Bi Nah berjalan mondar-mandir di kamar sambil menempelkan ponsel di pipinya yang kendur. Angkat, Den Brahma, angkat! Sesekali dia bergumam cemas. Jantung yang telah enam puluh enam tahun memompakan darah di tubuhnya nyaris berhenti berdetak saat nada panggil berganti menjadi sebuah suara.
Halo, ada apa, Bi?
"Alhamdulillah, ya Allah! Den, cepat ke sini, Den! A-anu, Den! Non Shalu, anu-anu, ya Allah! Den Evans Den, cepat ke sini!" Saking paniknya, Bi Nah tidak bisa mengatakan apa yang sedang terjadi di rumah mewah tersebut.
Brahma tersentak. Abdi Tante Mira itu tidak perlu menjelaskan panjang lebar untuk membuat Brahma tahu.
Aku ke sana sekarang, Bi!
Sang chef segera membayar coto Makassar di warung tenda lesehan langganannya, dan melesat ke rumah Tante Mira dengan kecepatan setan.
*
Tubuh Shalu sudah tak berdaya di bawah dominasi Evans yang membabi buta. Suaranya parau karena terlalu banyak berteriak dan menangis. Dia yakin dunianya akan segera berakhir saat tangan Evans dengan kasar membuka kancing celana jeansnya.
"Stop it, Vans. Please!" Gadis itu memberontak dengan sisa-sisa tenaga dan berteriak lagi sampai kerongkongannya terasa sakit.
Tidak Shalu sangka tepat di ujung pekikannya, dia mendengar pintu kamar didobrak sangat keras dari luar.
"BUKA! BUKA, ANJING!"
Brahma! Shalu membeliak.
"Brahma! Tolongin gue, Brahma!" Teriak dan tangisnya semakin keras begitu Shalu sadar dia masih punya harapan.
Evans yang tidak menduga hal ini akan terjadi, menghentikan serangannya pada sang calon istri. Kesempatan tersebut digunakan oleh Shalu untuk menendang tubuh tunangannya yang kekar itu. Evans terhuyung meski tak sampai ambruk. Secepat yang Shalu bisa, dia bangkit dan segera berlari ke arah pintu. Dibukanya gerendel kunci sehingga pintu kamar pun terbuka.
"Shalu! Astaga!" Wajah marah Brahma semakin merah padam begitu dia melihat kondisi tubuh Shalu yang merosot lemah di balik pintu.
"BAJINGAN! LO BENER-BENER BAJINGAN!"
Chef bintang dua itu serta merta menubruk Evans bagai banteng terluka, hingga tubuh kekar Evans terpojok di sudut kamar. Amarah Brahma menggelegak, tinjunya terkepal dan tanpa ampun mendarat di hidung Evans yang mancung.
"Shit!" Evans mengumpat. Cairan merah kental mengalir dari lubang indra penciumannya.
Tanpa peduli apa pun, kemarahan Brahma mengalahkan segalanya termasuk akal sehat. Dia terus meninju wajah Evans lagi dan lagi sampai tubuh sepupunya juga merosot tak berdaya.
"Bisa-bisanya lo ngelakuin ini lagi! LO BAJINGAN, VANS! Dari awal gue nggak percaya sama Tante Mira!" Sekarang tendangan Brahma mendarat di perut Evans yang kotak-kotak.
"Haha! Hahaha! Luar biasa!"
Shalu yang masih meringkuk di ambang pintu dengan air mata berleleran di pipi, tertegun melihat Evans tertawa sambil terbungkuk-bungkuk memegangi perutnya.
"Segini doang pembuktian cinta lo buat Shalu, Bro? Bunuh! Ayo bunuh gue!" Evans kembali tertawa.
Kali ini bukan hanya Shalu yang terperanjat. Brahma juga. Napas sang chef menderu, tangannya semakin erat mengepal bersiap mematahkan tulang hidung Evans.
"Stop! Stop, Brahma!" Bogem mentah itu tinggal sejengkal, dan terhenti secara refleks karena teriakan Shalu yang serak.
Shalu berdiri, lalu dengan ekspresi wajah yang tidak bisa diartikan, bergantian menatap Brahma dan Evans. "Gue nggak ngerti sama kalian berdua!" ucapnya seraya terseok-seok melangkah keluar dari kamar. Dia hanya ingin pulang dan mengakhiri semua ini.
"Kita belum selesai, bangsat!" Brahma mendaratkan satu tendangan lagi, kemudian berlari menyusul Shalu yang terus melangkah menuju halaman.
"Shal! Lo mau ke mana!" Sang chef menarik lengan Shalu saat gadis itu membuka pintu mobilnya.
Shalu tidak menjawab. Dia hanya berdiri mematung sementara matanya nyalang menatap Brahma. Nyalang, tapi kosong.
"Damn it!" Brahma menendang ban mobil, melampiaskan emosi yang masih tersisa. Dia lantas melepas jaket kulit yang dari tadi masih melekat di tubuh, dan mengangsurkannya pada Shalu. "Pakai ini."
Shalu tetap bergeming.
"Demi Tuhan, Shal! Pakai ini!"
Cowok itu menjambak rambutnya sendiri kuat-kuat. Frustasi. Tangan Shalu akhirnya terulur, mengambil jaket tersebut dan memakai untuk menutupi bagian depan tuniknya yang sobek. Mata cokelat Brahma berkaca-kaca melihat keadaan Shalu yang tak keruan. Amarahnya melesak lagi memenuhi rongga dada. Ingin sekali dia membunuh Evans saat ini juga. Lihat apa yang sudah Evans lakukan pada Shalu!
"Gue antar lo pulang." Direbutnya kunci mobil dari tangan Shalu, lalu Brahma menuntun gadis pujaannya ke sisi pintu penumpang.
Tepat saat cowok jangkung itu membuka pintu, Shalu berhenti sejenak. "Nggak usah, Brahma. Gue bisa pulang sendiri," ujarnya lirih.
"GUE ANTER LO PULANG!" Ucapan tegas sang chef dengan kedua matanya yang memerah membuat Shalu terhenyak. Dia pun menurut.
*
Perjalanan mengantar Shalu pulang merupakan perjalanan paling lama yang pernah dirasakan Brahma. Jarak tiga puluh menit tersebut diliputi keheningan dan campuran perasaan yang berkecamuk. Shalu hanya diam sambil menerawang kosong ke luar jendela, sementara Brahma menyetir dengan pikiran yang entah ada di mana. Barulah setelah Honda Jazz itu sampai di depan rumah Shalu, sang dokter hewan membuka suara.
"Lo tadi bilang Evans ngelakuin ini, lagi? Siapa sebelumnya?" Bibir Shalu yang pucat terlihat bergetar.
Brahma mengusap muka. Seluruh persendian tubuhnya terasa kebas. Pertanyaan Shalu adalah hal yang paling ingin dia lupakan selama dua tahun terakhir.
"Siapa, Brahma!" Shalu menyerongkan duduknya menghadap sang chef bintang dua, membuat Brahma semakin tergeragap.
Sunyi kembali menyelimuti. Hanya derik jangkrik terdengar di kejauhan, pertanda malam semakin matang. Sebentar kemudian derik jangkrik tersebut terlerai oleh suara tawa sumbang Shalu yang tiba-tiba.
"Ya, ya! Lo nggak usah bilang ke gue! Gue nggak perlu dan nggak mau tahu! Gue cuma pengin lo tahu satu hal, Brahma! Gue benci sama lo! Lo tahu semuanya, tapi lo juga sembunyiin semuanya!" Kalimat panjang itu terdengar seperti racauan putus asa. "Lo yang ngejerumusin gue sejak awal! Gue benci sama lo!"
Shalu keluar dari mobil, disusul Brahma yang sekarang hatinya semakin remuk redam.
"Shal! Tunggu! Gue sama sekali nggak seperti yang lo pikir! Gue nggak ngejerumusin lo, Shal!" Sang chef menahan erat lengan Shalu. Dokter hewan itu sedang berusaha membuka gerbang rumahnya.
"Gue nggak mau denger apa pun lagi dari lo, Brahma. Pergi!"
Cengkeraman tangan Brahma mengendur. Dia melangkah mundur perlahan sembari menahan luka batinnya yang kian menganga.
"Oke! Oke! Cewek sebelum lo itu calon tunangan gue! Puas lo, Shal? Hah!"
Shalu tersentak. Brahma berbalik, lantas pergi dengan langkah-langkah panjang.
===&===
Silakan berasumsi dan menebak-nebak apa yang akan terjadi selanjutnya, akuh mau ngopi dulu. Pusing euy nulis part ini 😂
Maacih yang masih setia ninggalin voment-nya! 😍
Salam Spatula,
Ayu 😘
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Recipe (Tamat)
ChickLit[SUDAH TERBIT] Shalu Yoris Bijani, seorang dokter hewan yang gak suka masak terpaksa harus mempraktikkan 25 resep masakan favorit calon suaminya, Evans. Gara-gara kewajiban yang bikin stres itu, Shalu bertemu dengan Brahma, seorang Executive Chef di...