Gin-siauw Lo-jin maklum bahwa dia menghadapi lawan yang amat lihai, maka dia cepat mainkan Hong-in Bun-hoat dengan suling peraknya. Ilmu ini memang mukjijat, karena dahulu Pendekar Suling Emas menerima ilmu ini langsung dari manusia dewa Bu Kek Siansu, dan biar pun ilmu ini dimainkan dengan menuliskan huruf-huruf di udara, namun setiap gerakan mengandung daya serang yang amat mukjijat, di samping juga dapat menjadi daya tahan yang rapat seperti tembok yang kokoh kuat sehingga kini, gulungan sinar perak itu dapat membendung semua serangan poan-koan-pit yang luar biasa itu.
Pertandingan itu amat cepat dan seru, membuat kedua mata Cui Lan menjadi kabur dan kepalanya pening sehingga dia mengalihkan pandang matanya ke arah Siluman Kecil yang berdiri dengan tegak, tenang dan penuh perhatian. Sebaliknya, Hwee Li menonton dengan wajah berseri-seri. Girang sekali hati gadis ini dapat melihat pertandingan yang demikian hebatnya.
"Ahhhhh...!" Gin-siauw Lo-jin berseru dan terhuyung-huyung sampai lima langkah ke belakang. Meski ilmu Hongin Bun-hoat yang dimainkannya bisa membendung serangan lawan, namun karena memang kalah kuat dalam tenaga sinkang, dia sering kali tergetar dan terhuyung.
"Gin-siauw, mundurlah karena engkau sudah kalah." Tiba-tiba terdengar suara halus.
Gin-siauw Lo-jin cepat meloncat mundur, menyimpan suling peraknya dan menjura ke arah Liang Sim Tosu. "Saya mengaku kalah."
Liang Sim Tosu tersenyum lebar. "Bukan main... terus terang saja pinto hanya menang dalam hal tenaga, akan tetapi tentang ilmu silat, wah, pinto masih bingung menghadapi ilmu tadi."
Kini Sin-siauw Sengjin melangkah maju. "Ketua dari Kun-lun-pai terlalu merendah. Ilmu Im-yang Poan-koan-pit yang Totiang mainkan tadi memang hebat sekali, akan tetapi betapa pun hebatnya, masih belum dapat menandingi Hong-in Bun-hoat yang sudah dilatih dengan sempurna. Untuk membuktikan ini, harap Totiang maju dan mencoba suling kami!"
Tampak sinar emas menyilaukan mata dan ternyata tangan kakek tua renta ini telah memegang sebatang suling yang terbuat dari pada emas. Semua mata memandang dan jantung mereka berdebar. Itulah suling emas yang terkenal sekali dalam dongeng dunia persilatan, senjata dari Pendekar Suling Emas yang terkenal itu!
"Wah-wah-wah... kalau aku bisa mendapatkan suling itu...," terdengar Hwee Li berbisik.
"Hemmm, kau begitu murka menginginkan emas?" Cui Lan mencela.
"Aihhh, kau mana tahu..."
Mereka menghentikan bisik-bisik itu ketika sekarang ketua Kun-lun-pai itu telah mulai menyerang dengan poan-koan-pit di tangannya. Namun kakek tua renta itu kelihatan tidak mengubah kedudukan kakinya, hanya tampak sinar emas berkelebat dan setiap kali sepasang poan-koan-pit itu kena ditangkisnya, ke mana pun sepasang sinar hitam putih itu menyambar!
"Sekarang jagalah, Totiang!" Kakek tua renta itu berseru.
Kini nampak sinar emas yang panjang dan luas sekali seperti seekor naga melayang ke atas, kemudian menyambar turun dengan gerakan coret-coret seperti membentuk huruf. Terdengar suara trang-tring-trang-tring dan nampak bunga api berhamburan. Namun belum sampai dua puluh jurus, terdengar ketua Kun-lun-pai mengeluh dan sepasang poan-koan-pit telah terpukul lepas dari kedua tangannya!
Seorang murid Kun-lun-pai cepat-cepat mengambilkan senjata gurunya itu dan ketua Kun-lun-pai segera menjura penuh hormat. "Itukah Hong-in Bun-hoat yang terkenal dalam dongeng? Hebat bukan main dan pinto mengaku kalah."
Kakek itu tersenyum. "Pukulan tangan kosong yang dimainkan oleh murid kami tadi adalah Lo-hai-kun-hoat (Ilmu Silat Mengacau Lautan) yang diambil dari ilmu aslinya, yaitu Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan). Dan yang barusan dimainkan oleh suling kami adalah sebagian dari Hong-in Bun-hoat (Ilmu Sastra Angin dan Hujan)."
Semua orang memandang kagum sekali. Kakek itu menjura ke empat penjuru dan berkata, "Biar pun kami mengakui bahwa ilmu-ilmu ini adalah warisan yang kami dapat dari mendiang Pendekar Sakti Suling Emas, akan tetapi jangan Cu-wi mengira bahwa kami telah menguasai seluruhnya! Hemmm, kami selamanya menyembunyikan diri karena merasa bahwa kami belum dapat menguasai setengahnya saja dari ilmu-ilmu itu." Semua orang makin kagum mendengar ini.
"Locianpwe, saya sudah menunggu!" Tiba-tiba terdengar suara bening yang melengking nyaring dan ternyata suara ini adalah suara Siluman Kecil yang telah berdiri di tengah halaman itu dengan tegak, sepasang matanya memandang dengan sinar tajam.
Kakek tua renta itu menghela napas panjang, lalu menghampiri pemuda itu. Sejenak mereka saling pandang dan kakek itu berkata, "Aahhh, sudah setua ini baru sekarang kami bertemu dengan seorang pemuda yang benar-benar amat hebat kepandaiannya. Sicu, sekarang kami melihat bahwa engkau benar-benar tidak membawa teman dan ternyata engkau seorang yang memenuhi janji. Lima tahun yang lalu engkau mengaku kalah dan dapat sembuh kembali untuk memenuhi janji malam ini. Nah, kami telah siap, majulah!"
Pemuda berambut putih itu memungut sebatang ranting di atas tanah, kemudian dia menggerakkan ranting itu di depan dadanya. Terdengar suara mencicit nyaring, lalu dia menghentikan gerakannya dan berkata, "Locianpwe, saya hanya menuntut yang benar. Kalau Locianpwe suka mengakui kesalahan dan mengembalikan pusaka kepada yang berhak, saya pun tidak akan mendesak."
"Hemmmm, orang muda. Puluhan tahun kami memilikinya, mana mungkin mudah saja melepaskannya. Kami sudah siap, majulah! Kebetulan sekali banyak tokoh kang-ouw yang menjadi saksi pertandingan antara Sin-siauw Sengjin dan Siluman Kecil."
"Locianpwe mengerti bahwa saya hanya mempertahankan kebenaran!" kata Siluman Kecil sambil menggerakkan rantingnya dan memandang suling emas di tangan kakek itu. "Nah, maafkan aku!"
Tiba-tiba saja bagi mata kebanyakan orang yang hadir, tubuh Siluman Kecil itu berubah menjadi bayangan berkelebat dan lenyap! Sukar sekali mengikuti gerakannya dengan pandang mata, hanya tahu-tahu saja kakek itu sudah menggerakkan suling emasnya menanggkis.
"Tringgggg...!"
Kini semua orang melihat betapa Siluman Kecil telah berubah menjadi bayangan putih yang berkelebatan, mencelat ke sana-sini dengan kecepatan yang memusingkan kepala mereka yang memandangnya, dan kakek itu pun sudah memutar sulingnya sehingga suling itu lenyap berubah menjadii gulungan sinar emas.
Memang hebat sekali kakek renta itu. Gulungan sinar kuning emas itu melingkar-lingkar seperti seekor naga emas beterbangan di angkasa dan bermain-main di angkasa yang gelap, kadang-kadang mengeluarkan sinar kilat menyambar-nyambar dan terdengar suara suling itu mengeluarkan suara seperti ditiup oleh seorang anak kecil yang sedang belajar main suling. Sumbang dan tidak teratur. Padahal, menurut dongeng tentang Pendekar Suling Emas, kala pendekar itu mainkan suling emas sebagai senjata, maka akan terdengar suling itu seperti ditiup dengan lagu yang merdu! Hal ini saja sudah membuktikan bahwa memang Sin-siauw Sengjin belum menguasai ilmu itu secara sempurna seperti yang telah diakuinya tadi.
Pertandingan itu semakin lama semakin hebat. Terlalu cepat gerakan mereka, apa lagi gerakan Siluman Kecil yang luar biasa sekali, seolah-olah dia beterbangan kesana-sini sehingga kakek itu harus berputaran pula untuk menghadapinya karena musuhnya yang serba putih itu seolah-olah telah berubah menjadi enam orang yang menyerangnya dari empat penjuru!
Sudah hampir dua ratus jurus berlangsung, namun belum juga ada yang roboh. Semua orang yang menonton pertandingan itu sudah banyak yang tidak kuat, lalu terpaksa memejamkan mata. Hanya orang-orang lihai seperti ketua Bu-tong-pai dan Kun-lun-pai itu saja, termasuk Hwee Li, yang masih mampu mengikuti terus dengan mata tanpa berkedip saking tertariknya. Cui Lan sudah sejak tadi menunduk dan bibirnya berkemak kemik karena gadis ini telah berdoa untuk kemenangan Siluman Kecil!
Tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring dan suara ini membuat beberapa orang pemburu jatuh terjungkal dan pingsan. Untunglah Hwee Li sudah menempelkan telapak tangannya di tengkuk Cui Lan sehingga pada saat suara itu membuat kepala Cui Lan pening, rasa hangat yang menjalar keluar dari telapak tangan Hwee Li mencegah gadis itu roboh pingsan pula.
Dan terjadi perubahan pada pertandingan yang sukar diikuti oleh pandangan mata itu. Beberapa kali terdengar Kakek Sin-siauw Sengjin berseru kaget dan akhirnya gerakan mereka terhenti, kakek itu melompat jauh ke belakang, mukanya pucat, serta dahinya berkeringat dan napasnya agak terengah ketika dia memandang kepada Siluman Kecil yang berdiri tegak dan keadaannya masih biasa saja.
"Aku mengaku kalah... sekali... ini..."
"Kalau begitu Locianpwe harus mengembalikan..."
"Tidak! Menurut perjanjian, kalau kami kalah, kami semurid kami harus meninggalkan tempat ini. Akan tetapi, kau pernah kalah sekali, dan kami kalah sekali, berarti masih sama. Tunggu setahun lagi, kalau dalam pertandingan penentuan itu kami kalah, kami akan mengembalikan semua dan menyerahkan nyawa kami. Dan karena kami yang kalah sekali ini, kelak setahun lagi kami yang akan mencarimu, Siluman Kecil. Nah, selamat tinggal!"
Kakek tua renta itu lalu melangkah pergi perlahan-lahan dengan muka lesu, diiringkan oleh para muridnya yang dipimpin oleh Gin-siauw Lojin yang membawa tongkatnya dan membawa bungkusan besar. Tiada orang yang berani menahan mereka, juga Siluman Kecil diam saja hanya mengikuti mereka dengan pandang matanya. Dia maklum bahwa kalau dia mengambil kekerasaan, dan dikeroyok oleh mereka, sukar baginya untuk mencapai kemenangan. Lagi pula, kakek itu memang benar. Dia belum dapat dikatakan menang karena pernah kalah sekali dan menang sekali. Penentuannya adalah pada pertandingan ketiga dan yang terakhir, pertandingan sampai mati!
"In-kong (Tuan Penolong)...!" Tiba-tiba terdengar teriakan nyaring dan seorang gadis cantik berlari-lari menghampiri Siluman Kecil. Gadis itu adalah Cui Lan yang saking girangnya melihat orang yang dipujanya itu keluar sebagai pemenang dan selamat, telah lupa akan keadaan, meninggalkan Hwee Li dan lari menghampiri dengan kedua lengan dibentangkan seperti orang hendak memeluk! Seorang gadis lain berpakaian serba hitam menyusul di belakangnya.
