"Jika kita bertemu dengan perpisahan, dan suatu hari kita bertemu lagi, aku ingin kita saling mencintai, seperti saat ini. Menjadikan kita abadi."
Suara itu terngiang-ngiang dalam intuisi seorang Chester. Matanya terkatup tanpa ia inginkan, dengan jam beker yang sepertinya telah putus asa berteriak membangunkannya pagi ini.
Ia kembali menekan tombol untuk mematikan jam beker miliknya. Memejamkan matanya kembali, dengan posisi tubuh telungkup dan wajah yang sebagian tenggelam oleh bantal putihnya. Rasa nyenyaknya memang terlihat pada mulut yang sedikit terbuka.
Terdengar erangan kecil di ruangan sebelah. Chester kaget, ia cepat-cepat bangun dan memaksakan mata merahnya untuk memandang jernih. Membiarkan kepalanya terasa diseret paksa untuk berlari. Semuanya terasa sakit, pikirannya serasa beku dan mulai pecah.
"Tunggu sebentar, Ibu."
Chester menutup matanya sebentar. Menggelengkan kepalanya seperti sedang memutuskan sesuatu dalam pikirannya. Ia melangkah pelan-pelan, menyusuri ruangan sebelah-atau kamar ibunya.
Itu Arabella, dengan wajah pucat dan badannya yang telah habis termakan penyakit berat. Ia telah menghabiskan waktu di ranjang dengan terus berbaring tanpa kenal waktu.
Kelopak matanya yang berkeriput hanya menatap ke samping, mencari putranya yang masih setia merawatnya sampai saat ini. Senyumnya terbit, walau terasa kecil dan hampa. Menyesakkan siapa pun yang melihatnya.
Orang yang mengalami sakit keras, masih bisa tersenyum.
Chester ingin sekali menumpahkan segala ceritanya pada Arabella. Membagi kisahnya dengan kekasih yang meninggalkannya kemarin malam. Namun ia terlalu takut-rasa canggung dan ragu itu ada. Apalagi ketika ibunya mengucapkan sesuatu yang teramat menyesakkan dada.
"Chester sudah besar, ya?" Diiringi senyuman lebar dan kedua mata Arabella yang pada kedua ujung alisnya terlihat kekhawatiran akan kasih sayang yang tak tersampaikan.
"Kau ... kenapa, Chester?" Ibunya masih bisa bertanya, memperhatikan penuh anaknya walau hanya bisa terkapar lemah di kasur tua sederhana-yang sudah mulai reyot.
Chester hanya tersenyum membalas pertanyaan ibunya. Lantas, mencium pipi Arabella dengan lembut. Seakan wanita itulah satu-satunya harapan hidup untuknya. Semua ini mencekik dadanya dengan kejam.
"Tak apa, Bu. Apa Ibu ingin sarapan?" Chester berusaha mati-matian menyingkirkan tangis yang sulit ditahan. Hatinya terasa sesak, ketika mendengar erangan sakit Arabella, cara wanita itu tersenyum, dan bertanya penuh perhatian. Seakan ia tak pantas menerima semua hal itu.
Arabella memandang lama pada putranya. "Kau akan memasak, Sayang? Jika iya, Ibu ingin omelette dan segelas susu."
"Akan kumasakkan, Ibu." Chester kembali mengecup pipi Arabella dengan perasaan perih, dan beralih ke dapur untuk memasak sarapan sederhana.
Mengocok telur, benak Chester kembali berbalap memikirkan takdirnya yang kelam. Semakin perih saat mendapati kelemahannya beberapa menit yang lalu-perhatian Arabella yang terasa manis tapi menyesakkan hati. Apalagi setelah perpisahan kekasihnya yang melangkah pergi entah ke mana.
"Chester, kau tak lelah merawat Ibu?"
"Ibu lelah, Sayang. Ibu tak sanggup melawan semua penyakit yang ada dalam tubuh Ibu. Kau tak terurus, saat kau berumur 15 tahun, sampai sekarang, 19 tahun."
"Ibu ingin menyerah, untuk semuanya. Maafkan Ibu, Sayang."
Chester menyeka air matanya yang mengalir tanpa hasrat. Memejamkan matanya kuat-kuat, tak tahan akan rasa sesak yang terasa bagai hujaman tombak menuju hatinya yang terdalam. Rasa menyerah itu tak hanya ada pada Arabella, tetapi anaknya pun sama.
Isakan demi isakan ia usahakan untuk ditepis mati-matian. Mengelap seluruh air mata yang mengalir bagai hujan deras. Baju putihnya kini dipenuhi air mata di sekitar bawah lehernya. Kepalanya berlinangan keringat, dengan tegangnya tubuh yang melemahkan fisik-apalagi dadanya yang mulai terasa nyeri.
"Chester ...." Erangan perih itu terdengar lagi-Arabella kembali melawan lebih terhadap penyakitnya.
×·×·×
gais, maapin buat unpubnya Bravery, soalnya nggak bagus aja gitu alurnya. Maksudku, melenceng dari outline dan sial, itu nggak banget menurutku. Btw, cerita itu dah nemu alur baru, dan secepatnya pun setelah wieder resmi tamat! Soon, aku publish dengan segala ke-cringe-annya hehe
Dan, ya, kalau kalian ngerasa masih ada plot hole tentang Chester, nanti aku jelaskan lebih lanjut dan bakal semaksimal mungkin ditepis semua plot hole yang ada.
Sebenarnya ini catatan buat diriku sendiri. Biar ngingetin sama diri sendiri, nggak boleh berpikiran suicidal. Jadi, cerita ini walau kesannya rada kelam, tapi tetep ada pelajarannya kok :')
Yaudah, guys. Thanks for reading, and bye! ❤️ Aku bakal fast up, nggak boong deh!
KAMU SEDANG MEMBACA
Asleep
RomanceAntara mimpi dan kenyataan yang tak bisa terbendung jelas. "Feel asleep. You're my euphoria, and my dysphoria."