A Story By : Chika Asoka Putri
Wonwonu_****
Katanya, cinta pertama seorang anak perempuan adalah ayahnya.
Tetapi, bagaimana jika cinta pertama itulah yang menjadikan alasanku untuk trauma?
Dan kini aku masih menanti, akan ada seseorang yang berniat ingin mengobati dengan setulus hati, tanpa ada niat untuk mematahkannya lagi.
🍂🍂🍂
Di minggu pagi ini, aku duduk di balkon kamarku. Memandang langit penuh kekosongan, merasakan jiwa yang penuh dengan kehampaan, serta hati yang turut kesepian. Di hari yang disukai banyak orang ini, hanya sebuah cutter berwarna biru tua yang dapat menjadi temanku saat ini.
Kugoreskan ia secara perlahan pada permukaan kulitku yang dingin, sengaja untuk menciptakan guratan penuh luka pada kulit pergelangan tanganku. Lagi dan lagi, aku tak cukup satu untuk menciptakan luka-luka berharga ini.
Tak lama, cairan merah kental mengalir diantara garis-garis luka yang aku ciptakan sendiri. Menciptakan sensasi yang selalu aku nikmati hampir setiap hari, yaitu perih dan bahagia yang muncul sekaligus dalam sayatan yang aku ciptakan.
Aku selalu menikmati saat cutter biru tua itu membelai lembut pada kulitku, Aku selalu menikmati saat darah kental itu mengalir tergenang diantara guratan lukaku, dan Aku selalu menikmati saat rasa perih itu tercipta akibat depresi yang melanda diriku.
Entahlah, mungkin aku tak akan pernah terlepas dari *jeratan selfharm ini.
Jeratan selfharm (Kata asing seharusnya diitallic)
Sebuah getaran dari saku piyamaku menghentikan sejenak rutinitas bahagiaku kini.
Hero : Aku ada di taman saat ini. Tak ingin menyusul?
Zera : Iya, sebentar.
Kalian pasti bertanya-tanya bukan siapa itu Hero? Dia pacarku. Aku bertemu dengannya di atap sekolah saat aku sedang menangis tersedu-sedu disana. Lalu, apa yang membuat kami menjadi dekat dan kemudian menjalin hubungan? Maka jawabannya adalah karena latar belakang permasalahan yang sama.
Ah, aku sampai lupa memperkenalkan diri. Namaku Zera Shahieza, 17 tahun, bersekolah di bangku terakhir SMA Permata Bangsa, dan yang terakhir aku adalah seorang anak broken home.
Fakta terakhir itulah yang menjadikanku candu akan *selfharm, yang menjadikanku trauma akan sebuah kisah cinta.
Selfharm (Harusnya diitallic)
Meski saat ini telah ada yang mengobati traumaku pada seorang lelaki bertemakan Ayah. Namun aku tak dapat menjamin, sejauh mana Ia bisa bertahan terus-terusan mengobati setiap luka dan ketakutanku sedangkan Ia sendiri terluka dan berada di sudut ruang gelap yang kelam.
Aku menyimpan cutter biru tua kesayanganku di laci meja belajar, kemudian membereskan luka-luka berharga ini, dan bersiap untuk menyusul Hero.
🍂🍂🍂
Kulihat banyak orang duduk sambil bersenda gurau di bangku taman yang telah disediakan. Ada yang saling bercerita, ada yang saling tertawa, dan ada yang saling hening seperti Aku dan Hero kini.
Sedaritadi Ia seakan ingin berbicara, tetapi tak kunjung mengeluarkan suara.
Tak tahan dengan keheningan yang melanda, aku segera memecahnya."Langsung aja, kamu mau ngomong apa?" *Tanyaku langsung ke intinya. (Bila dialog diakhiri dengan tanda tanya. Maka dialog tag nya harus menggunakan huruf kecil)
Ia tak langsung menjawab, tetapi memandang wajahku dengan tatapan bersalah dan kemudian merunduk pada sepatunya.
"Maaf, aku ingin kita segera berakhir." Ucapnya ragu dengan kepala yang tertunduk memandang sepatunya yang berpijak pada tanah.
Hatiku mencelos saat ini juga, kurasakan *pisau belati lima tahun yang lalu kembali menusuk hati. Menciptakan kembali luka yang tak berarti, oleh spesies manusia yang disebut laki-laki dan dengan kisah cinta yang membuatku tak akan ingin untuk membuka hati kembali.
Pisau belati (Harusnya diitallic)
Baru beberapa menit yang lalu saat *kukatakan sejauh mana kami dapat bertahan, dan kini? Secepat itu sebuah kata menjadi nyata?
*kukatakan ✖
**ku katakan ✔Aku juga tak dapat menyalahkan Hero, Ia sama sepertiku, Ia cerminan dari diriku. Ia punya masalahnya sendiri, Ia punya lukanya sendiri, dan Ia punya ketakutannya sendiri. Lantas, jikalau ia sudah memiliki semuanya? Haruskah ia merenggut milikku juga?
Kita hanyalah dua insan yang berbeda, dengan latar dan perkara konflik kehidupan yang sama.
Setidaknya hanya kalimat itu yang dapat kuingat pada pertemuan pertama kami.
Tak apa, aku rela meski hati ini telah patah untuk yang kedua kalinya. Yang pertama karena Ayah, dan kali ini karena Ia. Setidaknya, Hero punya alasan jelas yang bisa aku pahami walau tak pernah diungkapkannya.
Aku pulang dengan keaadan yang kacau. Dengan hati yang kembali patah, dan perasaan yang tak dapat kudeskripsikan dalam rangkulan aksara. Kembali kuambil cutter biru tua pada laci meja belajarku, dan kemudian duduk meringkuk di pojok kamar.
Lagi, aku melukiskan sayatan pada permukaan kulit yang sama seperti sebelumnya, memaksakannya untuk mengeluarkan setetes darah yang akan mengalir tenang.
Aku bersumpah, jika cinta hanya tentang mematahkan. Maka aku tak akan pernah mau untuk mengenalnya kembali, selamanya.
Dua pengalaman yang mematahkan sudah cukup untuk dijadikan panduan di masa depan bukan?
Mungkin kisahku adalah kisah yang paling menyedihkan disini, dengan berbagai latar, konflik dan alur yang selalu patah.
Serta resolusi yang tak lagi dapat kutemukan dalam kejamnya hidup. Biarlah kisah ini terus berarah dibawa siut angin berlalu, dan menghanyutkannya pada lautan penuh pilu.
Aku hanya gadis remaja, yang kisah hidupnya terlalu pilu untuk dikenang sepanjang masa. Tak untuk dijadikan pelajaran, dan tak ada hikmah yang dapat dipetik.
Dengan ini, maafkan aku telah mengajakmu berkelana dalam dekapan aksara yang memiliki jutaan makna.
End
787 Word
Kritik :
I am so exited. Saya suka ceritanya. Kalau saya baca cerita ini jadi pengen nangis, habis ceritanya sedih banget yaampun😭 Terus juga ceritanya ngena bangettt.Kesalahan cerita kamu terdapat di kata atau kalimat yang harusnya diitallic. Penggunaan kata yang seharusnya dipisah malah digabung.
Saran :
Lebih diperhatikan lagi kata-kata mana yang harus diitalic. Revisi ulang sangat diperlukan dalam cerita. I like it! Keep spirit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Event 1 [Cermin]
Fiksi RemajaKumpulan cermin dari member Darkshines Writer Club.