Feelings

1.8K 148 29
                                    

Saat itu New baru masuk SMA.

"New... tenanglah..."

Ia bahkan harus tampil memalukan lagi di hadapan Tay. Ia menangis---tangisannya tak bisa berhenti.

Tay memeluk New. Ia mengusap rambutnya lembut tanpa berkata apa-apa. Tanpa disadari, tangan New melingkar di pinggang pemuda itu, seakan menahannya agar tetap dalam posisi itu untuk waktu yang lebih lama. Tanpa ragu, Tay membalasnya dengan semakin mengeratkan pelukannya.

Saat itu, New harap Tay tak merasakan degup jantungnya yang berdegup cepat. Kalaupun iya, New harap Tay mengira degupan itu akibat tangisnya yang mulai mereda.

Merasa New sudah sedikit tenang, Tay melonggarkan pelukannya. Ia mengangkat dagu pemuda itu, kemudian mengusap air mata yang masih menggenang di pelupuk matanya. Tay benar-benar tak bisa melihat New begini.

"Tenanglah," katanya sambil tersenyum tipis. Ia kemudian menepuk kepala New pelan. "Kita kirim doa buat Nenek, ya?" tawarnya. New mengangguk.

Hari itu, Nenek berpulang. Ia sudah dijemput oleh Tuhan dengan kereta musim hujan. Hujan deras saat itu seakan pertanda bahwa Nenek akan segera dijemput---dan sialnya, saat itu New memilih berteduh di teras sekolahnya.

Kalau saja... Kalau saja ia lebih cepat sampai rumah, atau kalau saja ia memilih untuk hujan-hujanan, sudah dipastikan ia bisa duduk di samping Nenek sebelum Nenek dijemput. Bahkan, mungkin New bisa ikut bersamanya.

Asap dupa merangsek masuk hidung New. Doa dipanjatkan untuk yang terkasih. Ia berharap Nenek diantar ke surga---dan seharusnya memang begitu. Akan tetapi New punya harapan lain: ia minta disiapkan kereta menuju akhirat juga.

Ia tak punya siapa-siapa lagi. Ayah dan Ibunya sudah tak tahu pergi kemana. New ditinggalkan begitu saja, sementara satu-satunya keluarga yang ia miliki malah meninggalkannya juga. Kalau sudah begini, kemana lagi ia harus berlindung?

"Hei, New..."

New menoleh ke arah Tay. Tay melanjutkan ucapannya, "Kali ini, biar aku yang melindungimu ya?"

***

Kondektur bus menepuk bahu New sambil berkata Chatucak. New mengerjapkan matanya, kemudian mengangkat tasnya. Akankah ini jadi awal atau akhir?

New terlalu gegabah dalam memutuskan hal ini. Tiba-tiba saja semua rasa bersalah yang sudah menumpuk di hatinya sampai ke otaknya,  mengisyaratkan bahwa ia harus pergi. Walaupun, ketika langkahnya memutuskan untuk benar-benar pergi, ia masih belum punya rencana pasti akan bagaimana ke depannya.

Yang jelas, yang paling utama, ia ingin menghindar dari Tay. Lagipula, apa ia masih punya alasan untuk tetap berada di samping Tay? Siapa dirinya? Ia malah berani-beraninya mencintai pemuda bersenyum cerah itu.

Iya. Cinta. Kata yang bahkan menggelikan dan sangsi untuk ia ucapkan. Ia tak menyangka jika bakal menggunakan kata ini untuk menggambarkan perasaannya pada Tay.

Awalnya, New pikir perasaannya itu lumrah dimiliki oleh sahabat. Apalagi mengingat persahabatan mereka yang sudah berlangsung lama, New pikir itu wajar saja. Namun, lama kelamaan ia sadar bahwa Tay sudah bukan sekadar sahabat di matanya.

New bahkan tak bisa menjelaskan bagaimana bentuk cinta itu. Perasaannya lebih dari sekadar kagum akan kebaikannya, juga lebih dari sekadar ingin selalu berada di sisi Tay. Perasaan yang rumit dan tak tergambarkan itu menuju pada titik yang sama: ia tak mau kehilangan Tay.

Namun, mereka sama-sama pria. Walau selama mereka bersahabat Tay belum pernah berpacaran dengan siapa pun, bukan berarti  Tay penyuka pria, bukan? Lagipula... New sungguh tak tahu diri bisa sampai mencintai malaikat pelindungnya sendiri.

Walau tampak konyol dan ceroboh, Tay sudah seperti malaikat pelindung buatnya. Tay selalu berada di sisinya, menjaga dan melindunginya. Kalimat Tay yang didengarnya saat itu nyatanya bukan gula-gula semata. Punggung Tay benar-benar selalu siap untuk melindunginya. Kapanpun. Dimanapun.

Kian lama, perasaan itu semakin besar, hingga menjadi cinta. Perasaan yang harusnya dimiliki oleh seseorang pada lawan jenisnya. Perasaan yang harusnya memikirkan siapa dan apa dirinya---dan New, sudah melanggar dua-duanya. Perasaan ini salah. Sangat salah, pikir New. Ia tak bisa begini terus. Maka, ia memutuskan untuk pergi saja. Walau ia tahu, menghindari Tay, sama saja dengan menghilangkan satu-satunya hal yang berharga dalam hidupnya yang berantakan.

Sebab, ia sadar, takdir memang tak sudi tersenyum padanya.

***

Tay memijat keningnya. Ia kembali meneguk air putihnya, berusaha menghilangkan kantuknya. Ia tak berani menyentuh kopi lagi karena gelas kopi terakhirnya sudah membuat jantungnya berdebar.

Jika New ada di sini, ia pasti akan menasihati Tay untuk tak minum kopi. Walau New bekerja di kedai kopi, tak pernah sekali pun New menawarkan kopi untuknya. New hapal betul jika ia tak bisa minum kopi.

Namun, hari ini Tay bandel. Demi New. Jika New tahu nanti, pasti pemuda itu akan mendengus sebal dan mengomelinya.

Kalau dipikir-pikir, Tay selalu senang melihat ekspresi pemuda itu. Di awal-awal pertemuan mereka, tak ada ekspresi lain yang New bagikan selain ekspresi muram. Walau Tay sering melemparkan lelucon---yang ia dapat dari papanya---New hanya tersenyum tipis. Namun, perlahan New mulai menampilkan banyak ekspresi di hadapan Tay---dan itu membuatnya merasa senang.

Tay masih belum kuat untuk melanjutkan kemudinya ke Chaiyaphum. Ia masih duduk bersandar di toko swalayan, memandang ke jalan. Siapa tahu saja ia menemukan New lewat sana.

Lelaki itu jadi merenungkan, hal apa yang sebenarnya mendorongnya sampai sini? Apakah benar atas nama sahabat? Atau...

Jujur, Tay tak pernah merasa jatuh hati pada siapapun. Ia memang seorang social butterfly, bukan berarti ia lantas dengan mudahnya mendekati siapapun untuk tujuan yang lebih serius. Ia senang punya banyak teman, tetapi juga tak masalah jika harus kehilangan beberapa di antara mereka. Hidup memang begitu; Ada yang hadir, juga ada yang pergi. Prinsip itu yang selalu Tay pegang. Namun, ada satu orang di mana prinsip itu tak mau ia berlakukan: New.

Ia tak ingin New pergi, apalagi hilang. New adalah orang berharga yang selalu ingin ia lindungi. Ia bahkan tak mau melihat pemuda itu menangis. Hatinya menjadi lemah dan tak berdaya jika melihat New begitu.

Makanya, Tay selalu senang jika bisa melihat banyak perasaan dari raut wajah New. Ia selalu merasa lega jika melihat New tersenyum di dekatnya. Ia selalu merasa bahagia ketika pandangan New tertuju padanya.

Ia bahagia... jika segala tentang New beredar di orbitnya. Kali ini, orbit itu menjauh seperti ditelan blackhole. Tay tak bisa. Dayanya hilang. Separuh jiwanya melayang.

Tay memang bodoh jika disuruh mengartikan apa yang ia rasakan ini pada New. Selama ini, ia selalu menganggapnya sebagai rasa ingin melindunginya saja. Namun, ia mulai sadar jika New memang sangat berarti untuknya.

Ia jatuh cinta pada New.

tbc

Hi! I'm Zac. Thank you sooooo much for reading my fic. Hope you guys like it! 😂 I'll see ya again~

Imperfection x TayNew (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang