Bagaimana rasanya menikah tanpa cinta? Menjalani hari-hari dari subuh hingga subuh lagi dengan perasaan kosong, dingin, suwung dan tak bersemangat. Segala aktivitasku hanya diisi dengan melayani kebutuhan laki-laki yang berstatus sebagai suamiku. Menyiapkan makannya, menyiapkan pakaiannya, mengelap sepatunya, mengantarnya ke pintu saat dia akan berangkat kerja, lalu menemaninya 'tidur' saat dia meminta.
Aku bukan perempuan munafik. Selalu ada perasaan menyenangkan saat dia menyentuhku, memasukkan miliknya ke dalam milikku dan mengantarkanku ke puncak tertinggi dalam alur pendakian kami. Tapi, setelah itu? Perasaanku tak lantas menjadi cinta.
7 bulan tinggal dalam rumah yang sama, dan tidur berdampingan di ranjang yang sama. Kehadirannya bukanlah apa-apa. Aku hanya menunaikan kewajiban yang katanya adalah anjuran agama.
"Ka..."
Aku mengerjapkan mataku pelan.
"Subuh, Ka..." dia menggoyang-goyang lenganku. Kubalas hanya dengan gumaman.
Bayangkan aku baru tidur jam dua pagi karena dia minta dilayani sebanyak empat kali. Badanku remuk, tulangku seperti habis dilolosi.
"Subuh, mandi besar, Ka." Katanya lagi.
Aku menyingkirkan selimut yang menutupi tubuh polosku, mengambil sarung yang dilipat rapi di keranjang samping tempat tidurku. Kupakai sarung sekenanya, menyusul Mas Ibra ke kamar mandi.
Meski tak cinta, aku suka menatapi tubuh kekar Mas Ibra saat tak memakai apapun di tubuhnya. Membelai pinggangnya, kala tangannya sibuk menggosokkan sabun di setiap inchi tubuhku.
***
"Aku buatkan nasi goreng, Mas. Topping sosis atau telur ceplok?"
Mas Ibra sudah rapi, sangat tampan memakai kemeja seragam kantornya yang berwarna hijau telur asin. Mas Ibra adalah seorang teller di bank swasta.
"Telur dadar boleh?" Katanya sembari mengecup bagian atas kepalaku yang tertutup handuk.
"Oke!" Aku segera memecah dua telur dalam mangkok kecil hadiah dari sabun cuci, mengocoknya pelan.
Nasi goreng dengan topping telur dadar kuletakkan di atas meja, bersamaan dengan selesainya Mas Ibra memasang jam tangan Rolex miliknya.
Kuambil sendok dan kusandingkan di sebelah piring Mas Ibra. Tak menunggu lama, sesuap nasi goreng hangat, masuk ke dalam mulut Mas Ibra. Lalu ibu jari dan telunjuknya membentuk bulatan sementara tiga jari lainnya berdiri tegak.
Mas Ibra adalah pemuji masakanku. Meski kadang hambar, meski kadang kebanyakan garam. Mas Ibra selalu melahap habis aneka masakan buatanku.
Sebagai suami, Mas Ibra adalah suami yang manis. Meski pernikahan kami sama-sama tak kami inginkan. Meski pernikahan kami terpaksa dilakukan. Tapi lakonnya sebagai suami patut diacungi dua jempol.
Selesai kuantar Mas Ibra berangkat kerja, kututup kembali pintu gerbang dan masuk ke dalam saat kulihat motor honda Vario milik Mas Ibra hilang di belokan gang.
***
Aku membereskan sisa sarapan, meletakkan piring kotor ke dalam wastafel. Melap meja makan hingga kinclong, lalu mencuci piring kotor hingga tuntas. Kulanjutkan membereskan dapur, menyapu dan mengepel. Tugas domestik Ibu rumah tangga, sepele namun seperti tak akan pernah ada habisnya.Rumah telah bersih. Namun badanku gerah, penuh keringat. Kuambil handuk biru muda dari gantungan, aku hendak mandi lagi. Aku memang terbiasa mandi sebelum berangkat ke Tukang Sayur langganan di sebelah SD dekat rumah.
Aku memilih naik motor honda beat putih, dibelikan bekas oleh Mas Ibra dua bulan yang lalu. Meski bekas, tampang si putih masih oke. Pemilik sebelumnya pasti sangat merawat motor ini. Dibelikannya motor ini karena aku harus jalan kaki untuk ke tukang sayur, Mas Ibra tak mau aku lelah.
Mbak War, tukang sayur langgananku memberikan uang dua ribuan sebagai kembalian. Aku mengambil uang itu sekaligus membereskan kresek berisi setengah kilo ikan lele, dua papan tempe dan dua ikat sayur bayam yang berbonus daun kemangi. Akan kubuatkan lele goreng, sayur bening dan sambal untuk makan siang Mas Ibra nanti.
***
Jarum jam di tangan kiriku menunjuk ke angka dua belas dan angka dua, aku sudah berada di area parkir kantor Mas Ibra. Sudah pula kukirim pesan padanya bahwa aku sudah di depan. Tapi belum ada balasan.Aku memilih duduk di bawah pohon rindang di sebelah gerai ATM yang terletak di depan kantor Mas Ibra. Sembari menaik turunkan layar, membaca satu persatu status teman dunia mayaku.
"Inka?"
Sebuah suara mengagetkanku, suara laki-laki yang tak asing di telinga, tapi bukan Mas Ibra.
Aku mendongakkan kepala. Jantungku nyaris lepas dari tempatnya, kala mengetahui siapa yang berdiri tak jauh dari tempatku duduk. Matanya merah, nyaris mengeluarkan kristal bening, namun berhasil di tahannya dengan apik.
Aku berdiri sembari tersenyum, berusaha membuat gegap di jantungku kembali normal. Lalu laki-laki itu menghambur ke arahku. Mengarahkan kepalaku ke dalam dadanya yang beraroma kayu.
"Kamu kemana aja?" Air mata laki-laki itu luruh sudah, karena dia menanyaiku sambil terisak. Badanku mengejang seketika. Kaku hingga tak kuasa mengendurkan pelukannya.
Belum sempat aku menjawab, lelakiku berdiri di depan gerai ATM, memakai kemeja hijau telur asin. Menatapku dengan nanar.
"INKA?"