Siluman Kecil menoleh dan ketika dia melihat Cui Lan, dia mengerutkan alisnya dan berkata dengan suara mengandung teguran, "Ah, kau juga di sini, Nona?"
Melihat sikap Siluman Kecil itu seperti marah dan menegurnya, sungguh jauh bedanya dengan sikapnya sendiri yang penuh kegembiraan dan kerinduan, Cui Lan tertegun dan merasa seolah-olah pipinya ditampar sehingga dia sadar akan keadaan dirinya, sadar betapa dia telah memperlihatkan perasaan hatinya di depan Siluman Kecil dan banyak orang.
Seketika mukanya menjadi merah sekali, kemudian berubah pucat. Dengan gagap dia berbisik, "In-kong... saya..."
Akan tetapi, dengan dahi berkerut Siluman Kecil seolah-olah tidak mendengarnya dan tidak mempedulikannya, malah pendekar itu menoleh ke arah gedung yang baru saja ditinggalkan penghuninya dengan penuh perhatian. Tiba-tiba dia meloncat ke arah pintu gedung itu, akan tetapi pada saat itu sehelai benda hitam panjang seperti tali meluncur ke arah kakinya.
"Hemmm...!" Siluman Kecil mendengus marah, kakinya bergerak menendang ke arah benda hitam itu.
Akan tetapi benda itu dapat mengelak, dan menyambar ke atas, ujungnya mematuk ke arah pinggang pendekar itu. Siluman Kecil mengelak, menahan loncatannya tidak jadi memasuki pintu dan ketika tubuhnya turun, tanpa disangkanya ujung benda yang lain menyambutnya dengan patukan yang amat cepat.
"Ahhhhh...!" Siluman Kecil menangkis akan tetapi kembali benda panjang itu meliuk dan ketika lengannya lewat, ujung benda itu mematuk kembali.
"Brettt...!"
Siluman Kecil melangkah ke belakang dan memandang dengan muka memperlihatkan kekagetan karena ujung lengan bajunya telah berlubang! Kagetlah dia karena tidak disangkanya bahwa benda panjang yang dia tahu adalah seekor ular hitam panjang itu demikian gesit dan lihainya. Dia lalu mengangkat muka memandang gadis berpakaian hitam yang memegangi ujung atau ekor ular hitam panjang itu yang kini telah melingkar kembali ke lengannya.
"Laki-laki tak berperasaan!" Hwee Li memaki marah sambil memandang pada Siluman Kecil dengan sepasang mata berkilat.
Siluman Kecil menjadi bimbang. Tadi ada sesuatu yang menarik perhatiannya dan dia menoleh lagi ke arah pintu gedung, akan tetapi gadis pembawa ular itu pun menarik perhatiannya pula, maka berkatalah dia kepada nikouw tua yang sejak tadi hanya menonton saja dengan sikap tenang, "Ibu, tolong Ibu lihat apa yang berada di dalam rumah itu, aku melihat ada orang di dalamnya."
Nikouw tua itu mengangguk, lalu melangkah memasuki pintu gedung yang dapat didorongnya terbuka dengan mudah.
Sementara itu, Siluman Kecil kini menghadapi Hwee Li, memandang dengan penuh perhatian akan tetapi karena ada awan tipis menutupi bulan dan lampu penerangan di situ pun tidak berapa terang, maka wajah Hwee Li tidak begitu tampak jelas. "Nona, aku seperti pernah melihatmu, akan tetapi entah di mana, siapakah kau?"
Hwee Li mencibirkan bibirnya. "Laki-laki kejam. Sudah jelas bahwa yang kau kenal baik adalah Cui Lan, akan tetapi kenapa matamu memandang orang lain?"
"Ehhh, bocah sombong! Engkau sungguh kurang ajar sekali!" teriak Sim Kun, orang termuda dari tiga orang pemburu keluarga Sim itu. Melihat pendekar pujaannya dimaki dan dimarahi oleh gadis ini, tentu saja hatinya menjadi panas, apa lagi ketika nama Cui Lan dibawa-bawa. Setelah membentak, Sim Kun lalu menyerangnya dengan golok yang telah dicabutnya.
"Huhh, orang kasar!" Hwee Li mendengus sambil mengelak, akan tetapi kini Sim Hoat dan Sim Tek juga sudah turun tangan menyerang sehingga Hwee Li dikeroyok tiga orang Saudara Sim itu.
Selagi Siluman Kecil hendak melerai karena dia melihat kelihaian gadis pakaian hitam itu, terdengar suara teriakan dari dalam gedung. Siluman Kecil mengenal suara nikouw tua, maka tanpa mempedulikan lagi gadis berpakaian hitam yang sedang bertempur melawan tiga orang Saudara Sim, dia bergegas masuk, segera diikuti pula oleh ketua Kun-lun-pai dan Bu-tong-pai yang ingin melihat apa yang terjadi di dalam gedung itu.
Ternyata kamar belakang gedung itu telah porak poranda, meja kursi berserakan dan semua isi lemari awut-awutan. Nikouw tua itu telah tertawan oleh seorang gadis cantik berpakaian merah muda. Tangan kiri gadis itu mencengkeram punggung baju nenek itu sedangkan tangan kanan memegang pedang yang ditempelkan di lehernya.
"Berhenti semua! Jangan mendekat atau... kubunuh nenek ini! Rumah ini sudah kukuras habis... hi-hi, kau datang terlambat, Siluman Kecil!" Gadis cantik itu memandang kepada Siluman Kecil dan dua orang kakek ketua dengan mata bersinar-sinar, sikapnya penuh keberanian dan pedang berkilauan yang berada di tangan kanannya tidak tergetar sedikit pun juga. Gadis ini bukan lain adalah Ang-siocia yang pernah turut menghadiri undangan Kui-liong-pang mewakili gurunya, yaitu Hek-sin Touw-ong si Raja Maling dari perbatasan!
"Siancai... di tempat begini ada maling!" Ketua Bu-tong-pai menggerakkan tangannya hendak menerjang, tetapi lengannya cepat dipegang oleh Siluman Kecil yang khawatir akan keselamatan nikouw tua itu.
"Kau lepaskan dia...!" Siluman Kecil berkata halus kepada Ang-siocia.
Ang-siocia tersenyum, nampak deretan giginya yang putih dan ujung lidahnya yang runcing merah menyapu bibirnya dengan cepat "Berjanjilah dulu, Siluman Kecil, bahwa jika aku melepaskan nenek ini, kalian semua tidak akan menyerangku dan membiarkan aku pergi membawa kitab-kitab ini!" Dia menuding ke arah bungkusan kain kuning yang agaknya berisi kitab-kitab dan diletakkanya di depan kakinya.
"Maling hina yang curang!" Ketua Bu-tong-pai membentak marah. Kalau tidak dicegah oleh Siluman Kecil, tentu dia sudah menerjang gadis itu.
"Totiang adalah ketua Bu-tong-pai, mengapa tidak bisa bersikap tenang seperti seorang pendeta yang memiliki kedudukan tinggi?" Nona berpakaian serba merah itu mengejek. "Siluman Kecil, bagaimana?"
"Baiklah, kau boleh pergi membawa barang-barang yang kau curi itu. Akan tetapi aku pasti akan mencarimu!" ucapannya terdengar halus, akan tetapi mengandung ancaman yang menyeramkan.
"Hi-hik, tentu saja. Dan agar kau tidak bingung-bingung mencari, aku akan menantimu di ujung Pantai Pohai, di teluk sebelah utara. Nah, selamat tinggal!"
Gadis cantik berpakaian merah lalu melepaskan nikouw tua, menyambar bungkusan dengan tangan kiri, dan dengan tangan kanan masih membawa pedang dia kemudian meloncat ke luar melalui jendela kamar belakang itu, lalu lenyap ke dalam kegelapan malam.
"Aku akan segera ke sana!" Siluman Kecil berseru, tangannya bergerak ke arah jendela dan nampak benda kecil menyambar ke luar jendela.
"Ihhhhh...!" Terdengar gadis itu menjerit di luar jendela, lalu terdengar suaranya agak gemetar karena benda itu hanyalah sebuah kancing baju putih yang tahu-tahu telah menyusup ke dalam rambut kepalanya! Kalau saja sasarannya diubah sedikit saja tentu dia sudah menggeletak tanpa nyawa!
"Siluman Kecil, aku dan Suhu menantimu di sana!"
Keadaan lalu sunyi kembali dan Siluman Kecil menggandeng tangan nikouw tua keluar dari dalam gedung itu. Di luar masih terjadi pertempuran, akan tetapi sambil tertawa tawa Hwee Li mempermainkan tiga orang lawannya, melecuti muka dan tubuh mereka dengan ekor dua ularnya sehingga mereka babak belur, dan terdengar Cui Lan berseru, "Jangan bunuh orang... jangan lukai orang...!"
Melihat ini, Siluman Kecil melompat ke depan. Cepat bukan main gerakannya itu dan nampak bayangannya yang putih itu berkelebat.
"Aihhhhhh...!" Hwee Li menahan jerltannya ketika melihat Siluman Kecil menerjangnya dengan kecepatan yang amat hebat.
Tiap orang she Sim itu segera mengudurkan diri melihat Siluman Kecil kini sudah menghadapi gadis berpakaian hitam yang amat hebat itu. Dan sekarang semua orang menyaksikan pertandingan yang amat aneh dan juga indah dipandang.
Gadis itu ternyata juga sudah menggunakan ginkang yang luar biasa cepatnya untuk mengimbangi kecepatan Siluman Kecil dan tubuh mereka lenyap berubah menjadi bayangan hitam dan putih yang saling serang dan saling terjang, kadang-kadang sukar dibedakan lagi karena dua bayangan itu seperti telah menjadi satu. Tiba-tiba terdengar Hwee Li menjerit dan nampak bayangan hitam melesat dan lenyap di telan kegelapan malam.
Siluman Kecil berdiri termangu, memandang ke arah lenyapnya bayangan hitam tadi. Kemudian dia sadar bahwa banyak orang memandangnya. Dia membalikkan tubuh dan tanpa disengaja tepat sekali dia bertemu pandang dengan Cui Lan. Sejenak dua sinar mata itu saling pandang, melekat dan akhirnya Siluman Kecil menundukkan mukanya, jantung berdebar dan merasa tidak enak. Dia lalu berkata kepada nikouw tua yang berdiri di situ, "Ibu, aku harus pergi mengejar maling tadi. Aku pergi!" Begitu dia berkata 'pergi', tubuhnya berkelebat dan nampak bayangan putih meluncur cepat ke depan dan lenyap dari situ.
Semua orang tertegun dan tanpa banyak cakap mereka pun bubar dan meninggalkan tempat yang baru saja terjadi hal-hal yang sangat menegangkan hati mereka itu. Peristiwa itu tidak akan dapat mereka lupakan sebagai pengalaman yang menegangkan dan akan menjadi buah bibir di dunia kang-ouw sampai bertahun-tahun lamanya.
Begitu melihat Siluman Kecil pergi tanpa pamit kepadanya, tanpa sepatah pun kata kepadanya, bahkan seperti tidak mempedulikannya sama sekali, Cui Lan menunduk, air matanya meleleh tanpa dapat ditahannya pula. Kini jelaslah baginya bahwa pendekar yang dipuja-pujanya itu, dicintanya, sama sekali tidak memperhatikan dia. Barulah dia sadar bahwa sesungguhnya tidak mungkin dia mengharapkan yang bukan-bukan.
Siluman Kecil adalah seorang pendekar besar yang dipuja oleh banyak orang, apa lagi setelah dapat memenangkan kakek tadi, sampai-sampai ketua partai-partai besar pun menghormatinya. Sedangkan dia? Dia hanya seorang gadis dusun, seorang bekas pelayan! Seperti kilat memasuki benaknya bahwa dia adalah puteri angkat seorang gubernur, akan tetapi ingatan ini cepat diusirnya karena dia pun telah bersalah kepada ayah angkatnya ltu, telah pergi tanpa perkenan.
Ayah bundanya sudah tiada, tidak ada sanak keluarga, orang satu-satunya yang dia pandang dan harapkan, malah kiranya sama sekali tidak mempedulikannya, apa lagi mencintanya. Air matanya makin deras mengucur sampai dia tidak tahu bahwa tampat itu telah sunyi, semua orang telah pergi kecuali dia sendiri dan nikouw tua tadi, ibu dari Siluman Kecil yang sejak tadi memandangnya dengan sinar mata penuh rasa iba dan terharu.
Nenek ini saking terharunya mengusap dua butir air mata yang menghias bulu matanya. Dia tahu benar apa yang terjadi di dalam hati gadis cantik ini. Jelas bahwa dara ini jatuh cinta kepada Siluman Kecil, akan tetapi anaknya itu agaknya tidak membalas cintanya. Dia lalu menghampiri Cui Lan. Dipegangnya lengan gadis itu. Cui Lan menoleh dan barulah dia merasa terkejut bahwa di situ telah sunyi, dan bahwa nenek yang tadi disebut ibu oleh Siluman Kecil itu memegang lengannya.
"Anak yang baik, marilah engkau ikut bersamaku. Mungkin ada kecocokan antara kita karena kulihat bahwa pengalamanmu agaknya sama dengan peristiwa yang menimpa diriku di waktu aku muda dahulu. Mari kutunjukkan jalan Tuhan kepadamu."
Ucapan ini seperti membuka bendungan di hati Cui Lan sehingga tangisnya makin mengguguk ketika dia membiarkan dirinya digandeng dan dibawa pergi perlahan-lahan meninggalkan puncak itu.
Para pembaca yang pernah mengikuti cerita-cerita terdahulu seperti cerita Suling Emas, Pendekar Super Sakti, Sepasang Pedang Iblis dan lain-lain tentu telah mengenal siapa adanya Pendekar Sakti Suling Emas dan apa yang terjadi dengan pusaka-pusaka peninggalannya. Di dalam cerita Pendekar Super Sakti telah diceritakan bahwa senjata pusaka suling emas peninggalan Pendekar Sakti Suling Emas itu yang terakhir berada di tangan Puteri Nirahai, dipergunakan oleh Puteri Nirahai untuk bertanding melawan Suma Han atau Pendekar Super Sakti yang akhirnya menjadi suaminya.
Ada pun mengenai kitab-kitab peninggalan Pendekar Suling Emas yang berisikan pelajaran ilmu-ilmu silat tingkat tinggi dan mukjijat seperti Kim-kong Sin-hoat, Pat-sian Kiam-hoat, Lo-hai San-hoat, dan Hong-in Bun-hoat dan kipas pada saat terakhir telah terjatuh ke tangan Lulu dan dibawanya ke Pulau Neraka di mana dia akhirnya menjadi ketua Pulau Neraka sebelum dia juga menjadi isteri Suma Han si Pendekar Super Sakti.
Jadi, baik suling emas yang terjatuh ke tangan Puteri Nirahai mau pun kipas dan kitab kitab yang terjatuh ke tangan Lulu, semua telah menjadi milik keluarga Pulau Es, yaitu Suma Han si Pendekar Super Sakti dan dua orang isterinya. Akan tetapi mengapa kini tiba-tiba berada di tangan kakek yang mengaku bernama Sin-siauw Sengjin itu?
Hal ini akan diceritakan kelak kalau sudah tiba waktunya untuk memperlancar jalannya cerita karena di dalamnya terdapat rahasia-rahasia yang sementara ini belum dapat dibuka atau diceritakan. Sabar ya.....
KAMU SEDANG MEMBACA
JODOH RAJAWALI (seri ke 9 Bu Kek Siansu)
Action(seri ke 7 Bu Kek Siansu) Jilid 1-62 Tamat