Satu bulan lagi berjalan tanpa terasa. Shalu sekarang sudah berada di bandara, tempatnya dan Evans berpisah dua bulan lalu. Hari ini si Mister Perfect pulang, dan Tante Mira meminta Shalu yang menjemput Evans bersama sopir pribadi Tante. Baru sekitar dua puluh menit dia duduk, cowok tampan itu sudah terlihat dari pintu kedatangan. Berkemeja dan celana rapi dengan style rambut klimis, Evans melambai-lambaikan tangannya pada Shalu. Dia lantas berlari-lari kecil sambil menyeret kopernya yang berukuran sedang.
"Hai, Babe! Thanks udah jemput aku," ucap Evans seraya memeluk Shalu erat.
Harusnya itu menjadi momen romantis bagi Shalu, seperti di film-film yang biasa dia tonton. Apalagi dengan aroma kalem Bvlgari Extreme yang menguar dari tubuh Evans, Shalu selayaknya betah berlama-lama dalam pelukan sang calon suami. Entah kenapa, rasa itu belum ada. Shalu justru ingin cepat-cepat meloloskan diri karena merasa risi.
"Hei, I miss you so bad, Babe." Evans menyeringai sambil membisikkan kalimat tersebut di telinga Shalu.
"Hmm, kita langsung pulang? Atau mau mampir ke mana dulu? Mending pulang aja sih, kamu perlu istirahat. Capek kan, habis perjalanan?" jawab gadis itu, menjauhkan diri barang sejengkal dari tunangannya.
Evans tersenyum. "Pulang, tapi kamu masakin aku di rumah, ya. Aku mau lihat hasil kursusmu selama ini, Babe."
Shalu mengiyakan dan keduanya pun meluncur pulang. Sesuai janjinya, Shalu memasakkan Evans salah satu menu yang sudah pernah dieksekusi. Ratatoullie yang menjadi pilihan, dan Shalu senang saat Evans memujinya di suapan pertama.
"Hmm ... ini not bad, Babe. Enak," ujar si tampan sambil terus mengunyah. "Oh, iya. Benar besok kita harus ke KUA?"
"Iya, Vans. Pemeriksaan berkas-berkas sama ada kelas pra nikah."
Evans menghentikan kegiatan makannya dan menatap Shalu lekat-lekat. Dia berdeham sejenak. "Babe, sebulan lagi kita nikah dan kamu masih aja manggil aku Vans, Vans, apa itu pantas? Di chat kamu manggil aku 'babe', kenapa kalau ketemu berubah Vans?"
Emang penting banget, ya, soal panggilan ini! Shalu menggerutu dalam hati.
"Aku cuma belum terbiasa, Vans. Aku perlu waktu."
"Terserah kamu lah. Besok aku jemput." Evans mendesah.
Semua cewek yang dikenal dan dekat dengannya selama ini tidak ada yang memanggilnya dengan sebutan nama saja. Shalu, calon istrinya, justru berkilah dengan berbagai alasan hanya untuk menyebutnya dengan panggilan kesayangan. Cewek ini emang beda, Evans membatin.
*
Sinar matahari pagi menerobos kaca jendela, biasnya jatuh dengan lembut mengenai setiap benda yang tersentuh olehnya. Shalu sudah bersiap rapi. Hari ini adalah hari penting untuk persiapan pernikahannya, pemeriksaan berkas di KUA daerah Shalu. Dia dan Evans sudah mengumpulkan berkas-berkas beberapa waktu sebelumnya kepada petugas, dan hari ini mereka harus datang untuk pemantapan. Ada juga kelas pra nikah yang harus diikuti, peraturan baru yang diterapkan Kemenag. Sebenarnya, aturan ini sudah ada sejak tahun 2018 lalu, tapi baru disahkan dan diterapkan sekarang sebagai syarat menikah.
Evans menjemputnya beberapa saat kemudian. Penampilannya yang rapi selalu membuat Shalu berdesir dan merasa minder jalan dengan calon suaminya. Dia takut orang-orang akan melihatnya sebagai Upik Abu saat berada di samping Evans begini. Pikiran konyol!
Keduanya langsung berangkat ke KUA yang berjarak tidak begitu jauh dari rumah Shalu. Paman Shalu, yang dimintai tolong Mama untuk menjadi walinya, juga ikut. Petugas yang mengurus berkas Shalu segera menyambut, dan sedikit-sedikit mengarahkan perihal apa yang harus mereka lakukan nanti. Saat nama Evans dan Shalu dipanggil, bapak petugas tersebut juga ikut mendampingi menghadap penghulu. Pertanyaan-pertanyaan seperti sejak kapan keduanya saling kenal, benar sudah mantap belum menikahi satu sama lain, ikhlas atau tidak Shalu diberi mahar yang disebutkan, terlontar dari mulut Bapak Penghulu. Evans menjawab semuanya dengan mantap, berbeda dengan Shalu yang justru terbata-bata.
"Kok gugup begitu, Mbak? Sudah mantap memilih Mas Evans ini sebagai suaminya?" Pak Penghulu menurunkan kacamata ke batang hidungnya yang sedikit bengkok, kedua matanya mengamati Shalu dengan sungguh-sungguh. Puluhan tahun menghadapi pasangan yang kawin-cerai membuatnya sangat peka jika tercium bau keragu-raguan.
"Eh, anu, Pak. Sudah kok, sudah mantap."
"Baiklah kalau begitu. Dasar dari pernikahan yang paling utama itu harus mantap dulu, Mbak, antara satu sama lain. Kalau nggrambyang ya, gimana mau jalan? Wong kadang yang sudah mantap betul dan kenal dari lama saja masih gugup di malam pertama, apalagi yang ragu-ragu begitu?" Pak Penghulu mencoba berkelakar, yang ditanggapi tawa maksa dari Evans dan Paman Shalu.
Setelah urusan pemeriksaan berkas dan pemantapan tersebut selesai, keduanya mengikuti kelas pra nikah bersama calon pasangan lainnya yang juga akan menikah dalam waktu dekat. Peserta kelas pra nikah tersebut diberi modul dan materinya disampaikan oleh petugas Dinas Kesehatan. Tujuan diadakannya kelas pra nikah adalah untuk menekan angka perceraian yang setiap tahun semakin tinggi. Selain itu, juga untuk mengajarkan pada calon pengantin seputar kesehatan sistem reproduksi, adab dan tata cara berhubungan seksual yang benar, juga dasar-dasar krusial lainnya dalam berumah tangga. Setelah mengikuti kelas ini, nantinya calon pengantin akan mendapatkan sertifikasi layak nikah.
Evans jengah sekali mendengar ceramah tersebut. Kakinya tak henti mengetuk-ngetuk lantai, gusar. "Babe, kita nggak perlu ikut kelas semacam ini sebenarnya. Ini cuma buat edukasi orang-orang yang minus aja, kan?"
Shalu menaikkan alis. "Minus gimana?"
"Ya buat mereka-mereka yang cuma tamat SMP mungkin. Kamu dokter, seharusnya kamu yang ngasih materi, Babe, bukan malah jadi pendengar khotbah. Kita bisa cabut dari tadi kalau kamu nggak ngotot. Cukup bilang ke petugas di sini siapa kita, dan kita bakal bebas."
"Ini peraturan pemerintah, Vans! Berlaku buat siapa aja, nggak pandang bulu. Nggak perlu bilang ke petugas, mereka udah tahu juga siapa kamu. Penampilan kamu menegaskan semuanya!" Shalu menjawab ketus sambil melirik jam tangan menyilaukan yang melingkar di pergelangan tangan Evans---Rolex keluaran terbaru yang dibanderol dengan harga selangit.
Tanpa harus bilang pun---cuma dengan sekali lihat berkas Evans saja---Pak Penghulu juga sudah tahu siapa dia. Shalu lega karena ternyata status Evans tidak membuatnya dispesialkan. Agak kesal juga dia dengan sikap songong Evans. Atau kesal karena dari tadi semua cewek di ruangan ini curi-curi pandang pada calon suaminya?
===&===
Eh, Shalu bisa cemburu juga sama Evans. Mulai cinta nih! 😄
Maaf baru up ya, semalam lagi nggak enak hati, jadi nggak bisa nulis, hehe. Ntar up lagi, insyaAllah...
Makasih yang masih stay tune! 😍
Salam Spatula,
Ayu 😘
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Recipe (Tamat)
Chick-Lit[SUDAH TERBIT] Shalu Yoris Bijani, seorang dokter hewan yang gak suka masak terpaksa harus mempraktikkan 25 resep masakan favorit calon suaminya, Evans. Gara-gara kewajiban yang bikin stres itu, Shalu bertemu dengan Brahma, seorang Executive Chef di...