Kutabahkan segala gundah yang kian meresah, luka dengan sejuta derita, menepis takdir yang hadir, menyuarakan pada netra yang basah. Untuk kesekian kalinya aku seka air mata yang sering jatuh pada diamku.
Apa yang bisa kulakukan selain meratapi semua yang terjadi, apa aku berhak marah pada Tuhan? Apakah aku harus memaki diri, mengutuk Farish karena sudah membuatku seperti ini, atau aku harus memberikan sumpah serapah kepada Boby yang saat itu tidak ada disampingku? Tidak ada gunanya sekarang.Usai perdebatan panjang, akhirnya papa mengizinkanku untuk pulang. Aku tidak mau berlama-lama di tempat ini. Aku rindu rumah, aku rindu kamarku, dan aku rindu masakan mama.
Semenjak aku siuman, aku menolak untuk bertemu Boby atau siapapun kecuali keluargaku. Aku belum siap dengan kondisiku yang memalukan. Kinan, pria itu beberapa hari lalu datang kesini membawa bunga mawar biru. Entahlah aku sedang tidak ingin di ganggu oleh siapapun.
Hari ini aku pulang ke rumah, karena papa ada meeting di luar kota, dan mama ada urusan sebentar jadilah aku diantar Boby dan juga Shania.
Sengaja aku meminta Boby untuk datang kesini hari ini. Selain untuk mengantarku, aku juga merindukannya. Aku yakin Boby sudah tau kondisiku, sebanyak mungkin aku mengumpulkan keberanian untuk bisa bertemu dengan orang-orang lagi diluar sana. Aku takut mereka mengejekku, aku tidak siap dan tidak akan pernah siap.Rasanya sedih, aku sekarang duduk di kursi roda. Lagi dan lagi aku menyentuh kakiku yang sekarang tidak bisa lagi merasakan apapun. Aku hanya bisa duduk dan merepotkan banyak orang.
"Kak," Shania memelukku dari belakang, tangannya bertumpu pada kursi roda yang sedang ku duduki. Mataku menerobos jendela besar dengan latar langit biru. Aku menoleh ke arah kanan, Shania berpindah arah berjongkok menatap lekat wajahku. Aku tersenyum melihat adikku yang sekarang lebih pendiam. Tanganku terulur mengusap rambutnya. Sepertinya kami jarang sekali akur seperti ini. Ucapku dalam hati.
Ketukan pada pintu membuatku dan Shania sontak menoleh, ternyata Boby baru saja tiba. Dia perlahan melangkahkan kakinya, berlutut di depanku.
"Feeling better?"
Aku mengangguk pelan, mataku menatap lekat pada wajah lelahnya. Baru saja aku ingin menyentuh rambutnya yang sekarang terlihat rapih, tangannya menepis lembut tanganku. Sejenak, aku merasa terkejut dengan penolakan Boby yang tidak biasanya. Setelah sekian lama aku berharap pertemuanku dengan Boby akan menjadi titik temu yang sangat ku nantikan. Ternyata tidak, mungkin hanya aku yang rindu tidak dengan laki-laki itu.
"Aku beresin baju dulu ya, kak." Shania tiba-tiba pergi, seperti menghindari aku dan Boby. Apakah Shania tau hubunganku dengan Boby? Entahlah, mungkin nanti aku akan menanyakan hal ini pada Boby.
"Hey, udah siap? Kita pulang sekarang yuk?" Aku memperhatikan Boby yang sekilas mencuri pandang ke arah Shania. Ada apa dengan kalian, lagi-lagi aku menebaknya. Rasanya lelah sendiri jika terus seperti ini.
"Shan, yuk." Ajakku pada Shania yang sepertinya sedang sibuk membawa tasku. Boby mendorong kursi rodaku, kami berjalan beriringan. Tidak ada obrolan sama sekali di antara kami bertiga, hanya suara roda yang beradu dengan lantai rumah sakit. Diam-diam aku memperhatikan mereka berdua, biasanya akan ada perdebatan diantara kami. Bukannya aku menginginkan keributan hanya saja kami tak biasa berdiam tanpa kata, terlebih Shania dengan pribadinya yang bawel.
"Kakak tunggu aja di lobby ya, aku ambil mobil dulu." Shania berlalu pergi tanpa menoleh ke arahku dan Boby. Mungkin hanya perasaanku saja atau memang benar dugaanku, aku merasa ada sesuatu diantara mereka yang tidak aku ketahui.
"Hey, kok bengong." Aku telonjak saat Boby mengusap pundakku.
"Gak apa-apa." Jawabku berbohong.
KAMU SEDANG MEMBACA
Paralyzed (END)
FanfictionTuhan memberikan sentuhan keajaiban pada sosok gadis bernama Veranda. Dan bagaimana takdir mempermainkan Shania adik dari Veranda yang keduanya mencintai orang yang sama. Lika-liku kehidupan dan hubungan percintaan anak manusia di uji dengan sebuah...