IDENTITAS ASLI

51 24 22
                                    

          "Namaku adalah Rafardhan Radhitya Syahreza. Panggil saja Rafa atau Ardhan juga boleh," katanya singkat.

          Aku hanya bisa diam dalam ketertarikannya terhadap nama indah lelaki itu. Seumur hidupku, aku hanya mengenal dua pria yang memiliki nama yang indah. Yang pertama adalah ayahku, William Anderson Brawijaya. Dan yang kedua adalah kakakku sendiri, Daud Agustinus Mahendra Brawijaya. Selain daripada dua orang tersebut, aku belum pernah sekalipun mendengar nama seindah nama pria berbadan kekar yang sedang duduk di depanku itu.

          Aku berusaha untuk tidak menjadi berlebihan. Tingkahku yang over acting bisa membuatnya curiga. Aku tak mau sampai hal itu terjadi. Kubiarkan diriku tak merespon balik jawaban darinya, agar kondisiku bisa kembali tenang. Lagi - lagi dia membuatku semakin jatuh hati padanya.

          Kali ini, aku harus bisa mengorek lebih dalam tentang jati diri sebenarnya dari pria bernama panggilan Rafa ini. Sekarang suasana hatiku sudah membaik. Dan inilah saat yang paling tepat untuk menanyakan identitas lengkapnya. Kebetulan dia sedang tidak melakukan aktifitas lain, selain mengemudikan mobil.

          "Boleh aku bertanya sesuatu lagi kepadamu, Rafa?" tanyaku malu - malu.

          "Boleh saja, aku siap mendengarkannya dengan senang hati," ujarnya sambil memalingkan wajah tampannya kepadaku.

          "Dari mana kamu tahu bahwa aku baru saja sampai di bandara? Atau adakah seseorang yang telah menyuruhmu untuk menjemputku?"

          "Oh, kalau itu," serunya sambil terdiam sesaat, lalu melanjutkan lagi, "Aku mendapat kabar dari Ayahmu. Sering telepon telah mengusik sedikit kenyamanan tidur ku tadi pagi. Setelah kulihat, oh, ternyata dari papa mu, William. Beliau mengatakan bahwa kamu akan tiba di Jakarta siang nanti dan menyuruhku untuk menjemputmu. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk menunda pekerjaan kantorku untuk hari ini dan datang untuk mengantarkan kamu kembali ke rumah."

          "Alasan apa yang membuat  sehingga ayahku tak bisa datang menjemputku sendirian. Kenapa harus meminta bantuan darimu?" tanyaku semakin penasaran.

          "Tentang alasan itu aku sama sekali tak tahu. Tapi sepengetahuanku, akhir - akhir ini Ayahmu sedang disibukkan oleh pekerjaan kantorannya. Mungkin, itulah alasan penyebab ketidaksempatan Ayahmu datang menjemputmu pulang," ucapnya dengan sedikit nada ragu - ragu.

          "Oh, begitu..." kataku dengan jengkelnya.

          "Ayahku lebih mementingkan tugas kantorannya daripada putri bungsu kesayangannya? Tunggu sampai aku kembali ke rumah! Dia belum tahu siapa itu Raisa?!" kataku dalam hati, agar tak terdengar oleh Rafa.

          "Yah, begitulah sekiranya jawaban yang dapat kuberikan," ujar Rafa sambil menggidikan bahunya.

          "Lalu, mobil ini milik siapa? Jangan bilang punyamu!" ucapku dengan nada sedikit mengancam.

          "Sudah tentu mobil ini punyaku. Kamu kira mobil ini punya ayahmu? NO!" ucapnya dengan nada sombong.

          "Kalau mobil ini milikmu, dari manakah kamu mendapat uang sebanyak itu untuk dapat membelinya? Mungkin, smartphone saja kamu tak mampu membelinya!" ujarku dengan nada sarkastis.

          "Kamu gila?!" tandasnya dengan raut muka yang sangat marah. Namun berusaha ditenangkannya kembali. "Mobil ini adalah hasil dari jerih payahku. Aku bekerja siang dan malam. Dan ini merupakan bukti dari semua perjuangan dan pengorbanan yang telah kulakukan selama ini. Apa kamu sudah mengerti, Raisa?"

          Aku kembali terdiam. Tak berani kulihat wajahnya yang merah padam. Aku berusaha sekeras mungkin untuk mencari cara agar dapat menenangkannya. Dan, yah! Dalam sekejap aku telah mendapat solusi untuk masalah itu.

KEMBALILAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang