.
.
.
Namjoon duduk tak tenang di sofa, tangan terlipat dan wajah berkerut seram, alis bertaut sempurna meski tidak ada siapapun di sana. Tidak Yoongi maupun Hoseok. Kening Namjoon tertekuk tujuh, bersumpah pada dirinya sendiri bahwa tidak akan ada, sekali lagi, tidak akan ada yang sanggup menyelamatkan Seokjin dari sumpah serapah dan pidato penuh petuah begitu pemuda itu menampakkan batang hidungnya di depan pintu. Harusnya Seokjin sudah kembali ke apartemen mereka—maksimal pukul sepuluh. Sekarang sudah nyaris dini hari dan yang bersangkutan sama sekali belum kelihatan.
Namjoon melirik jam dinding seraya mendengus, detak jarum dari detik menuju menit menuju jam rasanya seperti irama yang membuatnya ingin membanting benda itu walau tak bisa.
Jam sebelas.
Batang hidung Seokjin belum juga muncul dan Namjoon mulai mati bosan. Lima bulan tinggal seatap sejak kuliah semester pertama dimulai, enam kali Seokjin pulang larut hingga Namjoon harus begadang menunggu sambil meringkuk menahan kantuk. Hoseok pernah mengejeknya seperti istri yang sedang menanti suami pulang kantor dan Namjoon langsung meninju mantan teman sekolahnya tersebut. Walau sudah berkali-kali menegaskan kalau dirinya adalah pihak atas dalam hubungan ini, Hoseok tetap suka mencibir.
Satu-dua kali, Namjoon masih tak acuh dan memilih tidur lebih dulu atau mengerjakan tugas kuliahnya sampai pagi. Namun setelah empat kali Seokjin pulang di atas pukul sepuluh, Namjoon tak mungkin lagi berdiam diri. Meski terlihat baik hati, mudah dikibuli, dan gampang terbawa suasana saat melihat hewan kecil, Namjoon masih memiliki ketegasan untuk bertanggung jawab. Kelembutannya bisa tiba-tiba berubah menjadi bengis jika menyangkut pemuda cantik tersebut. Dari dulu hingga saat ini, Seokjin adalah tetangga masa kecil yang rawan lepas kendali dan selalu butuh seorang pengingat. Mungkin Namjoon tak bisa lagi menegur tiap waktu seperti di sekolah menengah, namun bukan berarti dia lepas tangan tanpa kelanjutan. Keduanya masih di bawah umur, kalau sampai terjadi sesuatu, Namjoon tak akan sungkan mengirimnya ke Gwacheon disertai pesan tertulis, 'Paman dan Bibi Kim, kukembalikan anak lelaki kalian. Aku tak sanggup lagi.'
Cuping telinga Namjoon berdiri sewaktu telinganya menangkap suara pintu diketuk, umpatan yang diulang, kemudian sunyi dalam sedetik. Alisnya menyatu, ketukannya terdengar lagi.
Satu.
Dua.
Tiga kali.
Bahu Namjoon berkedik terganggu, suara ketukan tersebut membuatnya naik pitam. Seokjin pasti lupa membawa kunci. Bangkit, diseretnya kaki menuju pintu, membuka kaitan dan menarik tuas sekuat tenaga, sukses membuat sosok yang tengah bersandar di pintu ikut terhuyung jatuh.
Lengannya reflek menangkap tubuh Seokjin seraya terdiam beberapa saat. Sepasang mata elang Namjoon mengamati keadaan pemuda itu dengan seksama. Memastikan tidak ada baju tersayat, kulit terluka, atau mungkin sesuatu yang berhubungan dengan kantor polisi. Diamatinya lebih detil dalam posisi berdiri sebelum Namjoon sadar bahwa seharusnya dia berniat memarahi Seokjin.
KAMU SEDANG MEMBACA
SHENMEI | AESTHETIC (NamJin)
Fanfic[BTS - Namjin/Monjin] Karena keindahan Seokjin adalah anugerah terbesar yang tak berhenti dikaguminya. Tiap saat, diantara hela napas berhembus puja. Bahkan ketika Namjoon tak cukup mempercayai keberadaan Sang Pencipta. . . . . SHEN|MEI Kumpulan Fi...