Candu

1.1K 84 4
                                    

Disclaimer
Mohon maaf untuk segala bentuk kesamaan baik tema, alur maupun latar.
Kindly play the multimedia above here for more sense of the story.

- Kala senyum itu merekah
Jauh pun tetap candu
Walau tersadar akan fana
Akal pun tetap tertipu –

“Skor 62-60,” wasit pun meniup peluit tanda permainan telah usai.

“Selamat untuk Wild Tigers dari Seoul International School atas kemenangannya. Kepada Kapten Basket harap merapat ke panggung untuk serah terima hadiah.” Seru Master of Ceremony.

Saat ini para pendukung Wild Tigers bersorak sorai atas kemenangannya. Ya, itu tim basket kebanggaan sekolahku. Piala tidak pernah absen diraih di setiap pertandingan.

Aku pun ikut bertepuk tangan dan tersenyum lebar saat Wild Tigers dinyatakan sebagai pemenang.

Eh, lihat itu kapten kita mau ke panggung.” Seru temanku, Renjun selagi menepuk pundakku.

Kulihat ia beranjak ke panggung dan sesi serah terima hadiah pun telah usai. Saat hendak turun panggung, paras indahnya melongok ke atas dan mengedarkan pandangannya hingga berhenti saat sorotnya menatap sorotku. Napasku tercekat, tatkala ia menatapku dan tak lama ia memang senyum terindah miliknya.

Ah, wajahku merona. Aku pun membalas senyumnya tak kalah indah. Aku hanya bisa terdiam saat ia segera menyusulku di bangku penonton.

“Hai,” sapanya tanpa kehilangan senyumnya. Aku hanya bisa tersenyum, lidahku kelu untuk berkata-kata.

“Ayo, turun.” Tangannya terulur untuk menggenggam tanganku. Aku tersenyum seraya membalas ulurannya.

Kami berpegangan tangan menyusuri stadiun, lantas beranjak keluar.

“Kamu mau makan apa?” tanyanya saat sudah berada di kantin stadiun.

“Aku mau tteokbokki dan jjajjangmyeon.” jawabku seraya tersenyum hingga mataku membentuk bulan sabit, ia pun mengangguk, sebelum pergi ia mengusak rambutku gemas dan berkata,

“Dasar lapar mata,” aku hanya mengerucutkan bibirku sedangkan ia terkekeh dengan tidak sopannya kembali mencuri hatiku untuk kesekian kalinya.

Kami makan dengan tenang, tak luput candaan ringan saling terlontar. Oh, jangan salah, hampir satu jam kami di kantin karena kami berbincang jua tentang permainan yang usai ia mainkan.

“Mau langsung pulang?” tanyanya dengan tangan yang menggenggam erat tanganku.

Ga, aku masih ingin mengobrol denganmu.” Ia mengangguk dan membawaku ke taman dekat dengan parkiran stadiun.

“Selamat ya, permainanmu tadi keren sekali,” ucapku sembari tersenyum cerah padanya. Kini kami berdiri saling berhadapan, aku pun mengeluarkan sesuatu dari dalam tasku. Setelahnya aku justru tersandung dan membuatku memeluknya.

Terkejut dengan apa yang baru saja terjadi, aku justru mengeratkan pelukanku. Rasanya aku tak ingin lepas darinya. Ia yang dapat membuat jantungku berdegup kencang dengan pipi yang memerah dan senyum yang merekah. Ia dengan sejuta senyum indahnya bagai candu dalam setiap deru napasku. Aku tidak ingin melepasnya.

Namun, ia tidak membalas pelukanku, tangannya tidak ada di pinggangku dan justru tertahan bebas oleh udara. Aku makin mempererat pelukanku, menyamankan diri di dadanya dan menutup mataku seraya menikmati sepoi angin sore.

“Jeno,” tunggu! Ini bukan suaranya, aku mempererat pelukanku padanya berharap suara itu hanya halusinasi,

“Astaga Jeno, aku sesak sekali ini!” Sama! Ini bukan suaranya,

candu. [markno]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang