Keranjang Rajungan

96 73 14
                                    

Air, pasir, kerang-kerang sudah terbiasa untuk indra penglihatanku. Bunyi derasnya ombak sudah biasa menghiasi telingaku. Suara khas teriakan orang-orang di pantai tidak mungkin hilang tiap harinya. Sampan-sampan sudah sering aku tunggangi. Setiap hari dari aku lahir aku sudah merasakan seperti apa tinggal di daerah pantai. Pantai yang lumayan jauh dari perkotaan. Namaku pun sangat lekat dengan laut. "Banu", ya itu namaku yang artinya air yang bersih. Terkadang aku suka berpikir mengapa aku terlahir dan hidup di pantai. Aku sudah lumayan bosan dengan kehidupan di pantai . Sesekali aku ingin merasakan hidup di perkotaan .Merasakan seperti apa taman bermain atau kebun binatang , merasakan makanan yang makan-makanan enak dan masih banyak yang ingin kurasakan bila hidup di kota. Tetapi sesekali aku juga pernah berpikir bila aku dilahirkan sebagai anak kota, mungkin aku akan berpikir ingin merasakan ombak laut dan sampan-sampan yang tergeletak di tepi pantai setiap hari. Setelah memikirkan kedua hal yang berlawanan tersebut, aku mulai mengerti apa artinya bersyukur.

Setiap harinya aku bekerja setiap hari untuk mengantarkan rajungan yang kubawa dengan keranjang. Aku ikut bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluargaku. Ayahku bekerja sebagai nelayan . Apabila ayahku mendapat banyak ikan seperti musim panen maka ayahku akan mendapat uang yang lumayan banyak. Tetapi saat hari biasa seperti hari ini , penghasilan nya tidak akan mencukupi kebutuhan keluarga. Ibuku bekerja sebagai penjual nasi uduk yang penghasilannya tidak seberapa untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Karena itulah aku putus sekolah saat masih sekolah menengah pertama. Alasan lain aku putus sekolah karena aku ingin membahagiakan adikku satu-satunya yang lebih membutuhkan biaya untuk sekolah. Kini adikku telah mencapai kelas 6 SD. Adikku bisa dibilang cukup berprestasi karena selalu meraih peringkat 2 di kelasnya. Aku selalu berpesan kepada adikku agar bisa mengangkat derajat keluarga kami. Semoga saja bisa terwujud.

Hampir setiap sore setelah mengantar rajungan pesanan ,aku selalu merenung di bawah pohon kelapa tanpa memikirkan kelapa yang akan jatuh tepat di atas kepalaku. Aku merenungkan masa muda ku. Aku melihat kehidupan anak-anak seumuranku lebih beruntung daripada aku. Mereka dapat bersekolah dan bermain bersama teman seumurannya. Aku iri dengan keberuntungan mereka. Andai aku seperti mereka, mungkin aku tidak akan pernah merenung seperti ini. Tetapi andai sekarang aku seperti mereka, mungkin aku akan terlena dengan kehidupan seperti mereka dan lebih banyak bermain dibanding belajar dengan tekun.Tapi sudahlah, mungkin suatu saat nasib ku akan berubah.
Kemudian aku memutuskan untuk pulang ke rumah.

***

Gelapnya malam telah tiba. Tanpa lampu, tanpa suara kendaraan. Aku mengajak berbincang adikku setelah sholat maghrib.

"De, kakak mau ngomong dong" ucapku.

"Apa kak?" Kata adikku.

"Bagaimana sekolahnya tadi?"tanyaku.

"Tadi aku dipuji oleh guru loh kak."ucap adikku dengan sangat gembira.

"Kenapa emang?"tanyaku sambil penasaran.

"Tadi aku dipuji karena menyelesaikan soal matematika yang susah dan aku akan didaftarkan olimpiade oleh guruku"jawab adikku sambil tersenyum-senyum.

"Wah bagus dong, belajar yang lebih rajin ya dek."ucapku sambil mengusap kepalanya.

"Siap kak, aku pasti juara."ucap adikku sambil tersenyum-senyum lagi.

"Sudah kakak mau tidur, kakak sudah lelah."ucapku dengan rasa kantuk yang tak tertahan.

Nampaknya aku sudah terlalu lelah untuk tetap sadar, aku memutuskan untuk tidur.Sebelum tidur aku berdoa"Semoga nasibku bisa secepatnya berubah kalau bisa esok pun ku tunggu."
***
Pagi yang cerah dengan ditambah suara ombak selalu menghiasi pagiku. Seperti biasa aku akan pergi ke peternakan rajungan yang lumayan dengan rumahku. Aku menuju peternakan rajungan tersebut dengan berjalan kaki sambil melihat pemandangan di sekitar yang sudah biasa kulihat setiap hari. Disana tidak hanya rajungan yang diternak dan dijual tapi ada juga lobster dan ikan-ikan laut yang diternak dan dijual disana. Sesampainya disana, mereka sedang mempersiapkan rajungan dan keranjang yang akan diberikan kepadaku untuk diantarkan ke pembeli. Sambil menunggu aku melihat arus air laut.Tapi aku merasakan arus air laut tidak seperti biasanya, arus tersebut terlihat lebih kecil daripada biasanya. Saat sudah dikemas, nampaknya aku harus mengantarkannya ke arah menjauhi pantai. Aku berjalan menuju tempat si pembeli yang lumayan jauh tetapi bila dipikirkan itu terlalu jauh untuk berjalan kaki. Aku memutar arah menjadi menuju rumahku untuk mengambil sepeda tua. Tiba-tiba aku mendengar suara gemuruh dan tiba-tiba ada gelombang yang sangat tinggi dan sangat cepat. Warga-warga pantai berlari menyelamatkan diri masing-masing. Aku berlari sambil melihat ke belakang dan ternyata aku tidak melihat keluargaku. Ombak nya ternyata sangat kencang dan akhirnya...

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 23, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Keranjang RajunganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang