Pagi melepaskan kecupan bumi terhadap mentari. Terminal penggaron menjadi tempat yang ramai kala hari baru saja dimulai. Deretan manusia tengah berbaris menghadap sepasang meja dan kursi yang didesain untuk membuat penjual tiket betah menetap seharian di sana. Terlihat juga kumpulan orang sedang tertidur di sudut-sudut bangunan. Tergeletak bagaikan ikan pindang.
Terminal merupakan tempat unik yang punya khas tersendiri. Tempat yang menjadi lokasinya para penanti kehadiran sosok penting dalam hidup. Bisa juga menjadi tempat beberapa pendatang untuk tersesat dan bertanya kesana kemari tentang lokasi yang sedang mereka tuju. Dalam sesi tanya jawab terhadap orang yang belum saling mengenal itu terkadang memunculkan ikatan-ikatan baru. Ada yang sekedar teman bicara, ada yang memutuskan untuk bertukar nomer, bahkan ada juga sepasang adam dan hawa yang dipertemukan hingga sepakat untuk memulai kisah. Namun ditengah semua kehangatan itu, ada saja manusia-manusia kurang moral yang menghancurkan suasana.
Dua pria berwajah garang memasuki sebuah warung makan yang berlokasikan pada bibir terminal. Semua wajah yang ada di dalam seolah berpura-pura tak melihat kedua pria berkulit gelap itu. Bagaimana tidak? Siapa juga yang mau berurusan dengan anggota preman di sana.
"Kurang, nih!" ujar salah seorang pria berbadan gelap.
"Biasanya juga segitu," balas Puput, gadis pemilik warung makan.
"Mulai hari ini biaya keamanan terminal naik."
"Gak bisa gitu, dong. Keuntungan saya aja gak seberapa, eh, mau di tarik aja."
"Tambahin uangnya atau kami biarkan jika ada keributan di warung ini?!" tutur pria itu mengancam.
Padahal, jika ada keributan pun itu sering disebabkan anggota preman lain yang tengah mabuk dan tak dapat mengendalikan emosi. Jadi yang sebenarnya terjadi adalah Puput membayar preman supaya preman-preman itu tidak membuat onar di sini, dengan dalih keamanan.
Seorang pria dengan handuk kecil yang digantungkan pada bahunya itu masuk ke dalam warung dan menarik kedua preman itu keluar. Ujang namanya. Pemuda yang kini memilih untuk menjadi sopir angkutan umum sebab hobinya berkelana tak dapat menghasilkan uang.
"Nantangin?!" kata salah satu preman.
Ujang hanya diam.
Merasa di rendahkan oleh seorang sopir angkot, kedua preman itu maju serentak sembari melemparkan pukulannya. Keduanya meleset. Lantas Ujang membalasnya dengan melemparkan tendangan ke arah pinggul salah satu preman.
Penduduk terminal yang berada di sana hanya menyaksikan dengan tatapan tegang.
"Sialan!" ujar preman yang belum terkena serangan. Lantas pria kulit gelap itu melesat ke arah Ujang.
Belum sempat sang preman menghantam, Ujang sudah terlebih dahulu melempar pukulan ke arah dagu preman itu. Darah kental mulai terlontar dari mulutnya. Lantas kedua preman itu melompat lari. Mungkin akan kembali dengan rekan yang lebih banyak. Kembali dengan persiapan yang matang untuk memberi dendam. Seluruh saksi atas pertengkaran tadi mulai menghembuskan napas, lega.
Puput mendekati Ujang. "Terima kasih, Mas."
"Tak perlu. Yang aku butuhkan hanya ide, bagaimana caranya agar aku selamat ketika mereka datang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Prosa Pengantar Kisah
Short StoryMeski aku dan kau tengah tersesat pada suatu persimpangan, yakinlah kita akan memilih satu jalan yang sama.