Part 13

3.2K 112 1
                                    

Selesai salat Dluha, aku menghampiri Mbak Rumi yang sedang menyirami tanaman bunga milik Ibu di depan rumah. Aku refleks tersenyum mendapatinya memegang slang air sambil bergoyang, mendendangkan lagu dangdut.

Ibu dari dua anak itu memang sedikit centil, tapi masih dalam hal yang wajar. Jika tidak wajar, Ibu pasti sudah menggantinya dengan asisten rumah tangga yang baru. Meskipun centil, tapi pekerjaan Mbak Rumi layak diacungi jempol. Itu sebabnya, Ibu memberikan gaji yang lumayan besar untuknya.

Aku ingat saat minggu-minggu pertama tinggal di sini, Mbak Rumi sering sekali menyindirku. Dia bilang, aku gadis kampungan yang tidak pantas untuk Mas Danish. Dia juga bilang Mas Danish sangat kasihan karena mendapat istri sepertiku. Padahal, Mas Danish memiliki seorang pacar yang cantik jelita. Dulu, aku belum tahu yang dia maksud itu Mbak Nelly.

Gaya bahasa Mbak Rumi juga sering kali terdengar menusuk hati. Tapi, aku tak pernah menanggapi. Karena diamku itulah, Mbak Rumi akhirnya meminta maaf karena tidak sopan. Sekarang, kami sudah menjadi teman.

Belakangan, Mbak Rumi cerita Ibu sering memarahinya jika bertingkah tidak sopan terhadapku. Ibu juga memintanya untuk merahasiakan pernikahanku dan Mas Danish. Tentu dengan alasan Mas Danish belum siap.

"Asyik banget kayaknya, Mbak," ucapku, menyapa Mbak Rumi yang tengah menyanyikan lagu milik penyanyi dangdut dari Cikarang.

"Eh, Eneng. Hehe. Iya, biar nggak bosen ini." Mbak Rumi menghentikan aktifitasnya.

"Sudah selesai, Mbak?"

"Sudah, Neng. Sekarang, mau bersihin kolam renang."

"Aku bantuin, ya, Mbak?"

"Boleh, Neng."

Aku mengikuti langkah Mbak Rumi. Sampai di dekat kolam renang, dia membawa dua jaring kecil dengan pegangan yang panjang, lalu memberikan satu untukku.

"Sebelum Neng di sini, Mas Danish renang dua hari sekali. Tapi, sekarang, cuma seminggu sekali." Mbak Rumi mengatakan itu, sambil mengayunkan jaring kecil untuk membersihkan daun-daun kering di permukaan air.

Aku ingat cerita Maya. Mas Danish pernah mendapat juara umum lomba renang antar pelajar yang diadakan oleh sebuah Forum klub renang Yogyakarta. Mungkin karena sering berenang, tubuh Mas Danish jadi setinggi itu. Eh tapi, Ayah juga lumayan tinggi, sih.

"Emang apa hubungannya sama aku, Mbak?"

"Mungkin malu, Neng."

"Kenapa harus malu?"

Pertanyaanku tak mendapat jawaban dari Mbak Rumi. Dia sudah pergi untuk menyimpan jaring ke tempatnya semula, usai kami menyelesaikan pekerjaan. Sedangkan, aku masih asyik berjalan-jalan di dekat kolam sambil sesekali menyapukan kaki ke dalam air.

Aku suka bermain air, tapi tidak bisa berenang. Itu sebabnya aku lebih takut melewati sebuah jembatan di atas permukaan air, daripada berada di ketinggian. Apalagi kalau airnya banyak. Aku takut terjatuh dan kehabisan napas.

Setelah merasa cukup bermain air, aku memutuskan menghampiri Mbak Rumi. Mungkin dia di dapur. Namun, saat mulai melangkah, tiba-tiba kakiku terpleset. Sontak, aku terhuyung dan jatuh ke dalam kolam. Apa yang tadi kupikirkan telah benar-benar terjadi. Seketika, rasa takut dan khawatir mulai menyerang.

Aku gelagapan dan mencoba berteriak. Tapi jangankan berteriak, mengangkat tubuh ke atas permukaan saja aku tak bisa. Berkali-kali, aku tak sengaja meminum air kolam.

Pikiranku melayang dan semua pemandangan mendadak jadi gelap. Detik itu, aku hanya berpikir akan mati.

Namun, Allah berkehendak lain. Dia tidak ingin aku mati secepat itu. Kesadaranku disambut dari rasa nyeri yang begitu hebat di hidung, pusing, lalu tersedak. Tepat ketika membuka mata, tampak wajah Mas Danish begitu dekat. Sedetik kemudian, aku memuntahkan banyak sekali air yang sebelumnya terasa memenuhi saluran pernafasan.

Ibu Mertuaku CantikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang