rahasia dirimu kepada siapapun juga."
Hanya itulah yang dapat dihasilkan Siauw Can biarpun dia sudah mencoba untuk bersikap
manis, lembut, merendah bahkan merengek terhadap Bi Lan. Agaknya janda itu sudah menutup
pintu hatinya terhadap cintanya!
Sikap Bi Lan ini, selain mengecewakan hati Siauw Can karena cintanya ditolak, juga membuat
dia bingung. Dia harus dapat memperalat Bi Lan demi membuat jasa besar kepada Pangeran Tua.
Diapun merundingkan hal ini dengan Poa Kiu, mengatur siasat.
Siauw Can juga tak pernah lalai memperhatikan Ai Yin. Sejak semula dia sudah berusaha
mendekati gadis bangsawan itu dan dia mengerahkan segala daya untuk menaklukkan hati gadis
itu. Dia memang tampan, lincah dan pandai bicara. Apalagi karena dia mendapatkan kesempatan.
Ai Yin bukan hanya belajar ilmu silat dari Bi Lan, akan tetapi juga seringkali meminta petunjuk
darinya dan setiap kali Bi Lan pergi ke istana untuk melatih para dayang istana, Siauw Can selalu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mempergunakan kesempatan ini untuk memberi petunjuk kepada Ai Yin. Dengan sendirinya,
pergaulan mereka menjadi akrab dan gadis bangsawan yang kurang pengalaman itu, yang memiliki
pembawaan manja dan genit, tentu saja mudah runtuh oleh seorang pria yang berpengalaman
seperti Siauw Can. Pemuda ini bukan saja mempergunakan ketampanan dan kegagahannya untuk
menarik perhatian, bahkan dia mempergunakan kekuatan sihirnya yang pernah dia pelajari dari
mendiang ayahnya. Terhadap seorang yang memiliki tenaga sakti sekuat Bi Lan, kekuatan sihirnya
itu tidak akan bermanfaat. Akan tetapi terhadap Ai Yin, guna-guna sihir yang dipergunakan Siauw
Can tentu saja amat ampuh! Siauw Can bersikap hati-hati dan lembut, tidak mau mempergunakan
kekerasan, tidak mau terseret oleh nafsunya sendiri yang bahkan mungkin dapat menggagalkan
usahanya. Dia harus dapat memikat Ai Yin dan mendapatkan gadis itu sebagai isterinya secara
terhormat, dapat diterima dengan baik oleh gadis itu dan keluarganya. Maka diapun berperan
sebagai seorang pemuda yang sungguh jatuh cinta, yang sopan dan menghormati gadis yang
dicintanya!
Ketika dia pada suatu pagi, setelah memberi petunjuk ilmu silat kepada Ai Yin, melihat
kesempatan baik, diapun mendekati Ai Yin yang duduk di atas bangku dalam ruangan berlatih silat
itu. Gadis itu tampak segar, kedua pipinya kemerahan, napasnya agak terengah, dahi dan lehernya
basah oleh keringat setelah tadi berlatih silat dan menggunakan tenaga. Ia tersenyum, cerah dan
menyusut keringat dengan saputangan sambil memandang kepada Siauw Can dengan wajah
berseri.
"Bagaimana pendapatmu, toako? Sudah majukah gerakanku?" Ai Yin memanggil pemuda itu
toako (kakak) menirukan Bi Lan. Dia tidak senang kalau disebut taihiap (pendekar besar), maka Ai
Yin menyebutnya toako yang menyenangkan kedua pihak.
"Baik sekali, nona. Engkau memang berbakat, gerakanmu cukup cekatan, cukup kuat, cepat dan
indah. Bahkan gerakanmu lebih indah dibandingkan gerakan Lan-moi."
Ai Yin tertawa dan ketika mulutnya terbuka, nampak rongga mulut yang merah dan deretan gigi
yang putih dan rapi. "Hi-hik. engkau memuji terlalu tinggi, toako. Mana mungkin gerakanku lebih
indah dibandingkan gerakan enci Lan? Engkau merayu, ya?"
Siauw Can tersenyum, akan tetapi lalu berkata dengan serius. "Sungguh mati, aku berani
bersumpah, nona. Aku tidak merayu, dan bukan memuji kosong, hanya berkata sesungguhnya.
Tentu saja engkau tidak dapat menyamai kelihaian Lan-moi, akan tetapi
dalam keindahan gerakan, nona jauh lebih hebat. Kalau nona bermain silat, gerakanmu seperti
seorang bidadari sedang menari, gerakan kaki tangan dan badanmu.........."
Wanita mana di dunia ini yang hatinya tidak runtuh menghadapi pujian, apa lagi kalau pujian itu
keluar dari mulut seorang pria muda tampan? Bahkan andaikata ia tahu bahwa pujian itu hanya
rayuan gombal sekalipun, hati wanita itu akan berkembang dan penuh rasa senang dan bangga.!
Agaknya memang sudah pembawaan alam, berlaku untuk mahluk apapun juga, betina selalu suka
sekali dipuji dan pria selalu suka sekali memuji.! Percaya atau tidak bahwa pujian Siauw Can itu
benar, tetap saja hati Ai Yin menjadi senang bukan main dan tawanya lepas dan gembira.
"Jangan bohong kau, Can-toako! Enci Lan seringkali menegurku, mengatakan bahwa yang
membuat gerakanku kaku adalah badanku, ehh......pinggulku, katanya terlalu menonjol ke
belakang!"
Siauw Can membelalakkan matanya dan berkata dengan nada penuh penasaran, "Ah, Lan-moi
terlalu kejam untuk mencelamu. Hem, menurut penglihatankku, justeru pinggulmu amat indah
bentuknya dan membuat gerakanmu nampak serasi dan menawan!"
Kembali Ai Yin tersenyum, akan tetapi sekali ini ia mengerling genit dan kedua pipinya agak
kemerahan. Siauw Can yang sudah berpengalaman dapat melihat bahwa gadis itu sudah mulai
terpikat. Dia mengenal batas dan tidak melanjutkan rayuannya karena hal itu akan menimbulkan
kecurigaan. Dia bersikap biasa kembali dan dengan sopan dia mulai pula memberi petunjukpetunjuk
sehingga gadis itu kehilangan rasa canggungnya. Akan tetapi diam-diam benih yang
ditanam Siauw Can mulai tumbuh, dan sepasang mata yang manja itu mulai memandang Siauw
Can bukan hanya karena kagum akan kepandaiannya, akan tetapi juga dengan perhatian yang lain,
perhatian seorang gadis remaja yang mulai tertarik kepada seorang pria yang menyenangkan
hatinya, yang pandai mengelus perasaannya. Jerat mulai dipasang untuk menangkap kelinci muda
yang belum berpengalaman itu, perangkap mulai dipasang terhadap burung yang baru belajar
terbang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sikap Siauw Can yang mulai berubah, rayuan-rayuan maut berupa pujian-pujian dengan suara
lembut, pandang mata yang jelas membayangkan berahi, senyum-senyum penuh pikatan,
membuat Ai Yin maklum bahwa pemuda yang selama ini dianggapnya sebagai
seorang pendekar yang membantu ayahnya itu cinta kepadanya! Hal ini merupakan pengalaman
baru bagi gadis bangsawan ini, membuat ia kadang suka melamun dalam kamarnya. Ia mulai
gelisah dan akhirnya, pada suatu kesempatan ia berdua saja dengan Bi Lan, ia mengaku terus
terang kepada pendekar wanita yang menjadi sahabat dan gurunya itu.!
"Enci Bi Lan, aku ingin membicarakan sesuatu, akan tetapi engkau harus berjanji dulu padaku
bahwa engkau akan merahasiakan semuanya ini dan juga bahwa engkau tidak akan merasa
tersinggung.!"
Bi Lan memandang gadis itu dengan sinar mata penuh selidik. Ia mengenal Ai Yin sebagai
seorang dara remaja yang cantik, genit dan manja. Akan tetapi yang memiliki dasar watak yang
baik, yang akrab pula dengan saudara sepupunya, yaitu Pangeran Mahkota Li Si Bin. Iapun merasa
sayang kepada Ai Yin, sungguhpun ia tahu bahwa gadis itu sebagai murid tidaklah memuaskan
karena tidak memiliki bakat ilmu silat.
"Baik, nona, aku berjanji tidak akan merasa tersinggung dan akan merahasiakan apa yang akan
kaubicarakan," jawabnya sambil tersenyum, merasa seperti menghadapi seorang anak-anak yang
manja.
Setelah bersangsi sebentar, dengan kedua pipi berubah merah, Ai Yin lalu bertata. "Enci Lan,
kakak misanmu itu...... "
Diam-diam Bi Lan terkejut. Ada apa dengan Siauw Can? Jantungnya berdebar. Jangan-jangan
pemuda itu mengulang lagi perbuatannya seperti yang pernah dilakukan kepadanya pada malam
itu, dan kini yang didekatinya adalah gadis bangsawan ini. "Can-toako? Kenapa dengan dia?"
tanyanya cepat.
Melihat Bi Lan terkejut. Ai Yin tersenyum dan menggeleng kepala. "Tidak apa-apa. enci. Hanya
dia.......dia agaknya jatuh cinta padaku.."
Dara itu menundukkan mukanya dengan malu-malu dan Bi Lan terbelalak. Hemm, kiranya Siauw
Can kini mengalihkan perhatian dan perasaannya kepada gadis bangsawan yang usianya baru
tujuhbelas tahun ini.!
Akan tetapi, agaknya Ai Yin juga dapat menerima perasaan pemuda itu. Kalau tidak demikian,
tentu akan berbeda sikapnya. Tentu dara itu akan marah-marah, tidak bersikap malu-malu seperti
ini. Sikap malu-malu menghadapi pernyataan cinta seorang pria sama artinya dengan menyambut
pernyataan itu dengan senang hati. Dara ini telah terpikat dan jatuh hati pula kepada Siauw Can!
Akan tetapi, apa salahnya? Siauw Can adalah seorang pemuda yang baik. Tampan dan gagah, dan
menjadi orang kepercayaan Pangeran Tua, ayah gadis ini. Ia tidak melihat suatu cacat pada diri
Siauw Can, kecuali peristiwa malam itu yang talah dapat ia maklumi.
"Siocia (nona), dia tidak melakukan sesuatu yang tidak semestinya kepadamu, bukan?" Bi Lan
memancing dan gadis itu cepat menggeleng kepala dan mengangkat muka memandangnya.
"Tidak, dia amat baik kepadaku, enci."
"Hemm, kalau begitu.......kenapa kauceritakan hal ini kepadaku?"
Wajah Ai Yin menjadi semakin merah. "Aku... .aku bingung, enci, aku........aku takut karena
belum pernah aku merasakan seperti ini. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, aku ingin
bertanya kepadamu, bagaimana pendapatnu tentang pemuda yang menjadi kakak misanmu itu?"
Bi Lan terharu. Sukar baginya membayangkan bagaimana akan rasanya andaikata pernyataan
dan pertanyaan Ai Yin itu diajukan kepadanya sebelum terjadi peristiwa malam itu.! Ia sendiri
tadinya menyukai Siauw Can. Akan tetapi sekarang, yang ada dalam hatinya hanya perasaan haru.
Dara bangsawan itu demikian percaya kepadanya sehingga menanyakan urusan yang demikian
pribadi kepadanya.
Bi Lan menegang tangan Ai Yin dan dengan suara gemetar karena haru iapun berkata, "Nona,
sepanjang yang kuketahui, Can-toako adalah seorang laki-laki yang gagah perkasa dan berjiwa
pendekar. Bagiku dia cukup gagah dan baik. Tentu saja aku tidak mengenalnya lebih dalam karena
kamipun baru bertemu beberapa bulan yang lalu. Nona, apakah.........engkau juga cinta padanya?"
Kembali Ai Yin menanduk, ia memang genit dan manja, juga lincah, akan tetapi sekali ini dalam
urusan cinta, ia berubah menjadi pemalu! Ia menggeleng kepala. "Aku tidak tahu, enci. Aku
memang kagum padanya, dan suka padanya, dan segala hal pada dirinya menarik hatiku, membuat
aku selalu ingat dan kadang tak dapat tidur........ "
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bi Lan tersenyum. Itu tandanya cinta, walaupun mungkin cinta remaja! "Nona, apakah engkau
mengharapkan nasihat dariku?"
Ai Yin mengangkat muka dan memandang Bi Lan dengan mata penuh harap. "Benar sekali, enci
Lan. Aku sedang bingung dan ragu, bagaimana baiknya menghadapi urusan ini?"
"Pernahkah dia secara terang-terangan menyatakan bahwa dia cinta padamu, nona?" "Terangterangan
memang belum, akan tetapi gerak-geriknya, sinar matanya, suaranya, pujian-pujiannya,
semua itu sudah jelas. Agaknya diapun merasa ragu dan bimbang, takut untuk mengatakannya."
"Hem, kalau begitu, kautunggu saja sampai ia berkata terus terang, nona. Dia seorang gagah,
kurasa dia akan berani berterus terang kalau memang dia cinta padamu. Dan kalau dia sudah
menyatakan cintanya, jawablah saja bahwa kalau benar dia mencintamu, dia harus berani
melamarmu kepada orang tuamu."
"Aih, mana dia berani, enci?"
"Biar itu menjadi ujian baginya, nona. Kalau memang dia mencintamu, kenapa tidak berani!
Jangankan hanya melamar kepada orang tuamu, kalau dia benar mencinta, biar menyeberangi
lautan api umpamanya, tentu akan dia lakukan. Bukankah begitu?"
Wajah gadis itu berseri-seri. Betapa senangnya kalau mempunyai seorang calon suami yang
demikian besar cintanya sampai mau menyeberangi lautan api! Setelah bicara dengan Bi Lan, makin
besar rasa hati Ai Yin dan diapun kini tidak ragu-ragu lagi, sudah bertekad untuk menerima cinta
kasih pemuda itu.
Kalau saja Bi Lan tahu! Kalau saja ia mengenal siapa sebenarnya Siauw Can atau Can Hong San.
Tentu ia akan dengan tegas mencegah puteri bangsawan itu tergelincir dan terjebak ke dalam
perangkap! ooo0000ooo
Beberapa bulan kemudian. Seperti yang dinasehatkan Bi Lan, ketika pada suatu hari Siauw Can
memberanikan diri mengaku cintanya kepada Ai Yin, gadis bangsawan itu menjawab bahwa untuk
membuktikan cintanya, Siauw Can harus melamarnya pada ayahnya!
Siauw Can terbelalak mendengar ini dan dia nampak gelisah. "Akan tetapi, bagaimana mungkin
itu, nona? Bagaimana aku akan berani melamarmu? Ayahmu adalah Pangeran Tua, majikanku, dan
aku sendiri sebatangkara, tiada orang tua lagi. Aku tidak mempunyai wakil dan........."
"Cukup alasan itu, toako!" Li Ai Yin memotong marah. "Kau bilang bahwa engkau mencintaku.
Akan tetapi baru kusuruh mengajukan pinangan saja engkau tidak berani! Bagaimana aku dapat
mempercayaimu?" kata Ai Yin yang segera pergi meninggalkan pemuda itu.
Siauw Can termenung dan menjadi serba salah. Tadinya dia ingin memikat dulu gadis
bangsawan itu sampai menjadi kekasihnya, baru perlahahan-lahan mengatur perjodohan. Siapa
kira, gadis ini langsung saja minta dibuktikan cintanya dengan mengajukan lamaran! Sekarang
menjadi serba salah. Tidak memenuhi permintaan Ai Yin tentu gadis itu akan marah dan
menganggap cintanya hanya pura-pura. Memenuhi permintaan, dia merasa takut! Karena bingung,
diapun lari menjumpai Poa Kiu dan minta nasihat rekan yang lebih tua itu.
Mendengar keterangan Siauw Can, Poa Kiu yang kurus bongkok mengelus jenggotnya dan
mengangguk-angguk. "Hemm, jadi nona Ai Yin jatuh cinta padamu dan minta agar ia dilamar?
Betapa baik nasibmu, Siauw Can. Baiklah, aku akan menjadi walimu dan akan kuajukan lamaran
kepada Pangeran. Mudah-mudahan saja beliau dapat menerima pinanganmu."
"Akan tetapi kuharap paman berhati-hati, jangan sampai beliau marah kepada kita......" kata
Siauw Can dengan lega walaupun kekhawatirannya masih membuatnya gelisah.
Demikianlah, dengan hati-hati Poa Kiu menghadap Pangeran Li Siu Ti dan melaporkan tentang
hubungan asmara antara Siauw Can dan Ai Yin, dan tentang keinginan hati Siauw Can untuk
mengajukan pinangan, akan tetapi pemuda itu takut-takut.
Pangeran Tua Li Siu Ti tidak marah. Dia memang suka kepada pemuda itu, akan tetapi
menerima seorang pemuda biasa sebagai mantu merupakan hal yang harus diimbali dengan jasa
yang besar di pihak Siauw Can. Maka, diapun mengajukan syarat, bahwa apabila Siauw Can
berhasil membunuh atau setidaknya melukai Pangeran Mahkota Li Si Bin, barulah dia akan
menerima pinangan pemuda itu.
Mendengar ini, Siauw Can segera mencari akal dan mengatur siasat, dibantu oleh Poa Kiu yang
mengharapkan bahwa apabila kelak Siauw Can menjadi mantu Pangeran Li Siu Ti, tentu pemuda itu
tidak akan melupakan jasanya dan diapun akan ikut terangkat naik derajat dan kedudukannya.
Bi Lan sama sekali tidak tahu akan persekutuan yang dikepalai Pangeran Tua Li Siu Ti. Baginya,
pangeran itu adalah adik kaisar yang berkedudukan tinggi karena menjadi penasihat kaisar. Sama
sekali ia tidak pernah bermimpi bahwa pangeran itu mempunyai cita-cita untuk kelak menjadi kaisar
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dan untuk cita-cita ini, dia sanggup melakukan apa saja. Apa lagi karena hubungannya dengan Ai
Yin amat akrabnya, sedangkan gadis bangsawan itu biarpun genit dan manja, dinilainya seorang
yang berbudi baik, bahkan amat sayang dan hormat kepada Pangeran Mahkota. Ia tidak tahu
betapa cita-cita Pangeran Tua Li Siu Ti itu bahkan mengancam dirinya, karena ia dekat dengan
Pangeran Li Si Bin dan dapat keluar masuk istana setiap hari tanpa dicurigai dan dengan bebas
pula.
Pada suatu hari, ketika seperti biasa ia berada di istana untuk melaksanakan tugasnya melatih
silat kepada para dayang, seorang pengawal memberi tahu kepadanya bahwa ada dua orang
perajurit pengawal dari istana Pangeran Tua datang minta bertemu dengannya untuk
menyampaikan berita yang amat penting. Tentu saja Bi Lan menjadi heran mendengar ini. akan
tetapi ia cepat keluar untuk menemui dua orang perajurit itu. Mereka nampak gugup dan
ketakutan, dan begitu bertemu dengan Bi Lan, seorang di antara mereka berkata dengan cemas.
"Celaka, Kwa-lihiap! Nona kecil Lan Lan telah hilang.........!"
Sepasang mata itu terbelalak. "Apa? Bukankah ia diasuh oleh Cu-ma?"
"Kami dapatkan Cu-ma duduk di bangku taman dalam keadaan tak sadar, dan nona kecil tidak
ada. Sudah kami cari kemana-mana tidak berhasil."
Mendengar ini, tanpa banyak cakap lagi Bi Lan segera berlari meninggalkan pintu gerbang
istana, membuat para penjaga di pintu gerbang terheran-heran dan tentu saja mereka segera
bertanya kepada dua orang perajurit yang datang dari istana Pangeran Tua itu. Dua orang perajurit
inipun menceritakan tentang hilangnya Lan Lan, puteri Kwa Bi Lan. Segera tersebarlah berita itu
dari mulut ke mulut dan sebentar saja berita itu sampai ke telinga Pangeran Mahkota Li Si Bin.
Pangeran yang menaruh perhatian kepada Bi Lan ini merasa khawatir dan diapun segera bergegas
pergi berkunjung ke istana Pangeran Tua.
Sementara itu, bagaikan terbang cepatnya, tanpa memperdulikan orang-orang yang dijumpai
dalam perjalanan, yang memandang dengan heran dan kaget ketika mereka melihat bayangan
berkelebat saking cepatnya dan tak lama kemudian ia sudah tiba di istana Pangeran Tua. Ia
disambut oleh para penjaga dan pelayan, dan segera ia diantar ke kamar Cu-ma, wanita pengasuh
yang biasanya mengasuh Lan Lan setiap kali ia pergi ke istana kaisar. Mereka telah mengangkat
tubuh Cu dan membaringkannya ke dalam kamar pelayan itu sendiri. Bi lan segera memeriksa dan
melihat Cu-ma berada dalam keadaan tidak dapat bergerak dan tak dapat berbicara. Ia telah
ditotok secara lihai! Bi Lan cepat menotok beberapa jalan darah di tubuh Cu-ma dan akhirnya
wanita setengah tua itu dapat bergerak dan menangis.
"Cu-ma, apa yang telah terjadi? Di mana Lan Lan?" Bi Lan bertanya, suaranya tegas dan keras.
"Hentikan tangismu dan ceritakan yang jelas!"
Sambil menahan tangis dan masih nampak gugup, Cu-ma bercerita bahwa tadi seperti biasa,
setelah Bi Lan berangkat ke istana, ia mengajak Lan Lan bermain di dalam taman bunga. Kebetulan
musim bunga telah tiba dan taman istana itu indah sekali. Bunga beraneka warna dan bentuk
sedang mekar dan keharuman semerbak di taman itu. Cu-ma membiarkan Lan Lan bermain-main di
atas rumput dan dia mengawasi sambil duduk di atas bangku.
"Saya tidak tahu apa yang terjadi, lihiap. Tiba-tiba saja ada bayangan berkelebat dan sebelum
saya dapat berbuat sesuatu, tubuh saya tak dapat digerakkan lagi dan saya tidak dapat
mengeluarkan suara. Akan tetapi saya masih dapat melihat betapa bayangan itu menyambar tubuh
nona kecil Lan Lan dan membawanya pergi seperti terbang cepatnya."
Pada saat itu, Ai Yin datang berlari memasuki kamar itu dan ia duduk di tepi pembaringan Cuma,
memegang tangan Bi Lan dan wajah gadis ini pun tegang. "Aku juga ikut mencari kemanamana,
akan tetapi tidak berhasil, enci Bi Lan." katanya dengan wajah cemas.
"Tenanglah, nona, dan biar aku mencari keterangan dulu dari Cu-ma," kata Bi Lan. Iapun
merasa gelisah, akan tetapi sikapnya tenang. "Cu-ma, bagaimana bentuk wajah dan tubuh
bayangan itu?"
"Saya tidak sempat melihat wajahnya, lihiap. Pakaiannya serba hitam, dan saya yang tidak
mampu bergerak, hanya sempat melihat tubuh belakangnya saja. Rambutnya dibungkus kain
kepala warna hitam pula, dan bentuk tubuhnya sedang."
"Laki-laki atau wanita melihat bentuk tubuhnya itu?"
"Bentuk tubuh itu sedang saja, bisa laki laki dan bisa juga wanita."
"Dia tidak mengeluarkan kata-kata?"
"Tidak, Lihiap."
"Apakah Lan Lan tidak menangis ketika dilarikan orang itu?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Saya tidak mendengar nona kecil menangis. Semua berlangsung demikian cepatnya....." Cuma
menangis lagi.
"Enci Lan, siapa kira-kira yang berani menculik Lan Lan? Apakah engkau mempunyai musuh?"
Bi Lan hanya menggeleng kepalanya dan tiba-tiba ia bertanya kepada gadis bangsawan itu.
"Nona, di mana kakak misanku Siauw Can?" Dalam keadaaan seperti itu, semua orang patut
dicurigai,pikir Bi Lan. Ia tidak mempunyai alasan untuk mencurigai Siauw Can, akan tetapi kenapa
pemuda itu tidak nampak, padahal seluruh isi rumah nampak bingung karena lenyapnya Lan Lan
diculik orang.
"Dia? Sejak pagi tadi dia pergi mengawal ayah keluar rumah. Dia tidak tahu bahwa Lan Lan
diculik orang. Juga ayah belum tahu karena mereka belum pulang. Enci Lan, kau harus dapat
menemukan kembali Lan Lan dan menangkap penjahat yang menculiknya!"
Sebelum Bi lan menjawab, terdengar suara gaduh para pelayan yang berlutut memberi hormat
dan muncullah Pangeran Li Si Bin. "Bi Lan, kami mendengar putrimu diculik orang! Apa yang
sesungguhnya terjadi?" tanya pangeran itu.
Bi Lan tidak kehilangan ketenangannya dan bersama Ai Yin ia memberi hormat kepada pangeran
itu. "Kakanda Pangeran, paduka harus menolong Lan Lan......." Ai Yin segera berkata.
"Tenanglah, Ai Yin dan biarkan Bi Lan menceritakan apa yang terjadi," kata pangeran itu dengan
sikap tenang dan dia sudah duduk di sebuah kursi dalam kamar pelayan itu.
Bi Lan menceritakan semua yang terjadi dengan sejelasnya kepada Pangeran Li Si Bin. Setelah
mendengar apa yang terjadi, pangeran itu menjadi marah sekali. "Jangan khawatir, Bi Lan.
Sekarang juga aku akan mengerahkan seluruh pasukan keamanan untuk mencari anakmu itu dan
engkau boleh menghentikan dulu tugasmu mengajar di istana dan mencari anakmu sampai dapat."
Pangeran itu lalu meninggalkan istana Pangeran Tua memanggil panglimanya dan memerintahkan
agar panglima itu mengerahkan pasukan mencari anak yang hilang itu. Segera para perajurit
berjaga di semua pintu gerbang, melakukan pencarian dan penggeledahan, bahkan menangkapi
orang-orang yang dicurigai. Belum pernah terjadi keributan seperti itu hanya karena hilangnya
seorang anak kecil, yang melibatkan seluruh perajurit pasukan keamanan!
Bi Lan sendiri tidak tinggal diam. Ia mencari ke mana-mana, namun tidak menemukan jejak Lan
Lan. Akhirnya ia termenung di dalam kamarnya seorang diri saja. Mulailah ia menduga bahwa besar
sekali kemungkinan kini Lan Lan berada bersama ayah ibunya! Ayah dan ibu Lan Lan, Si Han Beng
dan Bu Giok Cu, adalah sepasang suami isteri pendekar yang amat lihai, memiliki ilmu kepandaian
silat yang tinggi sekali. Siapa lagi yang akan menculik Lan Lan kalau bukan mereka? Mungkin ibu
anak itu yang datang untuk mengambil kembali puterinya. Kalau benar mereka yang datang
mengambil kembali puteri mereka, iapun tidak dapat berbuat sesuatu. Kalau dulu ia mampu
melarikan Lan Lan hal itu hanya karena suami isteri itu tidak tahu dan suami isteri itu tentu saja
tidak berani sembarangan mengejarnya karena takut kalau ia melaksanakannya ancamannya, yaitu
akan membunuh Lan Lan kalau mereka mengejar.
Bi Lan menarik napas panjang. Ia telah terlanjur cinta kepada anak itu dan dianggapnya sebagai
anak sendiri. Bahkan kepada Pangeran Mahkota saja ia mengakui Lan Lan sebagai puterinya.
Biarpun kini Pangeran Li Si Bin yang mempunyai kekuasaan besar itu membantunya, tidak mungkin
kalau ia minta bantuan pangeran itu untuk merampas Lan Lan dari ayah ibunya sendiri! Hal itu
berarti ia harus membuka rahasianya bahwa selama ini ia membohongi semua orang, membohongi
sang pangeran bahwa Lan Lan bukan anaknya sendiri melainkan anak curian!
Lewat tengah hari, Pangeran Tua Li Siu Ti dan para pengawal yang dipimpin Siauw Can pulang.
Begitu mendengar tentang terculiknya Lan Lan, Siauw Can segera mencari Bi Lan di kamarnya.
"Lan-moi, apa yang telah terjadi? Aku mendengar Lan Lan diculik orang! Benarkah ini?"
Bi Lan mengamati wajah pemuda itu dan ia mengangguk "Pagi tadi, ketika aku sedang berada di
istana, dan Lan Lan diasuh Cu-ma di taman, ada bayangan orang menotok roboh Cu-ma dan
membawa lari Lan Lan."
"Ah, keparat! Kalau aku berada di rumah, tak mungkin hal ini terjadi! Akan kubekuk leher
penculik jahanam itu, Lan-moi. Percayalah, aku akan mencari dan menemukan kembali anakmu!"
Bi Lan menggeleng kepala dan menghela napas. "Sudah kucari ke mana-mana akan tetapi tidak
ada jejaknya, Can-toako. Bahkan Pangeran Mahkota juga sudah mengerahkan pasukan untuk
mencarinya. Penculik itu agaknya lihai sekali. Dia dan Lan Lan seperti menghilang saja...... " Wajah
Bi Lan nampak berduka sekali karena ia hampir yakin bahwa Lan Lan tentu diambil kembali oleh
orang tuanya dan kalau hal itu terjadi, berarti kehilangan Lan Lan untuk selamanya. Dan tiba-tiba
saja ia merasa amat kesepian. Melihat wanita itu hampir menangis, Siauw Can menghiburnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku akan membantumu, Lan-moi. Betapapun lihainya, kalau engkau dan aku maju bersama,
mustahil kita tidak akan mampu mengalahkannya merebut kembali anakmu."
Pada saat itu Pangeran Tua Li Siu Ti datang dan berada di luar kamar Bi Lan. Wanita itu cepat
keluar dan memberi hormat. "Aku ikut merasa menyesal sekali mendengar anakmu diculik orang, Bi
Lan. Ah, kalau tahu akan muncul bencana, tentu aku tidak mengajak Siauw Can pergi hingga dia
berada di rumah dan akan mampu mencegah terjadinya penculikan itu. Para penjaga yang tidak
becus itu! Akan kuhukum mereka yang bertugas pagi tadi. Mereka lalai sehingga tidak tahu ada
penjahat masuk dan menculik anakmu!"
"Harap paduka tidak menyalahkan para penjaga, Pangeran. Penculik itu memiliki kepandaian
tinggi sehingga tidak akan sukar baginya untuk menyelinap masuk dan melarikan Lan Lan keluar
tanpa diketahui para penjaga. Dari cara dia menotok Cu-ma, dan betapa dia mampu bersembunyi
dan meloloskan diri dari pengejaran dan pencarian pasukan keamanan yang dikerahkan Pangeran
Mahkota, saya tahu bahwa dia lihai bukan main," kata Bi Lan yang tidak ingin para penjaga
disalahkan. Karena andaikata ia sendiri menjadi penculiknya, iapun akan mampu melakukan hal itu
tanpa diketahui para penjaga.
Sekarang ia sama sekali tidak dapat mencurigai Siauw Can. Sudah jelas dari penjelasan
Pangeran Li Siu Ti bahwa ketika peristiwa terjadi, Siauw Can sedang mengawal dan menemani
pangeran itu. Akan tetapi agaknya memang tidak perlu mencurigai orang lain. Ia hampir yakin
bahwa pelaku penculikan itu pasti orang tua Lan Lan sendiri.Hanya mereka yang berkepentingan
untuk merampas kembali Lan Lan. Kalau orang lain, untuk apa menculik Lan Lan, menempuh
bahaya besar menculik anak kecil dari Istana Pangeran Tua."
Kini hati Bi Lan sudah mulai tenang. Kalau yang menculik Lan Lan itu orang tua anak itu sendrri,
ia tidak perlu lagi mengkhawatirkan keadaan Lan Lan. Akan tetapi, makin dikenang, semakin sedih
hatinya dan ia merasa kehilangan.
Malam ini ia tidak mampu tidur, gelisah di atas pembaringan, apa lagi kalau ia melihat
pembaringan yang ditidurinya itu kosong, tidak nampak lagi Lan Lan yang lucu di sebelahnya.
Bunyi lirih di atas kamarnya membuat ia waspada. Ketika ada benda putih meluncur dari atas
langit-langit kamar, ia cepat bangkit, mengenakan sepatu dan membuka jendela, lalu melihat
keluar, langsung saja ia melayang ke arah atas genteng untuk mencari orang yang meluncurkan
benda ke dalam kamarnya. Akan tetapi setelah berada di atas genting, ia tidak melihat bayangan
seorangpun. Betapa cepat gerakan orang itu. Ia mandang ke sekeliling, sunyi dan tidak ada sesuatu
yang mencurigakan. Atap istana itu sunyi lengang, dan bintang-bintang berkeredepan di angkasa.
Sayang tidak dapat ditanya, karena pasti bintang-bintang itu tadi tahu siapa yang berada di atas
kamarnya. Ia membetulkan letak genteng yang dibuka orang, lalu teringat akan benda putih yang
dilemparkan ke dalam kamarnya dan ia meloncat turun, kembali ke dalam kamarnya tanpa
menimbulkan kegaduhan.
Setelah memasuki kamarnya, Bi Lan menyalakan lampu penerangan sehingga kamarnya menjadi
terang. Ia melihat sebuah bungkusan di atas lantai. Kertas putih yang ada tulisannya membungkus
suatu, kecil saja, setengah kepalan tangannya, dengan hati-hati ia mengambil bungkusan itu.
Bungkusan diatur sedemikian rupa sehingga tanpa membukanya, ia dapat membaca tulisan di
kertas pembungkusnya.
"Kalau dalam waktu tiga hari Putera Mahkota belum juga tewas dengan racun ini, Lan Lan akan
dikembalikan sebagai mayat!"
Bi Lan terbelalak, kedua tangannya menggigil. Ia meletakkan bungkusan itu ke atas meja.
Memandanginya dengan jijik seperti memandang seekor ular berbisa yang amat berbahaya. Lan
Lan ternyata diculik orang yang hendak memaksanya membunuh Pangeran Li Si Bin dengan racun
dalam bungkusan itu! Jelas bahwa ini tentu ada hubungannya dengan bekas thai-kam gendut yang
pernah mencoba untuk meracuni putera mahkota. Dan thai-kam itu membunuh diri, maka yang
berdiri di belakangnya, yang menyuruhnya meracuni putera mahkota, tentulah orang yang amat
ditakutinya. Dan kini agaknya orang yang menginginkan kematian pangeran Li Si Bin itu hendak
mempergunakan ia untuk membunuhnya. Dengan cara yang teramat keji dan licik, yaitu menculik
Lan Lan dan mengancam nyawa anak itu yang harus ditukar dengan nyawa Pangeran Li Si Bini.! Ini
merupakan pemerasan yang teramat hina dan kotor.
Dengan jari-jari tangan gemetar Bi Lan membuka bungkusan dan benar saja, di dalamnya
terdapat bubuk putih yang sama sekali tidak berbau akan tetapi ia dapat menduga bahwa tentu
benda itu merupakan racun yang amat berbahaya. Ia membungkusnya kembali, lalu duduk
termenung memandangi bungkusan racun itu. Ia menjadi bingung dan panik. Ia dihadapkan pada
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ancaman yang amat merisaukan hatinya. Ia harus memilih. Berat mana? Li Si Bin atau Lan Lan?
Tentu saja ia tidak ingin melihat keduanya terbunuh, ia mencinta Lan Lan, menganggap anak itu
seperti anaknya sendiri. Akan tetapi ia juga............mencinta Pangeran
Li Si Bin! Ia bersedia mempertaruhkan nyawanya sendiri untuk kedua orang ini. Dan sekarang,
ia diharuskan memilih antara keduanya. Membunuh Pangeran Li Si Bin atau melihat Lan Lan
dibunuh! "Jahanam keparat busuk!" Bi Lan menepuk ujng meja di depannya sehingga remuk dan ia
bangkit, mengepal tinju. Kalau saja penculik Lan Lan itu berada di situ, tentu akan diserangnya,
diremukkan kepalanya, dipatahkan tulang lehernya! Karena tidak ada orang yang dapat ia jadikan
sasaran kemarahannya, BI Lan lalu melempar diri ke atas pembaringan dan menangis.! Sejak
kematian suaminya, baru sekarang ia menangis dalam arti kata yang sesungguhnya. Menangis
karena ia merasa betapa nelangsa hatinya, betapa sunyi hidupnya, betapa ia membutuhkan
seorang yang dekat dengannya, yang mencintanya dan dicintanya. Ia tadinya sudah mendapatkan
cinta itu dalam diri Lan Lan, akan tetapi kini pada saat ia menemukan lagi cinta yang lebih
sempurna, dalam diri putera mahkota, kedua orang yang amat dicintanya itu terancam bahaya
maut. Seorang di antara mereka harus mati. Dan lebih hebat lagi, mati di tangannya! Apa yang
harus ia lakukan? Tiga hari tidaklah lama dan bagaimana ia dapat mengatasi keadaan ini! Hampir
saja ia menengok kepada Siauw Can, akan tetapi mengingat perbuatan Siauw Can kepadanya di
malam itu, ia bergidik. Jangan-jangan kalau dimintai tolong, Siauw Can bahkan akan mengajukan
syarat yang membuat ia akan menjadi semakin bingung, dan belum tentu Siauw Can akan mampu
menolongnya. Apakah demi keselamatan Lan Lan ia harus membunuh putera mahkota dengan
racun itu? Ah, tidak, tidak!!
"Aduh, pangeran, apa yang harus hamba lakukan..........!?" Bi Lan menangis di depan Pangeran
Li Si Bin yang memandang dengan mata terbelalak kepada wanita yang berlutut di depan kakinya
itu. Sikap seperti itu sungguh tak pernah dapat dibayangkannya. Bi Lan yang biasanya demikian
gagah perkasa, kini menangis dan berlutut di depan kakinya seperti seorang wanita lemah yang
cengeng.!
Akan tetapi timbul kekhawatiran juga di hati pangeran ini. Kalau sampai seorang wanita gagah
perkasa seperti Bi Lan bersikap selemah itu tentu ada sebab yang amat hebat. "Bi Lan, tenanglah
dan ceritakan, apa yang telah terjadi sehingga engkau yang biasanya gagah perkasa bersikap
selemah ini?"
"Silakan paduka membacanya sendiri, pangeran." Bi Lan menyerahkan bungkusan itu dengan
tangan gemetar kepada Putera Mahkota. Pangeran Li Si Bin yang masih merasa heran itu menerima
bungkusan dan membaca tulisannya. Wajahnya berubah agak pucat dan dia menaruh bungkusan
itu ke atas meja, lalu memandang kepada wanita yang masih berlutut dengan muka ditundukkan,
masih terisak menangis itu.
"Bi Lan, engkau tentu amat mencinta Lan Lan, puterimu itu, bukan?" Bi Lan mengangkat
mukanya yang pucat dan air mata masih mengalir membasahi kedua pipinya. "Pangeran,
sungguhpun Lan Lan hanya anak angkat hamba, namun hamba mencintanya seperti anak kandung
hamba sendiri."
Pangeran itu membelalakkan mata. Ini kenyataan baru yang mencengangkan hatinya tentang
wanita ini. "Anak angkat? Jadi ia bukan anak kandung Rajawali Sakti, mendiang suamimu?"
Bi Lan menggeleng kepala, "Ia adalah anak angkat hamba, pangeran. Akan tetapi hamba
mencintainya dan hamba siap mempertaruhkan nyawa hamba untuk menyelamatkannya."
"Hemm, kalau begitu, Bi Lan, kenapa engkau membawa surat dan racun ini kepadaku? Untuk
menyelamatkan anak angkatmu itu, kenapa tidak kau lakukan saja perintah dalam surat itu.?"
Jilid 14
"Pangeran...........aihhh, pangeran..., kenapa paduka berkata demikian? Hamba diharuskan
membunuh paduka dengan racun? Lebih baik hamba yang mati!"
Pangeran Li Si Bin memandang dengan mulut tersenyum dan wajah berseri, pandang matanya
lembut dan mesra. "Bi Lan, engkau mempertaruhkan nyawamu untuk keselamatan Lan Lan karena
engkau mencintanya, lalu engkau lebih baik mati daripada membunuhku untuk menyelamatkan Lan
Lan. Apakah ini berarti bahwa engkaupun cinta padaku?"
Dalam kebingungan dan kegelisahannya, Bi Lan tersipu. "Pangeran, mana hamba...berani...?" Ia
tergagap dan pada saat itu Pangeran Li Si Bin sudah membungkuk, merangkul pundaknya dan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menariknya bangkit berdiri, lalu pangeran itu mendekap wajahnya dalam rangkulan. Bi Lan
menyerah saja dan sejenak ia menangis di dada pangeran itu. Pangeran Li Si Bin membiarkannya
sejenak, lalu dituntunnya Bi Lan dan disuruhnya duduk di kursi berhadapan dengan dia.
"Duduklah, dan tenangkan hatimu. Sejak bertemu, akupun sudah amat kagum kepadamu, dan
sejak engkau menyelamatkan aku dari racun yang disuguhkan bekas thai-kam itu, aku sudah jatuh
cinta padamu, Bi Lan. Nah, setelah kita mengetahui perasaan hati masing-masing, mari kita bicara
tentang Lan Lan dan ancaman si penculik. Jangan khawatir, aku mempunyai akal untuk
menyelamatkan puterimu itu."
Pangeran Li Si Bin mengajak Bi Lan memasuki kamar yang aman, tidak akan terdengar orang
lain percakapan mereka dan di tempat ini mereka berbicara dengan serius. Bi Lan mendengarkan
siasat yang diatur oleh pangeran itu. Pangeran Li Si Bin adalah seorang panglima, seorang ahli
siasat yang pandai, maka menghadapi ancaman surat itupun dia bersikap tenang dan dingin, dan
menemukan cara untuk menanggulangi dan mengatasinya. Hati Bi Lan lega bukan main setelah ia
keluar dari istana pada sore hari itu. Bukan saja ia telah mendapatkan ketenangan karena siasat
yang diatur oleh putera mahkota, akan tetapi juga ada sinar kebahagiaan di pancaran matanya,
karena pengakuan putera mahkota yang juga mencintanya!
Suasana di istana tercekam kegelisahan. Betapa tidak? Putra mahkota, juga panglima besar,
Pangeran Li Si Bin, jatuh sakit parah.! Sambil berbisik-bisik semua penghuni istana
membicarakannya. Terpetik berita dari tabib yang menangani perawatan putera mahkota bahwa
pangeran itu telah keracunan hebat dan sukar disembuhkan. Bahkan Kaisar dan permaisuri, juga
para selir menjadi gelisah. Hanya tiga orang saja yang tahu bahwa putera mahkota hanya purapura
sakit! Memang, dia pucat sekali dan nampak sakit berat, akan tetapi semua itu akibat obat
yang diberikan tabib kepadanya. Hanya Pangeran Li Si Bin, Bi Lan, dan sang tabib kepercayaan
sajalah, yang tahu bahwa putera mahkota sebenarnya tidak menderita penyakit apapun juga. Dia
sehat-sehat saja. Akan tetapi selain mereka bertiga, semua orang percaya bahwa putera mahkota
sakit berat, keracunan dan bahkan agaknya tidak dapat disembuhkan lagi!
Pada malam hari ke tiga, ketika Pangeran Li Si Bin rebah seperti orang pingsan, dengan muka
pucat sekali, ditunggui tabib yang tidak memperkenankan orang lain mendekat, masuklah seorang
thai-kam yang berlutut di ambang pintu itu.
Tabib Song yang tua dan terkenal pandai itu mengerutkan alisnya dan memandang thai-kam itu.
"Henrn, mau apa engkau masuk ke sini? Jangan mengganggu sang pangeran!"
"Maafkan hamba, Tabib Mulia," kata thai-kam (orang kebiri) itu dengan suara gemetar, "Hamba
diutus oleh Permaisuri untuk menengok keadaan Putera Mahkota."
"Keadaannya gawat dan jangan diganggu!" kata pula tabib itu dan di ambang pintu, para
pengawal sudah siap dengan tombak dan pedang mereka untuk mengusir thai-kam itu kalau
menerima perintah dari tabib. Dalam keadaan seperti itu, kaisar sendiri yang memberi kekuasaan
sepenuhnya kepada tabib untuk menjaga dan merawat putera mahkota, dan siapapun harus tunduk
kepada sang tabib.
"Maafkan hamba........akan tetapi Sang Permaisuri mengutus hamba untuk melihat keadaan
Pangeran dan menanyakan bagaimana keadaannya, apakah masih ada harapan........ampun,
hamba hanya utusan........" Dan thai-kam itu merangkak mendekat.
Tabib yang sudah menjalankan siasat seperti yang diatur oleh putera mahkota sendiri
membiarkan thai-kam itu mendekat dan membiarkan thai-kam itu mengangkat muka memandang
kepada sang pangeran yang rebah terlentang seperti mayat.
"Hemm, kalau begitu laporkan kepada Hong houw (Permaisuri) bahwa keadaan Putera Mahkota
amat gawat. Lihat saja, wajahnya semakin pucat dan kebiruan, itu tanda bahwa racunnya masih
bekerja dan biarpun aku sudah berusaha memberi obat penawar, tetap saja hawa beracun itu tidak
dapat diusir semua. Ludahnya berwarna hitam dan matanya merah, napasnya terengah. Laporkan
kepada Sang Permaisuri bahwa agaknya putera mahkota tidak dapat tertolong lagi, mungkin tinggal
satu dua hari lagi........"
Thai kam itu menahan tangisnya, lalu mengundurkan diri dari kamar itu. Dia terisak ketika
keluar dan melewati penjaga yanq mengawal di luar pintu kamar, sehingga semua orang
menganggap dia seorang thai-kam yang setia dan mencitai putera mahkota sehingga tidak dapat
menahan kesedihannya ketika menjenguk dan melihat keadaan sang pangeran yang sedang sakit
payah itu.
Mulai malam itu, tiada seorangpun diperbolehkan memasuki kamar itu yang selalu ditutup,
dengan alasan bahwa keadaan penyakit sang pangeran sudah terlalu gawat, sehingga sama sekali
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tidak boleh diganggu. Hanya tabib itu saja yang diperbolehkan menjaga di dalam kamar, sedangkan
di luar kamar, penjagaan pengawal diperketat.
Sementara itu, Bi Lan setiap hari menangis di istana Pangeran Li Siu Ti. Pangeran Tua inipun
hanya pada hari pertama putera mahkota jatuh sakit saja diperbolehkan menengok. Siauw Can
beberapa kali datang untuk menghibur Bi Lan dan bertanya mengapa wanita itu demikian berduka.
Dengan singkat Bi Lan berkata, "Bagaimana aku tidak akan berduka? Lan Lan diculik penjahat, dan
kini Putera Mahkota yang kuharapkan dapat membantuku mencari Lan Lan, jatuh sakit........."
Bi Lan menangis sambil menundukkan mukanya dan ia tidak melihat betapa Siauw Can
tersenyum puas. "Masih ada aku di sini, Lan-moi. Akulah yang akan membantumu mencari Lan Lan
sampai dapat."
"Kalau benar begitu, pergilah dan cari Lan Lan, bukan bicara saja di sini. Pergi dan jangan
ganggu aku."
Siauw Can meninggalkannya dan Bi Lan cepat menghentikan tangisnya. Ia hanya menangis
kalau ada orang lain melihatnya, karena tangisnya ini hanya merupakan pelaksanaan siasat yang
diatur oleh putera mahkota. Sekarang sudah hari ke tiga dan ia harus siap-siaga karena orang yang
menculik Lan Lan tentu akan mengembalikan Lan Lan setelah mendengar bahwa sang pangeran
menderita sakit keracunan hebat. Tidak sukar baginya untuk menangis, karena bagaimanapun juga
ia memang bersedih karena Lan Lan diculik. Dan sekarnag ia sudah siap siaga untuk menangkap
penculik itu kalau Lan Lan dikembalikan.
Akan tetapi, sampai malam tiba, tidak ada berita dari penculik itu. Bi Lan sudah hampir putus
asa ketika tiba-tiba ia mendengar suara Lan Lan memanggilnya dari arah belakang, dari taman.
"Ibu.......! Ibu........!"
"Lan Lan..........!!" Bi Lan meloncat keluar dari kamarnya dan seperti terbang memasuki taman.
Benar saja, ia menemukan Lan Lan di tengah taman, dalam keadaan sehat.! Ia menyambar
tubuh Lan Lan, dipondongnya dan didekapnya, diciuminya dan kembali Bi Lan tak dapat menahan
banjirnya air mata, air mata kebahagiaan. Ia sendiri merasa heran mengapa setelah ia jatuh cinta,
begini mudah ia menangis! Ia membawa Lan Lan ke kamarnya, menutup pintu kamar dan dengan
lembut dan penuh rasa sayang, ia menanyai Lan Lan kemana saja ia pergi selama tiga hari itu.
Lan Lan adalah seorang anak yang usianya baru tiga tahun, masih belum dapat memberi
keterangan dengan jelas. Ia hanya mengatakan bahwa ia ditempatkan dalam sebuah kamar, diberi
banyak barang-barang mainan, dilayani oleh seorang laki laki yang baik hati. Bi Lan tentu saja tidak
dapat mengharapkan keterangan jelas siapa penculik anak itu, dan tentu anak itu ditotok ketika
diculik dan dikembalikan sehingga tidak tahu apa-apa.
Dengan hati-hati Bi Lan menjaga Lan Lan malam itu di kamarnya dan pada keesokan harinya,
pagi-pagi ia sudah memondong Lan Lan keluar dari istana Pangeran Tua, menuju ke istana kaisar.!
Karena ia dikenal baik sebagai guru silat yang melatih para dayang di istana, dengan mudah ia
diperbolehkan masuk dan langsung saja Bi Lan menju ke kamar di mana Putera Mahkota "dirawat"
oleh tabib. Dan dapat dibayangkan betapa gembiranya hati Pangeran Li Si Bin ketika melihat Bi Lan
datang sambil memondong Lan Lan yang dalam keadaan sehat dan selamat! Dan berakhirlah
"penyakit" putera mahkota itu pada hari itu juga.
Seluruh penghuni istana menjadi gembira bukan main. Demikian pula kaisar ketika mendengari
bahwa puteranya telah sembuh sama sekali. Yang mendapatkan jasa besar adalah Tabib Song
tentu saja. Dia dianggap berjasa telah dapat mengobati dan menyembuhkan putera mahkota!
Pada hari itu juga. Bi Lan ditahan di istana atas kehendak putera mahkota. Dengan alasan
bahwa Bi Lan diangkat menjadi pengawal pribadi Putera Mahkota, maka wanita itu bersama
puterinya tidak perlu lagi kembali ke istana Pangera Tua, bahkan barang-barangnya lalu diminta
agar diantar ke istana! Bukan itu saja. Bahkan tak lama kemudian Putera Mahkota secara berterang
mengangkat Bi Lan menjadi selirnya, merangkap pengawal pribadi! Karena ibunya menjadi selir
pangeran, tentu saja dengan sendirinya Lan Lan juga menjadi seorang "puteri"!
ooo0000ooo
"Tabib Song keparat itu!" Pangeran Li Siu Ti mondar-mandir di dalam kamarnya, kadang
mengepal tinju dan wajahnya.muram. Hatinya kecewa bukan main mendengar bahwa Putera
Mahkota telah sembuh dari sakitnya. "Bagaimana mungkin.? Padahal, menurut keterangan thai kam
Ciu, keadaan pangeran Li Si Bin sudah parah sekali, sudah sekarat. Bagaimana tiba-tiba dapat
menjadi sembuh?"
Poa Kiu dan Siauw Can yang berada di kamar itu, saling pandang dan mereka berdua juga
merasa kecewa dan heran. Mereka sudah mengembalikan Lan Lan kepada Bi Lan karena mereka
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sudah merasa yakin bahwa putera mahkota pasti akan mati. Mereka menganggap bahwa Bi Lan
terpaksa harus mentaati bunyi surat, yaitu meracuni Pangeran Li Si Bin untuk menyelamatkan
nyawa Lan Lan. Mereka sudah percaya sepenuhnya bahwa usaha itu berhasil dan kini tahu-tahu
pangeran itu sembuh, dan Bi Lan ditarik ke istana menjadi pengawal pribadi.!
"Jangan-jangan adik misanmu itu yang berkhianat," kata Pangeran Tua kepada Siauw Can atau
Can Hong San. "Buktinya. Putera Mahkota tidak tewas dan setelah Lan Lan dikembalikan, ia segera
membawa Lan Lan ke istana dan diangkat menjadi pengawal pribadi."
"Saya kira tidak demikian, pangeran." kata Hong San. "Banyak saksinya bahwa putera mahkota
benar-benar keracunan, bahkan banyak yang melihat dia sakit payah, hampir mati. Tentu tabib sial
itu telah menemukan obat penawar yang amat mujarab. Tentang diangkatnya Bi Lan menjadi
pengawal pribadi, hal itupun tidak aneh. Pangeran Li Si Bin agaknya suka kepada Bi Lan dan sudah
lama Bi Lan telah diberi tugas untuk melatih para dayang."
"Keterangan Siauw Can memang benar, pangeran. Kalau saja tabib Song tidak menemukan obat
yang ampuh, tentu usaha itu berhasil baik dan tentu sekarang putera mahkota telah tewas.
Bagaimanapun juga, Siauw Can telah membuat jasa dan dapat dikatakan bahwa tugasnya
mengusahakan kematian Pangeran Li Si Bin telah dilaksanakan dengan baik."
Pangeran Tua Li Siu Ti mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya. Dia tahu apa maksud
ucapan kedua orang pembantu utamanya itu. Tentu mengenai hubungan pembantu muda yang
tampan dan pandai ini dengan puterinya, Ai Yin. "Aku mengerti, dan akupun tidak akan menyalahi
janji. Agaknya engkau dengan Ai Yln sudah saling mencinta, Siauw Can. Baiklah, engkau akan
kujodohkan dengan Ai Yin dan pertunangannya akan segera diumumkan setelah engkau berhasil
dengan sebuah tugas lagi yang amat penting, akan tetapi tidak begitu sukar bagimu."
Di dalam hatinya, Can Hong San merasa gembira sekali, akan tetapi juga mendongkol, tercapai
cita-citanya menjadi mantu seorang pangeran yang memiliki kekuasaan besar! Akan tetapi kembali
dia diserahi tugas, itulah yang membuat dia mendongkol.
"Harap paduka katakan saja, apa tugas itu.Akan saya laksanakan dengan baik, pangeran."
"Engkau harus cepat menyingkirkan thai-kam Ciu. Dia harus mati secepatnya!"
"Akan tetapi, kenapa, pangeran? Bukankah ia telah berhasil diselundupkan dan amat berguna
bagi paduka sebagai mata-mata di sana?" tanya Poa Kiu terkejut, karena dia yang mengusulkan
diselundupkannya thai-kam itu ke istana.
"Saya mengerti maksud paduka." kata Hong San, sambil menoleh kepada Poa Kiu dengan
senyum memandang rendah. "Paman Poa, lupakah paman bahwa kita menyuruh thai-kam Ciu
untuk menyelidiki keadaan Pangeran Li Si Bin pada hari ketiga? Dia berhasil melihat keadaan putera
mahkota, dan siapa tahu, perbuatannya itu akan dilaporkan oleh Tabib Song dan Putera Mahkota
akan merasa curiga kepadanya. Padahnal, dialah satu-tunya orang yang mengetahui rahasia kita
dan dapat membocorkannya."
"Akan tetapi, tidak mungkin dia mengkhianati kita," kata pula Poa Kiu. "Siauw Can benar," kata
Pangeran Tua. "Poa Kiu, lupakah engkau akan kamar siksaan dimana setiap orang, betapapun kuat
dan setianya, akan mengakui segala perbuatannya kalau dia disiksa? Kurasa thai-kam Ciu tidak
terkecuali. Kalau dia dicurigai, lalu ditangkap dan disiksa, pasti dia tidak tahan dan akan mengaku,
membongkar semua rahasia kita."
Wajah Poa Kiu menjadi pucat. "Kalau begitu......... kalau begitu..........."
"Jangan khawatir , Paman Poa. Aku akan menghabisinya sekarang juga. Serahkan saja urusan
ini kepadaku, pasti beres!"
Senanglah hati Pangeran Tua Li Siu Ti, "Jangan sekarang, Siauw Can. Kita harus menunggu
sampai keadaan menjadi tenang. Tunggu tiga empat hari, setelah semua tenang baru engkau turun
tangan melenyapkan thai-kam Ciu. Dan setelan tugas itu berhasil, pertunanganmu dengan Ai Yin
akan kurayakan."
Bukan main senangnya hati Can Hong San. Dia segera menemui Li Ai Yin dan pada malam itu
dia berhasil mengajak Ai Yin bicara berdua saja di dalam taman.
"Yin-moi," sejak Ai Yin menyambut cintanya Hong San selalu menyebutnya Yin moi (dinda Yin)
dan hanya menyebut nona kalau berada di depan keluarga pangeran tua itu. "Mulai hari ini, kita
telah bertunangan!" Dia lalu menceritakan janji ayah gadis itu.
Ai Yin tersenyum senang dan membiarkan ke dua tangannya dipegang oleh pemuda yang
dikaguminya itu. "Kenapa terjadi perubahan yang tiba tiba ini, Can ko? Bukankah ayah masih
prihatin dengan peristiwa di istana, dimana kakanda pangeran mahkota hampir saja tewas
keracunan? Dan Lan Lan juga menjadi korban penculikan, untung sudah dikembalikan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kemudian, kepergian enci Bi Lan yang demikian tiba-tiba, pindah ke istana. Semua ini membuat
aku bingung. Akan tetapi ayah malah hendak membuat pesta pertunangan."
"Aih, jadi engkau sudah tahu?" tanya Hong San gembira.
Gadis itu mengangguk dan mengerling manja. "Tentu saja. Kaukira ayah akan merahasiakan?
Dia sudah memberitahukan dan menanyakan kepadaku, minta persetujuanku untuk ditunangkan
denganmu." "Dan bagaimana jawabanmu, Yin-moi?"
Wajah itu berseri, kedua pipinya berubah merah dan senyumnya genit manja, tangannya
mencubit lengan Hong San. "Kaukira bagaimana jawabanku?" "Ha, tentu jawabanmu
begini............!"
Hong San lalu maju merangkul dan mencium puteri pangeran itu. Ai Yin tertawa manja dan
malu, akan tetapi karena ia sudah mendengar sendiri betapa ayahnya menyetujui pemuda ini
menjadi calon suaminya, iapun tidak menolak. Akan tetapi ketika Hong San berbuat terlalu berani,
iapun mendorong muka pemuda itu.
"Hemm, apa yang kaulakukan ini.!"
Can Hang San adalan putera mendiang Cui beng Sai-kong dan biarpun tidak sekuat mendiang
ayahnya, dia telah menquasai ilmu sihir. Melihat betapa gadis bangsawan itu menolaknya, diapun
merasa penasaran. Kalau saja dia tidak ditolak Bi Lan, tentu diapun tidak bermaksud untuk
menggauli Li Ai Yin sebelum mereka menjadi suami isteri, karena dia ingin menjadi mantu pangeran
secara terhormat. Akan tetapi, dia telah dikecewakan Bi Lan, maka gejolak nafsunya hendak dia
puaskan dengan gadis bangsawan yang oleh ayahnya telah diserahkan kepadanya itu. Dia
memeganq kedua pundak gadis itu dengan lembut, menatap wajahnya dengan tajam dan suaranya
mengandung getaran kuat.
"Li Ai Yin, pandanglah aku baik-baik! Lihatlah betapa besar kasihku kepadamu dan engkau akan
menyerah, tunduk dan menuruti semua kemauanku. Aku cinta padamu, Ai Yin dan engkaupun cinta
padaku................ "
Ai Yin terbelalak, kemudian iapun menjadi lemas dan iapun bertekuk lutut dan tidak terdapat
perlawanan sedikitpun lagi dalam hatinya. Ia menurut saja segala kehendak Hong
San yang terus merayunya, menurut dan menyerah saja ketika ia digandeng dan dituntun
memasuki kamarnya.
ooo000ooo
Empat hari kemudian. Masih dalam rangka siasat Pangeran Li Si Bin, keadaan di istana seolaholah
telah tenang kembali. Tidak ada bekas ketegangan sebagai akibat sakitnya putera mahkota
yang kabarnya keracunan hebat itu. Sang pangeran melarang siapa saja bicara tentang hal itu, dan
Bi Lan juga tidak memperlihatkan kecurigaan apapun. Wanita itu secara resmi diangkat menjadi
pengawal pribadi putera mahkota sehingga tidak ada seorangpun yang menduga hal yang bukanbukan
kalau melihat wanita cantik dan perkasa ini berduaan saja dengan putera mahkota,
bercakap-cakap dengan akrab sekali. Tadinya memang putera mahkota hanya menginginkan Bi Lan
menjadi pengawal pribadinya, akan tetapi karena masing-masing mengetahui akan isi hatinya, tahu
bahwa mereka saling mengagumi dan saling mencinta, maka tidaklah mengherankan kalau
kemudian putera mahkota akan mengangkat Bi Lan menjadi seorang selir terkasih. Bi Lan tahu diri.
Ia hanya seorang wanita biasa, bahkan seorang janda yang sudah yatim piatu. Dibandingkan
dengan putera mahkota, ia bagaikan seekor burung gagak bersanding dengan burung Hong. Oleh
karena itu, dengan hati penuh penyerahan, penuh pengabdian dan cinta kasih, ia menyerahkan diri
dengan segala kerendahan hatinya, rela untuk dijadikan selir merangkap pengawal pribadi. Karena
tugasnya sebagai pengawal inilah, ia jauh lebih dekat dan lebih sering berdekatan dengan putera
mahkota dibandingkan selir lainnya, kemudian. Dan iapun sudah merasa berbahagia sekali kalau
berada di dekat pria yang dijunjungnya dan dicintanya itu.
Menjadi kelanjutan siasat mereka kalau Bi Lan bersikap seolah sudah melupakan peristiwa
penculikan puterinya dan jatuh sakitnya putera mahkota. Akan tetapi sesungguhnya, ia tidak
pernah lengah sebentarpun. Ia selalu waspada dan memperhatikan setiap orang yang berada di
dalam istana, memperhatikan setiap kejadian yang sekecil apapun, dan diam-diam mencurigai
setiap orang.!
Ketekunan dan ketelitiannya itu akhirnya berhasil. Pada suatu malam, secara sembunyi Bi lan
meronda ke bagian belakang daerah keputren. Ia sudah diceritakan oleh putera mahkota tentang
sikap thai-kam Ciu yang dahulu diutus permaisuri untuk menengoknya ketika dia sakit atau lebih
tepat berpura-pura sakit. Malam ini, Bi Lan sengaja mencari thai-kam itu untuk menyelidiki keadaan
dirinya. Sore tadi ia melihat thai-kam itu seperti orang gelisah, wajahnya pucat, rambut dan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pakaiannya kusut dan ketika berjumpa dengannya, orang itu menunduk, pura-pura tidak melihat
dan tampak gugup.
Ketika ia menyelinap mendekati tempat tinggal para thai-kam, tiba-tiba ia melihat thai-kam Ciu
membuka pintu dan keluar menuju ke taman dengan sikap hati-hati sekali. Bi Lan membayangi dari
jauh agar jangan sampai terlihat. Karena inilah, maka ketika memasuki taman, ia kehilangan
bayangan thai-kam Ciu. Selagi ia kebingungan, mencari-cari kemana perginya orang yang
dicurigainya itu, tiba-tiba ia mendengar suara oranq mengaduh-aduh dan suara sambaran senjata
tajam berdesing.
Cepat Bi Lan melompat dan lari ke arah suara itu dan ia masih sempat melihat seseorang
diserang orang lain dengan sebatang pedang. Orang yang diserang itu agaknya sudah terluka, akan
tetapi masih berusaha mengelak dan berloncatan ke sana-sini, akan tetapi ketika Bi Lan muncul,
penyerang itu berhasil menusukkan pedangnya lagi dan orang itupun roboh.
"Heiii, tahan senjata!." bentak Bi Lan dan si penyerang itu agaknya terkejut, menarik kembali
pedangnya dan meloncat jauh, lenyap dalam kegelapan malam. Sinar lampu penerangan taman itu
agak jauh dan sinarnya hanya remang-remang saja mencapai tempat itu, namun cukup bagi Bi Lan
untuk melihat bahwa korban itu berpakaian sebagai seorang thai-kam dan ketika ia berjongkok
untuk memeriksanya, ia terkejut ketika mengenalnya sebagai thai-kam Ciu yang dicurigai oleh
putera mahkota! Orang itu sudah payah, luka tusukan pedang membuat tubuhnya berlepotan darah
dan napasnya tinggal satu-satu. Ia harus bertindak cepat sebelum terlambat. Ditotoknya beberapa
bagian tubuh orang itu dan iapun bertanya. "Cepat katakan siapa pembunuhmu dan apa
hubungannya dengan penculik anakku dan musuh putera mahkota!"
Karena totokan-totokan itu, thai-kam Ciu dapat mengerahkan tenaga terakhir dan dengan suara
penuh penyesalan dan rasa penasaran, diapun berkata, "Semua diatur oleh Pangeran
Tua.......dibantu Poa Kiu dan Siauw Can........" kemudian bibirnya hanya bergerak-gerak tanpa
mengeluarkan suara dan tak lama kemudian diapun terkulai, tewas. Akan tetapi keterangan itu
sudah cukup bagi Bi Lan. Keterangan yang membuat kedua kakinya gemetar dan tubuhnya lemas,
yang membuat ia sampai lama tidak mampu bangkit berdiri, termangu-mangu. Pangeran Tua Li Siu
Ti? Dan Siauw Can..........?
Kini mengertilah ia, walaupun ia masih terkejut karena sama sekali tidak pernah mengira bahwa
semua peristiwa itu diatur oleh orang-orang yang selama ini dianggapnya baik dan dipercaya
sepenuhnya. Yang membuat hatinya sakit seperti ditusuk adalah Siauw Can.. Pemuda yang
dianggapnya sebagai seorang pendekar itu, bahkan yang pernah dikagumi dan dicintanya, telah
nenculik Lan Lan dan hendak memaksanya untuk membunuh putera mahkota! Ia dapat menduga
bahwa tentu Siauw Can diperalat oleh Pangeran Tua, akan tetapi kenapa pemuda yang katanya
mencintanya itu mau melakukan perbuatan keji dengan menculik Lan Lan dan memaksanya
membunuh putera mahkota, sungguh membuatnya penasaran bukan main. Ingin rasanya saat itu
juga ia lari mencari Siauw Can atau Can Hong San untuk memaki dan menyerangnya. Akan tetapi ia
teringat bahwa pemuda itu adalah seorang lawan yang amat tangguh, apalagi tentu dia akan
dibantu oleh anak buah Pangeran Tua. Tidak, urusan ini terlalu besar untuk ia tangani sendiri.
Cepat ia meninggalkan taman dan malam itu juga ia mencari Pangeran Li Si Bin.
Pangeran Li Si Bin tidak terkejut mendengar laporan Bi Lan. Memang pangeran ini pernah
mempunyai kecurigaan terhadap pamannya, Pangeran Tua, hanya karena belum ada bukti maka
dia tidak dapat melakukan sesuatu. Kini tahulah dia akan rahasia itu dan pada malam itu juga dia
memanggil para panglima yang membantunya dan pasukan khusus dikerahkan. Tanpa membuang
waktu lagi Pangeran Li Si Bin sendiri, dibantu para panglimanya dan tidak ketinggalan Bi Lan
sendiri, lalu menyerbu ke istana Pangeran Tua Li Siu Ti.
Gegerlah di kota raja. Terjadi pertempuran yang hanya pendek saja karena Pangeran Li Siu Ti
sama sekali tidak mengira bahwa malam itu akan terjadi penyerbuan besar-besaran yang dilakukan
oleh pasukan istimewa yang dipimpin sendiri oleh putera mahkota! Dan penyerbuan itupun sudah
direstui kaisar yang malam itu juga mendengar laporan puteranya. Mereka yang berani melakuka
perlawanan segera dibabat roboh dan yang lain cepat melempar senjata dan menjatuhkan diri
berlutut. Pangeran Li Siu Ti sekeluarga ditangkap. Akan tetapi, dengan hati yang lega Bi Lan
mendengar bahwa Ai Yin lolos dari penangkapan. Disamping kelegaan hatinya, juga ia merasa
penasaran karena Can Hong San juga lolos. Kiranya pemuda inilah yang melarikan Ai Yin dan Bi Lan
dapat menduga bahwa bayangan yang dilihatnya membunuh thai-kam Ciu tentulah Can Hong San.
Pemuda itu tentu sudah merasa khawatir melihat perbuatannya ketahuan, sudah dapat menduga
bahwa mungkin saja Bi Lan akan melapor dan thaikam Ciu membuka rahasia. Hong San tentu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sudah dapat menduga kemungkinan datangnya serbuan dari putera mahkota, maka begitu tiba di
istana
Pangeran Tua, dia segera mengajak Ai Yin pergi dan tidak lupa membawa barang-barang
berharga dari istana itu. Ketika Ai Yin mendesak dan minta keterangan kepadanya, Can Hong San
tidak mau mengaku dan setengah memaksa gadis yang telah ditunangkan dengannya itu
meninggalkan istana secepatnya, bahkan malam itu juga mereka kabur keluar dari pintu gerbang
kotaraja, menunggang dua ekor kuda pilihan.
Keluarga Pangeran Tua Li Siu Ti ditangkap dan dipenjara, kemudian setelah diadili, pangeran itu
dijatuhi hukuman mati sedangkan keluarganya dihukum buang.
Setelah terjadi peristiwa itu, Bi Lan makin disayang dan dipercaya oleh Pangeran Li Si Bin dan
iapun menyerah dengan senang hati ketika putera mahkota itu mengangkatnya sebagai selir
terkasih dan terpercaya. Dengan sendirinya Lan Lan yang kini diaku sebagai puteri sang pangeran
dengan nama menjadi Li Hong Lan, mendapat perlakuan sebagai seorang puteri dan pendidikan
dan perawatannya diserahkan kepada para ahli yang di istana bertugas untuk mendidik para puteri
yang masih kecil.
ooo0000ooo
Anak laki-laki itu berusia kurang lebih duabelas tahun, namun tubuhnya tinggi tegap seperti
orang dewasa saja. Juga wajahnya yang tampan itu nampak dewasa, dengan mata yang tajam
mencorong penuh pengertian, mulut yang membayangkan keteguhan hati dan ketabahan. Kalau
ada ahli silat melihatnya pada saat dia berlatih itu, tentu ahli silat itu akan terkagum-kagum. Anak
berusia duabelas tahun itu berlatih silat di atas bambu-bambu runcing yang ditanam di tanah
setinggi satu meter. Kedua kakinya bertelanjang dan dengan kedua kaki bertelanjang itu dia
bersilat di atas bambu-bambu yang runcing. Gerakannya demikian gesit dan tangkas, kedua
kakinya yang melangkah ke kanan kiri, depan belakang, bahkan kadang melompati sebatang
bambu runcing dan hinggap di atas bambu runcing berikutnya, tak pernah meleset. Orang akan
merasa ngeri karena sekali terpeleset, anak itu akan terjatuh dan bambu-bambu runcing akan
menyambut perut dan dadanya atau punggungnya. Dan mengingat betapa kedua kaki telanjang itu
berloncatan di atas bambu-bambu runcing, sungguh mengerikan dan sekaligus mengagumkan.
Tak jauh dari situ, di bawah pohon yang tumbuh di belakang sebuah pondok baru, duduk
seorang pria tua yang tinggi besar bermuka kemerahan dan jenggotnya panjang. Pria berusia
sekitar limapuluhdelapan tahun itu masih nampak gagah dan berwibawa. Dari wajah dan sikapnya
mudah diduga bahwa dia bukan orang sembarangan. Dia mengelus jenggotnya dan mulutnya
tersenyum, kepalanya mengangguk-angguk melihat kelincahan anak laki-laki remaja yang berlatih
silat itu. Dari gerakan-gerakannya saja, jelas nampak bahwa anak itu memang memiliki bakat yang
besar sekali. Gerakannya demikian lentur dan indah, tidak kaku dan setiap gerakan mengandung
tenaga yang tepat penggunaannya, tidak berlebihan juga tidak lemah.
Pria tinggi besar itu adalah bekas Pangeran Cian Bu Ong! Selama beberapa tahun ini, semenjak
Kerajaan Sui jatuh diganti Kerajaan Tang, kurang lebih sembilan tahun yang lalu, Cian Bu Ong
berusaha untuk menegakkan kembali Kerajaan Sui yang telah jatuh. Namun semua usahanya
gagal, bahkan dia yang oleh Kerajaan Tang dianggap pemberontak, menjadi orang buruan.
Hidupnya tidak aman, karena dia dikejar-kejar oleh pasukan Tang. Terutama sekali karena yang
menjadi panglima adalah putera mahkota sendiri, yaitu Pangeran Li Si Bin yang amat cerdik dan
pandai, Cian Bu Ong harus menjadi pelarian yang tidak dapat tinggal terlalu lama di suatu tempat.
Setelah dia bertemu dengan Sim Lan Ci yang kemudian menjadi isterinya, barulah dia
menghentikan usahanya untuk memberontak. Namun, bersama Sim Lan Ci dan putera janda itu,
Coa Thian Ki, dan juga puterinya sendiri, Cian Kui Eng, dia harus selalu berpindah-pindah tempat
tinggal, khawatir kalau jejaknya ditemukan para penyelidik Kerajaan Tang.
Cian Bu Ong menganggap Thian Ki sebagai puteranya sendiri. Dia amat mencinta Sim Lan Ci
yang telah menjadi isterinya dan dia sayang pula kepada Thian Ki karena dia tidak mempunyai anak
laki-laki. Anaknya yang tunggal dengan isteri pertama yang tewas oleh pasukan Tang adalah
seorang perempuan, yaitu Cian Kui Eng yang kini berusia sebelas tahun. Cian Bu Ong
menggembleng kedua orang anak itu, bahkan dia lebih tekun mengajarkan ilmu-ilmunya kepada
Thian Ki, karena selain anak ini memiliki bakat yang lebih besar dibandingkan Kui Eng, akan tetapi
juga bekas pangeran itu memiliki cita-cita tinggi terhadap Thia Ki. Dia mengharapkan anak tiri yang
sudah dianggap anaknya sendiri itu kelak dapat menjadi orang besar, kalau mungkin di kalangan
pemerintahan, kalau tidakpun menjadi tokoh besar di dunia persilatan, agar dapat mengangkat
kembali namanya yang telah jatuh bersama runtuhnya Kerajaan Sui.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Baru setelah panglima besar dan putera mahkota, yaitu Pangeran Li Si Bin yang menjadi tokoh
utama Kerajaan Tang menggantikan ayahnya dan menjadi kaisar (tahun 627) Cian Bu
Ong dapat hidup tenang bersama isterinya dan kedua orang anaknya, di sebuah dusun kecil
yang terletak di tempat yang amat indah pemandangan alamnya, yaitu di tepi Sungai Huang-ho, di
kaki Kim San (Bukit Emas). Setelah Pangeran Li Si Bin menjadi kaisar dan berjuluk Tang Tai Cung,
kaisar ini lebih banyak memperhatikan urusan pemerintahan, tidak lagi memikirkan pemberontakpemberontak
buronan yang sudah kehilangan pasukan, seperti halnya Cian Bu Ong yang dianggap
tidak berbahaya lagi. Di dusun Ke-cung itu, yang penduduknya hanya puluhan keluarga saja dan
semua adalah petani dan nelayan sederhana, Cian Bu Ong mendirikan sebuah rumah besar dan
hidup tenang dan tenteram bersama Sim Lan Ci dan kedua orang anak mereka, yaitu Thian Ki dan
Kui Eng.
Pada pagi hari itu, Thian Ki sudah berlatih silat di bawah pengawasan Cian Bu Ong, ayah tirinya,
juga gurunya. Dulu, ketika dia masih hidup bersama ayah kandungnya, mendiang Coa Siang Lee,
ayah dan ibunya selalu menekankan perasaan tidak suka akan ilmu silat dan penggunaan
kekerasan sehingga biarpun dia menjadi anak suami isteri yang pandai ilmu silat, Thian Ki sendiri
tidak pernah mempelajari ilmu silat. Akan tetapi, tanpa diketahui ayah ibunya, neneknya, yaitu Lo
Nikouw yang dahulu terkenal dengan julukan Ban-tok Mo-li, telah menggembleng tubuhnya dengan
ramuan racun, sehingga tanpa disadarinya sendiri, Thian Ki telah menjadi seorang tok-tong (anak
beracun). Di luar kehendaknya sendiri, dia telah melakukan hal-hal yang akan menggemparkan
dunia kangouw kalau diketahui orang, yaitu dia telah membunuh atau lebih tepat lagi menyebabkan
kematian tokoh-tokoh kangouw yang amat lihai seperti Kui bwe Houw Gan Lui, si golok gergaji Thio
Ki Lok, pegulat Turki Gulana. Mereka semua tewas keracunan karena berani menyerang dan
menyentuh tubuh Thian Ki yang sudah penuh dengan hawa beracun yang amat kuat itu!
Semula, karena melihat tok-tong inilah maka Cian Bu Ong tertarik. Dia ingin memiliki anak
beracun itu untuk membantu gerakannya dan usahanya menegakkan kembali Kerajaan Sui. Akan
tetapi setelah dia menikah dengan ibu anak itu, dan melihat bahwa cita-citanya itu tidak akan
mungkin terlaksana karena Kerajaan Tang yang baru semakin kuat, dan untuk berjuang
menumbangkan pemerintahan dia harus mempunyai pasukan yang besar sekali, hal yang tidak
mungkin dimilikinya, maka diapun membuang cita-cita itu. Kini dia menggembleng Thian Ki dengan
cita-cita lain. Dia ingin anak tirinya yang juga muridnya itu kelak menjadi orang penting,
berkedudukan tinggi atau menjadi seorang jagoan nomor satu di dunia kangouw, pendeknya dia
ingin agar Thian Ki kelak dapat menjadi terkenal dan karenanya akan mengangkat tinggi nama
besar Pangeran Cian Bu Ong. Oleh karena itu, maka dia menggembleng Thian Ki dengan amat
tekunnya.
Anak itu sendiri sekarang juga rajin berlatih dan suka sekali mempelajari ilmu silat. Hal ini
merupakan perubahan yang amat besar. Selain ibunya, Sim Lan Ci sekarang tidak lagi melarangnya
belajar silat, bahkan ibu inipun mengajarkan ilmu-ilmunya sendiri, juga karena pengalamanpengalaman
yang sudah-sudah merupakan pelajaran bagi Thian Ki, bahwa memiliki kekuatan dan
kepandaian silat amat perlu baginya, untuk dapat membela diri dalam hidup ini. Terlalu banyak
orang jahat berkeliaran di bumi ini dan amat sukarlah mengharapkan perlindungan dari orang lain.
Dalam usia duabelas tahun, Thian Ki sudah mampu berlatih silat di atas bambu-bambu runcing.
Hal ini sungguh mengagumkan sekali. Tanpa memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang
tinggi, sungguh amat berbahaya latihan seperti itu. Namun, Thian Ki sudah dapat berloncatan
dengan cekatan di atas bambu-bambu runcing itu. Tentu saja hal ini amat menggembirakan hati
Pangeran Cian Bu Ong. Dia sendiri mengakui bahwa dalam usia semuda itu, dia tidak dapat
mencapai tingkat seperti yang dimiliki Thian Ki sekarang ini. Dia merasa bangga dan girang sekali
melihat kemajuan Thian Ki. Puterinya sendiri, Kui Eng. juga tekun dan cerdas, akan tetapi
dibandingkan Thian Ki, anak itu kalah jauh. Apalagi kalau diingat bahwa tubuh Thian Ki beracun,
dan keadaan ini saja sudah amat berbahaya bagi lawannya. Lawan yang amat lihai sekalipun akan
dapat tewas sendiri kalau berani menyentuh tubuh tok-tong, si anak beracun itu. Cian Bu Ong yang
bercita-cita tinggi itu bahkan telah memilihkan sebuah nama julukan bagi anak tiri dan muridnya,
yaitu Tok-liong ( Naga Beracun)!
"Thian Ki." kata bekas pangeran itu berulang kali, "Namamu yang biasa adalah Thian Ki, Cian
Thian Ki," dia memberi tekanan kepada nama keluarga Cian itu. Dia mengakui Thian Ki sebagai
anak sendiri, maka dia menekankan kepada anak itu dan ibunya agar menggunakan she (nama
keluarga) Cian! "Akan tetapi, di dunia kangouw, tidak perlu engkau memperkenalkan diri sebagai
Cian Thian Ki, melainkan Tok-1iong-eng (Pendekar Naga Beracun), ha-ha ha.!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Karena ucapan itu berulang-ulang dikatakan gurunya yang juga ayahnya karena dia menyebut
ayah kepada gurunya itu, maka sebutan Tok-liong (Naga Beracun) itu mendatangkan kesan di hati
Thian Ki dan setelah beberapa tahun dia menganggap Tok-liong sebagai namanya yang ke dua.
Apalagi ayah tiri dan ibunya sendiri sering menyebut Tok-liong kepadanya.
Baru beberapa bulan Cian Bu Ong tinggal di dusun Ke-cung itu. Setelah mendengar bahwa
Kaisar Tang Kao Cu diganti oleh Pangeran Li Si Bin yang kini menjadi Kaisar Tang Tai Cung, baru ia
merasa aman dan tinggal di dusun lembah sungai yang indah itu. Penduduk dusun menyambut
keluarga ini dengan gembira. Mereka tidak mengenal siapa keluarga ini dan Cian Bu Ong sudah
mengubah namanya menjadi Cian Bu saja. Penduduk hanya menduga bahwa Cian Bu adalah
seorang hartawan atau pejabat yang telah mengundurkan diri dan mencari tempat tinggal yang
tenang di dusun itu. Karena keluarga baru ini selain kaya juga ringan tangaa membantu penduduk,
maka keluarga ini disambut dengan baik dan Cian Bu dikenal sebagai hartawan Cian, bahkan
beberapa bulan kemudian, melihat dia seorang yang kaya dan pandai, luas pengetahuannya dan
suka menolong penduduk, puluhan keluarga penghuni dusun Ke-cung segera mengangkatnya
menjadi ketua dusun. Demi keamanan, Cian Bu menerima pengangkatan itu, walaupun dalam
hatinya dia tersenyum pahit. Dia, pangeran adik kaisar terakhir Kerajaan Sui yang bercita-cita
menegakkan kembali Kerajaan Sui dimana dia yang akan menjadi kaisar barunya, kini hanya
diangkat menjadi ketua dusun.! Inipun dusun yang kecil sekali dan pengangkatan itupun tidak
resmi dari pemerintahan. Karena rumah dan pekarangan berikut sebuah kebun dan taman yang
luas milik keluarga Cian itu dikelilingi pagar dinding yang tinggi, maka tak seorangpun pernah
melihat kalau keluarga itu berlatih silat. Tiga orang pelayan keluarga ini adalah bekas anak buah
yang setia dari bekas pangeran itu, dan mereka maklum bahwa mereka tidak boleh membuka
rahasia majikan mereka kepada siapapun juga.
Selagi Thian Ki berlatih, kini tidak lagi di atas bambu-bambu runcing melainkan di atas tanah di
mana dia bersilat dengan amat cepat dan kuatnya, tiba-tiba seorang anak perempuan berusia
sebelas tahun datang berlari-lari. Melihat Thian Ki masih bersilat dengan tangan kosong, dengan
baju dilepas sehingga tubuh atasnya telanjang dan berkilauan karena keringat, anak perempuan itu
mengeluarkan bentakan nyaring dan iapun melompat dengan sigapnya mendekati Thian Ki dan
langsung saja menyerangnya dengan jari tangan menotok ke arah tubuh Thian Ki, menyerang
jalan-jalan darah secara cepat sekali.! Thian Ki cepat mengelak ke sana sini, lalu meloncat jauh ke
belakang. Ketika anak itu yang bukan lain adalah Cian Kui Eng, hendak mengejar dan mendesak,
ayahnya membentak.
"Kui Eng, berhenti!"
Anak perempuan itu berhenti menyerang, menoleh kepada ayahnya dan iapun membantingbanting
kaki dan merajuk. "Aihhh, ayah, aku ingin berlatih dengan kakak Thian Ki, selalu tidak
boleh.!"
Anak berusia sebelas tahun itu berwajah manis dan bertubuh ramping. Matanya tajam dan
galak, mulutnya yang cemberut itu menjadi pemanis yang utama dari wajahnya yang bulat telur.
Rambutnya agak keriting, membuat rambut itu nampak tebal.
"Kui Eng, sudah berulang kali kukatakan kepadamu. Engkau tidak boleh berlatih dengan
kakakmu. Itu berbahaya sekali!" kata Cian Bu Ong, atau yang nama barunya Cian Bu saja itu.
Pada saat itu, Sim Lan Ci muncul dan mendengar percakapan itu, iapun lari menghampiri dan
merangkul Kui Eng yang bersungut-sungut. "Kui Eng, engkau sudah seringkali kuberi tahu agar
jangan berlatih dengan kakakmu. Engkau tentu tahu bahwa kakakmu adalah seorang yang
berbahaya, karena disebut Naga Beracun. Dia seorang tok-tong. "
Dalam usianya yang hampir empatpuluh tahun, Sim Lan Ci masih nampak cantik. Hal ini adalah
karena selama menjadi isteri Cian Bu Ong, ia merasa hidupnya berbahagia walaupun ia ikut
melarikan diri dan bersembunyi bersama suaminyi selama tujuh tahun ini. Cian Bu amat
mencintanya juga ia mencinta Kui Eng seperti mencinta Thian Ki anak kandungnya. Suaminya
seorang yang amat baik, bahkan jauh lebih sakti dari pada suaminya yang pertama, dan juga
berwibawa dan jantan.
"Ibu, kenapa sih toako disebut Tok-liong (Naga Beracun), dan apa sih artinya tok-tong?" "Dia
disebut tok-tong karena tubuhnya mengandung hawa beracun yang amat kuat, Kui Eng. Beradu
tangan dengan dia, bahkan menyentuh tubuhnya pun kalau kebetulan hawa beracun itu bekerja,
orang akan mati seketika." "Tapi.....kenapa toako bisa seperti .itu?"
Suami isteri itu saling pandang. Sudah tiba saatnya mereka memberi tahu anak-anak mereka
akan kejadian yang sebenarnya tentang diri Thian Ki. Bahkan anak itu sendiri belum tahu dengan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
jelas. Melihat pandang mata isterinya, Cian Bu menghela napas panjang dan mengangguk, lalu dia
duduk di atas bangku di taman itu.
"Ibu, akupun ingin sekali mengetahui mengapa tubuhku jadi beracun? Ibu dan ayah tidak
pernah mau menceritakan," kata pula Thian Ki yang memakai kembali bajunya dan mendekati
ibunya. Sejak berusia lima tahun, dia dipesan oleh ibunya agar berhati-hati kalau bermain-main
dengan Kui Eng, agar dia tidak mengerahkan tenaga dan sekali-kali tidak boleh berlatih silat dengan
adiknya itu. Biarpun perintah ibunya itu tentu saja membuat dia tidak dapat bergembira dan
bermain-main sebebasnya dengan adiknya, namun dia selalu mentaati karena dia sendiri tahu
bahwa dalam dirinya terdapat rahasia aneh. Sudah dia melihat sendiri beberapa orang yang amat
lihai ilmu silatnya tewas ketika menyerangnya, tewas ketika digigitnya, bahkan tewas ketika
mencengkeramnya.
Sim Lan Ci menarik napas panjang, lalu menggandeng tangan kedua anaknya, diajaknya duduk
di bangku dekat suaminya. Kemudia ia mulai bercerita. "Thian Ki dan Kui Eng, ingat baik-baik apa
yang akan kuceritakan ini agar kelak tidak sampai terjadi sesuatu pada diri kalian. Thian Ki, engkau
telah menjadi seorang tok-tong. Di dalam tubuhmu terdapat racun yang amat hebat, seluruh
darahmu mengandung racun, juga tubuhmu penuh dengan hawa beracun yang dapat membunuh
siapa saja, bahkan orang-orang seperti aku dan ayahmu dapat saja terbunuh oleh racun di
tubuhmu itu."
"Wah, hebat kalau begitu! Ibu, kalau kakak Thian Ki mempunyai tubuh sehebat itu, kenapa aku
tidak? Ibu dan ayah, jadikanlah aku seperti dia, aku ingin mempunyai tubuh beracun seperti itu
agar dapat kubasmi semua orang jahat di dunia ini!"
"Ih, Kui Eng, enak saja kau bicara!" Thian Ki menegur adiknya. "Apa sih senangnya punya tubuh
beracun? Lihat saja aku. Aku ingin bermain-main denganmu, berlatih silat denganmu tidak bisa!
Kalau racun di tubuhku ini dapat lenyap, aku akan berbahagia sekali!"
"Ibu, kenapa kakak Thian Ki menjadi Tok-tong? Bagaimana terjadinya!" tanya pula Kui Eng,
tidak perduli akan keluhan kakaknya.
"Semua ini gara-gara nenekmu, Lo Nikouw. ..."
"Aih, nenek Lo Nikouw. Ibu dari ibu yang jarang ibu ceritakan itu? Bagaimana nenek bisa
menjadi gara-gara keadaan toako ibu?"
"Ibuku, nenek kalian itu adalah seorang ahli racun yang tiada keduanya di empat penjuru
sehingga ia dikenal sebagai Ban-tok Mo-li (Iblis Betina Selaksa Racun).........."
"Ihhhh! Julukannya mengerikan benar!" seru Kui Eng.
"Julukannya itu adalah ketika ia belum menjadi seorang nikouw, Kui Eng. Sekarang ia dikenal
sebagai Lo Nikouw yang pekerjaannya hanya berdoa. Nenek kalian itulah yang diluar tahuku telah
membuat Thian Ki menjadi tok-tong, dengan cara merendam tubuh Thian Ki ketika masih kecil ke
dalam ramuan obat beracun. Aku mengetahui hal itu setelah terlambat."
"Aih, kenapa nenek begitu jahat terhadap Thian Ki, Ibu?" Kui Eng berseru dengan penasaran.
"Hush, jangan berkata begitu, Kui Eng!" tiba-tiba Cian Bu yang sejak tadi hanya mendengarkan
saja, berseru kepada puterinya. "Nenekmu melakukan hal itu justeru karena ia menyayang Thian
Ki. Ia ingin membuat Thian Ki menjadi orang yang tak terkalahkan, dan dalam hal ini, ia telah
banyak membantu dan usahanya itu berhasil. Kalau bukan seorang ahli yang amat pandai,
bagaimana mungkin ia dapat membuat cucunya menjadi tok-tong? Orang lain yang tubuhnya
mengandung racun seperti Thian Ki, takkan mampu bertahan hidup lagi. Nenekmu itu memang
hebat!"
"Akan tetapi aku tidak suka menjadi tok-tong! Aku tidak ingin menjadi orang yang tak
terkalahkan!" teriak Thian Ki.
"Aih, toako. Kenapa engkau begitu bodoh. Sepantasnya engkau berterima kasih kepada nenek.
Kalau aku yang menjadi seperti engkau, wah, aku akan merasa bangga dan senang sekali. Akan
kukalahkan seluruh jagoan di dunia ini! Ibu, bawa aku kepada nenek biar aku juga dijadikan
seorang anak beracun.!"
"Hemm, kaukira mudah menjadikan seseorang beracun seperti itu? Hanya anak yang masih kecil
dan berbakat saja yang akan mampu hidup menjadi anak beracun. Engkau sudah besar, Kui Eng,
tidak mungkin menjadi anak beracun lagi. Baru Thian Ki saja menjadi tok-tong kami sudah bingung,
masa engkau ingin menjadi anak beracun lagi!" kata Sim Lan Ci.
Sementara itu, Cian Bu menghela napas panjang. Dia mencita-citakan Thian Ki kelak menjadi
seorang jagoan nomor satu di dunia. Thian Ki telah menjadi tok-tong, berbakat baik dan telah
digemblengnya dengan sungguh sungguh, akan tetapi ternyata anak itu tidak suka menjadi jagoan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
seperti yang dia idamkan. Kalau saja Thian Ki mempunyai semangat seperti yang diucapkan Kui
Eng tadi! Thian Ki berwatak lemah, terlalu baik, tidak suka akan kekerasan, tidak ingin menjadi
jagoan tak terkalahkan, padahal dia memiliki kemampuan untuk itu. Sebaliknya semangat Kui Eng
berkobar-kobar.
"Ibu, kenapa nenek memperlakukan aku seperti ini? Aku juga ingin bertemu dengan nenek,
akan kuminta agar dia melenyapkan racun dari tubuhku!" kata Thian Ki.
"Tidak semudah itu, Thian Ki. Racun itu te lah menjadi satu dengan darahmu, biar nenekmu
sendiri tidak akan dapat melenyapkannya. Hanya satu cara saja......" Wanita cantik itu
menghentikan kata-katanya, menyadari bahwa ia telah terlanjur bicara.
Thian Ki segera menyambar kesempatan itu. "Ibu, katakan. Apa caranya akan kutempuh segala
cara untuk membuat aku menjadi manusia biasa. Katakanlah, apa cara yang satu-satunya itu?"
Karena sudah terlanjur bicara. Sim Lan Ci memandang suaminya, lalu berkata. "Caranya hanya
menularkan racun itu kepada orang lain. Sedikitnya kepada sepuluh orang dan mereka itu akan
tewas. Biarpun setiap orang hanya menerima sepersepuluh bagian saja, cukup untuk membuat ia
tewas Nah, setelah menewaskan belasan orang, barulah ada kemungkinan racun itu akan lenyap
dari tubuhmu."
Mendengar ini, Thian Ki termenung dan wajahnya dibayangi kedukaan. "Kalau begitu.....selama
hidupku sampai mati.........aku tidak akan dapat melenyapkan racun keparat ini dari tubuhku......."
Ucapan ini saja menyatakan bahwa ia tidak suka membunuh orang, biar hal itu demi keselamatan
diri sendiri.
Melihat ini, Cian Bu lalu menghibur. "Sebetulnya tidak perlu dilenyapkan, apa lagi kalau caranya
demikian sulit. Asalkan Thian Ki dapat menguasai racun itu, dapat menekannya sehingga racun itu
tidak bekerja, kecuali hanya kalau di perlukan saja, maka tentu dia akan hidup seperi orang biasa.
Hanya pada saat tertentu saja dia dapat mengerahkan kekuatan racun itu. Sayang, sudah kucoba,
namun aku belum menemukan caranya untuk mengajar dia dapat mengendalikan hawa beracun
itu."
Mendengar ini, Thian Ki memandang ibunya "Ibu, dapatkah nenek mengajariku agar aku dapat
menguasai racun ini? Biarpun tidak dapat lenyap, kalau aku dapat menguasainya seperti dikatakan
ayah, sudah lumayan........ "
Sim Lan Ci mengerutkan alisnya. Sudah tujuh tahun lebih ia meninggalkan ibunya yang berada
di kuil Thian ho-tong di luar dusun Mo-kim-cung. Bahkan rumahnyapun ia tinggalkan. Sejak ia dan
almarhum suaminya, Coa Siang Lee meninggalkan dusun Mo-kim cung berkunjung ke pusat Hekhouw-
pang di dusun Ta-bun-cung, yaitu tempat tinggal keluarga almarhum suaminya, ia tidak
pernah lagi kembali ke Mo-kim cung. Terlalu banyak peristiwa terjadi sejak ia dan suami
pertamanya itu meninggalkan Mo-kim-cung. Di Hek-houw-pang itulah terjadinya malapetaka yang
membuat suaminya tewas dan ia bersama Thian Ki ikut Cian Bu Ong dan kemudian bahkan menjadi
isteri bekas pangeran itu yang kini bernama Cian Bu. Tujuh tahun lebih telah lewat dari kini
percakapan tentang ibunya membuat ia teringat akan semua itu.
"Bagaimana, ibu?" Thian Ki mendesak ketika melihat ibunya termenung. "Aku masih ingat,
nenek adalah seorang nikouw yang ramah dan baik budi, selalu bersikap baik kepadaku. Beliau
tentu akan suka menolongku, ibu."
Wanita itu menghela napas panjang. "Tidak tahulah, Thian Ki. Aku memang pernah mempelajari
ilmu-ilmu dari ibuku tentang ilmu-ilmu pukulan beracun, akan tetapi aku tidak pernah diajari ilmu
membuat seseorang menjadi tok-tong, juga tidak tahu menahu tentang cara menguasai hawa
beracun dalam tubuh. Ilmu pukulan beracun memang hanya timbul hawa beracun itu kalau ilmu itu
dipergunakan untuk berkelahi, kalau pengerahan tenaga sakti dilakukan dengan cara tertentu
disamping latihan yang menggunakan racun. Akan tetapi racun yang sudah menjadi satu dengan
darah seperti yang kaualaml, biasanya hanya membuat orang itu mati. Engkau sebaliknya hidup
dengan sehat dan kuat, dan racun itu bekerja di luar kehendakmu. Aku tidak tahu.......... "
"Kalau begitu, kenapa tidak ke sana saja.? Kita semua pergi ke sana mencari ibumu, minta agar
ia suka mengajari Thian Ki menguasai racun di dalam dirinya, dan kita sekalian berpesiar ke timur.
Anak-anak ini perlu mendapatkan pengalaman, juga aku ingin sekali melihat keadaan di sana
sekarang ini. Tentu ramai sekali."
Sim Lan Ci terkejut, akan tetapi juga wajahnya berseri gembira sekali. "Benarkah.......?
Tidak.........tidak akan ada halangannyakah?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ia memandang suaminya dengan khawatir. Suaminya pernah menjadi seorang buruan
pemerintah, kalau sekarang mereka menuju ke timur, bukankah itu sama saja dengan ular mencari
pemukul?
Cian Bu menggeleng kepala dan meraba jenggotnya yang dipotong pendek. Dia mengerti apa
yang dimaksudkan isterinya, dan diapun tersenyum yakin akan dirinya sendiri bahwa keadaannya
sudah berubah sama sekali. Dahulu dia bertubuh tinggi besar dengan jenggot panjang dan pakaian
bangsawan. Akan tetapi sekarang, biarpun dia masih tinggi besar, namun perutnya agak gendut,
dan jenggotnya pendek. Juga dia mengenakan pakaian biasa, pakaian seorang petani kaya. Juga
rambut di kepalanya dibiarkan tidak tertutup, digelung ke atas, tidak pernah memakai penutup
kepala yang biasa dipakai para bangsawan. Pula, sejak lama tidak pernah ada pasukan yang
mencarinya, dan setelah Pangeran Li Si Bin menjadi kaisar, dia merasa lebih aman.
"Tidak akan ada halangan. Hari kita pergi mengunjungi ibumu dan mudah-mudahan saja ia akan
dapat membimbing Thian Ki sehingga dia dapat menguasai hawa beracun di dalam tubuhnya."
Mendengar bahwa ayah ibunya akan mengajak ia dan kakaknya pesiar ke timur, ke kota-kota
besar yang ramai, Kui Eng bersorak gembira. Anak perempuan berusia sebelas tahun itu kadangkadang
masih amat kekanak-kanakan. Ia meloncat-loncat dan merangkul Thian Ki.
"Kita pesiar......! Horee, kita pesiar. Toako, alangkah senangnya dan ini semua jasamu!" Ia
merangkul leher Thian Ki sehingga mukanya hampir melekat ke muka pemuda remaja itu. Biarpun
sejak kecil sudah biasa dia bermain main dengan Kui Eng, akan tetapi kini dia menyadari bahwa Kui
Eng sudah mulai besar, bukan anak kecil lagi dan dia tahu benar bahwa Kui Eng bukan apa-apa
dengan dia, berbeda ayah berbeda ibu. Maka rangkulan yang demikian akrab dan mesranya
membuat Thian Ki menjadi tersipu dan mukanya kemerahan, akan tetapi dia tidak berani melarang
adiknya.
"Eh, Kui Eng, engkau seperti anak kecil saja. Bagaimana bisa menjadi jasaku?" tanyanya. Kui
Eng melepaskan rangkulannya. "Tentu saja! Kalau engkau tidak menjadi tok-tong, kalau ayah dan
ibu tidak menghendaki engkau dibimbing nenek, belum tentu kita pesiar ke timur."
Thian Ki tertawa. Ayah dan ibu merekapun tertawa. Dan beberapa hari kemudian keluarga
inipun meninggalkan dusun Ke-cung, menunggang empat ekor kuda menuju ke timur.
Perjalanan pada masa itu amatlah sukar. Tidak mungkin menggunakan kereta yang besar
karena harus melalui bukit-bukit, kadang harus menyeberangi sungai. Akan tetapi keluarga itu
adalah orang-orang yang sudah terbiasa dengan kehidupan di alam terbuka, pandai pula
menunggang kuda dan berkat latihan ilmu silat membuat tubuh mereka kuat dan kebal terhadap
serangan angin, hawa dingin atau panas. Juga tidak mudah lelah. Perjalanan yang sukar itu bahkan
membuat mereka bergembira sekali, terutama Kui Eng yang selalu bercanda dan gadis cilik yang
lincah ini membuat kakaknya, ayah dan ibunya, selalu merasa gembira. Sebelum berangkat, dengan
sungguh-sungguh Cian Bu memesan kepada isteri dan kedua orang anaknya agar tidak
memperlihatkan bahwa mereka adalah keluarga yang pandai linu silat.
"Kalau orang-orang tahu bahwa kita adalah keluarga ahli silat, hal itu hanya akan mendatangkan
kecurigaan dan perhatian saja, membuat perjalanan kita mengalami banyak gangguan dan menjadi
tidak leluasa lagi." demikian dia mengakhiri pesannya.
"Tapi, bagaimana kalau kita diganggu orang, ayah? Apakah kita harus diam saja, membiarkan
kita diganggu? Bagaimana kalau ada perampok?" Kui Eng yang selalu membantah kalau
dianggapnya pesan siapa saja tidak tepat itu bertanya dan diam-diam Thian Ki menyetujui
pertanyaan itu walaupun dia sendiri tidak akan berani menyangkal seperti itu.
Cian Bu tersenyum. Dia mengenal baik watak puterinya itu, watak yang disukainya, cocok
dengan dia. Tak pernah menyembunyikan sesuatu yang membuat hati penasaran. "Ha-ha-ha, kalau
terjadi seperti yang kaukatakan itu, diamlah saja, bersabarlah, dan serahkan saja kepadaku untuk
mengatasinya. Mengerti."
"Mengerti, ayah," kata Kui Eng, akan tetapi alisnya berkerut. "Eh, kenapa engkau masih saja
cemberut, Kui Eng." tanya ibunya.
"Habis, pesan ayah ini aneh sih! Bagaimana kita harus diam dan bersabar saja kalau ada orang
jahat mengganggu. Kenapa sih kita harus berpura-pura tak berdaya, penakut dan lemah."
Cian Bu menjadi bingung untuk menjawab, akan tetapi isterinya yang cerdik segera membantu
suaminya. "Kui Eng, ketahuilah bahwa ayah dan ibumu dahulu adalah ahli-ahli silat yang suka
bertualang dan karenanya, kami telah merobohkan banyak lawan dan karena itu tentu saja banyak
yang merasa dendam dan akan memusuhi kita. Dari pada banyak halangan di perjalanan yang
hanya akan menyulitkan dan melelahkan, lebih baik tidak ada yang mengenal kita sehingga kita
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dapat berpesiar dengan gembira dan dapat cepat tiba di tempa tinggal nenekmu. Nah, mengertikah
engkau?"
Kui Eng mengangguk-angguk dan alasan itu lebih dapat diterimanya. Ia hanya tidak suka kalau
akan dianggap penakut menghadapi gangguan orang jahat. Akan tetapi kalau hanya untuk menjaga
agar perjalanan mereka dapat lancar, maka ia pun dapat menerimanya.!
Perjalanan dilakukan dengan gembira, tidak tergesa-gesa, bahkan kalau mereka melewati
daerah yang indah, mereka berhenti untuk menikmat keindahan daerah itu. Juga kalau melewati
kota yang ramai, mereka berhenti dan bermalam sampai dua tiga malam untuk memberi
kesempatan kepada anak-anak mereka, terutama sekali Kui Eng, untuk bersenang senang.
Kui Eng memang belum pernah melihat barang-barang yang dianggapnya amat indah menarik
yang terdapat di kota-kota besar. Tidak demikian dengan Thian Ki. Ketika meninggalkan rumah
bersama ayah ibunya, dia sudah berusia lima tahun lebih dan dia sudah melalui banyak kota. Juga
mengenai alasan yang disembunyikan Cian Bu dari Kui Eng, dia lebih tahu. Dia sudah tahu bahwa
ayah tirinya adalah seorang bekas pangeran yang pernah dicari-cari pasukan pemerintah. Ayahnya
yang berilmu tinggi tentu saja tidak takut menghadapi gangguan penjahat, namun khawatir kalau
sampai dikenal oleh pasukan pemerintah karena hal itu pasti akan mendatangkan kesukaran bear,
bahkan bahaya besar.
Sikap mereka yang bersahaja, sebagai keluarga biasa yang sedang melakukan perjalanan,
memang tidak menarik perhatian orang. Pakaian mereka sederhana dan tidak nampak memakai
perhiasan mahal, juga tidak membawa banyak barang kecuali buntalan pakaian. Juga Sim Lan Ci
biarpun masih cantik, namun ia sudah setengah tua, hampir empatpuluh tahun usianya, sedangkan
Kui Eng juga masih terlalu kecil untuk menarik perhatian laki-laki mata keranjang. Semua ini
membuat perjalanan mereka menjadi aman, tidak pernah diganggu orang.
Pada suatu sore, mereka memasuki kota Wu-han yang besar, kota terbesar yang pernah mereka
lalui. Tempat yang mereka tuju adalah kuil Thian-ho-tang yang terletak di luar dusun Mo-kim-cung,
di lereng Coa-san (Bukit Ular). Tempat itu tidak jauh lagi dari Wuhan, hanya perjalanan sehari lagi
saja dengan kuda. Mereka memasuki kota Wuhan dan karena kuda mereka sudah lelah, mereka
sendiripun perlu beristirahat dan hari sudah menjelang senja, Cian Bu lalu menyewa dua buah
kamar untuk mereka. Sebuah kamar untuk dia dan Thian Ki, sebuah kamar lain untuk Kui Eng dan
ibunya.
Setelah mendapatkan kamar, mereka mandi dan berganti pakaian bersih. Kemudian Cian Bu
mengajak keluarganya makan malam di sebuah rumah makan yang paling besar di kota itu. Rumah
makan ini telah ada sejak dia masih menjadi pangeran, hanya sekarang yang mengelola adalan
anak dari pemilik dahulu yang sudah meninggal dunia. Ada di antara pelayan tua yang masih
diingat oleh Cian, Bu. akan tetapi tentu saja mereka itu tidak mengenalnya karena dahulu dia
adalah seorang pangeran yang kalau datang berkereta, dengan pakaian mewah, diiringkan
pengawal dan sekarang dia hanya seorang laki-laki yang membawa anak isterinya makan di situ.
Cian Bu masin ingat masakan apa yang istimewa dari rumah makan ini. Dia memesan masakanmasakan
itu dan merekapun makan dengan gembira. Apalagi Kui Eng, anak ini gembira bukan main
karena merasakan masakan-masakan yang luar biasa, baru dan lezat baginya.
Sejak tadi, Cian Bu dan isterinya sudah melihat adanya dua orang laki-laki yang duduk di
ruangan rumah makan itu, di sudut terpisah dua meja dari tempat duduk mereka. Dua orang lakilaki
ini tentu akan luput dari perhatian mereka kalau saja dua orang itu tidak memperlihatkan sikap
yang mencurigakan. Sejak tadi dua orang itu memperhatikan mereka, terutama sekali
memperhatikan Kui Eng yang makan minum dengan gembira. Mereka adalah dua orang laki-laki
yang berusia kurang lebih tigapuluh tahun. Yang seorang bertubuh tinggi kurus dengan muka
meruncing seperti muka kuda, sedangkan orang ke dua bertubuh tinggi besar dengan muka
bopeng bekas cacar, mereka memperhatikan Kui Eng lalu berbisik-bisik sambil terus melirik ke arah
Kui Eng yang kebetulan duduknya menghadap mereka.
Sebagai suami isteri yang sudah berpengalaman, sikap kedua orang itu amat mencurigakan.
Mereka berdua tahu bahwa di dunia kangouw, di dalam dunia sesat terdapat orang-orang yang keji
dan aneh, orang-orang yang mempunyai selera rendah yang amat mesum. Ada penjahat cabul
yang suka menculik dan mempermainkan gadis-gadis cilik, adapula bahkan yang suka menculik
pemuda-pemuda remaja! Memang jarang sekali manusia macam ini, akan tetapi kenyataannya
memang ada dan suami isteri itu dalam petualangannya dahulu pernah bertemu dengan manusia
seperti itu. Maka kini melihat sikap mereka ketika memandang ke arah Kui Eng, cukup membuat
mereka waspada.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Setelah selesai makan dan membayar harga makanan dan minuman, Cian Bu mengajak isterinya
untuk berpesiar ke sebuah taman rakyat yang berada di pinggir kota. Taman itu cukup indah dan
terpelihara baik-baik. Di tengah taman itu terdapat pula sebuah danau kecil yang cukup untuk
dipakai berperahu oleh anak-anak yang berkunjung ke tempat itu. Malam ini suasana di situ cukup
ramai karena selain lampu-lampu penerangan berupa lentera beraneka warna yang menerangi
tempat itu, terdapat pula bulan yang hampir purnama.
Kui Eng berteriak-teriak gembira ketika memasuki taman dan ia mendahului kakak dan orang
tuanya, masuk lebih dulu sambil setengah berlari. Ayah dan ibunya hanya tersenyum saja,
membiarkan puteri mereka itu bergembira. Thian Ki mempercepat langkahnya untuk menemani
adiknya, akan tetapi dia yang merasa sudah besar malu untuk berlari-lari seperti Kui Eng. Anak
perempuan itu berteriak kegirangan menghampiri sebuah kolam ikan di mana terdapat bungabunga
teratai dan ikan-ikan emas. Ditimpa sinar bulan dan sinar lentera yang dipasang di tepi
kolam, memang bunga teratai dan ikan-ikan itu nampak indah sekali.
"Wah, ikan-ikan beraneka warna. Lihat itu, ada yang putih, kuning, merah.......indah sekali!"
Kui Eng berteriak-teriak, ia tidak tahu bahwa ada dua orang pria menghampirinya dan seorang
di antara mereka, yang bertubuh tinggi kurus dengan muka seperti kuda menyentuh lengannya.
Jilid 15
"Memang indah dan cantik sekali, nona kecil. Seperti engkau........"
Kui Eng menengok dan alisnya berkerut. Ia masih belum tahu bahwa ucapan itu mengandung
kekurang-ajaran, akan tetapi ia tidak suka lengannya disentuh jari-jari tangan yang panjang itu.
Kalau dalam keadaan biasa, tentu ia sudah mendamprat orang itu, akan tetapi ia teringat akan
pesan ayahnya dan iapun menarik lengannya yang terpegang.
"Aku tidak bicara denganmu," katanya ketus dan iapun menjauhkan diri beberapa langkah. Si
muka kuda menyeringai.
"Aih, galaknya, akan tetapi bertambah manis. Jangan marah, anak manis." Kini tangan itu
bergerak mengusap ke arah dagu dan pipi Kui Eng. Tentu saja Kui Eng marah sekali, akan tetapi ia
masih menahan sabar. Ia miringkan kepalanya sehingga hanya dagunya saja tersentuh dan ia
melangkah mundur lagi.
"Jangan sentuh aku.!" katanya, masih menahan sabar.
Si muka kuda itu mengira bahwa Kui Eng ketakutan, maka iapun menjulurkan kedua tangannya
lagi. "Jangan takut, sayang, aku tidak akan menyakitimu. Marilah ikut dengan kami." Dan tiba-tiba
saja si muka kuda itu sudah menangkap lengan kiri Kui Eng. Anak yang tidak menyangka-nyangka
ini, dan pula tidak ingin menggunakan kekerasan, tiba-tiba sudah ditarik dan berada dalam
pondongan si muka kuda.! Kui Eng memiliki dasar watak yang keras, galak dan tak mengenal takut.
Kalau sejak tadi ia hanya bersabar saja hal itu adalah karena ia mengingat pesan ayahnya. Akan
tetapi, kesabarannya terbatas sekali. Begitu merasa dirinya dipondong dan pemondongnya
menggerakkan kaki hendak lari, ia menjadi marah bukan main!
"Heii, jangan larikan adikku!" Thian Ki berteriak, akan tetapi diapun ragu untuk turun tangan,
mengingat pesan ayahnya.
"Jahanam kau.! Anjing kau.!" Kui Eng memaki dan tangan kirinya menjambak rambut si muka
kuda, tangan kanannya menampar.
"Plakk! Aduuuhh........!" Si muka kuda merasa kepalanya seperti dihantam palu godam sehingga
pondongannya terlepas. Kui Eng sudah meloncat turun. Si Muka kuda marah bukan main. Pipi
kirinya bengkak oleh tamparan tadi dan dia kini menghampiri Kui Eng dengan mata berapi. Juga
kawannya yang tinggi besar bermuka bopeng menghampiri dari lain jurusan.
"Bocah setan binal!" si muka kuda menubruk. Akan tetapi sekarang Kui Eng sudah naik pitam.
Dengan gesit ia mengelak, menggeser tubuh ke kiri dan begitu si muka kuda menerkam luput,
kakinya menendang dua kali beruntun dengan cepat sekali dan tubuh si muka kuda terlempar ke
dalam air kolam!
"Byuuuuuurr....!"
Si tinggi besar terbelalak, lalu menerkam dengan marah. Kui Eng mengelak lagi. Akan tetapi si
tinggi besar ini rupanya menyadari bahwa anak perempuan remaja itu bukan anak biasa, melainkan
memiliki gerakan silat yang cepat, iapun membalik dan kakinya yang besar dan panjang itu
mencuat, melakukan tendangan. Sungguh keji sekali, seorang laki-laki tinggi besar seperti itu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menendang seorang anak perempuan berusia sebelas tahun. Kalau tendangan itu mengenai
sasaran, tentu tubuh Kui Eng akan terlempar jauh dan mungkin akan tewas seketika. Namun, sejak
kecil Kui Eng telah menerima gemblengan seorang sakti seperti ayahnya sendiri, juga ia dilatih oleh
ibunya yang lihai pula. Tendangan yang amat kuat dan cepat itu dengan mudah dapat ia elakkan,
kemudian ia membalik dan kakinya menendang belakang lutut kanan lawan.
"Plakk?" dan tanpa dapat dicegah lagi, si tinggi besar yang belakang lututnya ditendang itu
terpaksa jatuh berlutut dengan kaki kanannya. Pada saat itu, kaki kanan Kui Eng menggantikan kaki
kiri, menyambar dan tepat mengenai pelipis kiri si tinggi besar bermuka bopeng.
"Plaak........!" si tinggi besar mengeluh dan tubuhnya terpelanting. Kui Eng tidak berhenti sampai
di situ saja. Ia mengejar dan kembali kakinya menendang, dua kali tendangan dan tubuh si tinggi
besar juga terlempar ke dalam kolam menyusul temannya!
Pada saat itu, Cian Bu dan Sim Lan Ci sudah tiba pula di situ, demikian pula mereka yang
sedang berada di dalam taman, datang berlari-larian ketika mendengar ada perkelahian di dekat
kolam ikan.
Cian Bu sudah menangkap tangan puterinya dan ditariknya dari situ, diajak pergi diikuti oleh Sim
Lan Ci dan Thian Ki. Mereka berempat tidak berkata sesuatu, dan semua orang yang tiba di tepi
kolam, memandang ke arah dua orang yang masih berada di dalam kolam itu. Kemudian orang jadi
geger ketika dua orang itu tidak keluar dari dalam kolam dan ketika diperiksa, ternyata mereka
telah tewas.! Ada luka sebesar kuku ibu jari tangan di dahi mereka dan darah mengucur dari luka
itu. Agaknya mereka tewas seketika!
Tidak ada seorangpun di antara mereka tahu apa yang telah terjadi. Yang tadi berada di dekat
situ hanya melihat betapa dua orang yang tewas di kolam itu tadi menyerang seorang anak
perempuan yang kini telah lenyap entah ke mana. Mereka yang tadi kebetulan dekat melihat
betapa anak perempuan itu hanya mengelak ke sana sini kemudian menendang-nendang dan dua
orang itu terlempar ke dalam kolam. Akan tetapi, mustahil kalau tendangan anak perempuan itu
dapat menimbulkan luka di dahi yang menewaskan kedua orang yang nampaknya kuat dan jagoan
itu.
Cian Bu dan keluarganya tiba kembali di rumah penginapan dan mereka berempat berkumpul di
kamar yang ditempati Sim Lan Ci dan Kui Eng. Setelah tiba di dalam kamar itu, barulah mereka
saling pandang dan Thian Ki yang sejak tadi menahan-nahan perasaannya, segera berkata kepada
ayahnya sambil menatap tajam wajah orang tua itu.
"Ayah, kenapa ayah membunuh mereka?"
Mendengar ini, Kui Eng terkejut dan anak perempuan itupun memutar tubuh memandang
ayahnya. "Benarkah ayah telah membunuh mereka? Bagus! Mereka memang layak dibunuh.
Mereka dua orang yang jahat sekali.!" Wajah anak perempuan itu kelihatan girang bukan main.
"Kui Eng, jangan sekejam itu.! Thian Ki menegur adiknya. "Mereka itu memang jahat karena
hendak mengganggumu, akan tetapi kalau kita bunuh mereka bukankah itu lebih jahat lagi
namanya?"
"Thian Ki, engkau melihatnya?" Cian Bu bertanya dan pandang matanya kagum. Tak
disangkanya sama sekali bahwa anak itu akan melihat perbuatannya tadi, padahal dia hampir yakin
bahwa yang tahu hanyalah dia dan isterinya saja. Tempat itu gelap dan gerakannya amat cepat,
juga benda yang dipergunakan untuk membunuh itu terlalu kecil untuk dapat dilihat orang ketika
meluncur cepat ke arah dua orang di kolam itu. Akan tetapi Thian Ki mengetahuinya! Ini saja
membuktikan bahwa anaknya yang juga muridnya ini memang berbakat sekali dan telah memiliki
ketajaman pandang mata yang melebihi ahli silat biasa. Bahkan Kui Eng saja yang tingkat
kepandaiannya tidak berbeda jauh dibandingkan Thian Ki, tidak dapat melihatnya.
"Aku hanya melihat berkelebatnya dua sinar hitam kecil ke arah mereka, dan melihat mereka
tewas, akan tetapi aku tidak tahu siapa yang membunuh mereka dengan sambitan itu, tidak tahu
pula benda apa yang membunuh mereka. Akan tetapi setelah aku melihat baju ayah, tahulah aku
bahwa ayah yang telah membunuh mereka. Ada dua buah kancing baju ayah yang hilang."
Cian Bu menunduk dan melihat kancing bajunya, demikian pula isterinya dan Kui Eng. "Aih,
kiranya ayah membunuh mereka dengan dua buah kancing baju ayah? Hemm, sayang kancingnya,
ayah. Penjahat seperti mereka lebih pantas dibunuh memakai batu saja!" kata Kui Eng.
"Akan tetapi, demikian besarkah dosa mereka sehingga mereka itu harus dibunuh?" Thian Ki
bertanya lagi, penuh rasa penasaran. Selama tujuh tahun ini, dia tahu benar bahwa ayahnya adalah
seorang gagah perkasa dan tidak pernah membunuh orang lain. Akan tetapi kenapa sekarang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
begitu ringan tangan membunuh dua orang yang walaupun bersalah, namun kesalahannya belum
cukup hebat untuk dihukum mati?
"Thian Ki, masihkah engkau belum mengerti. Ayahmu terpaksa membunuh mereka agar mereka
tidak akan menyiarkan berita tentang keluarga kita," kata Sim Lan Ci.
"Tapi......tapi mengapa....."
"Thian Ki, engkau tadi melihat sendiri betapa adikmu telah mengalahkan dua orang itu
melempar mereka ke kolam. Hal ini merupakan peristiwa luar biasa bagi mereka dan mereka tentu
akan menyiarkan berita tentang Kui Eng kepada mum dan hal ini tentu akan menarik perhatian
orang. Orang-orang akan tertarik dan ingin tahu siapa anak perempuan yang mampu mengalahkan
dua orang jagoan itu dan siapa pula orang tuanya, gurunya. Dan kalau sudah begitu, perjalanan
kita tidak akan menyenangkan lagi, bahkan penuh bahaya dan kehidupan kita tidak dapat tenang
lagi."
"Ah, lagi-lagi akulah yang bersalah!" Kui Eng berkata dengan alis berkerut. "Kalau saja aku tidak
melempar mereka ke dalam kolam! Ayah sudah memesan agar aku bersabar dan mengalah, akan
tetapi bagaimana aku dapat mengalah kalau mereka hendak menculikku?"
Sim Lan Ci merangkul puterinya "Engkau tidak bersalah, Kui Eng. Perlawananmu tadi memang
sudah tepat. Kesabaran tentu ada batasnya. Memang agaknya sudah seharusnya begini. Thian Ki,
ayahmu membunuh mereka bukan karena perbuatan mereka tadi, melainkan untuk menyelamatkan
keluarga kita dari ancaman bahaya. Kuharap engkau dapat mengerti."
Thian Ki menundukkan mukanya. "Aku mengerti, ibu. Ayah, maafkan aku." Akan tetapi di dalam
hatinya, tetap saja anak ini merasa penasaran dan tidak senang karena dianggapnya perbuatan
ayahnya itu terlalu kejam, mudah saja membunuh orang walaupun dengan dalih demi keselamatan
keluarga mereka. Bahaya itu kan belum datang mengancam? Ayahnya amat tidak menghargai
nyawa ocang lain!
Betapapun juga, tepat seperti dikatakan Cian Bu. Setelah dua orang itu tewas tanpa ada orang
lain mengetahui sebabnya, perjalanan mereka tidak mendapat gangguan lagi. Pada keesokan
harinya, pagi-pagi sekali Cian Bu dan keluarganya sudah meninggalkan kota Wuhan, melanjutkan
perjalanan menuju ke dusun Mo-kim-cung yang merupakan sebuah dusun kecil di kaki Bukit Ular.
Sim Lan Ci segera mengajak keluarganya menuju ke rumahnya yang tujuh tahun yang lalu ia
tinggalkan dalam pengawasan seorang pembantu wanita yang sudah lama bekerja pada mereka.
Tentu saja ia juga memesan kepada ibunya, yaitu Lo Nikouw di kuil Thian-ho-tang di luar dusun
agar mengamat-amati rumahnya selama ia dan suaminya pergi.
Ketika pada senja hari itu mereka tiba depan rumah Lan Ci, mereka melihat sebuah rumah yang
kotor tidak terawat, jendela dan daun pintunya tertutup rapat-rapat, bahkan gelangan daun pintu
dirantai dari luar, tanda bahwa rumah itu kosong. Lan Ci termangu-mangu melihat betapa
pekarangan yang dahulu dirawatnya baik-baik dan penuh bunga itu kini menjadi kotor dan buruk.
Juga rumah itu kotor dan banyak genteng yang pecah dan temboknya sudah penuh jamur
kehijauan. Seperti rumah hantu!.
Thian Ki juga berdiri termangu di depan rumah itu. Terbayanglah dalam ingatannya ketika tujuh
tahun yang lalu dia hidup di tempat ini. Masih teringat semua keadaan di luar dan di dalam rumah.
Betapa senangnya dia dahulu memanjat pohon di samping rumah itu atau berlari-larian dan
bermain dengan teman-teman sedusun. Dia pernah jatuh di sebelah kanan rumah itu, di selokan
kecil yang dibuat ayahnya untuk mengalirkan air ke taman bunga. Dan sekarang, keadaan di
pekarangan dan taman itu amat menyedihkan. Juga rumah itu nampak demikian tua dan kotor.
Semua ini membuat dia teringat kepada ayahnya. Ayahnya demikian lembut dan baik dan tak
terasa ke dua mata Thian Ki menjadi basah.
Sim Lan Ci sudah menghampiri rumah tetangga terdekat. Suami isteri petani tua itu
menyambutnya di depan pintu dan mereka segera mengenal Sim Lan Ci yang bersama suaminya
memang amat dikenal di dusun itu sebagai orang-orang yang suka menolong.
Dari tetangganya ini Lan Ci mendengar betapa pembantu yang diserahi tugas menjaga rumah
telah pulang ke dusunnya sendiri karena terlalu lama majikannya tidak pulang. Rumah beserta
isinya oleh pelayan itu diserahkan kepada Lo Nikouw yang menutup rumah itu.
"Apakah Lo Nikouw masih tinggal di kuil Thian-ho-tang?" tanya Lan Ci dengan hati terharu.
Suami isteri itu mengangguk. Sim Lan Ci lalu mengucapkan terima kasih dan bersama keluarganya
ia lalu pergi ke luar dusun, ke kuil Thian-ho-tang itu.
Senja telah lewat dan cuaca sudah remang ketika mereka tiba di luar kuil Thian-ho-tang. Kuil ini
kecil saja, berdiri terpencil di tempat yang sunyi. Akan tetapi dari luar nampak bahwa kuil itu sudah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dipasangi lampu-lampu dan bahkan meja sembahyang di ruangan depan juga dipasangi lilin.
Namun suasana di kuil itu nampak sunyi sekali seolah tidak ada penghuninya. Agaknya ibu masih
juga tinggal menyendiri di kuil ini, pikir Sim Lan Ci dan iapun berjalan paling depan ketika mereka
memasuki kuil.
"Berhenti!" Tiba-tiba terdengar suara lembut dari dalam kuil. Suara itu lembut namun berwibawa
dan Lan Ci menahan langkahnya, diikuti oleh suaminya dan dua orang anak mereka. Mereka
berhenti di ruangan depan, di depan meja sembahyang. "Siapakah tamu yang memasuki kuil ini?
Beritahukan dulu nama kalian dan apa perlunya datang berkunjung." Suara itu kembali terdengar
lembut berwibawa dan biarpun singkat, tidak terdengar galak.
"Ibu, aku Lan Ci, anakmu datang berkunjung," kata Sim Lan Ci dan betapapun keras hati wanita
ini, tetap saja ia terharu dan suaranya agak gemetar. Hening sejenak di dalam kuil. Kemudian suara
itu terdengar lagi, masih lembut berwibawa.
"Omitohud......semoga hamba dibebaskan daripada keterikatan! Pin-ni (aku) tidak mempunyai
anak. Anak tunggal pin-ni sudah bertahun-tahun meninggalkan pin-ni tanpa kabar, pin-ni
menganggap ia sudah mati......."
"Nenek...........!" Thian Ki berseru.
"Omitohud......kau......kau........Thian Ki cucuku!?"
Dari dalam muncullah seorang nenek. Ia sudah tua, sedikitnya tujuhpuluh lima tahun usianya,
dan mukanya sudah terhias keriput, terutama di kanan kiri kedua matanya dan di sekitar mulutnya.
Akan tetapi tubuhnya masih tegak dan gesit, sinar matanya masih tajam, pakaiannya bersih dan
tangan kanannya memegang sebuah kebutan, tangan kiri memegang seuntai tasbeh. Sepasang
mata itu ditujukan ke arah Thian Ki, lalu ia menyelipkan kebutan di pinggang, mengantungi
tasbehnya dan mengembangkan kedua lengannya.
"Thian Ki cucuku............!"
"Nenek..........!" Thian Ki lari menghampiri dan nenek itu merangkulnya. Biarpun usianya baru
duabelas tahun, tubuh Thian Ki sudah hampir sama dengan neneknya.
Dan Nikouw yang kepalanya gundul licin itu menangis, lalu berulang-ulang menyebut nama
Sang Buddha. "Cucuku.......ah. Thian Ki, betapa rinduku kepadamu. Omitohud.......semoga
diampuni kelemahanku ini....." Kemudian ia teringat dan mengangkat muka, memandang kepada
Sim Lan Ci yang berdiri tak jauh di depannya. Sejenak pandang mata nenek itu mengamati Lan Ci,
kemudian terdengar suaranya yang lembut namun kering dan tegas.
"Betapa kejamnya engkau! Engkau memisahkan Thian Ki dari pin-ni., pergi tanpa memberi kabar
lama sekali sampai bertahun-tahun. Engkau menyiksa hati pin-ni. Begitukah cara seorang anak
membalas budi orang tua.!"
"Ibu, ibu tidak tahu apa yang telah terjadi menimpa diri kami. Ibu sendiri amat tega, membuat
Thian Ki menjadi seorang tok-tong. Ibu telah merusak hidupnya, dan ibu masih dapat mencela aku
kejam.?"
"Omitohud.....siapa bilang aku kejam? Pin-ni menggemblengnya menjadi tok-tong agar kelak
tidak ada orang yang berani mengganggunya, agar dia dapat menjadi orang gagah yang tak
terkalahkan kelak, agar dia merajai di dunia persilatan dan mengangkat nama besar orang-orang
yang menurunkannya. Neneknya pernah menjadi Ban-tok Mo-li, sudah sepantasnya kalau dia
menjadi tok-tong."
"Tapi, ibu. Biarpun tidak disengaja, dalam usianya yang baru lima enam tahun dia sudah
membunuh banyak orang dengan racun yang berada di tubuhnya!" teriak Lan Ci yang kini menjadi
marah karena teringat akan keadaan puteranya. "Lihat, dia sampai tidak berani sembarangan
menyentuh orang lain, takut kalau sampai membunuhnya. Bukankah ini berarti ibu menyiksanya!?"
"Omitohud, semua itu salahmu sendiri, Lan Ci. Kenapa engkau memisahkannya dari pin-ni. Pinni
belum selesai dengan cucuku ini. Akan pin-ni bimbing dia dan latih dia sehingga racun di
tubuhnya hanya akan menjadi senjata kalau diperlukan."
"Bagus sekali kalau begitu. Sudah kukatakan bahwa hanya yang membuat dia menjadi tok-tong
sajalah yang akan mampu membimbing dia menguasai dirinya." kata Cian Bu dengan girang
mendengar ucapan nenek itu.
Lo Nikouw menqangkat muka memandang kepada Cian Bu. Sepasang matanya mencorong
ketika ia mengamati pria itu penuh selidik, lalu ia bertanya. "Siapa orang ini?"
Thian Ki yang menjawab cepat. "Nenek, dia adalah guruku, juga ayahtu!."
Kini pandang mata nenek itu terbelalak dan ketika ia menoleh ke arah puterinya yang tadi
merasa canggung untuk menjawab. "Ayahmu......? Apa artinya ini?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kini Lan Ci sudah dapat menenangkan hatinya dan iapun menghampiri ibunya dan berkata
dengan suara tenang. "Ibu, denqarlah baik-baik. Ketika kami pergi ke Ta-bun-cung tujuh tahun
yang lalu dan berada di markas Hek-houw-pang, di sana terjadi penyerbuan.........musuh-musuh
Hek-houw-pang. Tentu saja kami membela dan dalam pertempuran itu, Coa Siang Lee tewas, di
samping ketua Hek houw-pang dan banyak tokohnya. Pihak musuh amat kuatnya. Aku sendiri
bersama Thian Ki tertawan musuh dan tentu kami berdua akan celaka atau setidaknya akan
menderita kesengsaraan kalau saja kami tidak ditolong oleh...........dia yang kemudian menjadi
suamiku!
Dia sendiri......seluruh keluarganya, isterinya, semua juga tewas di tangan pasukan pemerintah,
dia sendirian, dan aku........kemudian kami menikah."
Lo Nikouw mengerutkan alisnya. Yang membuat ia tidak suka bukan karena puterinya menikah
dengan laki-laki tinggi besar bermuka merah ini. Baginya, tidak perduli ia siapa yang menjadi suami
Lan Ci. Akan tetapi ia tidak senang mendengar bahwa Thian Ki menjadi murid pria ini!
"Tidak perduli dia menjadi suamimu, akan tetapi bagaimana dia berani lancang menjadi guru
Thian Ki? Harus pin-ni lihat dulu apakah pantas dia menjadi guru cucuku!" Berkata demikian nenek
itu melepaskan Thian Ki dan sekali kakinya bergerak, seperti memakai sepatu roda saja dengan
ringan ia telah bergeser ke depan Cian Bu dan tangannya sudah mencabut kebutannya. "Sambutlah
ini.!" Tangannya bergerak, terdengar suaara angin menyambar bersiut dan nampak sinar putih
bergulung-gulung ketika kebutan berbulu putih itu menyambar ke arah tubuh Cian Bu dan ujungnya
telah mematuk-matuk, merupakan totokan totokan yang amat cepat dan kuat sehingga berbahaya
sekali bagi yang diserang.
Sim Lan Ci terkejut bukan main, akan tetapi ia percaya sepenuhnya kepada suaminya. Dia tahu
bahwa tingkat kepandaian suaminya tidak kalah dibandingkan ibunya, dan ia sudah menceritakan
kepada suaminya tentang keadaan ibunya, tentang ilmu-ilmu yang mengandung racun berbahaya
sehingga suaminya tentu akan berhati-hati dan mampu menjaga diri. Dan ia percaya pula bahwa
suaminya tentu tidak akan mencelakai ibunya. Sementara itu, Thian Ki dan Kui Eng hanya
menonton. Akan tetapi, kalau Thian Ki hanya bingung melihat ayahnya dan neneknya bertanding,
Kui Eng berdiri dengan muka berubah pucat dan bukan dua orang yang bertanding itu yang
dipandang, melainkan pandang matanya bergantian menatap wajah Sim Lan Ci dan Thian Ki. Ketika
ibu kandungnya tewas di tangan pasukan yang mengeroyok, ia masih terlalu kecil untuk
mengingatnya. Yang diingatnya adalah bahwa ibunya adalah Sim Lan Ci, ayahnya adalah Cian Bu
dan Thian Ki adalah kakaknya. Itu saja. Akan tetapi percakapan tadi membuat ia pusing tujuh
keliling! Agaknya ayahnya bertemu dengan ibunya setelah ibunya menjadi janda dan telah
mempunyai anak, yaitu Thian Ki. Dan seperti yang didengarnya tadi, ayahnya juga kematian
isterinya. Lalu ia sendiri siapa? Anak siapa? Ia anak bawaan ibunya ataukah bawaan ayahnya?
Membayangkan bahwa ia hanya anak tiri dari satu di antara kedua orang itu, ingin ia menjerit-jerit
dan wajahnya menjadi pucat.
Sambaran kebutan ke arah jalan darah di tubuh Cian Bu dapat dielakkan dengan loncatan
belakang. Akan tetapi agaknya nenek itu masih belum puas, ia meloncat ke depan, menyerang lagi
dan kini lebih hebat serangannya. Suara kebutannya sampai mencicit mengerikan ketika bulu-bulu
kebutan itu meluncur dengan cepat sekali.
Cian Bu maklum bahwa nenek itu hanya menguji. Akan tetapi ujian yang dilakukan seorang
bekas datuk sesat seperti Ban-tok Mo-li ini bukan sembarangan ujian. Kalau dia tidak hati-hati, bisa
saja ujian itu berakhir dengan kematiannya. Dia dapat menduga pula bahwa ujung bulu-bulu
kebutan itu tentulah mengandung racun. Maka, untuk mengakhiri ujian itu, dia harus
memperlihatkan kepandaiannya. Diam diam dia mengerahkan sin-kang dan membuat telapak
tangannya panas seperti api membara dan ketika kebutan menyambar lewat karena dia mengelak,
dia cepat menangkap ujung kebutan itu dengan tangan.
"Plakk!" Ujung kebutan dapat ditangkap. Lo Nikouw menarik kebutannya dan Cian Bu
mempertahankan. Sejenak tarik-menarik. Lo Nikouw tersenyum karena mengira bahwa lawannya
tentu akan keacunan ketika telapak tangannya mencengkeram dan menggenggam bulu-bulu
kebutannya. Akan tetapi ia terbelalak karena ujung kebutan itu mengeluarkan asap dan iapun
hampir terjengkang karena bulu kebutannya tiba-tiba putus dan ujungnya hangus seperti terbakar
dalam genggaman tangan lawan. Cian bu membersihkan telapak tangannya yang penuh abu hitam,
lalu mengangkat kedua tangan di depan dada.
"Ilmu kepandaian lo-cian-pwe Ban-tok Mo-li memang hebat sekali. Saya mengaku kalah." Kalau
Cian Bu bersikap hormat dan mengalah, hal ini semata-mata karena cintanya kepada Lan Ci, karena
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dia berhadapan dengan ibu kandung isterinya tercinta itu. Andaikata tidak demikian, tentu dia akan
bersikap bahkan bertindak lain. Dahulu dia merupakan seorang pangeran yang angkuh dan tinggi
hati!
Wajah Lo Nikouw berubah kemerahan, akan tapi hatinya mulai suka melihat pria yang lihai itu
merendahkan diri dan bersikap hormat kepadanya. Ini merupakan seorang mantu yang hebat,
pikirnya, dan sungguh tidak mengecewakan mempunyai seorang mantu yang tingkat
kepandaiannya tidak kalah olehnya.! Jauh lebih hebat dari pada Coa Siang Lee yang dipandangnya
rendah.
"Omitohud.......siapakah engkau sebenarnya?"
Sim Lan Ci yang merasa girang melihat suaminya mampu membuat ibunya tunduk, mendahului
suaminya dengan suara bangga, "Ibu, namanya Cian Bu, dahulu dia bernama Pangeran Cian Bu
Ong!"
Nenek itu membelalakkan matanya. "Omitohud,.........kiranya Pangeran Cian Bu Ong yang
terkenal itu! Ah, pin-ni sudah sejak dahulu mendengar nama besar pangeran!"
Cian Bu membungkuk. "Harap ibu jangan terlalu memuji. Sekarang saya bukan pangeran lagi,
melainkan orang biasa yanq bernama Cian Bu." Mendengar bekas pangeran itu menyebutnya ibu
tanpa ragu-ragu lagi, hati nenek ini menjadi semakin senang dan bangga. Seorang pangeran,
biarpun hanya bekas, menyebutnya ibu!
"Hemm, kiranya suamimu seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, Lan Ci," katanya dan
suaranya terhadap puterinya kini lembut ramah. "Baik sekali kalau Thian Ki menjadi muridnya. Akan
tetapi sudah ada dia sebagai gurunya kenapa kalian bawa lagi Thian Ki kepada pin-ni?"
"Ibu, kami amat khawatir terhadap keadaan Thian Ki. Kalau dia mengerahkan sedikit saja
tenaga, maka tubuhnya mengandung racun yang mematikan. Kalau hal ini dibiarkan, bisa suatu
saat tanpa disengaja dia akan membunuh aku, adiknya atau siapa saja," kata Lan Ci.
"Kami tidak tahu bagaimana harus mengajarnya agar dia dapat menguasai dan mengendalikan
hawa beracun itu, apa lagi melenyapkannya. Saya sendiri tidak berani coba-coba, takut kalau-kalau
keliru bahkan membahayakan nyawanya sendiri.! Oleh karena itu, tidak ada lain jalan bagi kami
kecuali membawanya ke sini," kata Cian Bu.
Nenek itu tersenyum lebar."Omitohud, akhirnya cucuku dikembalikan juga kepada pin-ni. Baik,
pin-ni akan membimbingnya agar dia dapat menguasai dirinya, dapat mengendalikan hawa beracun
itu, dengan syarat bahwa dia harus ditinggalkan sendiri di sini bersama pin-ni untuk waktu satu
sampai dua tahun! Tinggalkan dia di sini, setelah selesai pelajarannya, kelak pin-ni akan
mengantarkan dia pulang ke rumah kalian."
Suami isteri itu saling pandang, kemudian Cian Bu bertanya kepada Thian Ki. "Thian Ki,
bagimana pendapatmu? Maukah engkau kami tinggalkan di sini seperti yang dikehendaki
nenekmu?" Thian Ki mengangguk. "Tentu saja aku mau, ayah. Aku ingin terbebas dari siksaan
ini."
"Nenek, akupun ingin dijadikan tok-li (perempuan beracun)! Jadikan aku anak beracun seperti
toako!" Tiba-tiba Kui Eng berlari mendekati nenek itu dan memegang tangannya.
Lo Nikouw memandang anak perempuan itu. "Hemm, inikah anakmu dengan suamimu yang
sekarang, Lan Ci?" Lalu ia mengerutkan alisnya. "Tapi, kalian baru menikah tujuh tahun dan anak
ini sedikitnya berusia sepuluh tahun."
"Nek, usiaku sudah sebelas tahun. Aku pasti bukan anak mereka, entah anak siapa aku ini," kata
Kui Eng dan tiba-tiba saja ia menangis seperti air yang membanjir karena tanggulnya bobol.
"Kui Eng. jangan bicara tidak karuan.!" bentak Cian Bu. "Engkau masih kecil ketika ibu
kandungmu terbunuh, dan sejak itu engkau menjadi anak ibumu yang sekarang. Apakah ibumu ini
kurang menyayangmu?"
Kui Eng menoleh ke arah ibunya dan melihat betapa Sim Lan Ci memandangnya dengan sinar
mata sedih, iapun lari menghampiri dan merangkul ibunya. Ibu dan anak itu saling berangkulan
karena terasa benar dalam hati mereka betapa mereka sejak dahulu saling mencinta.
"Omitohud......, dua orang dengan anak masing masing telah menjadi satu keluarga yang rukun
dan saling menyayang. Pin-ni ikut merasa girang. Dan seperti yang pin-ni katakan tadi tinggalkan
Thian Ki di sini dan kalau sudah selesai pelajarannya, pin-ni akan antarkan dia pulang."
"Aku ikut kakak Thian Ki!" Kui Eng merengek kepada ibunya.
"Tidak, Kui Eng. Kalau engkau tinggal pula di sini, lalu bagaimana ayah dan ibumu.? Tentu akan
amat kesepian di rumah."
"Aku ingin ikut toako!" anak perempuan itu membantah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kui Eng, engkau bukan anak kecil lagi! Engkau telah menjadi seorang gadis cilik dan
pelajaranmu belum selesai. Masih banyak yang harus kaupelajari dariku. Pula, tidak baik seorang
gadis hidup menyendiri jauh orang tua," kata ayahnya.
"Ayah, aku tidak menyendiri, akan tetapi bersama kakakku! Apa salahnya?" "Hemm, engkau
sudah hampir dewasa, tentu engkau tahu bahwa biarpun kalian saling menyayang sebagai kakak
dan adik, akan tetapi tidak ada hubungan darah di antara kalian. Baqairaana akan kata orang kalau
tahu akan hal itu? Engkau harus pulang bersama kami. Kakakmu tinggal di sini untuk mempelajari
ilmu mengendalikan racun, berarti sama dengan berobat agar dia dapat hidup normal."
Diingatkan demikian, Kui Eng memandang pada Thian Ki dan sekarang pandangannya berubah.!
Thian Ki bukan kakaknya! Bahkan kakak tiripun bukan, berlainan ayah berlainan ibu. Orang lain!
"Eng-moi (adik Eng), kau pulanglah bersama ayah dan ibu. Kelak akupun akan pulang setelah
latihanku di sini selesai," kata Thian Ki membantu ayah ibunya membujuk.
Kui Eng cemberut dan tidak menangis lagi. Ia membanting kakinya ketika bangkit berdiri.
"Baiklah, baiklah! Engkau tidak senang kalau aku ikut denganmu, ya? Aku memang bukan adikmu,
bukan apa-apa........."
"Kui Eng, bagaimanapun juga, Thian Ki adalah suhengmu!" ayahnya memperingatkan. Setelah
dibujuk-bujuk dan dihibur-hibur barulah Kui Eng mengalah. Keluarga itu tinggal di kuil Thian-hotang
selama tiga hari dan kesempatan itu dipergunakan oleh Lan Ci untuk menjual rumah dan
tanahnya, mengangkut prabot rumah yang dikehendaki ibunya ke kuil itu. Ketika suami isteri itu
dan Kui Eng hendak pergi meninggalkan kuil dan pulang, Lan Ci dan Cian Bu meninggalkan uang
yang cukup untuk keperluan Lo Nikouw dan Thian Ki yang akan tinggal di situ selama kurang lebih
dua tahun. Kemudian mereka bertiga berangkat pergi, diantar oleh Lo Nikouw dan Thian Ki sampai
di kaki bukit.
ooo0000ooo
Dari puterinya, Lo Nikouw sudah mendengar semua tentang pengalaman puterinya dan cucunya
semenjak meninggalkan dusun Mo-kin-cung. Ia juga sudah mendengar betapa cucunya membunuh
beberapa orang tanpa disengaja, karena racun di tubuhnya bekerja ketika orang-orang itu
menyerangnya.
Setelah tiba di rumah, ia memeriksa tubuh cucunya, bukan saja memeriksa jalan darah,
menggigit sedikit rambut kepalanya, juga mengeluarkan sedikit darah dengan tusukan jarum.
Setelah memeriksa, ia mengangguk-angguk.
"Bagus, engkau telah benar-benar menjadi seorang tok-tong. Ayah ibumu memberi juluk Tokliong
(Naga Beracun), memang tepat sekali. Kalau engkau kelak memiliki kepandaian tinggi, engkau
menjadi gagah perkasa seperti seekor naga, dan engkau menjadi semakin hebat karena naga itu
beracun.! Akan terkabul idaman hatiku, terkabul pula cita-cita ayahmu Cian Bu yang gagah perkasa
itu, karena engkau akan menjadi seorang gagah yang tidak terkalahkan!"
"Akan tetapi aku tidak ingin membunuh orang, nek.! Lebih baik bersihkan saja tubuhku dari
racun itu. Singkirkan semua hawa beracun karena aku tidak suka menjadi tok-tong, tidak suka jadi
naga beracun." Dia menatap wajah neneknya dan melanjutkan, "Aku tidak suka menjadi seorang
jahat, nek. Apakah nenek yang telah menjadi pendeta ini menghendaki aku kelak menjadi seorang
pembunuh yang jahat?"
"Omitohud......tentu saja tidak, Thian Ki. Dahulu di waktu muda, memang pin-ni seorang
pembunuh yang tiada duanya lagi, heh-heh. Pin-ni dijuluki Ban-tok Mo-li dan tidak ada seorangpun
tokoh kangouw yang tidak mengenal nama pin-ni! Akan tetapi, pin-ni juga sudah merasakan
akibatnya. Perbuatan jahat, lambat atau cepat, pasti akan menghasilkan buahnya yang teramat
pahit. Pin-ni telah menyadari semua itu, pin-ni telah bertobat dan mohon ampun dari Yang Maha
Pengampun. Kalau pin-ni sengaja membuat tubuhmu menjadi beracun, hal itu pin-ni lakukan bukan
dengan maksud agar engkau menjadi jahat, melainkan agar engkau menjadi seorang pendekar
yang tak terkalahkan. Di dunia ini terdapat banyak sekali orang jahat yang pandai dan amat
berbahaya, Thian Ki."
"Aih, nenekku yang baik. Hampir aku tidak percaya bahwa engkau dahulu adalah seorang datuk
sesat yang berjuluk Ban-tok Mo-li! Jahat sekalikah engkau ketika muda, nek?"
"Omitohud, semoga Tuhan mengampuniku. Bukan jahat lagi, cucuku. Lebih daripada yang jahat.
Tidak ada kejahatan yang tidak pernah kulakukan!
Thian Ki menghela napas panjang dan menggelengkan kepalanya. Tentu saja sukar baginya
membayangkan neneknya yang kini demikian penuh kelembutan dan keramahan, pernah menjadi
seorang iblis betina yang kejam. Bukankah ayah dan ibunya dahulu juga mendidiknya menjadi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
orang yang baik dan menjauhi kekerasan? Baru setelah ibunya menikah dengan ayah tirinya yang
sekarang ini dia mengenal ilmu silat di bawah gemblengan ayah tirinya.
"Nek, kalau nenek dahulu menjadi tokoh sesat, kalau begitu.......tentu musuh nenek terdiri dari
para pendekar dan tokoh persilatan yang baik? Begitukah?"
"Omitohud........tentu saja........ tentu saja begitu. Kalau pin-ni dulu jahat, tentu saja musuhmusuh
pin-ni adalah tokoh tokoh yang baik. Itu sudah sewajarnya, bukan? Akan tetapi pin-ni dulu,
tidak mengenal apa itu baik atau buruk. Pendeknya siapa saja yang tidak sependapat dengan pinni,
tentu menjadi musuh pin-ni tidak perduli dia itu pendekar budiman ataukah perampok jahat!
Musuh pin-ni sudah tak terhitung banyaknya. Terima kasih Tuhan bahwa pin-ni sekarang telah
menjadi nikouw, sehingga tidak ada bekas musuh yang masih ingat dan mengenal pin-ni, sudahlah.
Thian Ki. Pendeknya, engkau tidak boleh menjadi orang jahat. Engkau harus menjadi seorang
pendekar yang tak terkalahkan, menjadi jagoan nomor satu yang selain menjunjung tinggi nama
keluarga, juga dengan perbuatan gagah dan benar akan dapat sedikitnya mengurangi kekotoran
yang menempel pada nama nenekmu ini. Nah, sekarang engkau harus bekerja keras, berlatih untuk
dapat menguasai hawa beracun yang berada di dalam tubuhmu."
"Akan tetapi, nek. Kalau mungkin, aku ingin sekali agar aku tidak lagi menjadi tok-tong, agar
darahku tidak beracun, agar hawa beracun yang berada dalam tubuhku lenyap, karena aku tidak
ingin orang lain menjadi korban karena racun yang berada dalam tubuhku."
Nenek itu menghela napas panjang dan menggelengkan kepala. "Omitohud, dengan susah
payah pin-ni membuat engkau menjadi tok-tong dengan maksud agar engkau menjadi jagoan
nomor satu di dunia, menjadi seorang pendekar tak terkalahkan, dan engkau minta agar engkau
pulih kembali menjadi anak biasa? Tidak mungkin, Thian Ki, kecuali kalau ada sedikitnya sepuluh
orang yang menyedot racun itu dari tubuhmu. Akan tetapi itu berarti bahwa engkau akan
mengorbankan nyawa sepuluh orang."
"Aku tidak mau kalau begitu, nek! Lebih baik racun itu membunuhku dari pada harus membunuh
sepuluh orang!"
"Akupun tidak menghendaki demikian, cucuku. Oleh karena itu, aku akan mengajarkan cara
agar engkau menguasai racun itu di tubuhmu, sehingga engkau dapat membuat racun itu
mengendap dan tidak membahayakan orang lain. Setelah engkau dapat menguasainya, racun itu
baru bekerja setelah engkau mengerahkan tenagamu. Akan tetapi engkau tidak boleh menikah,
Thian Ki, karena setiap kali engkau menikah, isterimu itu akan mati keracunan dan merupakan
orang pertama yang akan menyedot racun dari tubuhmu."
"Nek, apakah tidak ada jalan lain untuk membebaskan aku dari racun ini?"
"Hanya dengan bantuan orang yang sakti, cucuku. Yang memiliki sin-kang yang sudah
sempurna bahkan yang lebih kuat daripada ayah tirimu yang tangguh itu. Dan di dunia ini, orang
seperti yang kumaksudkan itu jarang dapat dijumpai. Seingatku hanya ada dua orang saja yang
mungkin sekali dapat membantumu. Mereka adalah Pek I Tojin, tosu pertapa dari Thaisan dan ke
dua adalah Hek Bin Hwesio, hwesio perantau di pegunungan Himalaya. Akan tetapi, siapa yang
dapat mencari dua orang sakti seperti itu? Mereka seperti dewa dan andaikata dapat jumpa
sekalipun, belum tentu mereka mau mencampuri urusan dunia."
"Wah, susah benar kalau begitu mencari mereka, nek. Akan tetapi kelak aku akan mencari
mereka. Apakah mereka tidak mempunyai murid-murid yang sekiranya telah mewarisi ilmu-ilmu
mereka, nek?"
"Setahuku, murid paling baik dan terkenal dari Pek I Tojin adalah Huangho Sin-liong (Naga Sakti
Sungai Kuning) Si Han Beng. sedangkan murid terbaik dari Hek Bin Hwesio adalah isteri pendekar
itu, yang bernama Bu Giok Cu. Nama suami isteri ini terkenal sekali, terutama di sepanjang lembah
sungai Huang-ho. Dan mereka tinggal pula di tepi sungai Huang-ho, di sebuah dusun yang disebut
Hong-cun. Akan tetapi, pin-ni tidak yakin apakah mereka berdua itu akan dapat menolongmu, atau
akan mau melakukannya. Pin-ni kira hanya Pek I Tojin atau Hek Bin Hwesio saja yang akan mampu
melakukannya."
Diam-diam Thian Ki mencatat nama orang-orang yang disebut oleh neneknya. Mulai hari itu
diapun berlatih dengan tekun di bawah bimbingan neneknya, berlatih untuk menguasai hawa
beracun yang menguasai tubuhnya. Setelah berlatih yang sebagian besar adalah latihan samadhi
dan pernapasan, barulah Thian Ki mengerti mengapa neneknya minta dia tinggal satu dua tahun di
situ. Ternyata latihan menguasai hawa beracun itu tidaklah mudah.! Dan salah sedikit saja akan
membahayakan dirinya sendiri. Racun di tubuhnya itu akan dapat mendatangkan akibat sampingan
yang hebat, seperti rusaknya jantungnya atau bahkan rusaknya isi kepalanya. Dia dapat menjadi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
gila, lemah atau bahkan tewas. Hawa beracun yang berada di tubuhnya, bahkan yang sudah
mengalir di darahnya, yang membuat rambut dan kukunya, bahkan ludahnya, mengandung racun
yang dapat mematikan orang lain, bagaikan ular berbisa yang liar dan yang tidak dapat keluar dari
tubuhnya. Karena neneknya tidak mampu mengeluarkan racun itu, maka ular liar itu harus dapat
ditundukkan dan dijinakkan, sehingga biarpun berada di dalam tubuhnya, namun dia dapat
mengatur agar kalau tidak diperlukan, ular liar berupa racun itu dapat "tidur" di dalam pusarnya.
Thian Ki yang ingin membuat dirinya tidak "berbahaya" seperti yang sudah, berlatih dengan
tekun sekali, sehingga lewat satu setengah tahun dia sudah berhasil dan mampu menguasai hawa
beracun di dalam tubuhnya. Hawa beracun itu sudah jinak dan berdiam di pusarnya. Dalam
keadaan hawa itu tertidur, dia dapat melakukan apa saja tanpa mengusik hawa beracun itu, kecuali
tentu saja menggunakan sin-kang. Kalau dia mengerahkan tenaga dalam, maka otomatis hawa
beracun tidur itu akan bangkit dan menerobos keluar melalui gerakannya yang mengandung tenaga
dalam, tentu saja akibatnya akan membahayakan nyawa lawan. Kalau dia mengerahkan tenaga sinkang
untuk menggugah hawa beracun itu, maka hawa beracun itu akan menyebar di seluruh
tubuhnya dan jangankan pukulannya, baru rambut, kuku, dan ludahnya saja mengandung racun
yang cukup untuk membunuh orang. Sekali gores dengan kukunya saja, kalau kulit orang terluka
dan berdarah, maka racun dari kukunya akan membunuh orang itu.
"Sudah cukup, cucuku," nenek itu terkekeh gembira. "Omitohud......betapa senangnya hatiku.
Engkau memang berbakat sekali, Thian Ki. Belum dua tahun engkau telah mampu menguasai
hawa beracun di tubuhmu. Engkau sekarang baru tepat berjuluk Tok-liong (Naga Beracun). Besok
kuantar engkau pulang, aku ingin mengunjungi ibumu dan mantuku yang gagah perkasa."
Tentu saja Thian Ki juga girang mendengar ini. Dia sudah merasa rindu kepada ibunya, kepada
ayah tirinya dan terutama kepada Cian Kui Eng.
"Aku juga senang sekali, nek dan terima kasih atas bimbinganmu. Aku senang sekali bahwa kini
aku tidak takut lagi bergaul dengan sumoi, dan tidak takut pula untuk melayaninya berlatih silat."
Nikouw tua itu mengangguk-angguk dan merangkap kedua tangan di depan dada, menarik
napas panjang dan matanya dipejamkan, mukanya ditengeadahkan. "Omitohud, semoga Sang
Buddha akan memberi bimbingan kepada cucuku sehingga kelak dia akan dapat mencuci bersih
nama neneknya.Thian Ki, ingat! Jangan sekali-kali engkau mempergunakan hawa beracun di
tubuhmu untuk perbuatan jahat! Biarpun tubuhmu beracun, namun hatimu haruslah bersih dari
pada segala kejahatan."
"Aku mengerti, nek."
Nenek dan cucunya ini berkemas, siap untuk berangkat besok pagi-pagi meninggalkan Mo-kincung
menuju ke tempat tinggal Cian Bu Ong atau sekarang sekarang kita kenal dengan nama baru,
yaitu Cian Bu yang tinggal sebagai hartawan, dermawan dan kepala dusun Ke-cung di kaki Bukit
Emas.
Sore hari itu Thian Ki membantu neneknya membersihkan kuil. Nenek itu ingin agar kuil itu
bersih sebelum ditinggalkan, karena selama beberapa hari kuil itu akan ditinggalkan dan tidak ada
yang akan membersihkannya. Selagi mereka asyik membersihkan kuil, tiba-tiba mereka mendengar
suara banyak orang di luar kuil.
"Omitohud, siapa yang berkunjung ke kuil sore-sore begini?" kata Lo Nikouw lirih. Ia hamper
tidak pernah kedatangan tamu kecuali orang-orang dusun yang datang untuk minta obat atau
minta berkah atau mau sembahyang.
Akan tetapi, pada saat itu, terdengar teriakan dari luar yang amat mengejutkan hati Thian Ki.
"Iblis betina, keluarlah untuk menerima hukuman.!"
Dengan mata terbelalak Thian Ki memandang kepada neneknya. Nikouw tua itupun terkejut,
namun sikapnya tenang saja, bahkan bibirnya tersenyum. "Omitohud, agaknya serapat-rapatnya
bungkusan barang busuk, akhirnya akan tercium juga baunya. Thian Ki, engkau tinggallah saja di
sini dan jangan keluar, biar pin-ni yang menghadapi mereka. Ingat, apapun yang terjadi, engkau
harus pulang ke rumah orang tuamu. Mengerti?"
Dengan jantung masih berdebar tegang Thian Ki mengangguk. Nenek itupun melangkah keluar
dan sikapnya sungguh tenang, senyumnya tak pernah meninggalkan wajahnya yang nampak jauh
lebih muda daripada usia sebenarnya. Nenek berusia enampuluh enam tahun itu nampak seperti
berusia empat puluh tahun saja,dan kepalanya yang gundul itu nampak kulitnya putih bersih dan
mengkilap. Dahulu, ketika ia masih muda dan bernama Phang Bi Cu berjuluk Ban-tok Mo-li (Iblis
Betina Selaksa Racun), selain tubuhnya beracun dan ia memiliki banyak macam pukulan beracun,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
juga ia selalu membawa kipas dan kebutan yang menyembunyikan pedang. Akan tetapi sekarang,
semenjak menjadi nikouw, ia tidak pernah lagi membawa senjata apapun.
Dengan jantung berdebar tegang, Thian Ki cepat menyelinap ke depan dan dia mengintai dari
balik jendela depan. Dia melihat neneknya keluar dengan langkah tenang dan wajah berseri, dan
dengan hati khawatir dia melihat bahwa di luar telah berdiri sepuluh orang laki-laki yang rata-rata
nampak gagah dan marah. Mereka terdiri dari orang-orang yang usianya empatpuluh tahun ke
atas, ada yang berpakaian seperti seorang tosu ada pula hwesio dan ada yang berpakaian seperti
orang dari dunia persilatan. Rata-rata mereka membawa senjata.
Ketika Lo Nikouw keluar dan bertemu dengan sepuluh orang itu, mereka nampak terkejut dan
juga meragu. Akan tetapi hwesio yang bermuka merah dan usianya kurang lebih limapuluh tahun,
sudah melintangkan sebatang toya hitam di depan dada lalu memutar toya dan menancapkan toya
di depan kakinya.
"Omitohud, biar engkau sudah menyamar sebagai nikouw sekalipun tidak ada gunanya.Ban-tok
Mo-li. Kami akhirnya dapat menemukan tempat persembunyianmu dan dapat menuntut balas atas
kejahatanmu.!"
"Siancai.....! Ban-tok Mo-li sudah menumpuk dosa terlampau banyak. Biar menjadi nikouw
sampai seribu kali, bagaimana mungkin dapat mencuci bersih dosa-dosanya?" kata tosu yang
usianya juga sekitar limapuluh tahun.
Ada dua orang hwesio dan dua orang tosu di situ, mereka ini sudah siap menyerang dan sinar
mata mereka memandang penuh kebencian kepada Lo Nikouw. Adapun enam orang yang lain,
yang berpakaian sebagai orang-orang kang-ouw, juga tidak kalah galaknya. Mereka terbagi menjadi
dua golongan, masing-masing tiga orang. Yang tiga orang berpakaian serba hijau, sedangkan tiga
orang yang lain, yang mengenakan baju putih dengan celana bermacam warna, mempunyai
gambar seekor naga melingkar di dada mereka.
"Ban-tok Mo-li, kami dari Pulau Hiu datang untuk mencabut nyawamu!" kata seorang dari
mereka yang berpakaian hijau.
"Ban-tok Mo-li, lebih baik engkau menyerah kepada kami untuk kami seret ke hadapan majikan
kami di Bukit Naga!" kata seorang di antara mereka yang memakai tanda gambar naga di dada.
Menghadapi sepuluh orang yang kelihatan marah dan penuh kebencian itu, Lo Nikouw
tersenyum ramah dan sikapnya masih tetap tenang. Hal ini membuat Thian Ki yang mengintai dari
dalam merasa heran. Kalau neneknya bekas seorang datuk yang amat jahat, bagaimana mungkin
dapat bersikap sesabar dan setenang itu? Dia sendiri yang sejak kecil digembleng orang tuanya
agar tidak suka akan kekerasan, kini hampir tidak dapat menahan kemarahannya melihat dan
mendengar sikap sepuluh orang itu yang memaki-maki neneknya dan mengancam hendak
membunuhnya.
"Omitohud, kalau kalian berenam haus darah, pin-ni masih dapat mengerti. Akan tetapi
mengapa dua orang hwesio dan dua orang tosu juga dapat haus darah seperti kalian berempat?"
tanyanya sambil memandang kepada empat orang pendeta itu.
"Ban-tok Mo-li, ketahuilah bahwa pin-to berdua adalah tokoh-tokoh dari Kun-lun-pai yang
datang untuk membasmimu," kata seorang tosu.
"Omitohud, biarpun kepalamu gundul dan engkau mengenakan jubah nikouw, tidak akan dapat
mengelabui pin-ceng berdua. Pinceng adalah murid Siauw-lim-pai dari daerah selatan. Mendengar
akan kejahatanmu, pin-ceng merasa berkewajiban untuk ikut membasmi."
Lo Nikouw tersenyum. "Hemm, kalian berempat bukanlah pendeta-pendeta yang baik.! Kalian
hanya budak-budak nafsu amarah dan dendam kebencian seperti yang lain, sehingga percuma saja
kalian mengenakan jubah pendeta. Ketahuilah oleh kalian bersama bahwa Ban-tok Mo-li sudah
tidak ada lagi, sudah mati. Pin-ni adalah Lo Nikouw."
"Ha-ha-ha. Ban-tok Mo-li, engkau seperti seekor harimau yang mengenakan bulu domba.! Kami
sudah menyelidiki dan yakin bahwa engkau adalah Ban-tok Mo-li. Apakah engkau yang dahulu
terkenal jahat dan keji, sekarang telah berubah menjadi seorang pengecut yang tidak berani
mempertanggung-jawabkan semua perbuatannya?"
"Omitohud..... " Lo Nikouw merangkap kedua lengan di depan dada, memejamkan kedua
matanya. "Ban-tok Mo-li Phang Bi Cu sudah lama mati. Pin-ni adalah Lo Nikouw dan kalau kematian
pin-ni dapat meringankan dosa Ban tok Mo-li, pin-ni siap untuk berkorban," setelah berkata
demikian, Nikouw tua itu lalu duduk bersila di atas tanah pekarangan kuil itu dengan kedua tangan
masih dirangkap di depan dada, tubuh tegak dan mata terpejam seperti sebuah arca.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sepuluh orang itu kini mengepung dan mereka sudah mencabut senjata masing-masing. Thian
Ki yang mengintai di dalam, terbelalak dan mukanya berubah pucat. Apa yang harus dia lakukan?
Membela neneknya? Bukankah neneknya telah menceritakan bahwa neneknya dahulu seorang yang
teramat jahat, yang telah membunuh banyak orang tak berdosa, yang telah melakukan kejahatan
apapun saja. Dan kalau sepuluh orang itu datang membalas dendam atau menghukum
kejahatannya, perlukah neneknya dibela? Ibunya berulang kali mengatakan bahwa membela orang
jahat sama saja dengan membela kejahatannya dan menjadi penjahat pula! Dan tanpa
menggunakan hawa beracun di tubuhnya, diapun belum tentu akan mampu melawan dan
menandingi orang itu. Menggunakan hawa beracun berarti membunuh mereka! Tidak, dia tidak
mau menjadi pembunuh, apalagi sepuluh orang yang memusuhi neneknya itu tentu saja orangorang
dari golongan bersih yang menentang neneknya sebagai sumber kejahatan. Tidak, dia tidak
boleh membela. Akan tetapi, neneknya seorang sakti, tidak munqkin dapat dibunuh begitu saja!
Biarpun kelihatan duduk bersila dan memejamkan mata, dia tahu benar bahwa sekali neneknya
bergerak, tentu akan ada lawan yang roboh dan tewas keracunan!
Demikianlah pula pendapat sepuluh orang itu. Mereka adalah orang-orang kang-ouw yang sudah
berpengalaman dan rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi. Di antara mereka ada yang pernah
mengenal Ban-tok Mo-li dan tahu benar akan kelihaian iblis betina itu, dan yang belum pernah
bertemu juga sudah banyak mendengar akan kelihaian Iblis Betina Selaksa Racun ini. Maka, mereka
tidak berani turun tangan dengan lancang.
"Hati-hati, kalau ia menyebar racun, kita dapat celaka semua." kata seorang di antara mereka.
Sampai lama, sepuluh orang itu hanya melangkah dengan hati-hati, mengelilingi Lo Nikouw yang
masih duduk bersila tak bergerak sedikitpun. Wajahnya masih cerah dihias senyum dan ia nampak
sabar dan tenang, sedikitpun tidak nampak bayangan rasa takut di wajahnya.
Setelah belasan kali mengelilingi nikouw itu dan tidak ada reaksi apapun, timbul keberanian di
hati seorang di antara anak buah Pulau Hiu. Dia seorang laki-laki berusia empatpuluh tahun yang
bertubuh tinggi besar dan nampak kokoh kuat, di tangannya nampak sebatang tombak pengait
yang biasa dipergunakan nelayan untuk menangkap ikan besar.
"Biar kucoba dulu dengan ini, baru kita semua turun tangan," katanya sambil mengangkat
tombaknya ke atas kepala. Semua orang memandang dan mengangguk, yang berada di bagian
belakang Lo Nikouw segera lari ke samping agar tidak menjadi sasaran tombak berkait. Anak buah
Pulau Hiu itu lalu mengerahkan tenaganya dan dari jarak tidak lebih dari enam meter dia
melontarkan tombaknya ke arah dada Lo Nikouw.!
Biasanya, kalau dia menombak ikan besar, jarak antara dia dan sasarannya sampai belasan
meter, dan tombak itu gagangnya diikat dengan tali pula. Sekarang, jaraknya hanya enam meter
dan tidak ada tali, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya luncuran tombak yang dilontarkannya.
"Singgg........cappppp......!" Tombak itu menancap dan menembus dada Lo Nikouw.!
"Omitohud........!" Dari mulut Lo Nikouw keluar seruan lemah dan tubuhnya yang bersila
terjengkang, akan tetapi tidak terus telentang karena tubuh itu tertahan ujung tombak yang sompai
menembus punggungnya!
Melihat ini, sembilan orang yang lain tercengang, akan tetapi juga timbul keberanian di hati
mereka dan sembilan macam senjata turun bagaikan hujan menimpa tubuh yang sudah sekarat itu.
Dalam sekejap mata, tubuh Lo Nikouw yang sama sekali tidak melawan itu telah menjadi onggokan
daging dan tulang yang berlepotan darah.! Lehernya putus dan kepalanya menggelinding tak jauh
dari onggokan daging itu. Lo Nikouw tewas tercincang tanpa melakukan perlawanan sedikitpun
juga.
Thian Ki terbelalak dan tak dapat bertahan lagi. Dia mengeluh dan terkulai pingsan di belakang
jendela. Dia tidak tahu betapa sepuluh orang kangouw itu memasuki kuil, mencari-cari dan melihat
dia terkulai pingsan, mereka tidak mengganggunya. Juga kuil itu tidak dirusak. Agaknya mereka
mencari kalau-kalau terdapat teman atau anak buah Ban-tok Mo-li yang kini menjadi Lo Nikouw itu.
Akan tetapi mereka tidak menemukan siapapun kecuali seorang anak laki-laki yang pingsan. Mereka
lalu pergi dengan hati bertanya-tanya dan mulai merasa ragu dan menyesal. Benarkah yang mereka
bunuh tadi Ban-tok Mo-li? Bagaimana kalau nikouw itu bukan Ban-tok Mo-li melainkan seorang
pendeta wanita yang lemah dan suci? Meremang bulu tengkuk mereka kalau mereka
membayangkan kemungkinan ini.!
Senja telah lewat dan malam mulai tiba ketika Thian Ki siuman dari pingsannya. Begitu siuman,
dia teringat akan peristiwa tadi. Bukan mimpi, pikirnya dan dia tidak sedang tidur. Dia menggeletak
di atas lantai di balik jendela.! Dia cepat melompat berdiri dan melihat keluar remang-remang di
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
luar, hampir gelap, akan tetapi ia masih dapat melihat onggokan daging dan kepala neneknya tak
jauh dari situ!
"Nenek.......!" Dia berteriak dan melompat keluar dari jendela, lari ke pekarangan.
"Nenek.......!" Dia berteriak lagi dan menubruk kepala itu, kepala neneknya yang matanya masih
terpejam dan mulutnya masih tersenyum! Dia mengambll kepala itu memegang dengan kedua
tangan, dilihatnya baik-baik. Kepala neneknya! Dengan leher putus dan berlepotan darah.
Neneknya.!
"Nenek.........!" Dia mendekap kepala itu dan menangis, membawa kepala itu ke depan
onggokan daging bekas tubuh neneknya, mendekap kepala sambil berlutut dan menangis terisakisak.
Terbayang semua peristiwa tadi, betapa neneknya dihujani senjata, dicincang tanpa melawan
sedikitpun. Dia tidak perduli akan dinginnya hawa malam yang mulai tiba bersama semilirnya angin
dan munculnya bintang-bintang di langit. Dia berlutut sambil menangis dan setelah lebih dari sejam
menangis sehingga air matanya kering, dia masih berlutut mendekap kepala neneknya dan
termenung teringat akan kehidupan bersama neneknya selama satu setengah tahun ini. Dan
teringatlah dia akan pesan neneknya beberapa bulan yang lalu, seolah-olah neneknya sudah
mendapat firasat ia akan meninggal dunia tak lama lagi.
"Cucuku yang pin-ni sayang, engkaulah satu-satunya orang yang kucinta, Thian Ki. Dan
kepadamulah pin-ni meninggalkan pesan ini. Kalau kelak pin-ni meninggal dunia, bakarlah jasma
pin-ni menjadi abu, kemudian bagi menjadi empat abuku. Seperempat bagian kuburlah di dalam
tanah, seperempat lagi hanyutkan ke lautan, seperempat lagi taburkan dari puncak bukit biar
terbawa angin, dan yang seperempat lagi lemparkan ke unggun besar biar ditelan api lagi sampai
habis.
Ketika itu, dia merasa heran dan bertanya mengapa neneknya meninggalkan pesan seperti itu
dan apa maksudnya.
Neneknya lalu menjelaskan maksud dan pesannya itu. Ia mengatakan bahwa tubuh manusia
terdiri dari empat unsur dan ia ingin tubuhnya dikembalikan ke asalnya, yaitu kepada api, air, angin
dan tanah. Dan agar pelaksanaannya mudah, maka ia minta jenazahnya agar dibakar menjadi abu
sehingga akan mudah bagi Thian Ki mengembalikan abu itu kepada api, air, angin dan tanah.
Teringat akan pesan neneknya itu, Thian Ki menghentikan renungannya dan diapun dengan
penuh hormat dan hati-hati meletakkan kepala neneknya di atas onggokan daging. Dia masuk ke
kuil, mengambil sehelai selimut neneknya, dan kembali ke pekarangan sambil membawa obor.
Setelah menancapkan gagang obor di tanah sehingga pekarangan itu cukup terang, dia lalu
mengumpulkan onggokan dating dan tulang bersama kepala itu ke atas selimut dan dibungkusnya
baik-baik. Kemudian dia mengumpulkan kayu kering, ditumpuknya kayu-kayu kering itu menjadi
tumpukan setinggi hampir sama dengan tinggi tubuhnya, menyiramnya dengan minyak, kemudian
mengambil sebuah kotak dari kuil, memasukkan buntalan daging dan kepala ke dalam kotak dan
dibakarnyalah tumpukan kayu itu.
Thian Ki berlutut menghadap api unggun membakar sisa jenazah neneknya. Kemudian dia
duduk bersila, menanti sampai tumpukan kayu, peti dan isinya terbakar habis. Pembakaran jenazah
itu memakan waktu sampai setengah malam. Lewat tengah malam barulah api padam. Thian Ki
tetap duk bersila di pekarangan itu, di dekat tumpukan abu, sampai pagi. Dia ingin mengumpulkan
abu neneknya setelah malam lewat, karena pekerjaan itu harus dilakukan di waktu terang cuaca.
Setelah matahari pagi muncul, barulah Thian Ki mengambil sehelai selimut lain, dan mulailah dia
membongkar tumpukan abu. Mudah saja membedakan abu jenazah neneknya dengan abu kayu
dan petinya, karena abu jenazah itu lembut, putih dan berat. Dikumpulkannya abu itu dan
dibuntalnya dalam selimut dengan mata merah karena dia tidak dapat menahan keharuan hatinya.
"Nek, orang sedunia boleh menganggap nenek jahat, akan tetapi aku yakin bahwa nenek tidak
jahat atau setidaknya nenek sudah menebus semua kesesatan nenek. Mereka itulah yang jahat,
mereka yang menganggap diri mereka bersih dan baik, yang menjatuhkan hukuman kepada
mereka yang dianggap jahat, tidak memperdulikan niat baik mereka yang ingin kembali ke jalan
benar. Nek, engkau akan selalu kukenang sebagai seorang manusia baik, gagah perkasa dan
menghadapi kematian dengan senyum pasrah kepada Tuhan."
Thian Ki tidak pernah dapat melupakan senyum di wajah kepala neneknya yang terpisah dari
badannya itu. Senyum pasrah! Setelah semua abu jenazah terkumpul di selimut, diapun pergi
meninggalkan kuil, membawa buntalan pakaian dan untaian terisi abu jenazah. Dia harus
memenuhi pesan neneknya. Akan tetapi dia teringat kepada ibunya. Bagaimanapun juga dia harus
membawa abu jenazah itu kepada ibunya lebih dahulu. Kasihan ibunya yang tidak tahu akan nasib
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
neneknya. Setelah mendapat perkenan ibunya, baru dia akan memenuhi pesan neneknya. Dengan
hati penuh duka dia lalu berangkat meninggalkan tempat itu, menuju ke dusun Ke-cung.
Tentu saja kedatangan Thian Ki yang membawa cerita menyedihkan tentang kematian Lo
Nikouw disambut tangis oleh Sim Lan Ci. Wanita ini mendekap buntalan abu jenazah dan menangis
tersedu-sedu. Bagaimanapun juga, Lo Nikouw adalah ibu kandungnya.
Cian Bu yang amat mencinta isterinya. menepuk-nepuk pundak isterinya dan berkata dengan
suaranya yang tenang dan dalam. "Sudahlah, isteriku. Ibumu sudah meninggal dunia sebagai
seorang pendeta tulen, penuh kesabaran, penuh kepasrahan. Engkau sepatutnya bangga karena
ibumu, walaupun dahulu pernah menjadi datuk sesat, kini telah meninggal sebagai seorang yang
tidak lagi diperhamba nafsunya. Kita sembahyangi saja dengan khidmat, mendoakan agar
arwahnya diterima dan ampuni Tuhan, sebelum abu itu dikembalikan ke asalnya seperti yang
dipesannya kepada Thian Ki."
Mereka mengatur meja sembahyang, menaruh abu di atas meja, lalu mengadakan upacara
sembahyang. Sementara itu Kui Eng mendekati Thian Ki dan minta kepada suhengnya ini untuk
menceritakan kembali sejelasnya tentang kematian Lo Nikouw. Kini gadis cilik itu telah berusia
hampir sebelas tahun, dan sikapnya terhadap Thian Ki masih manis dan ramah seperti dahulu,
hanya bedanya, ada sikap malu-malu bahkan kadang canggung kalau Thian Ki kebetulan menatap
agak terlalu lama. Thian Ki sendiri sudah berusia empatbelas tahun dan dia memang amat
menyayang adiknya ini, yang sejak kecil dia tahu bukan adiknya sendiri, bukan pula adik tiri,
melainkan orang lain atau kalau adikpun, adik seperguruan.
"Suheng, apakah engkau sudah berhasil melenyapkan racun dari tubuhmu? Apakah sekarang
kukumu masih mengandung racun?" setelah mendengar cerita ulang tentang Lo Nikouw, Kui Eng
bertanya mememandang ke arah tangan Thian Ki.
Thian Ki tersenyum dan tahu bahwa ibunya, juga ayah tirinya juga memperhatikan, agaknya
menanti jawaban darinya. Tadi dia belum sempat bercerita tentang dirinya sendiri karena sibuk
menceritakan peristiwa yang menimpa neneknya.
Dia memandang kepada ibunya, ayah tirinya kemudian kepada sumoinya dan berkata sambil
tersenyum. "Nenek telah menggemblengku setiap hari dan akhirnya aku dapat menguasai hawa
beracun di tubuhku, sumoi. Akan tetapi, nenek tidak dapat mengusahakan lenyapnya hawa beracun
dari tubuhku, apa lagi ia memang tidak menghendaki hal itu terjadi."
Sepasang mata yang tajam dan jeli itu terbuka lebar, bibir yang merah dan berbentuk indah itu
merekah dalam senyum setelah sejak tadi tak pernah senyum untuk ikut berkabung atas kematian
Lo Nikouw. "Aihh, kalau begitu, mulai sekarang kita dapat berlatih silat tanpa khawatir aku akan
menjadi korban keracunan tubuhmu?"
Thian Ki mengangguk sambil tersenyum. " Kalau sekedar berlatih saja tidak mengapa, sumoi.
Akan tetapi tidak boleh mempergunakan sin-kang karena kalau aku mengerahkan tenaga dalam,
hawa beracun itu dapat bekerja dan tentu akan membahayakan dirimu."
"Bagus, ha ha ha, bagus sekali!" Kata Cian Bu sambil tertawa gembira. "Kalau mulai sekarang
engkau memperdalam latihanmu sehingga engkau dapat menguasai semua ilmu simpananku, maka
beberapa tahun lagi saja, tidak akan mudah mencari orang di dunia ini yang akan mampu
mengalahkanmu, Thian Ki! Ha-ha, aku akan merasa bangga sekali.!
Akan tetapi Sim Lan Ci tidak kelihatan segembira suaminya. Alisnya berkerut dan ia berkata
dengan suara yang terdengar menegur suaminya. "Apakah dalam hidup ini, hanya nama besar saja
yang terutama? Apakah Thian Ki selama hidupnya harus menjadi seorang manusia beracun, hanya
mencari nama besar di dunia persilatan dan dia tidak berhak untuk membentuk rumah tangga,
tidak berhak untuk menikah dan mendapat keturunan?"
Suaminya tidak mampu menjawab, akan tetapi Kui Eng yang lincah itu cepat berseru "Aihhh,
kenapa tidak boleh, ibu? Apa salahnya kalau suheng menikah? Bukankah dia kini sudah mampu
menguasai hawa beracun di tubuhnya?"
Lan Ci menghela napas panjang. Ia tadi lupa bahwa di situ terdapat puteri tirinya. Akan tetapi
menginqat bahwa Kui Eng sudah menjelang dewasa, iapun berkata dengan hati-hati.
"Kui Eng, kakakmu ini hanya mampu menguasai hawa beracun sehingga kalau dia tidak
mempergunakan sin-kang, racun itu dapat mengendap dan tidak bekerja. Akan tetapi, dia sama
sekali tidak boleh menikah sebelum hawa beracun itu bersih dari tubuhnya, karena kalau dia
melakukan hal itu isterinya akan keracunan dan lambat laun akan mati keracunan."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Jilid 16
"Ihh....." Kui Eng menatap wajah suhengnya dengan mata terbelalak, lalu berkata kepada
ayahnya, "Ayah, kalau begitu, sungguh kejam! Ayah harus berusaha untuk membersihkan tubuh
suheng dari racun itu!"
Cian Bu menarik napas panjang. Kini diapun mulai melihat betapa ambisinya itu tanpa dia sadari
mengancam kebahagian hidup Thian Ki yang dia sayang seperti anak sendiri. "Memang, untuk
mencapai sesuatu yang puncak, kadang-kadang kita harus berkorban. Kui Eng, biarpun ayahmu
telah mempelajari banyak ilmu yang tinggi, akan tetapi mengenai racun, aku masih kalah ahli
dibandingkan ibumu. Kalau mendiang nenekmu saja yang mampu membuat Thian Ki menjadi toktong
tidak mampu membersihkan racun itu dari tubuh Thian Ki, bagaimana aku akan mampu
melakukannya? Tidak, aku tidak mampu melakukannya."
Thian Ki melamun, ingat akan pengakuan neneknya dan dia merasa perlu menyampaikan
penyesalan neneknya itu kepada ibunya dan ayah tirinya. "Pernah nenek menyatakan kepadaku
yang menurut nenek merupakan penyesalan yang terlambat dan karena itu tidak ada gunanya."
"Ceritakan, apa yang ibu katakan kepadamu Thian Ki," kata ibunya dan Cian Bu juga
mengangguk-angguk kepadanya, menyetujui permintaan isterinya.
"Nenek mengatakan bahwa kini ia melihat kesalahannya. Apa yang terjadi pada diriku adalah
akibat daripada mengejar suatu segi saja dari kehidupan ini. Kehidupan ini, menurut nenek
merupakan kesatuan dari banyak hal yang kesemuanya penting, yang kesemuanya menuntut kita
untuk memperhatikan dan memenuhinya. Menurut nenek, banyak hal itu, termasuk makan,
pakaian, tempat tinggal dan segala benda keperluan hidup lainnya, juga kedudukan dan nama baik,
kesehatan dan sebagainya. Menurut nenek, semua itu perlu untuk dilaksanakan agar kesemuanya
dapat maju dengan baik, berimbang. Kalau kita hanya mementingkan yang satu dan melupakan
yang lain, maka akibatnya hanya merugikan kita sendiri. Nenek hanya mementingkan nama besar,
ingin menjadikan aku sebagai tok-tong yang kelak akan dapat menjadi jagoan nomor satu yang
akan mengangkat namanya pula. Karena terlalu mementingkan hal ini, nenek melupakan yang lain,
sehingga akhirnya aku menjadi korban."
Kui Eng tidak mengerti apa yang tersembunyi dalam ucapan itu, akan tetapi Lan Ci dan Cian Bu
mengerti. Mereka mengangguk-angguk dan terutama sekali Cian Bu bekas pangeran itu mengerti
benar apa yang dimaksudkan oleh nenek Lo Nikouw. Dia sudah mengalamainya sendiri. Pernah dia
mengejar cita-cita menegakkan kembali kerajaan Sui yang sudah runtuh dan untuk itu, dia
melupakan segala hal lain, sehingga akhirnya, demi pengejaran cita-cita itu, dia mengorbankan
segalanya, bahkan keluarganya terbasmi habis. Betapa banyaknya manusia di dunia ini yang
melakukan kesalahan yang sama seperti yang pernah dia lakukan, yang pernah dilakukan Lo
Nikouw. Orang mengejar dan saling memperebukan harta, seolah harta itulah kepentingan mutlak
bagi hidupnya,s ehingga orang lupa diri, melakukan hal-hal buruk dan jahat, lupa bahwa harta itu
pada suatu saat akan terasa tidak ada artinya sama sekali.
Betapapun kayanya seseorang, kalau dia dilanda sakit parah, maka harta tidak akan menarik lagi
baginya, yang lebih menarik adalah kesehatan badannya, sehingga dia akan bersiap mengorbankan
seluruh hartanya demi kesembuhannya. Demikian pula dengan orang yang mencapai kedudukan
tertinggi yang pada mulanya amat dipentingkan, sehingga dia melupakan yang lain, mendapatkan
kedudukan itu dengan jalan memperebutkannya dengan manusia yang lain, kalau perlu saling
bunuh membunuh.
Pada akhirnya, suatu saat dia akan mendapat kenyataan pahit, bahwa kedudukan yang tadinya
diperebutkan dengan taruhan nyawa itu tidak membahagiakan hatinya, bahkan mungkin
menyesengsarakan.
Betapa banyaknya hartawan kaya raya yang tidak pernah merasa puas akan apa yang
dimilikinya, selalu merasa kurang, bahkan ada perasaan khawatir kalau-kalau harta miliknya akan
berkurang dan habis. Membayangkan dirinya ditinggalkan seluruh hartanya, menjadi orang miskin,
merupakan bayangan kesengsaraan yang amat hebat baginya. Banyak pula pejabat tinggi yang
memiliki kedudukan yang mulia, disanjung dipuja dan dihormati, pada suatu saat akan jatuh dan
nama yang tadinya disanjung-sanjung berbalik dicaci maki. Andaikata tidak demikian, sedikitnya dia
selalu gelisah, khawatir kehilangan kedudukannya dan membayangkan kehilangan kedudukan itu
merupakan bayangan kesengsaraan yang amat hebat baginya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Thian Ki, apakah mendiang ibu tidak meninggalkan pesan kepadamu, tidak memberi tahu
bagaimana caranya agar engkau dapat terbebas dari racun di tubuhmu? Apakah di dunia ini tidak
ada obatnya dan tidak ada orang yang akan mampu membersihkan racun dari tubuhmu
itu?" Tanya Lan Ci yang menoleh dan memandang ke arah meja sembahyang dimana abu
jenazah ibunya berada. Mendengar pertanyaan ibunya itu, Thian Ki menghela napas panjang.
"Hal itu sudah kutanyakan kepada nenek, ibu.. dan nenek mengatakan bahwa di dunia ini jarang
ada orang yang cukup kuat untuk dapat mengusir racun dari tubuhku dan nenek hanya mengenal
dua orang yang mungkin saja dapat, karena mereka adalah orang-orang yang sakti."
"Siapa mereka, Thian Ki ?" Tanya ibunya penuh harap.
"Seorang bernama Pek I Tojin dari Thai-san dan seorang lagi bernama Hek Bin Hwesio dari
Himalaya."
"Ahh! Dua nama besar yang sudah sejak dahulu kukagumi, bahkan pernah aku ingin sekali
bertemu dengan mereka untuk bicara soal ilmu silat dan kalau mungkin saling mengukur dan
menguji ilmu kepandaian!" seru Cian Bu.
"Dan menurut keterangan mendiang nenek, dua tokoh sakti itu mempunyai murid. Pek I Tojin
mempunyai murid bernama Si Han Beng berjuluk Huang-ho Sin-liong dan Hek Bin Hwesio
mempunyai murid bernama Bu Giok Cu, isteri dari Naga Sakti Sungai Kuning itu."
"Aih, apakah engkau tidak ingat kepada pendekar itu, Thian Ki?" Lan Ci bertanya.
Thian Ki mengangguk. "Tentu saja aku tidak lupa kepada paman Si Han Beng, ibu. Aku masih
ingat kepadanya. Bukankah dia kakak angkat dari mendiang ayah?"
"Aha, jadi Naga Sakti Sungai Kuning yang terkenal itu adalah murid Pek I Tojin dan isterinya
murid Hek Bin Hwesio? Dan lebih lagi, pendekar itu adalah kakak angkat mendiang suamimu?"
Tanya Cian Bu kepada Lan Ci, "Kenapa aku tidak pernah mendengar akan hal itu?"
Sim Lan Ci memandang kepada suaminya dan menarik napas panjang. "Coa Siang Lee sudah
meninggal dunia, aku tidak ingin membicarakannya lagi, tidak ingin mengenang masa lalu. Karena
itulah aku tidak pernah bercerita tentang persaudaraan itu."
Suaminya mengangguk dan tersenyum ramah. Pengakuan itu saja sudah membuktikan bahwa
isterinya tidak ingin menyinggung perasaannya dengan bercerita tentang suaminya yang pertama.
"Kalau begitu, masih ada harapan bagimu Thian Ki. Engkau berlatih dengan tekun. Kalau sudah
matang ilmu kepandaianmu, kelak engkau dapat mencari kedua orang sakti itu untuk minta
bantuan mereka, dan kiranya engkau dapat bertanya kepada Naga Sakti Sungai Kuning dimana
adanya kedua orang sakti itu berada."
"Baik, ayah.." kata Thian Ki.
"Juga untuk melaksanakan pesan terakhir nenekmu, sebaiknya dilakukan kelak saja kalau
engkau sudah selesai belajar dan melakukan perjalanan. Sementara ini, biarlah abu jenazah
nenekmu kita rawat dan kita sembahyangi agar ibumu mendapat kesempatan untuk berbakti."
Lan Ci setuju sekali dengan usul suaminya itu.
"Suheng, kelak aku akan membantumu mencari orang-orang sakti itu agar engkau dapat
disembuhkan!" tiba-tiba Kui Eng berkata. "Ayah dan ibu, boleh bukan kelak aku ikut suheng dan
membantunya?"
Suami isteri itu saling pandang. Lan Ci hanya mengangguk, akan tetapi Cian Bu berkata,
"Merantau di dunia kangouw merupakan perjalanan yang amat berbahaya, oleh karena itu engkau
harus berlatih dengan giat, Kui Eng. Hanya kalau engkau kuanggap cukup kuat dan cukup pandai,
aku akan membolehkan engkau membantu suhengmu. Kalau engkau malas sehingga engkau
kurang kuat, lebih baik engkau berdiam di rumah yang aman."
Gadis cilik itu bangkit berdiri dan menghadapi ayahnya dengan alis berkerut dan mata bersinarsinar.
"Wah, ayah terlalu memandang rendah padaku! Lihat saja, aku pasti tidak kalah melawan
suheng!"
Cian Bu dan isterinya tersenyum, juga Thian Ki tersenyum dan berkata, "Engkau memang
pandai, sumoi, kalau engkau berlatih dengan sungguh-sungguh, mana mungkin aku akan dapat
menandingimu?"
Demikianlah mulai hari itu, Thian Ki dan Kui Eng seperti berlomba dan bersaing dalam
mempelajari ilmu-ilmu dari Cian Bu sehingga mereka memperoleh kemajuan pesat sekali.
ooooo0000oooo
Pagi itu akan nampak biasa saja bagi para nelayan dan mereka yang tinggal di pantai laut
karena merupakan pemandangan yang berulang-ulang mereka lihat. Betapa indahnya sesuatu,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kalau setiap hari dilihat, apalagi kalau dimiliki, maka keindahan itu akan semakin memudar, bahkan
aklhirnya lenyap tak terasakan lagi. Hal ini dirasakan oleh mereka yang tinggal di tepi pantai.
Orang yang datang dari pedalaman, dari darat, begitu tiba di pantai akan mengagumi keindahan
pemandangan lautan dengan takjub, akan tetapi para nelayan akan mendengarkan dengan heran,
karena bagi mereka, tidak terasa lagi adanya keindahan itu! Sebaliknya, kalau nelayan yang biasa
hidup di lautan dan di pantai-pantai sunyi itu datang ke kota, mereka akan terkagum-kagum
melihat keramaian kota. Padahal bagi orang kota, keramaian kota yang dianggap indah oleh sang
nelayan itu bahkan sebaliknya akan dianggap mengganggu! Hanya bagi batin yang bebas dan
bersih daripada gambar-gambar yang diukir ingatan sajalah yang akan dapat melihat segala
sesuatu sebagai baru, dapat menikmati keindahan setiap hari, setiap saat.
Pagi itu matahari amat cerahnya, muncul di permukaan air laut sebelah timur, tak terhalang
segumpal awanpun, membentuk garis emas di permukaan laut yang masih tenang. Suara air laut
bermain di pantai, berdesir di atas pasir, menggelegar garang pada batu karang, bergulung-gulung
dan susul-menyusul, meninggalkan suara dahsyat disusul suara gemerisik yang makin melemah
sampai pada titik sunyi hening. Sejenak saja, karena sudah datang bergulung lagi ombak baru yang
membawa pula suara gemuruh. Setiap kali ombak itu baru, tak pernah sama dengan yang sudah
atau yang akan datang menyusul. Air yang dihempaskan pada batu karang menimbulkan uap dan
ketika tertembus sinar matahari yang mulai menguat, membentuk pelangi lemah.
Para nelayan sudah berdatangan pagi tadi sebelum matahari terbit, dan kini pantai itu
ditinggalkan orang. Hanya nampak perahu-perahu diseret jauh ke pantai. Pasir pantai nampak
lembut dan halus diusap air berulang kali, putih keabu-abuan. Setiap kali air tipis mendarat, pasir
itu menjadi basah, akan tetapi air itu cepat diserap dan pasir nampak kering kembali.
Kalau ada saat itu ada orang yang kebetulan melihatnya, tentu orang itu akan mengira bahwa
pagi hari itu, dengan sinar matahari pagi sebagai tangga, telah turun seorang dewi kahyangan yang
kini bermain-main di tepi pantai!
Dari jauh, hanya nampak bentuk tubuh yang amat indah, yang sempurna lekuk lengkungnya,
dan pakaian yang basah dan menempel ketat itu membuat ia nampak dari jauh seperti telanjang.
Kedua kaki nan panjang, pinggangnya ramping, pinggulnya menggunung dan dadanya
membukit kembar. Rambutnya terurai lepas di belakang punggung, sampai ke pinggul. Sungguh,
pantasnya ia seorang dewi kahyangan atau seorang puteri ratu lautan!
Sebenarnya ia manusia biasa, seorang dara yang memang memiliki bentuk tubuh yang indah.
Bagaikan setangkai bunga sedang mekar, usianya sekitar sembilanbelas tahun. Ia berpakaian
lengkap walaupun dari sutera tipis, dan karena pakaian itu basah, maka pakaian itu menempel
ketat di tubuhnya. Wajahnya manis, dan ia berlari-lari di sepanjang pantai, membiarkan ombak
menjilat tubuhnya sampai ke paha. Ia tertawa-tawa seorang diri, dan suara tawanya lenyap ditelan
gemuruh ombak. Wajahnya manis, kulitnya putih mulus dan kemerahan karena sinar matahari,
matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan.
Ketika ombak yang besar, yang datang setiap lima enam kali sekali, diseling ombak-ombak yang
kecil, dara itu berteriak gembira dan iapun menyongsong datangnya ombak yang tingginya tidak
kurang dari lima meter itu dan begitu ombak datang menggulung dirinya, iapun meloncat dan
menerjang ombak bagaikan seekor ikan lumba-lumba! Tubuhnya lenyap ditelan ombak dan sampai
ombak itu memecah dan menipis di pantai, agak jauh ke darat sampai mendekati perahu-perahu
yang diikat di darat, dara itu tidak nampak lagi!
Kalau ada yang melihat peristiwa itu terjadi, tentu akan menahan napas dan khawatir sekali,
mengira bahwa dara itu tentu tenggelam, terseret ombak ke tengah atau mungkin juga diterkam
ikan hiu!
Semua orang tentu akan menduga demikian, mengingat bahwa lama sekali dara itu tidak
muncul lagi. Manusia biasa saja tidak mungkin dapat menyelam sampai selama itu. Kalau gadis itu
manusia biasa, tentu ia diterkam hiu atau tenggelam atau mati, atau kalau ia masih hidup, berarti ia
bukan manusia, melainkan dewi laut!
Kemudian, dari arah tengah, seperti seekor ikan saja, dara itu nampak berenang ke tepi. Cepat
sekali renangnya, meluncur tanpa mengeluarkan bunyi, seperti ikan lumba-lumba asli. Dan nampak
riang gembira, tertawa-tawa dan bermain dengan air. Ombak besar datang dari belakangnya,
mendorongnya sehingga renangnya semakin cepat. Akhirnya, ombak menerkamnya ke atas pasir,
di air yang hanya sedalam lutut.
Iapun akhirnya meninggalkan air, tiba di pasir yang kering, agak terengah dan sambil tertawa
iapun menjatuhkan diri ke atas pasir dan terlentang. Kedua kakinya terpentang, kedua lengannya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
terkembang di atas kepala, wajahnya segar, rambutnya riap-riapan, sebagian menutup dada dan
sebagian menutup muka membelit leher. Bukan main cantiknya. Manis, jelita menggairahkan!
Sinar matahari yang mulai menguning cahayanya itu mendatangkan rasa hangat yang amat
nyaman. Dan angin semilir, angin yang juga hangat, membuat dara itu terlena oleh kantuk dan tak
lama kemudian iapun sudah tertidur. Mulutnya masih setengah terbuka seperti orang tersenyum,
napasnya lembut dan panjang, dada yang membusung itu turun naik.
Dara yang tidur pulas di bawah sinar matahari pagi itu sama sekali tidak tahu betapa ada
sebuah perahu hijau datang bersama ombak dari tengah, menuju ke pantai itu. Jelas bukan perahu
nelayan, karena semua nelayan sudah pulang pagi-pagi tadi seperti biasanya, dan dara itupun tahu
akan kebiasaan itu. Ia tahu bahwa saat itu tidak akan ada nelayan di pantai, maka ia dapat
berenang dengan bebas tanpa dilihat siapapun. Dan model perahu hijau itupun berbeda dengan
perahu nelayan yang mempunyai bentuk agak lebar, karena para nelayan membutuhkan ruangan
untuk tempat hasil tangkapan mereka. Perahu hijau itu sempit dan panjang meruncing, dibantu
kayu atau bambu runcing di kanan kirinya, dan mempunyai tiang layar. Layarnya yang juga
berwarna hijau telah digulung, dan kini enam orang penumpang perahu mendayung perahu mereka
dengan gerakan teratur, berirama dan kuat sekali, membuat perahu mereka meluncur cepat ke
pantai.
Dara itu masih enak tidur terlentang ketika enam orang itu menyeret perahu mereka ke darat,
bahkan ketika mereka menahan seruan kaget , heran dan kagum, kemudian mereka berenam
berdiri mengepung dara yang masih tidur terlentang dengan pandang mata seperti singa kehausan
melahap seluruh tubuh yang terlentang itu, ia masih tetap tidur dengan napas yang lembut.
"Bukan main cantiknya...................!"
"Manis sekali !"
"Tubuhnya....................amboiiiii........!"
"Tak kusangka di dusun pantai ini terdapat gadis sejelita ini." "Wah, kalau semua perempuan di
pantai ini secantik dia, untung kita!" "Mari kita undi, siapa yang berhak menjadi orang pertama!"
Orang pertama dari mereka, yang bertubuh tinggi kurus seperti cicak kering, akan tetapi
kumisnya melintang panjang dengan kedua ujung berjuntai ke bawah, segera berkata, "Hushh,
apakah kalian mencari penyakit? Siapa orangnya yang tidak mengilar melihatnya, akan tetapi kita
tidak boleh mencari penyakit. Kalau ada yang melihat kita lalu semua penduduk keluar, kita akan
celaka, bahkan mungkin akan pergi dengan tangan hampa."
"Habis bagaimana? Bukankah kita datang ke sini untuk menyelidiki keadaan? Dan ini.......si jelita
ini, adalah hadiah untuk kita!"
"Tolol!" bentak si cicak kering. "Kita hanya menyelidik dan ternyata melihat perahu-perahu para
nelayan itu, dusun ini cukup makmur untuk menjadi mangsa kita. Dan agaknya banyak pula
terdapat perempuan cantik. Yang ini kita tangkap dan kita bawa pulang untuk oleh-oleh. Tentu
majikan kita akan senang sekali, apalagi majikan muda kita. Kita perlu membawa teman-teman
yang cukup banyak untuk menyerbu. Lihat, perahu mereka lebih dari duapuluh buah banyaknya,
tentu sedikitnya ada seratus orang laki-laki muda di sini. Terlampau berat bagi kita berenam untuk
menghadapi mereka. Nah, mari kita tangkap dan bawa anak ayam ini ke perahu!"
Bagaikan menerima komando, enam orang ini seperti berubah menjadi enam ekor anjing
pemburu menghadapi domba betina muda yang gemuk!
Mereka berenam seperti berlomba, menubruk ke arah gadis yang telentang tidur itu, ingin lebih
dahulu mendekap dan meringkusnya, merasakan kehangatan tubuh yang molek.
"Bress....!" Enam orang itu berteriak-teriak kaget karena dara yang mereka tubruk itu tiba-tiba
saja menghilang! Mereka tadi melihat jelas betapa gadis itu masih tidur terlentang, dan ketika
mereka menubruk dari semua jurusan tampak bayangan berkelebat dan mereka saling tubruk,
saling beradu kepala dan tangan dan gadis itu telah lenyap! Selagi mereka kaget dan heran,
terdengar suara tawa renyah dan mereka cepat berloncatan berdiri, memutar tubuh menghadapi
orang tertawa.
Kiranya gadis itu telah berdiri sambil bertolak pinggang dan tertawa bebas. Tidak seperti gadis
dusun atau kota biasa yang kalau tertawa tidak berani mengeluarkan suara, bahkan tidak berani
kelihatan giginya, gadis ini tertawa terkekeh membuka mulut dengan bebas sehingga nampak
sepasang bibirnya merekah, memperlihatkan rongga mulut yang merah tua dan gusi merah muda
di tengah deretan gigi yang putih rapih seperti mutiara diatur.
"Heh-heh-heh, lucu sekali! Kalian ini siapakah? Pakaian kalian serba hijau, kalian bukan orang
sini. Mau apa kalian datang ke sini dan mengganggu aku yang sedang tidur lelap?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Enam orang itu saling pandang. Sedang tidur lelap kenapa ketika ditubruk dapat lenyap?
Manusiakah gadis ini? Atau dewi penjaga lautan? Akan tetapi si cicak kering yang merasa dia
bersama lima rekannya dan merasa bahwa dia menjadi pemimpin rombongan itu, mengusir
keraguan hatinya. Dia melangkah maju ke depan.
"Nona, kami memang bukan orang sini. Kami datang karena melihat nona yang demikian cantik
seperti bidadari. Kami ingin nona ikut bersama kami!" Si cicak kering sudah memberi isyarat kepada
teman-temannya untuk mengepung. Akan tetapi gadis itu sama sekali tidak kelihatan gentar,
seolah-olah keenam orang laki-laki yang sikapnya seperti serigala itu dianggapnya sebagai anjinganjing
yang jinak saja.
Dara itu tersenyum dan mengangguk-angguk, "Aih, begitukah? Kalian hendak mengajak aku
kemana? Siapakah kalian? Perkenalkan diri dulu agar aku dapat mempertimbangkan apakah aku
akan memenuhi undangan kalian atau tidak."
Melihat sikap gadis itu yang ramah dan tidak marah, enam orang laki-laki itu merasa senang
sekali. Si cicak kering yang merasa dirinya paling unggul di antara teman-temannya karena
memang dia yang bertugas sebagai pimpinan, membusungkan dadanya. Akan tetapi karena dada
itu memang kerempeng dan tipis, dibusungkan bukan nampak besar, melainkan melengkung
seperti batang kangkung.
"Nona yang cantik, ketahuilah bahwa kami adalah orang-orang gagah penghuni Pulau Hiu! Nona
kami undang untuk berkunjung ke pulau kami dan berkenalan dengan majikan kami. Majikan muda
kami, Siangkoan Kongcu ( Tuan muda Siangkoan) adalah seorang pemuda yang gagah, ganteng,
tampan dan kaya raya, tentu akan dapat menghargai seorang cantik jelita seperti nona."
Sepasang mata yang jeli itu nampak bersinar-sinar. "Pulau Hiu? Baru sekarang aku
mendengarnya! Majikannya she Siangkoan? Dimana sih letaknya pulau itu?" Kini gadis itu
menerawang ke arah lautan seperti hendak mencari di mana letaknya pulau itu.
"Tidak jauh dari sini, nona. Hanya pelayaran setengah hari menuju ke utara. Pulau Hiu kami
terletak di seberang pantai Shantung."
"Setengah hari? Kalau begitu pulang pergi hanya sehari dan sore nanti aku dapat pulang kesini?"
Gadis itu dalam bicarapun demikian polosnya seperti juga ketika tertawa, dan juga tanpa malu-malu
di depan enam orang pria itu, walaupun pakaiannya yang tipis dan ketat itu kini berkibar tertiup
angin laut sehingga bentuk tubuhnya tercetak jelas.
Enam orang itu saling pandang dan tertawa. Dalam hati mereka menertawakan gadis yang
mereka anggap dusun dan tolol itu. Tentu saja kalau gadis itu sudah mereka bawa, ia tidak akan
kembali ke tempat ini, pikir mereka.
"Tentu saja, sore nanti engkau dapat pulang nona manis," kata pula si cicak kering, lalu ia
mengerling ke arah lima orang teman-temannya yang tersenyum-senyum.
"Kalau begitu, aku mau ikut!" gadis itu berkata dan suaranya seperti bersorak gembira. "Aku
ingin melihat Pulau Hiu. Apakah disana banyak ikan hiunya?"
"Banyak, nona!" jawab seorang di antara mereka. "Ada hiu berkaki dua......"
"Hiu berkaki dua?" gadis itu terbelalak dan semua orang tertawa.
"Aih, temanku ini hanya berkelakar, nona," kata si cicak kering. "Yang dia maksudkan adalah hiu
yang mempunyai sirip besar-besar dan gemuk."
Gadis itu bertepuk tangan. "Aku suka sekali sirip hiu! Enak sekali, apalagi kalau dimasak dengan
jahe!" Ia menjulurkan lidahnya yang merah segar, menjilati bibir bawah. Enam orang itu menelan
ludah dan kalamenjing mereka naik turun. Saking terpesona penuh gairah, mereka sampai tidak
merasa aneh bahwa gadis pantai ini pernah makan makanan sirip hiu yang hanya menjadi makanan
para hartawan kaya karena mahalnya.
"Mari kita berangkat nona. Jangan sampai engkau nanti kemalaman kalau pulang." kata si cicak
kering sambil menggandeng tangan gadis itu. Gadis jelita itu tidak menolak,dan ia tersenyumsenyum
melihat enam orang itu mendorong perahu ke air. Tak lama kemudian, ia sudah duduk di
perahu yang didayung enam orang itu ke tengah, melewati gelombang besar.
Dapat dibayangkan betapa gembiranya enam orang itu melihat korban mereka menyerah
sedemikian mudahnya. Terlalu mudah! Dan gadis itu terlalu cantik untuk membuat mereka dapat
menahan diri. Mulailah mereka mengeluarkan kata-kata tidak senonoh, bahkan si cicak kering yang
menjadi pimpinan, kini melepaskan dayung karena perahu itu mulai didorong layar yang sudah
dikembangkan dan diapun duduk di dekat nona itu, merapat.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Nona manis, siapakah namamu?" Tanya si cicak kering, mukanya sedemikian dekatnya
sehingga gadis itu mengerutkan alisnya, karena dari mulut si cicak kering itu mengeluarkan bau
busuk seperti bangkai.
"Ihh, kalau bicara jangan dekat-dekat!" gadis itu menegur dan menggeser pinggulnya menjauh.
"Heh-heh-heh, aku tidak akan mengganggumu, nona manis. Engkau akan kami hadiahkan
kepada kongcu, akan tetapi sebelum tiba di pulau, kita duduk merapat begini kan hangat dan lebih
enak?" Mendengar ucapan itu, lima rekannya tertawa bergelak. "Kalau bicara dekat-dekat kenapa
sih, manis?"
Gadis itu menggunakan tangan menutupi hidungnya. "Mulutmu bau bangkai!"
Meledak lima orang itu tertawa, dan si cicak kering terbelalak, mukanya berubah merah sekali.
Belum pernah selama hidupnya dia menerima penghinaan seperti itu, apalagi dari seorang gadis
muda!
"Nona, mulutmu lancang sekali, untuk itu kau harus dihukum. Hayo kau cium aku dengan
mulutmu itu pada mulutku. Kalau engkau tidak mau, kami tidak akan membawamu kepada majikan
kami, melainkan akan kami makan sendiri di perahu ini, kemudian engkau akan kami lemparkan ke
air agar menjadi makanan hiu!" Berkata demikian , si cicak kering menjulurkan kedua tangannya
merangkul gadis itu dan hendak memaksakan ciuman. Akan tetapi, tiba-tiba gadis itu mengeluarkan
suara tawa nyaring, ia bangkit berdiri dan dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, ia telah
menyambar kedua tangan si cicak kering yang hendak menangkapnya dan sekali ia membuat
gerakan melontarkan tubuh si cicak kering itu terlempar ke atas tiang layar!
Si cicak kering berteriak kaget dan ketakutan, akan tetapi dia dapat menjangkau ujung tiang
layar dan memeluk tiang itu dengan era-erat, sehingga dari bawah dia kelihatan seperti seekor
kera! Melihat ini, lima orang rekannya terbelalak, akan tetapi gadis itu, seperti seorang anak kecil
yang nakal, menghampiri tiang layar dan dengan tangan kirinya ia mendorong dan mengguncang
tiang layar itu. Sungguh hebat, tiang itu terguncang keras dan tubuh si cicak kering tentu saja ikut
terguncang keras dan akhirnya dia tidak dapat bertahan lagi, tubuhnya terlepas dari ujung tiang
layar dan terlempar ke luar perahu.
"Byurr.......!" tubuhnya ditelan gelombang lautan.
Kini kelima orang anak buah Pulau Hiu itu terkejut dan juga marah. Barulah mereka menyadari
bahwa gadis yang kelihatan bloon ini ternyata memiliki ilmu kepandaian tinggi dan bertenaga kuat.
Mereka serentak menyerang untuk menangkap dan meringkus. Akan tetapi, sambil tertawa-tawa,
gadis itu kini menggerakkan kaki tangannya dan lima orang itu disambar tamparan dan tendangan,
tubuh mereka terlempar keluar perahu dan satu demi satu tercebur ke dalam lautan!
"He-he-he-he, kiranya kalian hanya tikus-tikus lautan!" Gadis itu bertepuk tangan dengan
girang, lalu memegang kemudi layar, hendak mengarahkan perahu untuk meluncur kembali ke
pantai yang sudah nampak jauh dari situ.
Akan tetapi, tiba-tiba perahu itu terguncang lalu miring dan rebah, layarnya menyentuh air!
Akan tetapi gadis itu sama sekali tidak menjadi kaget atau takut, bahkan ia tertawa. "Heh-heh,
kalian hendak main-main di air, ya? Boleh, boleh!" dan iapun meloncat dari perahu yang miring itu
ke dalam air.
Enam orang itu adalah anak buah Pulau Hiu, bajak-bajak laut yang tentu saja merupakan ahliahli
renang yang pandai. Melihat gadis itu berani meloncat ke air, hati mereka girang sekali.
Terutama si cicak kering yang ingin membalas dendam, tubuhnya meluncur cepat ke arah gadis itu.
Ingin ia menangkap, meringkus dan menyeret gadis itu ke dalam air agar kehabisan napas dan
menyerah. Akan tetapi, ketika dia tiba di dekat gadis dan menerkam, tiba-tiba saja gadis itu lenyap.
Persis seperti ketika diterkam di darat tadi. Hanya bedanya, kalau tadi gadis itu menggunakan
gerakan kilat meloncat ke atas menghindar dari terkaman enam orang, kini ia menyelam ke bawah
dan lenyap!
Dan tiba-tiba si cicak kering terbelalak, akan tetapi dia tidak sempat berteriak karena tubuhnya
sudah lenyap terseret ke bawah seperti diseret ikan hiu. Memang tadinya diapun menyangka
demikian ketika tiba-tiba kedua kakinya ada yang menangkap dan dia terseret ke bawah. Akan
tetapi di dalam air dia melihat bahwa yang menangkap kakinya adalah gadis tadi! Gadis itu ternyata
dapat bergerak seperti ikan di dalam air, rambutnya terlepas dari sanggul dan kini riap-riapan.
Sungguh ia seperti dongeng ikan duyung yang membuat si cicak kering merasa ngeri.
Dicobanya untuk melepaskan kedua kakinya, namun sia-sia dan dia terpaksa harus menahan
pernapasannya. Tentu saja dia kuat menahan napas di air karena terlatih, akan tetapi ternyata dia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
terus diseret ke bawah dan batas waktunya sudah melampaui ketahannya. Gadis itu seolah-olah
berubah menjadi ikan yang tidak perlu bernapas di permukaan air!
Mulailah si cicak kering gelagapan. Dia masih melihat tubuh teman-temannya meluncur dan
mengejarnya, tentu hendak menolongnya. Akan tetapi gadis itu tiba-tiba menyeretnya naik ke atas
sampai kepalanya tersembul di atas. Si cicak kering megap-megap, seperti ikan yang dilempar ke
darat, dadanya seperti akan pecah rasanya dan pada saat itu tubuhnya sudah terayun dan diputarputar
seperti gasing! Dara itu masih memegang kedua kakinya dan kini tubuhnya diputar di atas
air, seolah-olah tubuhnya itu hanya seringan sepotong kayu saja. Kemudian gadis itu melepaskan
pegangan pada kedua kakinya dan tubuh si cicak kering melayang sampai amat jauh, jatuh
terbanting ke air lagi dalam keadaan nanar dan hampir pingsan.
Kini kelima orang itupun mengeroyok. Terjadi perkelahian di air yang tidak seimbang dan tidak
lama. Gadis itu sungguh luar biasa, mampu bergerak di air seperti ikan, sukar ditangkap. Sebaliknya
tamparan-tamparannya membuat lima orang itu gelagapan, bahkan ada yang pingsan dan
tenggelam.
Akhirnya, para pengeroyok itu tidak ada yang berani mendekat, sibuk hendak menolong teman
yang pingsan tenggelam. Gadis itu sendiri sambil terkekeh lalu menyambar sebatang dayung yang
terapung, memukul ke arah tiang layar perahu. Terdengar suara keras dan tiang itupun patah!
Kemudian, dengan tenaga yang luar biasa, ia membalikkan perahu dan meloncat ke dalam perahu,
mendayung perahu itu ke pantai meninggalkan enam orang yang masih terapung-apung
dipermainkan gelombang lautan. Mereka dapat mendengar suara tawa merdu gadis itu, akan tetapi
bagi pendengaran mereka, sama sekali tidak merdu menyenangkan, melainkan mengerikan. Mereka
merasa seolah-olah baru berjumpa dengan iblis lautan yang amat ganas!
Setelah tiba di pantai, gadis itu menyeret perahu hijau ke darat. Tiba-tiba nampak sesosok
bayangan putih berkelebat dan di situ telah berdiri seorang wanita yang berpakaian serba putih dari
sutera halus. Wanita ini sudah berumur enampuluh tahun lebih, akan tetapi ia masih langsing,
sehingga orang akan mengira bahwa usianya baru sekitar empatpuluh tahun saja. Ia berdiri tegak
memandang kepada gadis itu yang kini menghadapi wanita itu sambil tersenyum gembira.
"Subo, aku mendapatkan sebuah perahu milik enam orang yang kutinggalkan di sana," katanya
sambil menunjuk ke tengah lautan.
Wanita itu mengerutkan alisnya. Ia cantik akan tetapi sikapnya dingin, bahkan wajahnya seperti
diliputi mendung, tidak secerah wajah muridnya. Kalau ada orang kangouw melihatnya, tentu orang
itu akan terkejut ketakutan, karena wanita itu bukanlah wanita sembarangan. Ia adalah seorang
datuk persilatan yang amat lihai dan berwatak aneh, tidak berpihak kepada yang baik maupun yang
buruk. Bukan golongan putih, maupun hitam, pendekar maupun penjahat. Ia terkenal sebagai
datuk di timur, dan di sepanjang pantai, namanya sudah banyak dikenal orang kangouw, dan
ditakuti, walaupun ia jarang mau mencampuri urusan orang kangouw di daerah itu. Wanita ini
bukan lain adalah Tung-hai Mo-li (Iblis betina laut Timur) Bhok Sui Lan! Dan gadis jelita yang lincah
dan ugal-ugalan itu bukan lain adalah Cin Cin atau Kam Cin.
Seperti kita ketahui, empat belas tahun yang lalu, ketika ia berusia lima tahun, Cin Cin
mengalami malapetaka. Ayah kandungnya, yaitu Kam Seng Hin, ketua Hek-houw-pang, tewas
ketika Cian Bu Ong mengutus para pembantunya menyerbu. Kemudian Cin Cin atau nama
lengkapnya Kam Cin dikirim ke dusun Hong-cun, tempat tinggal Pendekar Naga Sakti Sungai
Kuning Si Han Beng, agar menjadi murid pendekar itu. Ia diantarkan oleh susiok (paman
gurunya) bernama Lai Kun. Akan tetapi dalam perjalanan, Lai Kun menyeleweng, menjual murid
keponakan itu kepada seorang mucikari! Cin Cin yang ayahnya telah tewas dan ibunya dilarikan
penyerbu dusun mereka, jatuh ke tangan mucikari. Kemudian, setelah beberapa tahun lamanya
tinggal di situ dan dipelihara oleh sang mucikari untuk dipersiapkan menjadi seorang pelacur, Cin
Cin melarikan diri, dikejar oleh para jagoan rumah pelesir itu dan akhirnya Cin Cin ditolong oleh
Tung-hai Mo-li yang membunuh semua pengejar itu, kemudian mengambil Cin Cin sebagai
muridnya.
Tung-hai Mo-li Bhok Sui Lan mengajak Cin Cin ke pantai Laut Kuning dan menurunkan semua
kepandaiannya kepada murid tersayang itu. Bahkan ilmu di air ia ajarkan, sehingga Cin Cin kini
telah menjadi seorang dara berusia sembilanbelas tahun yang amat lihai, baik ilmu silatnya, tenaga
sin-kangnya dan ilmunya bermain di air.
Cin Cin cantik manis, jelita dan menggairahkan. Akan tetapi selain ilmu-ilmu yang ia warisi dari
Tung-hai Mo-li, ia juga mewarisi wataknya yang aneh! Watak yang acuh terhadap orang lain, hidup
seenaknya, semaunya, tidak terikat oleh segala macam norma dan peraturan umum! Bahkan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
seperti juga subonya Cin Cin jarang bergaul dengan orang lain. Para gadis di pedusunan pantai
yang dijumpainya dan dikenalinya, tak lama kemudian menghindar karena mereka semua merasa
takut dan segan kepada Cin Cin, bukan hanya karena Cin Cin berwatak aneh, akan tetapi juga
karena gadis ini memiliki kelihaian yang menggiriskan hati. Pernah ada tiga pemuda dusun yang
jatuh hati kepadanya, memperlihatkan sikap manis dan seperti biasa, tiga orang pemuda itu
memperlihatkan sikap berani, merayu dan memikat. Bagi gadis lain, kalau memang ia tidak suka,
tentu ia akan menolak dan menghindar saja. Akan tetapi Cin Cin tidak sama dengan gadis-gadis
lain. Ia merasa diremehkan, marah dan iapun mematahkan kaki tangan tiga orang pemuda itu dan
meninggalkan mereka merintih-rintih di tepi jalan!
Bukan hanya satu kali itu Cin Cin menghajar laki-laki yang terlalu berani dan dianggapnya
kurang ajar kepadanya. Ada pula yang tewas karena laki-laki itu tidak sopan dan berusaha
merangkulnya. Sekali tangan Cin Cin menampar dan mengenai pelipisnya, laki-laki itu roboh dan
nyawanya melayang!
Akan tetapi, kalau ia tidak marah dan hatinya sedang gembira, Cin Cin dapat bersikap ramah
kepada siapa saja. Ia memang pada dasarnya memiliki watak lincah jenaka dan gembira, hanya
menjadi aneh karena dididik oleh seorang datuk wanita yang aneh. Dan selama ini, Cin Cin tidak
pernah lupa bahwa ia adalah puteri ketua Hek-houw-pang yang tewas di tangan orang-orang yang
menyerbu perkampungan Hek-houw-pang, bahkan ibunya diculik oleh penyerbu. Diam-diam ia
sudah mengambil keputusan bahwa akan dicarinya pembunuh ayahnya dan penculik ibunya, dan ia
hanya menanti ijin dari subonya. Biarpun wataknya ugal-ugalan, keras dan berani, namun terhadap
subonya, Tung-hai Mo-li Bhok Sui Lan, Cin Cin bersikap lembut, taat dan menyayang. Hal ini bukan
saja karena ia berhutang budi, dan karena gurunya memang menyayang kepadanya, dan bersikap
baik saja, akan tetapi terutama sekali karena ia tahu benar bahwa subonya adalah seorang wanita
yang menderita kesengsaraan batin yang hebat. Ia sendiri tidak tahu mengapa, karena subonya
tidak pernah mau bercerita dan mengatakan belum waktunya bercerita, akan tetapi seringkali ia
melihat subonya dengan diam-diam sedang menangis dan merintih sampai semalam suntuk! Dan ia
tahu pula bahwa subonya tidak mempunyai keluarga seorangpun, hidup sebatang kara dan
agaknya tidak pernah menikah atau sudah cerai. Maka, ia merasa iba kepada subonya, dan karena
perasaan inilah ia ingin membalas budi subonya dengan menyenangkan hatinya, yaitu dengan jalan
mentaati semua perintahnya.
Mendengar ucapan muridnya, Tung-hai Mo-li Bhok Sui Lan mendekati perahu itu dan
mengamatinya. Ketika ia melihat perahu itu bercat hijau dan ada ukiran berbentuk ikan hiu di
kepala perahu, ia mengerutkan alisnya.
"Hemm, Kalau begitu tidak keliru dugaanku perahu ini milik Pulai Hiu."
"Aihh, subo tahu? Memang benar milik Pulau Hiu, subo. enam orang pemiliknya adalah anak
buah Pulau Hiu!" seru Cin Cin heran.
Mendengar ini, Tung-hai Mo-li lalu duduk di ujung perahu yang kering, memandang ke arah
lautan yang tadi ditunjuk muridnya. Tidak kelihatan apa-apa kecuali gelombang besar dan buih di
puncak ombak, lalu ia menatap wajah muridnya dan berkata, "Cin Cin, ceritakan apa yang terjadi
antara engkau dan enam orang dari Pulau Hiu itu."
Cin Cin lalu menceritakan dengan sikap lincah jenaka tentang pertemuannya dnegan enam
orang itu, betapa mereka mengajaknya ke Pulau Hiu dan betapa mereka mengganggunya sehingga
ia marah dan melempar-lemparkan mereka ke air dan ia kembali membawa perahu mereka.
Setelah Cin Cin menyelesaikan ceritanya, Tung-hai Mo-li menarik napas panjang. "Hemm, sejak
dahulu memang orang-orang Pulau Hiu merupakan bajak-bajak laut. Aku tidak pernah mencampuri
pekerjaan mereka, akan tetapi kenapa sekarang mereka berani mengganggu penduduk di daratan?
Kunjungan mereka ke daerah ini sudah pasti mengandung maksud tertentu. Agaknya tua Bangka
Siangkoan Bok itu sama sekali tidak pernah bermimpi bahwa anak buahnya akan bertemu dengan
murid Tung-hai Mo-li!"
"Subo, siapakah Siangkoan Bok itu? Dan orang-orang macam apakah yang menghuni Pulau Hiu?
Aku mendengar mereka bicara tentang Siangkoan Kongcu, majikan muda Pulau Hiu. Agaknya subo
sudah mengenal mereka."
"Majikan Pulau Hiu bernama Siangkoan Bok, seorang kakek yang kini tentu sudah tua sekali,
tidak kurang dari tujuhpuluh lima tahun usianya. Dia hidup sebagai majikan Pulau Hiu di seberang
pantai daerah Shantung itu, sebagai seorang hartawan yang kaya raya, juga kekuasaannya besar
karena dia menjadi datuk dari para bajak laut di Lautan Kuning. Anak buahnya banyak, di
antaranya tentu saja enam orang yang kau jumpai itu. Sebetulnya Siangkoan Bok sendiri tidak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
melakukan pembajakan dan anak buahnya juga tidak, akan tetapi karena dia merupakan datuk
bajak laut dan anak buahnya merupakan bekas para bajak, tentu saja kaang-kadang merekapun
menjadi gatal tangan dan melakukan pembajakan."
"Hemm, kiranya hanya bajak-bajak laut yang hina," Cin Cin mencibirkan bibirnya yang merah.
"Kalau tahu mereka bajak, tadi tentu sudah kubunuh semua. Dan siapakah yang mereka sebut
Siangkoan Kongcu, subo?"
Gurunya menggeleng kepala. "Setahuku, dahulu memang ada putera Siangkoan Bok bernama
Siangkon Tek. Akan tetapi dia sudah tewas. Tentu yang disebut Siangkoan Kongcu itu puteranya
yang lain, karena kabarnya Siangkoan Bok mempunyai banyak isteri yang cantik, dan mungkin saja
dia mempunyai banyak keturunan."
"Hemm, aku ingin sekali berkunjung ke pulau Hiu, subo. Akan kuobrak-abrik pulau bajak itu!"
Tung-hai Mo-li mengerutkan alisnya dan matanya mencorong ketika ia menatap wajah
muridnya. Melihat ini, Cin Cin terkejut dan mendekati subonya, duduk di perahu dan memegang
tangan subonya. "Maaf, subo. Kenapa subo kelihatan marah?"
"Engkau ini mencari gara-gara saja! Apa perlunya mencari perkara dengan pulau Hiu? Engkau
mempunyai tugas lain yang jauh lebih penting!"
Wajah Cin Cin berseri dan matanya bersinar-sinar. "Subo! Apakah subo maksudkan sudah tiba
saatnya aku boleh melaksanakan tugasku itu? Tentu saja aku tidak akan pernah lupa. Aku akan ke
dusun Ta-bun-cung, ke Hek-houw-pang dan menyelidiki siapa pembunuh ayahku, siapa pula yang
menculik ibuku. Aku akan mencari ibuku, aku akan membunuh para penyerbu Ta-bun-cung itu,
aku.... "
Cin Cin menghentikan ucapannya ketika melihat gurunya mengangkat tangan memberi isyarat
agar ia diam. Ia melihat gurunya masih mengerutkan alis dan kelihatan tidak senang.
"Cin Cin, engkau hanya memikirkan dirimu sendiri saja. Engkau sedikitpun tidak pernah
memikirkan kebutuhanku."
Cin Cin merangkul gurunya. Memang hubungannya dengan gurunya seperti anak dengan ibunya
saja, mesra dan akrab, tidak berhormat-hormat seperti murid terhadap guru lain. "Subo,
maafkanlah aku. Tentu saja aku memikirkan, bahkan mementingkan kebutuhan subo. Katakan, apa
yang dapat kulakukan untukmu, subo? Tentu perintah subo akan kulaksanakan lebih dulu, setelah
itu, barulah aku akan mengurus diriku sendiri."
"Nah, begitu baru muridku yang baik," kata Tung-hai Mo-li dan iapun merangkul leher muridnya
dan mencium kedua pipinya. Cin Cin balas mencium dan dalam jarak dekat itu ia dapat melihat
betapa wajah subonya masih amat cantik, kedua pipinya halus dan putih kemerahan tanpa bedak
dan pemerah.
"Aih, subo cantik sekali. Kenapa secantik ini subo tidak menikah?"
Ditanya demikian, Tung-hai Mo-li melepaskan rangkulannya dan ia menarik napas panjang.
"Inilah salah satu di antara hal yang kuminta engkau membalaskan untukku, Cin Cin. Aku hidup
menderita dan tidak pernah mau mendekati pria sejak muda karena ulah seorang laki-laki!"
Cin Cin memandang heran. Bagaimana mungkin ada laki-laki yang berulah sehingga
menghancurkan hati subonya? Kenapa subonya tidak membunuh saja laki-laki itu dan membiarkan
dirinya tenggelam dalam duka?
"Subo, siapakah dia dan apa yang telah dia lakukan? Ceritakan kepadaku, subo. Aku berjanji
akan melaksanakan segala perintah subo dan akan kubalaskan semua sakit hati subo."
"Ada dua orang yang kuingin engkau mencarinya dan membunuh mereka untuk aku. Dan untuk
itu, dengarkan dulu ringkasan riwayat hidupku."
Cin Cin mendengarkan penuh perhatian. Selama sepuluh tahun lebih ia hidup bersama subonya
dan belum pernah ia mendengar riwayat subonya. Agaknya subonya mempunyai riwayat yang
menyedihkan.
"Ceritakan, subo," katanya lirih sambil mengamati wajah subonya. Mereka duduk di atas perahu
hijau itu, di pantai yang sunyi. Matahari sudah naik agak tinggi, menyinarkan cahayanya yang
hangat menggigit.
"Mari kita duduk di bawah pohon di sana, lebih teduh di sana," kata Tung-hai Mo-li dan mereka
lalu meninggalkan perahu, duduk di bawah pohon yang agak jauh dari pantai, duduk berhadapan di
atas akar pohon itu yang menonjol di permukaan tanah.
"Sejak kecil aku sudah yatim piatu," Tung-hai Mo-li memulai dengan riwayatnya. Cin Cin
tertegun. Ia sendiri sudah kehilangan ayah, akan tetapi mungkin ibunya masih hidup. Dibandingkan
dengan subonya, ia masih lebih beruntung!
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sejak kecil sebatangkara dan merantau sebagai pengemis. Untung bertemu dengan seorang
pengemis tua yang mau membimbingku. Aku mulai belajar ilmu silat dengan giat sekali. Bergantiganti
guru sampai aku dewasa. Kemudian aku bertemu dengan seorang guru yang pandai dan
bersama seorang suhengku, aku belajar silat darinya. Suhengku itu bernama Can Siok dan setelah
tua dia berjuluk Cui-beng Sai-kong. Akan tetapi, setelah aku dewasa dan
merantau seorang diri dengan bekal kepandaian yang cukup, aku berpisah dari suheng, pada
waktu guru kami meninggal dunia. Kami mengambil jalan masing-masing dan nasib membawaku ke
kotaraja." Tung-hai Mo-li berhenti sebentar dan mengingat-ingat.
"Sejak kecil subo sudah menderita," komentar Cin Cin. Lupa bahwa nasibnya sendiripun tidak
lebih baik.
"Di kotaraja itulah aku bertemu seorang pangeran. Dia gagah perkasa dan memiliki ilmu silat
yang hebat. Kami saling tertarik dan akhirnya kami saling jatuh cinta....." Tung-hai Mo-li menghela
napas panjang dan Cin Cin mengamati wajah subonya sambil tersenyum. Tentu subonya amat
cantik ketika gadis, dan sudah sepantasnya kalau subonya itu jatuh cinta dengan seorang
pangeran.!
"Aih, tentu pangeran itu gagah dan tampan sekali, maka subo sampai jatuh cinta padanya," kata
Cin Cin tanpa sungkan-sungkan lagi. "Subo menikah....?"
Tung-hai Mo-li tersenyum dan baru sekarang ia melihat subonya tersenyum! Bukan main
manisnya kalau tersenyum, akan tetapi hanya sebentar saja karena senyum itu berubah pahit.
"Pangeran itu mempunyai cita-cita yang amat besar. Dia adalah adik kaisar , dan ia bercita-cita
kelak akan menggantikan kakaknya menjadi kaisar. Karena itu, dia tidak mau mengambil aku,
seorang wanita biasa, bahkan seorang wanita kangouw menjadi isterinya yang sah! Dia harus
menjaga nama, dan dia bahkan akan menikah dengan seorang puteri. Aku hanya akan dijadikan
selir... "
"Hemm, lalu bagaimana, subo?"
"Tentu saja aku tidak sudi! Kami sudah saling bersumpah dan aku........aku telah menyerahkan
diri. Dia sudah berjanji akan mengambilku sebagai isterinya, tidak tahunya hanya akan dijadikan
selir. Aku tidak mau dan aku meninggalkan dia!" Wajah yang masih cantik itu nampak berduka
sekali dan ia memejamkan mata.
Cin Cin mengerutkan alisnya. Betapa besar cinta kasih subonya kepada pangeran itu, pikirnya.
Buktinya, sampai sekarang, subonya sama sekali tidak mau berjalan lagi dengan pria lain!
"Subo, apakah subo mendendam sakit hati kepada pangeran ini? Apakah aku harus mencari dia
dan membalaskan sakit hati subo?"
Tung-hai Mo-li membuka mata dan mengangguk.
"Puluhan tahun aku memperdalam ilmu dengan harapan pada suatu hari, murid yang kuwarisi
ilmu-ilmuku akan dapat mewakili aku untuk membalas sakit hati yang kuderita selama puluhan
tahun ini, dan engkaulah orangnya yang kuharapkan akan dapat membuat aku mati dengan mata
terpejam, Cin Cin."
"Akan tetapi, subo dengan kepandaian yang subo miliki, apa sukarnya bagi subo untuk
membunuh orang itu? Kenapa subo menanti sampai puluhan tahun dan membiarkan hati menderita
dendam selama itu?"
Wanita itu menggeleng-gelengkan kepala dan menghela napas panjang. "Biarpun dia juga bukan
orang lemah, bahkan ketika kami saling berpibu dia lebih tangguh dariku, akan tetapi aku terus
dengan giat memperdalam ilmuku dan mungkin sekarang aku dapat menandingi dan
mengalahkannya. Akan tetapi, aku sudah tua dan..........aku kuatir, kalau aku berhadapan dengan
dia, hatiku akan menjadi lemah dan usaha membalas dendamku tidak akan terlaksana. Oleh karena
itulah aku menggemblengmu mati-matian, Cin Cin."
"Aku akan mencari pangeran itu dan membunuhnya, subo. Siapa namanya dan dimana aku
dapat mencarinya?"
"Namanya Pangeran Cian Bu Ong, dahulu dia adik kaisar Kerjaan Sui. Akan tetapi kerajaan Sui
telah jatuh dan diganti kerajaan Tang. Setelah kerajaan Sui jatuh, aku mendengar dia beberapa kali
mengusahakan pemberontakan untuk mendirikan kembali kerajaan Sui, akan tetapi semua
usahanya gagal. Aku telah menyelidiki dan bertanya-tanya, dan mendengar bahwa dia suka
kelihatan di sepanjang lembah sungai Kuning. Ke lembah itulah engkau dapat mencarinya. Dia
seorang laki-laki yang bertubuh tinggi besar, gagah sekali, mukanya kemerahan. Dia sekarang
kalau masih hidup tentu sudah tua pula, karena dia lebih tua setahun dariku. Sekarang usianya
tentu sudah enampuluh lima tahun lebih."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku akan mencarinya, subo. Dan siapakah orang kedua yang harus kucari?"
"Dia bukan musuh pribadiku. Akan tetapi, hatiku sakit karena dia telah membunuh suhengku,
padahal dia itu adalah putera suhengku sendiri.
Anak durhaka itu harus dihukum dan dibunuh. Suhengku itu amat sayang kepadaku, bahkan
dialah yang lebih banyak membimbingku dahulu dan dia menganggap aku seperti adik kandungnya
sendiri. Suhengku itu bernama Can Siok dan dahulu berjuluk Cui-beng Sai-kong dan seperti telah
kuceritakan tadi, sejak dewasa kami saling berpisah mengambil jalan sendiri-sendiri. Hanya
sewaktu-waktu saja kami saling jumpa, aku mengunjunginya atau dia mencariku. Dia menemukan
agama baru, yaitu menyembah Thian-te Kwi-ong dan dia memiliki ilmu sihir yang hebat. Suhengku
mempunyai seorang putera yang bernama Can Hong San, dari isterinya yang berasal dari puteri
Nepal. Dan anak durhaka itu pada suatu hari membunuh ayah kandungnya sendiri. Aku merasa
sedih sekali mendengar nasib suheng dna kuminta engkau kelak mencari Can Hong San dan
membunuhnya!"
"Di mana aku dapat mencari Can Hong San itu, subo?"
"Entahlah, aku sendiri tidak tahu dimana dia berada. Akan tetapi kau ingat saja namanya dan
karena dia seorang tokoh sesat, kukira namanya dikenal oleh dunia kangouw dan engkau kelak
dapat melakukan penyelidikan." Tung-hai Mo-li berhenti sebentar, lalu mengeluarkan seuntai kalung
mutiara yang amat indahnya. "Kau bawa ini dan kalau engkau bertemu dengan Pangeran Cian Bu
Ong, berikan ini kepadanya dengan pesan dariku, bahwa dia harus menukar kalung ini dengan
nyawanya, seperti yang pernah dia janjikan kepadaku dahulu. Mutiara-mutiara ini kudapatkan
sendiri dengan menyelam di lautan yang paling dalam, memilih yang terbaik dan menguntainya
menjadi kalung untuk kuserahkan kepada pria yang kucinta itu. Dia menerima dengan gembira dan
berjanji bahwa kalung itu akan disimpannya dan disayangnya seperti nyawanya sendiri. Akan
tetapi, ketika dia hendak meninggalkan aku, dia
mengembalikan kalung ini kepadaku................" Kedua mata Tung-hai Mo-li menjadi merah dan
basah dengan air mata.
Ia membalikkan tubuh dan membelakangi Cin Cin yang menerima kalung mutiara itu, agaknya ia
tidak ingin dilihat menangis dan ketika membalikkan tubuh itu, ia menghapus air matanya.
"Nah, itulah pesanku kepadamu, Cin Cin. Maukah engkau berjanji bahwa engkau akan
menunaikan tugas-tugas itu?" Tanya Tung-hai Mo-li yang sudah menghadapi lagi muridnya.
Cin Cin mengalungkan kalung mutiara itu di lehernya. "Subo, aku berjanji akan mencari dan
membunuh Pangeran Cian Bu Ong dan Can Hong San!" katanya dengan penuh semangat.
Tung-hai Mo-li bangkit berdiri, wajahnya nampak lega dan berseri. Ia lalu melepaskan tali
pengikat sarung pedangnya dari punggungnya, menyerahkan pedang dan sarungnya itu kepada
Cin Cin.
"Nah, kau terimalah Koai-liong-kiam ini, Cin Cin. Aku ingin engkau membunuh mereka dengan
pedang ini. Akan tetapi jangan sekali-kali mengurangi kewaspadaan, Cin Cin. Dua orang itu bukan
merupakan lawan yang ringan. Akan tetapi aku yakin bahwa kalau engkau menggunakan pedang
ini dan mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaianmu, engkau akan berhasil."
"Baiklah subo. Aku akan melaksanakan perintah subo dan mudah-mudahan saja aku akan
berhasil dan tidak mengecewakan subo."
"Aku percaya padamu, Cin Cin, dan berhati-hatilah. Engkau tentu masih ingat akan nama para
tokoh di dunia persilatan yang pernah kuceritakan kepadamu. Jangan memandang rendah lawan,
dan jangan mencari perkara. Bersikaplah seperti murid terkasih seorang datuk, tidak seperti
perempuan petualang yang mengandalkan kepandaian lalu bersikap congkak dan menyebar bibit
permusuhan dimana-mana."
Cin Cin merangkul gurunya, "Aku mengerti subo. Dan kapan aku harus berangkat?"
"Hari ini juga. Mari kita pulang, engkau cepat berkemas dan hari ini juga meninggalkan rumah
kita."
Mereka lalu bergandengan tangan menuju ke sebuah rumah yang berdiri terpencil di luar dusun
nelayan, tak jauh dari pantai. Mereka jalan bergandengan tangan seperti kakak beradik saja, tidak
seperti guru dan murid dan melihat dari belakang, takkan ada yang menduga bahwa seorang di
antara mereka adalah seorang wanita yang usianya sudah enampuluh tahun lebih!
"Berhasil atau tidak, dalam waktu setahun engkau sudah harus kembali ke sini," demikian pesan
Tung-hai Mo-li ketika mengantar muridnya pergi sampai ke luar daerah perbukitan di sepanjang
pantai itu. Ketika gadis itu dengan pedang di pinggang dan buntalan pakaian di pundak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
meninggalkannya, Tung-hai Mo-li termenung, betapa semangatnya seperti terbawa pergi, ia
mencintai gadis itu seperti anaknya sendiri.
Cin Cin yang melangkah dengan cepat juga tidak ingin terlihat menangis oleh gurunya. Ketika ia
meninggalkan gurunya, ia merasa begitu sedih dan kasihan kepada gurunya yang amat
disayangnya itu. Biarpun gurunya seorang datuk, namun terhadap dirinya, Tung-hai Mo-li amat baik
dan menyayangnya, maka dianggapnya gurunya seperti pengganti orang tuanya. Bagaimanapun
juga, ia masih ingat bahwa ia adalah puteri ketua Hek-houw-pang, perkumpulan orang-orang
gagah, maka tentu saja ia tidak boleh menjadi seorang yang jahat.
Gadis itu melangkah tanpa menoleh lagi, menuju ke utara, ke sungai Huang-ho (Sungai Kuning).
Untuk mencari Pangeran Cian Bu Ong, subonya hanya memberitahu bahwa bekas pangeran itu
tinggal di lembah Sungai Kuning.
ooooo00000ooooo
Dusun Ta-bun-cung sekarang nampak ramai dan makmur. Hal ini adalah berkat perkumpulan
Hek-houw-pang yang kini telah berdiri kembali setelah dihancurkan oleh para penyerbu utusan
Pangeran Cian Bu Ong kurang lebih empatbelas tahun yang lalu. Ketika malam itu terjadi
penyerbuan, banyak tokoh Hek-houw-pang yang tewas. Ketika itu ketuanya, Kam Seng Hin, tewas.
Juga sutenya yang bernama The Ci Kok, disamping banyak lagi anggota Hek-houw-pang. Bahkan
kakek Coa Song, sesepuh Hek-houw-pang, meninggal dunia karena kaget dan berduka melihat
hancurnya Hek-houw-pang.
Cucunya yang sudah lama meninggalkan Hek-houw-pang, yaitu Coa Siang Lee, yang kebetulan
berada di situ ketika perkumpulan itu diserbu, juga tewas pula ketika membela Hek-houw-pang.
Lebih hebat lagi, isteri ketua Kam Seng Hin, yaitu Coa Liu Hwa diculik penjahat, demikian pula isteri
Coa Siang Lee, yaitu Sim Lan Ci, lenyap bersama puteranya Coa Thian Ki. Keluarga Hek-houw-pang
cerai berai tidak keruan, bahkan sejak terjadi penyerbuan malam itu sampai matinya kakek Coa
Song, Hek-houw-pang boleh dibilang telah mati. Para anggotanya tidak berani lagi bergerak,
apalagi karena sudah tidak ada yang memimpin.
Akan tetapi, beberapa bulan kemudian, muncullah Lai Kun, seorang di antara para sute dari
mendiang ketua Hek-houw-pang. Lai Kun adalah sute termuda dari Kam Seng Hin dan dialah yang
mendapat tugas untuk mengantar Kam Cin, puteri ketua itu ke Hong-cun, agar puteri ketua itu
menjadi murid Pendekar Naga Sakti Sungai Kuning.
Dia bercerita kepada para rekannya bahwa di sepanjang jalan Kam Cin atau Cin CIn menangis,
menyatakan tidak mau pergi ke Hong-cun, akan tetapi mengajak paman gurunya itu untuk mencari
ibunya yang hilang diculik penyerbu.
"Aku dapat mencegah ia lari dan membujuknya. Akan tetapi pada suatu malam, kami diserbu
gerombolan perampok. Ketika aku melawan pengeroyokan perampok itulah Cin Cin melarikan diri
dan lenyap. Aku sudah mencari sampai berbulan-bulan tanpa hasil, akhirnya aku pulang," demikian
Lai Kun bercerita. Tentu saja cerita itu bohong, karena seperti yang kita ketahui, dia telah menjual
Cin Cin ke rumah pelacuran!
Sebagai saudara muda ketua Hek-houw-pang yang sudah tewas, Lai Kun berhak
menggantikannya. Dia berusaha mengumpulkan para anggota Hek-houw-pang, kemudian perlahanlahan
dia memimpin para anggotanya untuk membangun kembali Hek-houw-pang. Dia berhasil
mengumpulkan kurang lebih limapuluh orang, dan mulai mendirikan perusahaan pengawalan
barang dengan bendera Hek-houw-pang. Mulailah perkumpulan itu berkembang dan mendapat
kepercayaan. Apalagi ketika pejabat daerah melapor ke kotaraja tentang Hek-houw-pang,
perkumpulan yang dengan gigih membela pemerintah Tang, sehingga dibasmi oleh anak buah
pemberontak Pangeran Cian Bu Ong, maka peristiwa itu masuk dalam catatan petugas di istana.
Ketika Pangeran Li Si Bin, tujuh tahun kemudian menggantikan kedudukan ayahnya menjadi kasisar
Tang Tai Cung, dia memeriksa semua catatan itu dan mendengar tentang Hek-how-pang, kaisar
inipun segera mengambil kebijaksanaan.
Kaisar berkenan memberi hadiah kepada Hek-houw-pang, melalui pembesar daerah dan Hekhouw-
pang menerima bangunan baru yang besar di Ta-bun-cung, juga menerima hadiah kereta
untuk pekerjaan mengawal barang, disamping dua losin ekor kuda pilihan, uang dan terutama
sekali, nama baik.
Peristiwa itu membuat nama Hek-houw-pang semakin terkenal dan dipercaya pedagang. Siapa
yang tidak percaya kepada perkumpulan yang telah mendapat pengakuan dan hadiah dari kaisar
sendiri?
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Demikianlah, dusun Ta-bun-cung ikut menjadi makmur berkat perkembangan Hek-houw-pang.
Dan Lai Kun, ketua baru Hek-houw-pang, berusaha keras untuk membuat perkumpulan itu semakin
maju. Dia kini menjadi seorang ketua yang terhormat dan terkenal. Dan sejak dia menjadi ketua
Hek-houw-pang, Lai Kun menikah dan kini mempunyai dua orang anak laki-laki berusia sepuluh dan
delapan tahun.
Dia hidup terhormat, kecukupan, berbahagia dengan keluarga. Kalaupun kadang-kadang dia
teringat kepada Cin Cin dan diam-diam dia menyesali perbuatannya, dia cepat mengusir kenangan
itu sebagai sebuah mimpi buruk yang amat mengganggunya.
Tak seorangpun tahu akan peristiwa itu dan Cin Cin sudah dianggap lenyap atau mati oleh
semua anggota Hek-houw-pang, walaupun kadang-kadang Lai Kun termenung dan ada perasaan
khawatir apabila dia teringat kepada Cin Cin.
Empat belas tahun telah lewat sejak peristiwa pembasmian Hek-houw-pang dan kini dusun Tabun-
cung sudah berubah banyak. Banyak terdapat toko dan kedai makan minum dan para
penghuninya yang dahulu sebagian besar hanyalah petani-petani miskin yang pakaian dan
rumahnya butut, kini pakaian mereka jauh lebih baik, karena penghasilan mereka baik.
Perdaganganpun mulai ramai dan semua orang memuji ketua Hek-houw-pang yang kini dipanggil
Lai-pangcu (Ketua Lai). Bahkan Lai Kun diangkat sebagai ketua atau kepala dusun Ta-bun-cung
oleh penduduk.
Pada suatu senja, Lai-pangcu bersama isterinya, seorang wanita penghuni dusun itu juga yang
berwajah cantik, duduk minum-minum sambil menikmati makan kecil di serambi depan. Dua orang
putera mereka sehat-sehat dan sebagai putera ketua Hek-houw-pang, tentu saja dua orang anak
laki-laki itu dilatih ilmu silat. Akan tetapi karena ayah mereka menghendaki agar kelak mereka
dapat menduduki pangkat, keduanya juga diharuskan mempelajari ilmu baca tulis secara
mendalam. Untuk itu, Lai-pangcu sengaja mendatangkan seorang sasterawan dari kota untuk
mengajar kedua orang puteranya.
Hari mulai gelap dan seorang pelayan menyalakan lampu-lampu di rumah, juga lampu tembok
yang berada di serambi depan, di mana keluarga itu sedang minum teh. Pelayan itu tidak berani
berlama di situ, setelah menyalakan lampu segera ia masuk kembali karena tidak ingin
mengganggu majikannya sekeluarga yang sedang santai. Isteri Lai Kun seorang wanita yang
lembut dan kedua puteranya juga merupakan anak-anak yang pandai dan patuh. Lai Kun merasa
berbahagia sekali. Dia kini telah berusia limapuluh empat, tubuhnya yang dahulu kurus itu kini telah
berubah gemuk, sehingga hidungnya yang dulu nampak besar karena mukanya kurus, sekarang
kelihatan serasi.
"Ayah, ada tamu....................!" seorang puteranya menuding ke pintu pagar. Lai Kun dan
isterinya memandang dan benar saja, di dalam cuaca yang remang-remang itu nampak seorang
wanita yang bertubuh ramping memasuki pekarangan lewat pintu pagar dan kini melangkah
dengan tenang menghampiri serambi di mana mereka duduk. Lai Kun cepat bangkit, dikuti
isterinya.
(Bersambung Jilid XVII)

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 06, 2010 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Naga Beracun 3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang