Malam itu basah. Langit seperti meluapkan amarah. Perbedaan potensial antara awan dan bumi menyebabkan kapas-kapas hitam pekat yang menaungi kuil itu melakukan pelepasan energi secara membabi buta. Lidah apinya turut menjilat-jilat tanah, menyebabkan bunyi gemuruh yang memekakkan telinga. Pusaran tornado bahkan sudah merobohkan beberapa pohon sekaligus mengangkat atap bangunan yang tak cukup kuat menghalau hempasannya.
Semua makhluk mengunci rapat pintu rumah mereka. Sebagian dari mereka yang 'spesial' turut bertarung memanipulasi cuaca buruk malam itu. Tidak ada satupun dari mereka yang mampu menghalau dasyatnya kekuatan alam, mereka hanya mampu mengurangi energinya agar dampak kerusakan yang ditimbulkan pasca bencana tak terlalu parah. Terkecuali hanya satu orang, yang dengan leluasa membentengi kediamannya dengan kekuatan maha dasyat, sampai-sampai hempasan angin yang berkecepatan 450 km/jam itu sama sekali tak menyentuh bangunan tempatnya bernaung.
Rumahnya terlindungi pagar astral. Saking kuatnya energi perlindungan itu, menyebabkan jeritan anak kecil di salah satu ruang bedah itu teredam. Ruang penyekat di sekitarnya sudah seperti ruang hampa udara. Tentu ini hanya efek yang timbul dari bentuk kekuatannya yang bisa memilah partikel rambat di atmosfer bumi.
Anak kecil itu meraung-raung. Ia menjerit dalam gigil. Setiap kali ia dibawa ke ruangan ini sekujur tubuhnya merinding, mengejang ketakutan. Badai tornado seperti menjadi pertanda tersendiri bahwa ketika bencana itu terjadi di luar, seseorang akan menyeretnya paksa tak peduli apapun dan mengurungnya di kamar penuh besi-besi pipih yang menggantung di langit-langit kamar.
Memang usianya masih terlalu dini untuk mengerti bahwa di sana adalah tempat dimana tubuhnya akan 'disetting' ulang ketika waktunya telah ditentukan. Ia pun tak begitu mengerti apa motivasi Ayahnya – sosok yang kerap kali membawanya ke kamar ini – satu kali dalam setahun akan membuat dirinya tertidur di ruangan itu dan membuat tubuh mungilnya amat sangat kesakitan begitu terbangun kembali.
Ketika ia terbangun, memang rasanya seperti terlahir kembali, namun rasa sakit sayatan benda tajam di tubuhnya sepertinya sudah terpatri di alam bawah sadarnya, membuatnya meronta-ronta, sedemikian takut dan membenci sosok berwajah teduh itu.
Taeyong kecil tanpa alasan yang jelas harus melalui semua malam-malam menyakitkan itu atas kegilaan dan ambisi Ayahnya untuk membedah tubuhnya, membongkar ulang, serta menatanya kembali. Tak peduli betapa menderitanya ia menahan semua rasa sakit ketika pisau bedah mulai menguliti tubuhnya dan mengikis tengkoraknya. Ayahnya sama sekali tak peduli, tanpa empati, sekalipun jelas-jelas tau yang tengah disakitinya adalah darah dagingnya sendiri.
Berulang kali sepanjang belasan tahun dengan kebutaan informasi, Taeyong kecil harus menelan kepahitan perlakuan brutal itu pada tubuhnya sampai pada suatu malam, ketika lagi-lagi Ayahnya menyeretnya ke ruang bedah ini untuk kesekian kalinya, untuk pertama kalinya ia mendengar bisikkan kefrustasian Ayahnya sebelum kedua matanya terkatup dan kembali merasakan sayatan demi sayatan pisau bedah itu di tubuh remajanya.
"Maaf."
"Maaf."
Dan, "Maaf, Nak."
Adalah kalimat yang kerap kali berdengung di gendang telinga Taeyong sebelum ia ditidurkan paksa.
Ditidurkan paksa artinya Taeyong tak benar-benar dibuat tak sadarkan diri. Ayahnya hanya membuatnya tertidur pada tahapan sleep paralysis. Yakni setengah dari dirinya melihat mimpi, namun juga setengah sadar sehingga tubuhnya jelas-jelas merasakan kejutan-kejutan menyakitkan pisau itu ketika mengoyak-koyak tubuhnya.
Taeyong ingat pada suatu ketika, saat ia mulai bisa memberontak dan mengharuskannya beradu kekuatan dengan Ayahnya, ia menolak dan mengutuk semua tindakan yang ayahnya lakukan pada dirinya dengan menghancurkan ruang bedah itu. Namun lagi-lagi, terpaan badai angin topan turut meredam pertarungan sengitnya dengan sang Ayah, hingga tak ada satupun makhluk dari clannya yang mengetahui betapa kelamnya malam badai itu bagi Taeyong. Tak ada satupun dari mereka yang datang menolongnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amorphous | [Taesoo (Taeyong - Jisoo)]
Vampire[18+] Daripada takdir, mungkin lebih cocok disebut tumbal. Jisoo adalah siswa di sekolah model, selama dua tahun di sekolahnya, Jisoo menjadi korban pembullyan Jennie, Lisa dan Rose. Jennie sempat membunuhnya, namun hal itu ternyata hanya manipulas...