Hujan masih turun saat guru fisika sedang menjelaskan materi dinamika rotasi. Suara spidol yang bertemu dengan papan tulis, juga suara rintik hujan yang membuat rasa kantuk datang tanpa disadari. Devan mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kelas. Sudah pasti, mereka tidak peduli, hanya beberapa orang di bangku paling depan yang [dengan berat hati] memperhatikan guru menjelaskan materi. Selebihnya? Sudah terlarut dalam alam mimpi.
Jam dinding menunjukan pukul 15.15 saat bel tanda pulang sekolah berdering. Mata yang tadinya menahan rasa kantuk mendadak segar kembali. Kelas mulai riuh, teman-teman Devan segera menyiapkan diri untuk segera keluar dari ruang kelas. Setelah guru fisika menutup pertemuannya, dengan cepat warga kelas berhamburan keluar.
Setelah keluar dari ruang kelas, hawa dingin langsung menyergap, rintik hujan masih turun meskipun tidak sederas tadi siang. Halaman yang tadinya gersang kini terlihat penuh dengan genangan. Devan segera berjalan menuju parkiran, mengambil sepeda gayuh yang sudah menemaninya selama hampir 2 tahun.
Devan menghela napas berat saat melihat ban sepedanya yang terlihat kempes. 'Bukannya tadi pagi baik-baik saja?' pikir Devan. Dengan berat hati Devan menuntun sepedanya keluar dari gerbang sekolah. Rintik hujan masih menemani langkahnya. Sebenarnya ia selalu membawa payung lipat yang diletakkan di tempat botol minumnya, tapi biarlah. Devan ingin menikmati titik-titik air yang sudah lama tak ia rasakan.
Namun tampaknya rintik hujan membencinya, ia berubah menjadi peluru air yang dengan keras jatuh menyerang bumi. Devan segera berlari membawa sepedanya ke gubuk tua untuk berteduh. Disana, terdapat seorang perempuan yang mengenakan seragam yang sama dengan milik Devan. Tunggu, sepertinya Devan mengenal dia. Namanya Ara, ia adalah teman sekelas Devan. Perempuan teledor yang sering telat masuk kelas.
Setelah agak lama Devan mencoba menyapa Ara.
"Udah dari tadi Ra?"
Ara terlihat kaget dan menoleh ke arahnya.
"Iya, dari tadi."
"Nunggu jemputan ya?"
"Iya,"
Tidak berselang lama, Ara kembali membuka percakapan.
"Devan,"
Aku menjawab "Ya?"
"Kok kamu bisa pintar sih? Perasaan ulangan nggak pernah remidi."
"Biasa aja sih Ra, sama aja kita, kalau misal aku dapat nilai bagus ya karena aku belajar, bukan pintar dari sananya."
"Enak ya kamu, nggak dibandingin sama anak tetangga."
Setelah itu, mereka terlarut dalam pikiran masing-masing. Air di dalam selokan mulai meluap ke badan jalan. Jalan yang biasanya ramai terlihat sepi. Warung-warung yang tutup kini dipenuhi orang-orang yang berteduh dari derasnya hujan.
"Devan, aku boleh minta tolong tidak?"
"Bantuin aku belajar, biar aku enggak dimarahin ayahku lagi."
Setelah diam sejenak aku menjawab pertanyaan Ara.
"Oh tentu Ra, kita bisa belajar bareng kapan aja kamu mau."
"Makasih Dev,"
"Iya, sama-sama."
"Omong-omong ban sepeda kamu bocor ya?"
"Iya, padahal tadi pagi baik-baik aja."
"Oh, omong-omong di sebelah sana ada tukang tambal ban tuh."
Ujar Ara sambil menunjuk bangunan yang didepannya banyak ban berserakan.
"Oh iya, kenapa dari tadi nggak sadar ya,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Semesta Tak Pernah Ingkar Janji
Short StorySemesta tidak pernah mengingkari janjinya. Kali ini semesta memberi jawaban atas usahanya. Mungkin manusia hanya menilai seseorang dari hasilnya, tetapi Ara percaya bahwa Tuhan senantiasa menilai hamba-Nya dari proses, usaha dan doanya. Mungkin gaga...