Aku melajukan motorku melewati jalanan perumahan tentara. Jalanan yang dulu aku lewati setiap hari sebelum ke kampus. Aku tersenyum, ketika setiap apapun yang aku lihat sedikit berubah, tapi aku tetap mengenalnya, padahal sudah 5 tahun lamanya tidak kemari, seluruh indra memicu memori - memori yang tersimpan dalam, naik ke permukaan pikiranku dan mulai membuatku rindu.
Sekarang aku berbelok. Sebentar lagi aku sampai di tujuan. Di sebelah kiri berjajar pohon - pohon besar, baru di sebelah kanannya adalah rumah - rumah dinas dengan bangunan nuansa jaman dulu.
Di kalender, aku melingkari hari ini, karena aku akan bertemu sahabat lamaku, Erma, sahabatku sejak kuliah. Setelah hari kelulusan, kami tidak pernah bertemu lagi karena aku meneruskan karirku di luar kota, hanya lewat chat, telepon, dan video call kami bisa tahu kabar masing - masing. Satu bulan yang lalu – Erma, mengabariku bahwa dia sakit yang mengharuskannya menginap di rumah sakit.
Setelah 1 bulan itu, tak ada kabar lagi darinya, dia pasti sudah sembuh. Aku tidak memberitahunya bahwa hari ini aku pulang dan akan mampir ke rumahnya, rencananya sih biar surprise.
Lama berkendara, akhirnya aku sampai di titik tujuan. Aku melewati pagar rumah yang warna catnya masih berwarna pink. Setelah memarkirkan motor, aku masuk ke teras rumah dan memencet bel. Tak lama, pintu terbuka. "EMEEEEE!!!!" aku langsung menggabruk dan memeluknya erat sekali. "AKU KANGEN BANGET TAU!!!"
"Hmm, Deb, itu mamah aku." Erma yang asli sedang menatapku di balik tubuh orang yang sedang aku peluk ini. Aku cepat melepaskan pelukanku. "Eh, tante." Lalu membungkuk mencium tangannya.
Tante tertawa. "Apa kabar Deby..?" tanyanya lembut.
"Alhamdulillah tante baik. Oh ini.." aku membuka ranselku. "Ini ada sedikit oleh - oleh.." sambil memberikan satu kantong kresek pada tante.
"Waaah makasih yaa Deb repot - repot, sini masuk. Tante lagi nyuci, ditinggal dulu yaa.." sambil berlalu.
Lalu berpaling ke Erma yang sedang cengar - cengir.
"AAAAAAAA!!" kami berpelukan erat sambil loncat - loncat kegirangan.
Kami pun duduk di sofa ruang tamu. "Coba kamu ceritain kenapa kemaren kamu bisa sakit?!"
"Iyaaa.. aku kemaren tuh sakit gara - gara makan seblak..."
Dia bercerita panjang lebar sampai yang tidak penting pun ia beritahu. Aku mengangguk menanggapi.
Setelah beberapa jam lamanya kami berbincang heboh, akhirnya aku lapar, "Eh aku mau ajak kamu ke tukang baso yang deket rel kereta itu, masih ada gak sih?"
"Mang mesum? Kenapa? Kamu mau ke sana?"
"Iyaaa. Eh sekalian ajak si Wulan yuk, dia kan deket dari situ."
"Bebas sih, yaudah aku siap - siap dulu bentar yaa.." dia berlalu ke dalam. Lalu kembali setelah selesai. "Aku bawa motor aja ya? Kan nanti Wulan ikut."
"Yaudah, berarti aku langsung pulang aja ya gak ke sini dulu."
Kami langsung caw ke tukang bakso langganan kami ketika kuliah. Ya ampun, sampai di sana aku terkejut abang terheran - heran, karena tempatnya jadi lebih besar. Erma mengajak untuk duduk di sudut paling ujung.
"Kamu mau pesen apa?" tanyaku.
"Aku engga, lagi puasa." Lalu nyengir.
"Eh serius?! Yaudah kalau gitu aku mau pesen mie ayam kesukaan kamu!!"
"Silahkan ajaa, wle!" menjulurkan lidah seolah menantang.
Aku berteriak memanggil penjual bakso dan menyebutkan pesananku. Si mangnya bilang "Sip."
"Aku telpon si Wulan dulu deh yah," kataku mulai mencari kontak Wulan dan menelponnya. Telpon pun diangkat. "Halo, Lan? Di mana?? Yaahh.. padahal aku lagi di Cimahi looh.. yaudah deh. Okeey lancar yaa.."
"Apa katanya?" tanya Erma.
"Dia lagi di rumah sodaranya. Yah.. tau gitu bawa motor satu ajaa."
Bakso pesananku pun datang diantar mang - mang. "Ini mba, mie ayamnya." Dia menyimpan baksonya di hadapanku.
"Yakin nih kamu gak mau??" aku menggoda Erma.
"Gak!! Udah jam 5 tau! Sebentar lagi buka."
Si mangnya tertawa, "Ada - ada aja mba ini." lalu berlalu.
Dari dalam terlihat bahwa di luar sudah mendung. Selesai makan bakso, kami memutuskan pulang karena takut keburu hujan. Di tengah perjalanan, benar saja, hujan deras mengguyur. Erma sudah jauh di depanku. "Duh pake jas gak yaah.." pikirku. "Yaudah deh nyari Erma dulu siapa tau nemu dia lagi make jas hujan di depan."
Setelah melewati tempat - tempat yang memungkinkan untuk berteduh aku tidak menemukannya. "Mungkin dia nerobos ujan." Pikirku. "Yaudah deh aku juga terobos aja, neduh di rumah dia dulu ajalah."
Sampai di rumahnya, aku tidak melihat motor terparkir di sana. Lampu luarnya pun belum dinyalakan. Aku mematikan motor dan cepat turun masuk ke teras. "IHHH si Eme ternyata neduh di jalaannn!!" gumamku kesal. Tirai jendela sudah ditutup dari dalam. Pakaianku basah kuyup, ingin memencet bel tapi aku malu kalau tidak ada Ermanya di rumah. Jadi aku akan menunggu seseorang dari dalam rumah yang akan menyalakan lampu luar, karena pasti dia akan melihatku dan menyuruhku masuk.
Sudah adzan Magrib, lampu tak kunjung dinyalakan, rumah ini gelap sekali, hujan pun tak kunjung reda. Aku mengambil hape dari dalam tas dan menelpon Erma. Sudah 3 kali telepon tidak ada jawaban, aku menelpon lagi, akhirnya diangkat. "Halo?" kata seseorang dalam telpon. "Ini Deby ya?" suara tante.
"Iya tante, oh hape Erma ketinggalan ya? Ini Deby lagi di.."
"Oh Deb, maaf tante gak kasih kabar, Erma meninggal bulan kemarin. Sebelumnya sempet dirawat di rumah sakit..." mendengar itu aku terkejut luar biasa. Sekarang jantungku berdegup kencang sekali.
"Hah?"
"Iya, tante sekarang udah di Kalimantan..." aku mematikan telponku karena takut. "Gak lucu sumpah!"
"Dek??" seorang bapak - bapak lewat memakai payung memanggilku – sepertinya menuju ke masjid terlihat dari pakaiannya. "Dek? Kenapa berteduh di situ??" lalu menghampiri aku yang keheranan. "Dek, berteduh di rumah Bapak aja, jangan di rumah kosong." Deg!
"Rumah kosong? Dari kapan kosongnya?"
"Udah lama, semenjak anaknya meninggal, sekeluarga pindah ke kampungnya. Adek kenal sama yang punya rumah ini?"
"Ohh..." aku berusaha terlihat baik - baik saja. "Enggak, Pak. Kalau gitu saya pulang aja. Makasih ya Paak."
Aku menaiki motorku dan langsung cepat pulang setelah menyalakan mesinnya. "Ini bukan mimpi kan?!"
~*~
Setelah semuanya jelas, esoknya aku berziarah ke makam Erma di daerah Cimahi. Matahari terik tetapi cahayanya hangat di badanku. Aku duduk jongkok di samping gundukan tanah bertaburan bunga yang sudah layu. "Maaf aku gak jenguk kamu waktu kamu sakit. Maaf aku gak dateng di hari kematian kamu. Tapi, makasih buat kemarin, walau sebentar tapi aku bersyukur bisa ketemu kamu untuk terakhir kalinya."