Grey Area (8)

237 11 0
                                    

Ayam berkokok mengiringi bunyi adzan subuh pagi itu. Langit masih gelap, aku mendekap Harry yang masih terlelap. Wajahnya terlihat begitu manis, aku suka sekali memandangnya dari dekat. Sesekali kutempelkan hidungku ke badannya untuk mecium aroma lelakinya. Tangan ku mulai nakal, bergerila ke bagian bawah perut. Tingkahku ini membuat Harry terbagun. Perlahan dia menyingkirkan tanganku. Dengan kepala masih menempel di dadanya aku mengarahkan pandang padanya. Harry mencium keningku. Tanganku kembali menjelajah tubuhnya, kembali Harry menyingkirkannya.

"Udah 3 kali lho semalem, cape sayang," katanya.

Ucapannya membuatku kecewa, 3 kali setelah 2 bulan belumlah cukup. Harry mulai beranjak, melepaskan diri dari pelukanku. Ketika dia menyalakan lampu utama, mataku menjadi silau. Wajahnya tampak kesal, tampaknya Harry marah karena sikapku. Aku ingin bertanya, hanya saja lidahku menjadi kaku "Pakai baju sayang," ujarya sambil melempar pakaian ke arahku. Hatiku sedikit lega mendegar dia memanggilku sayang. "Aku mandi dulu, mau subuhan," katanya setelah selesai berpakaian. Wajahnya masih tampak kesal. Aku tak tahu apa yang membuatnya tiba-tiba seperti itu. Mungkin dia jengkel harus bangun pagi untuk sholat.

Aku selalu mersa aneh dengannya. Harry orang yang sangat religius menurutku. Sudah pasti dia tak pernah lupa sholat lima waktu. Di kamarnya juga terdapat beberapa hiasan yang benuansa islami. Di meja belajarnya aku juga menemukan Alquran dan tasbih. Dari cara meletakkannya, aku yakin kedua barang itu sering digunakan oleh Harry. Terkadang aku ingin bertanya bagaimana dia bisa menjalani dua kehidupan yang bertolak belakang seperti itu.

"Aku ke mesjid dulu," katanya setelah kembali. "Aku mau pulang," jawabku. Saat aku hendak memeluknya dia menolakku mentah-mentah. Katanya itu bisa membatalkan wudhunya. Sebelum pulang, aku sempatkan untuk mengecek HPku. 12 pangilan tak terjawab, dan 3 pesan masuk. Semua dari rumah. Artinya, mungkin saja aku di tembak di tempat saat menginjakan kaki di rumah.

***

Jalanan masih legang ketika aku kembali dari kos Harry. Ku pacu motorku dengan kecepatan penuh. Jika siang hari aku 25 menit, kali ini aku hanya membutuhkan waktu 12 menit. Saat aku tiba, kuliahat ada seseorang duduk di teras rumah. Rumahku terlihat begitu gelap. Sudah sejak lama lampu di taman mati, dan tidak ada seorangpun yang mengantinya. Sejak Ayah meninggal, tidak ada lagi orang yang memperbaiki kerusakan-kerusakan kecil di rumah. Jika sudah parah, baru Ibu akan memanggil tukang.

Meski hanya ada cahaya remang-remang di teras, aku masih bisa mengenali sosok yang duduk di sana. Dia adalah ibuku. Melihatku datang, ibu langsung masuk dan membuka garasi untukku. Aku berani bertaruh, ibu sudah duduk di sana semalaman.

"Dari mana?" tanya ibuku sebelum aku sempat turun dari motor.

"Rumah teman."

"Kok, ga pamit? Kalau mau nginep mbok ya pamit biar orang tua ga khawatir."

"HPKu mati Bu."

Segera aku masuk ke kamar untuk menghindarinya. Jujur saja aku sedikit merasa bersalah padanya. Tampaknya ibu benar-benar marah padaku. Dia tak membiarkanku lolos begitu saja. Ibu mengikutiku ke kamar.

"Dari mana?"

"Rumah temen Bu."

"Ibu juga kehilangan Ayahmu. Kita semua kehilangan dia tetapi bagaimanapun juga hidup harus tetap berjalan."

Aku tak tahu mengapa ibu tiba-tiba membicarakan ayah. Sudah hampir 6 bulan ayah meninggalkami, tetapi aku rasa tak ada yang berubah. Setidaknya tidak secara significant.

"Ga ada hubungannya sama Ayah."

"Jangan bohong, aku Ibumu, yang melahirkan dan membesarkanmu. Ibu tahu persis siapa kamu. "

"Ibu tidak benar-benar mengenalku. Dan ibu tidak mengerti apa yang aku alami. Ga ada hubungannya sama Ayah Bu. Aku masuk pagi Bu. Mau tidur bentar"

" Ga usah kerja ga papa. Pensiun ayahmu masih cukup buat menghidupi kita"

Aku harap ibu mau mengerti dan meninggalkanku sendiri. Namun respos yang kuperoleh benar-benar diluar dugaan. Ayah telah pergi, tapi sekarang aku punya ibu rasa ayah. Ibu sekarang sama arogannya dengan ayah. Ibu beberapa saat pergi meninggalkanku. Tetapi segera Ibu kembali dengan membawa segelas coklat panas.

Harus ku akui ibu tahu benar bagaimana cara mengembalikan moodku. Usai memberiku segelas coklat, ibu menyodorkan sebungkus rokok mentol yang kuletakan diatas meja. Kebanyakan orang mengangap seleraku tak wajar untuk seorang lelaki, namun selama aku menyukainya persetan kata mereka.

"Apa kamu sudah punya pacar?"

Pertanyaan ibu membuatku membisu. Aku tak tahu apa yang harus aku katakan.pada dasarnya ak belum punya pacar, kalau ada orang ada yang aku suka itu benar. Hanya saja, masalahnya tak mungkin aku mengenalkan orang yang aku suka pada ibu.

"Aku maen PS bu. Lagian kan aku dah gede, dan baru kali ini ga pulang. Maaf Bu."

Aku berharap penjelasanku sudah cukup, dan ibu tak lagi memperpanjang masalah ini.

"Firasat Ibu jelek. Sebenarnya kamu ada apa?"

"Lha??? Ada apa? Aku ngerasa biasa aja Bu."

"Sejak Ayah meninggal kamu sedikit berubah. Apa kamu tak sadar?"

"Perasaan Ibu saja. Sebenarnya ada Ayah atau ga ada Ayah itu ga ada bedanya buat aku. Ayah ga suka sama akukan. Aku cuma dianggap aib."

"Kamu ngomong apa, Ayahmu itu sayang sama kamu.. bahkan kamu itu anak kesayangannya. Tiap malam kamu paling sering diomongin ayah."

"Diomongin jeleknya, ga bisa ini itu, ga kayak anak laki-laki lain.Iya tho. Tiap malem diomongin aibnya, Ayah ngeluh anak laki-lakinya cengeng, dan letoy."

"Kamu itu anak laki-laki satu-satunya wajarlah kalau ayahmu punya ekspetasi lebih."

"Ya realitanya aku ga seperti yang dia harapkan. Udah cukup ngomongin Ayah. "

Ibu duduk di sebelahku. Matanya tertuju pada salib. Setelah sekian menit, dia berpaling padaku. Ku lihat matanya berkaca-kaca.

"Bu, aku ga papa. Semalem aku maen ke rumah temen, maen PS sampai pagi. Maaf lupa ga kasih kabar."

"Ibu tidak tahu apa yang sedang terjadi, hanya perasaan ibu tidak enak. Pesan ibu jangan pernah tinggalkan Yesus. Berpegang terus pada-Nya."

Setelah berkata demikian, ibu meninggalkanku. Rokokku terasa hambar, coklatku tak lagi hangat. Lelaki yang tergatung di aku salib itu melikrikku sambil tertawa. Entah apa mau-Nya. Sepertinya Dia sedang mempermainkanku. Secara spontan aku melemparkan gelasku kearah-Nya.

Kisah Sunyi Dunia PelangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang