Esoknya, tes DNA benar-benar dilaksanakan. Di usia kehamilan antara sepuluh sampai dua belas minggu, tes untuk memastikan ayah biologis dari jabang bayi memang sudah dapat dilakukan. Dokter akan mengambil sedikit dari ekstrak cairan amnion untuk diperiksa. Sekarang, semuanya kembali tak tenang menunggu hasil tes tersebut keluar. Dua minggu lagi.
Brahma mengurung diri di apartemen sampai tiga hari lamanya. Dia tidak makan, tidak mandi, tidak bisa tidur, persis seperti orang depresi. Pikirannya hanya tertuju pada Lili, sementara kemarahan pada Evans masih menguasai hatinya. Entahlah, mengetahui Evans sebagai tersangka atas pemerkosaan kekasihnya membuat sakit hati Brahma kian tidak terkendali. Evans sepupunya, orang yang selama ini dia anggap sebagai saudara sendiri, dan tahu betul bagaimana hubungannya dengan Lili. Kenapa Evans tega? Brahma mendengus lasak. Sampai kapan pun mungkin dia tidak akan bisa memaafkan sepupu bejatnya itu.
Satu minggu berjalan bagai seabad. Pergelutan antara logika dan hati Brahma semakin riuh saja. Nuraninya mengatakan bahwa dalam hal ini Lili tidaklah bersalah sama sekali. Dia hanya korban dari kelakuan asusila Evans. Lili juga pasti sama terpuruknya dengan Brahma. Dan bukankah seharusnya dia ada untuk Lili di saat-saat sulit seperti ini? Gadis berlesung pipi tersebut tidak punya siapa-siapa, apakah adil jika Brahma membiarkannya meratapi nasib seorang diri?
Akhirnya, dengan sisa-sisa cinta dan empati yang selama ini didengungkan, malam itu Brahma memutuskan untuk menyambangi Lili di kost. Dia berharap Lili mau membagi segala gundah dan beban, syukur-syukur bermufakat untuk memperbaiki hubungan mereka. Brahma tersenyum getir. Gagasan terakhir barusan adalah bukti bahwa dia nyaris sinting. Biar bagaimanapun, hubungan ini tidak akan pernah bisa berjalan seperti semula. Lagi pula, bila terbukti bahwa Lili mengandung anak Evans, Brahma akan memaksa sepupu brengseknya itu untuk menikahi Lili. Dia tidak akan membiarkan bayi tak berdosa tersebut digugurkan seperti perintah Tante Mira. Dia harus mengalah.
Buku-buku jari Brahma bersiap mengetuk pintu ketika pandangan matanya tertuju pada sepasang sepatu kulit mahal yang ada di teras. Curiga, sang chef mengintip ke dalam kamar Lili melalui jendela kaca dua arah. Jendela tersebut dihalangi korden tebal berwarna hijau, tapi sedikit tersingkap di bagian pinggirnya---cukup bagi Brahma untuk tahu siapa yang ada di dalam sana. Saat itulah, hati Brahma benar-benar terasa mati. Tertutup. Nyenyat tanpa getaran. Brahma tidak marah. Tidak pula sedih dengan pemandangan yang terpampang nyata di hadapan. Logikanya kini bahkan membenarkan perkataan Evans: cewek lo perek, Bro!
Nyatanya, Lili---gadis yang kemarin senja ingin dia jadikan pendamping hidup---yang tengah hamil muda itu, sedang bercumbu mesra entah dengan siapa di dalam kamar kost. Brahma sekarang tidak yakin apakah benar janin di perut Liliana adalah anak Evans. Hati chef bintang dua yang hanya tinggal serpih-serpih subatomisnya, kini lebur tanpa sisa.
*
"Pastikan kandungannya digugurkan, Bi." Tante Mira berbisik pada Bi Nah sebelum abdi setianya pergi untuk mengantar Liliana pulang.
Bi Nah mengangguk tanpa kata, padahal di hatinya tengah terjadi perang batin yang begitu besar. Sebelum Liliana pulang, Tante Mira memberi mandat pada Bi Nah untuk mengantar gadis itu menggugurkan kandungannya terlebih dahulu. Terserah mau di mana. Dua minggu berlalu dan kabar yang ditunggu akhirnya tiba. Hasil tes DNA menunjukkan bahwa Evans adalah ayah biologis dari janin yang dikandung Liliana. Tante ingin tahu pasti bahwa calon bayi tersebut benar-benar sudah dienyahkan sebelum kelak membawa masalah.
Lili, yang sudah diberi pengarahan sekaligus ancaman---juga uang---oleh Tante Mira, menurut saja. "Gugurkan bayi itu. Bi Nah yang akan ngantar kamu. Uang yang saya kasih cukup buat modal usaha kamu di desa, Lili. Jadi, jangan pernah lagi menampakkan diri di sini. Lupakan semuanya!"
Dua wanita beda generasi dari desa yang sama tersebut berlalu, meninggalkan Tante Mira yang bersidekap gusar, juga Brahma yang sekarat.
*
Merlion Hotel and Restaurant, sekitar dua bulan lalu.
Brahma terkejut mendapati chat dari Shalu yang mengatakan bahwa dirinya sudah ada di lobi hotel. Brahma sebenarnya senang sekali, tapi dia baru saja berjanji pada Tante Mira untuk mengakhiri perasaannya pada sang dokter hewan. Dia ingin membuat Shalu membencinya, dan usaha tersebut berhasil karena ulah Niken.
Sang chef sangat ingin mengejar Shalu saat tiba-tiba gadis itu beranjak keluar dapur dengan tergesa. Namun, supervisor restoran memanggilnya, bilang bahwa ada pengunjung yang hendak bertemu. Mau tak mau, Brahma harus memenuhi panggilan tersebut dan membiarkan Shalu pergi.
Betapa degub jantungnya nyaris berhenti saat Brahma tahu siapa pengunjung yang ingin menemuinya. Seorang wanita dengan perawakan semampai, berlesung pipi, dengan rambut lebih panjang dari yang terakhir kali Brahma ingat.
"Lili-ana ..." Gelenyar aneh yang merayap di sekujur tubuh membuat Brahma menggumamkan nama si wanita. Dia terperenyak ketika ekor matanya menangkap seorang anak lelaki yang berusia kira-kira satu tahun. Bukan apa-apa, hanya saja manik hijau zamrud si kecil itu langsung membawa pikirannya pada Evans.
"I-ini ..."
"Iya, ini anaknya." Liliana menimpali ucapan Brahma yang tersendat. "Bi Nah nggak tega kalau sampai bayi ini digugurin, Brahma," lanjutnya.
Sang chef meneguk ludah susah payah. Rasa sakit yang sudah dua tahun berlalu terasa seperti baru kemarin dengan kehadiran dua sosok tersebut. "Dan mau apa kamu ke sini?"
Aku udah nggak peduli apa pun lagi kalau itu tentang kamu, imbuh Brahma dalam hati.
"Aku cuma mau mastiin kalau kamu ... baik-baik aja." Liliana berkata lirih.
"Lebih baik dari yang kamu kira, Liliana! Dan sorry, aku masih banyak kerjaan." Brahma berbalik dengan deburan emosi yang bercampur-campur, dan segera beranjak pergi jika saja Lili tidak menghentikannya.
"Tunggu, Brahma! A-aku cuma mau ngasih ini." Si gadis berlesung pipi menyodorkan sebuah undangan pernikahan sederhana berwarna merah muda. "Aku ... minggu depan aku nikah. Sama duda. Anaknya banyak tentu saja. Benar, Brahma, nggak akan ada yang mau nerima kita kalau mereka nggak ngerasain apa yang kita rasain. Aku yakin ... orang sebaik kamu pasti akan dapat yang sama baiknya." Senyum Liliana mengembang.
Sang chef mengambil undangan tersebut dari tangannya dan berlalu tanpa berkata apa-apa lagi. Meski hatinya bergejolak karena tahu bahwa si jabang bayi yang dulu diancam digugurkan kini telah tumbuh besar, Brahma mencoba tak peduli. Dia tidak ada urusan lagi dengan mereka, sehingga memilih memendamnya seorang diri tanpa memberitahu siapa-siapa.
*
Notifikasi panggilan di ponsel membuyarkan lamunan Brahma. Bayangan Lili dan si bocah bermata hijau zamrud pudar perlahan-lahan. Dia mengurut pelipis yang terasa berdenyut-denyut, lalu mengambil gawai dari atas nakas.
Tante Mira? Telepon malam-malam begini? Mau minta maaf karena gue baru dipukulin anaknya? Batinnya berasumsi.
Brahma menggeser simbol telepon berwarna hijau, dan menempelkan gadget tersebut di telinga.
"Halo, Tante?"
Kalimat demi kalimat yang mengalir dari Tante Mira membuat chef bintang dua itu tertegun. Dia lalu mematikan sambungan sepihak tanpa menjawab sepatah kata pun.
===&===
Ada yang bingung baca part ini? Ini Brahma lagi time travel-an ceritanya, lompat-lompat gitu 😅 Bisa baca ulang bab 13 biar lebih ngeh, ya. Semoga udah jelas tapi sih, hehe 😊
Makasih yang masih setia ninggalin voment! 😍
Salam Spatula,
Ayu 😘
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Recipe (Tamat)
Чиклит[SUDAH TERBIT] Shalu Yoris Bijani, seorang dokter hewan yang gak suka masak terpaksa harus mempraktikkan 25 resep masakan favorit calon suaminya, Evans. Gara-gara kewajiban yang bikin stres itu, Shalu bertemu dengan Brahma, seorang Executive Chef di...