Cuaca hari ini sangat tidak bersahabat. Awan mendung menunutupi cahaya matahari yang menyinari bumi. Mungkin tidak lama hujan akan turun.
Tetapi tidak. Hanya mendung saja. Awan hitam tebal itu pun sudah pergi dan tidak menutupi matahari lagi. Apa mungkin dunia ini bersedih, atau hatinya terluka. Semua orang pasti tidak tau.
Di rumah yang bernuansa biasa atau bisa di bilang cukup jelek yang masih terbuat dari kayu sesek ada seorang remaja perempuan yang nampak takut dan sedih di kamar jeleknya. Dia menangis tersedu-sedu di balik pintu kamar. Beberapa suara ketukan dan panggilan yang memanggil namanya. Tetapi dia tidak menyahut sama sekali. Banyak sekali air mata yang dikeluarkan membuat matanya lebam dan merah.
Tiba-tiba dia mengusap tangisnya dan mengambil secarik kertas. Ditulis lah sebuah kata-kata atau kalimat dan ditaruh nya diatas meja belajar. Remaja itu menarik sebuah koper. Dia melipat satu persatu bajunya untuk dimasukkan ke dalam koper itu.
Keesokan harinya, di rumah remaja itu ramai sekali. Banyak orang-orang berdatangan dan berpakaian rapi seperti di pesta-pesta. Remaja itu sengaja mengunci kamarnya agar tidak ada seorang pun yang tau bahwa dirinya akan pergi. Dia berat untuk meninggalkan ibunya seorang diri. Tetapi,Remaja itu nekat untuk pergi meninggalkan ibunya. Dia meloncat lewat jendela kamarnya dengan membawa koper besar tersebut. Akhirnya dia pun bisa pergi dari rumahnya.
Sudah beberapa meter jalan yang ia lewati. Remaja itu seperti gelandangan yang ada di jalan-jalan raya. Remaja itu masih memikirkan nasibnya jika ia tidak pergi dari rumah pasti sudah dipaksa menikah dengan juragan kaya. Ia melangkahkan kakinya dari satu daerah ke daerah lain. Tidak tau sudah berapa kota yang ia lewati. Remaja itu tidak tau dia harus pergi ke rumah siapa. Remaja itu, ada ide untuk pergi ke rumah pamannya yang baik hati. Tetapi ia harus menaikki kapal untuk sampai di tempat pamannya tinggal. Mau tidak mau, ia harus bertekad naik kapal seorang diri demi masa depannya nanti.
Hanya membutuhkan waktu 16 menit, remaja itu sudah sampai di dermaga. Ada banyak kapal besar yang mengeluarkan suara melenguh panjang. Puluhan petugas pelabuhan juga sibuk mempersiapkan penyambutan. Ia pun menaiki kapal tesebut dengan membawa koper besar.
Melewati dek kapal, membuat seorang remaja itu susah menelan ludah. Karena semua orang yang naik kapal itu tubuhnya besar-besar dan kekar-kekar. Ia memilih duduk di lantai 3 dan berdiri di lorong-lorong kapal. Melihat air laut yang biru dan burung camar terbang di dek kapal membuat ia kembali melamun. Remaja itu memikirkan bagaimana nasib ibunya kalau juragan kaya itu gagal menikah dengannya. Ia kecewa dengan ibunya karena memaksa dirinya menikah. Tapi di sisi lain, ia sedih dengan nasib ibunya. Nasib remaja itu sangat mengkhawatirkan. Ia sudah putus sekolah dikarenakan harus berjualan kue keliling untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Meskipun ia keluarga miskin, remaja itu masih tetap bersyukur karena di setiap cobaan pasti ada jalan keluarnya. Tidak terasa, kapal tersebut sudah berjalan. Akhirnya ia pun duduk di kursi.
Betapa malangnya nasib remaja itu. Sudah merasakan kerja keras yang seharusnya tidak boleh ia rasakan.
Dan tidak terasa 1 jam berlalu kapal sudah tiba di tempat tujuan. Ia bangun dari tidurnya dan langsung turun dari kapal. Remaja itu bingung. Masalahnya ia tidak tau di kota mana pamannya tinggal. Ia memutuskan untuk berjalan kaki saja untuk menghemat uangnya.
Remaja itu sudah berada di keramaian pasar yang ada di tengah-tengah kota. Ia celingak-celinguk dan tidak sengaja melihat paman dan bibinya. Remaja itu, langsung menghampiri dan menyapa bibinya.
"Pamannn Bibiii," Kata Remaja itu yang menghampiri paman dan bibinya. Paman dan bibinya langsung mendongak dan ditemukan keponakan kesayangannya.
"Thania? Mana ibumu?" ucap bibinya. Ya nama gadis itu Nathania Brielle biasa di panggil Thania atau nana.
"Hikss.. Hikssss.. See-sebenarnya hikss hikss," tangis thania sampai matanya memerah, suaranya serak dan ia tidak bisa berkata-kata lagi. Ia terus menangis di hadapan paman dan bibinya.
"Udah udah, yuk pulang. Di rumah saja bahas nya ya," ajak pamannya untuk pulang kerumahnya.
Akhirnya mereka pun pulang. Jarak antara pasar dengan rumah bibinya cukup dekat. Mungkin kira-kira 400 meter.
"Kak nana?" ujar seorang anak kecil perempuan dan langsung saja memeluk thania. Cepat-cepat Thania mengusap air mata yang masih tersisa di pipinya. Anak kecil itu adalah anak dari paman dan bibinya. Namanya Demora Gauri. Thania lebih suka memanggil Rara.
"Hei Rara apa kabar," sapa Thania dengan ramah dan tersenyum melebar. " Baik kok kak, kakak gimana? " ucap Rara yang melepas pelukannya dari Thania.
"Ba-baik kok," ucap Thania berbohong sambil menundukkan kepala.
"Ya udah yuk masuk," ajak bibinya.
Thania pun masuk. Ia tidur sekamar dengan Rara. Meskipun rumah bibinya kecil dan sempit, ia sangat bersyukur bisa tidur di kamar tidur. Thania masih sibuk membereskan baju-baju nya. Rara juga membantu thania untuk memasukkan baju ke almari.
Setelah membereskan baju, thania mengajak Rara untuk tidur. Mungkin baginya tidur sangat baik untuk melupakan masalahnya. Tetapi thania tidak bisa tidur. Ia hanya menutup mata dan berpura-pura tidur. Agar bibinya tidak curiga apa yang sebenarnya terjadi.
Apa ini takdir bagiku? Hidup terpisah dengan ibu? Oh tidak ini tidak adil. Gumam Thania dalam hati sambil meneteskan air mata.
Aku rindu ibu. Apa aku harus kembali ke rumahku lagi? Ahh jangan ujung-ujungnya nanti aku nikah. Tapi kalau disini... Arghhh frustasi. Batinnya dalam hati dengan mengacak-acak rambutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Segores Tinta Pelangi (Hiatus)
General Fiction{On going} Menantikan goresan warna-warni pelangi, membuat seorang Thania berjuang mati-matian. Thania ingin sekali melihat hidupnya yang indah seperti pelangi. Meskipun hanya segores, ia sangat bersyukur. Tapi disaat menjemput goresan pelangi, Tha...