23 | What's Their Problem?

1.2K 57 0
                                    

"Yocelyn? Kau–" Kata-kata Devian tenggelam. Dia tidak tahu harus berkata apa. "Jadi, kau CEO Majalah Y?" tanyanya masih terkejut dan belum percaya denga sosok yang ia lihat di depannya sekarang.

"Y-ya," timpal Yocelyn yang juga tak kalah terkejutnya dengan Devian. Ia hanya bisa tersenyum kikuk. "Aku baru tahu kalau kau CEO AL-Fashion."

"Ya, begitulah. Aaron tiba-tiba saja menjadikanku CEO disini padahal dia tahu kalau aku bukan workaholic," ucap Devian berusaha mencairkan suara.

"Rupanya begitu," ucap Yocelyn manggut-manggut.

"Anne, bisa kau tinggalkan kami? Dia adalah temanku," kata Devian pada Anne. Setelah itu Anne pun menurut dan keluar dari ruangan dengan sopan.

​Sekarang hanya mereka berdua di ruangan besar itu. Suasana ini memacu jantung Yocelyn untuk memompa darahnya lebih cepat. Karena saking cepatnya, mungkin saja setelah ini jantungnya bisa keluar dari tempatnya.

"Duduklah," ucap Devian mempersilakan. Kemudian Yocelyn pun duduk di kursinya yang tadi dengan masih gugup.

Yocelyn harap waktu bisa berjalan cepat, karena sebenarnya jantungnya ini sudah tidak bisa diajak kompromi. Tapi, bukankah ini kesempatan emas untuknya, karena bisa bertemu dan bekerja sama dengan Devian untuk kedepannya? Yocelyn tidak akan menyia-nyiakannya.

***

"Kau tetap tidak mau aku mengantarmu?" tanya Devian untuk yang ketiga kalinya.

"Aku bisa naik taksi. Jangan khawatir," tolak Yocelyn dengan halus.

"Justru aku khawatir pada supir taksinya. Aku harap kau tidak merepotkannya," gurau Devian dan Yocelyn tertawa geli karena itu.

"Jangan membuatku kesal, Devian," gerutu Yocelyn pura-pura kesal.

"Oh, ternyata kau bisa kesal juga, ya? Ah, iya. Aku lupa kau adalah pelahap maut." Devian masih tak berhenti menggoda Yocelyn.

"Devian!" seru Yocelyn sambil memukul lengan Devian dengan tasnya.

"AWH! Baru saja kubilang, kan?" Devian masih saja dengan gurauannya.

"Sudahlah, sana! Aku pergi dulu. Lama-lama disini bisa membuat darahku tinggi dan aku bisa memanas," gerutu Yocelyn lagi. Dia memang benar. Memanas itu bukan maksud dirinya yang sedang pura-pura kesal. Tapi karena dia tak bisa menahan dirinya yang terlalu senang karena akhirnya bisa bekerja sama dengan Devian, yang artinya dia bisa bertemu dengan Devian setiap waktu tertentu.

"Aku juga tidak menyuruhmu tinggal," ucap Devian sambil mengendikkan bahunya.

"Terserah," balas Yocelyn sambil pergi dari hadapan Devian dengan langkah lebarnya.

Devian tertawa geli sambil menggelengkan kepalanya melihat Yocelyn yang pergi. Ia merasa kalau temannya itu sangat menggemaskan kalau marah seperti itu. Ia pun berbalik dan hendak menuju ruang kantornya. Tapi langkahnya harus berhenti karena sosok didepannya. Seseorang yang tak disangka-sangka datang ke kantornya.

"Dad?"

***

"Ah, bodoh sekali," umpat Yocelyn frustasi secara tiba-tiba, membuat supir taksi di depannya menoleh ke belakang untuk mencari tahu apa yang terjadi.

"Maafkan aku, Sir. Dompetku tertinggal di tempat temanku," sesal Yocelyn. Walaupun sedikit kesal tapi supir itu memaklumi dan kemudian pergi. Untung saja Yocelyn masih belum masuk ke taksi. Karena ini sangat memalukan.

Sementara Yocelyn merutuki dirinya sendiri yang bisa-bisanya meninggalkan dompetnya di ruang rapat tadi. Untung saja Yocelyn tadi sempat mengecek. Bagaimana jadinya kalau dia sudah sampai di kantornya tapi tidak memiliki uang untuk membayar taksi? Memalukan. Yocelyn pun berlarian kecil masuk kembali hendak ke ruang rapat yang tadi. Ia naik lift dan kemudian setelah sampai di lantai yang ia maksud, ia langsung keluar dan berjalan dengan langkah lebarnya.

First Love - Bachelor Love Story #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang